Pesan Rahbar

Home » , , , , , , , , , , , , » Dibelahnya Dada Rasulullah saw: Fakta atau Fiksi? Apa benar dada Rasulullah saw pernah dibelah? Jika memang benar, apakah hal itu tidak bertentangan dengan kemaksuman beliau?

Dibelahnya Dada Rasulullah saw: Fakta atau Fiksi? Apa benar dada Rasulullah saw pernah dibelah? Jika memang benar, apakah hal itu tidak bertentangan dengan kemaksuman beliau?

Written By Unknown on Monday, 19 January 2015 | 00:02:00


Apa benar dada Rasulullah saw pernah dibelah? Jika memang benar, apakah hal itu tidak bertentangan dengan kemaksuman beliau?

Cerita tentang dibelahnya dada Rasulullah saw yang sering kita dengar ternyata hanyalah kisah bohong belaka. Dalam pembahasan ini kita akan membuktikan kebohongan riwayat tersebut.

Kisah Dibelahnya Dada Nabi
Anas bin Malik menukil: “Di masa kanak-kanak, pada suatu hari Rasulullah saw bermain-main dengan anak-anak Bani Sa’ad. Jibril mendatanginya, lalu mentengkurapkannya, lalu membelah dadanya. Ia mengambil jantung nabi, lalu membersihkannya dari lumuran darah dan berkata: “Ini adalah bagian setan dari dirimu.” Lalu ia mencuci jantung itu dengan air zamzam kemudian mengembalikannya ke tempat semula. Anak-anak lainnya berlari ke rumah Halimah dan berkata kepadanya bahwa Muhammad telah dibunuh. Mereka juga mengerumuni Muhammad dan melihatnya berwajah pucat. Anas berkata: “Aku melihat bekas belahan itu di dada Rasulullah saw.”[1] Kejadian ini menyebabkan Rasulullah saw dikembalikan ke Madinah ke sisi ibunya.[2]

Riwayat ini disebutkan dalam kebanyakan referensi hadits Ahlu Sunah. Bukannya ada yang mengkritik hadits ini, malahan ada yang berkata bahwa peristiwa tersebut terulang sebanyak lima kali; keempatnya disepakati, dan satu kalinya banyak pendapat berbeda-beda tentangnya. Kali pertamanya di usia ke-3 tahun Rasulullah saw, kali kedua di usia 10 tahun, kali ketiga di saat diutusnya nabi, dan di saat perjalanan Mi’raj.

Referensi riwayat
Sayang sekali riwayat tersebut seringkali disebut dalam buku-buku sejarah. Hal itu membuat citra Rasulullah saw tercoreng di benak dan fikiran para intelektual dan ilmuan dunia lainnya yang membacanya karena jelas tak masuk akal. Riwayat itu pula yang disalah gunakan oleh orang-orang yang berniat buruk terhadap Rasulullah saw dengan mengolok dan menghinanya.

Tentang referensi-referensi riwayat di atas, sebagai contoh, perhatikan beberapa referensi berikut ini:
Shahih Muslim, jil. 1, Kitab Iman, bab 74, hadits 260-263; Shahih Bukhari, jil. 1, Kitab Sholat, bab 242, jil. 2, Kita Anbiya, bab 901 dan…; Sirah Nabawiyah, Ibnu Hisyam, jil. 1; Tarikh Thabari; Muruj Adz-Dzahab Mas’udi.

Kebanyakan penulis menganggap hal itu sebagai mukjizat nabi dan menunjukkan bahwa sejak awal Tuhan telah menjadikan beliau sebagai hamba yang spesial dengan cara demikian. Dengan itu Tuhan telah membersihkan nabi dari dosa dan kesalahan. Sebagaimana sebagian ahli tafsir menganggap bear riwayat tersebut dan menafsirkan ayat-ayat pertama surah Al-Insyirah dengan penafsiran ini. Namun di sisi lain akibat adanya riwayat ini banyak sekali kritikan-kritikan yang tertuju pada keagungan Rasulullah saw. Orang-orang yang memusuhi Islam menjadikan riwayat sedemikian rupa sebagai senjata untuk menjatuhkan Islam. Bagaimana tidak, semua orang yang berakal pasti terheran-heran membaca riwayat tersebut. Allamah Majlisi dalam Biharul Anwar meskipun membenarkan sanad riwayatnya, namun ia terheran-heran dan tidak bisa meyakini kebenaran kandungan riwayat itu.[3]

Sayang sekali riwayat-riwayat ini banyak sekali ditemukan dalam buku-buku sejarah dan tafsir umat Islam yang akhirnya sering dikritik oleh berbagai pihak. Seandainya tidak ada riwayat-riwayat ini, pasti citra Rasulullah saw dan Al-Qur’an akan terjaga. Tidak akan ada buku-buku seperti Ayat-Ayat Setan yang ditulis Salman Rushdi. Andai referensi-referensi terpercaya Islam bersih dari segala hadits-hadits dan riwayat seperti ini.

Bukti tidak benarnya riwayat
Salah satu ketidak benaran riwayat di atas, adalah karena peristiwa tersebut dijadikan alasan mengapa Rasulullah saw dikembalikan kepada ibunya, Aminah. Mereka meriwayatkan bahwa seusai peristiwa itu, suami Halimah berkata kepada istrinya: “Karena peristiwa ini kita harus mengembalikan Muhammad kepada keluarganya.”[4] Padahal dalam sumber-sumber yang terpercaya juga disebutkan bahwa sebab dikembalikannya Rasulullah saw bukanlah peristiwa itu, namun hal lain. Diriwayatkan bahwa pada suatu hari sekelompok orang Kristen datang dari Habasyah dan sangat memperhatikan Muhammad saw secara seksama lalu meminta Halimah untuk memberikan anak itu untuk dibawa ke Habasyah. Halimah khawatir lalu oleh karenanya ia mengembalikan Muhammad saw kepada keluarganya.[5]

Pertentangan dalam waktu dikembalikannya Rasulullah saw
Menurut riwayat dibelahnya dada nabi itu, Rasulullah saw dikembalikan kepada keluarganya saat berusia tiga tahun. Padahal di riwayat-riwayat lainnya disebutkan bahwa nabi Muhammad saw terus bersama Halimah sampai berusia lima tahun. Jika riwayat itu benar, maka bagaimana bisa beliau terus bersama Halimah salpai berusia lima tahun?

Ikhtilaf dalam penukilan riwayat
Di sebagian riwayat disebutkan bahwa malaikat-malaikat itu berjumlah dua orang dengan berpakaian warna putih. Namun di riwayat lainnya disebutkan ada tiga malaikat yang mendatangi beliau. Dalam teks sebagian riwayat dijelaskan bahwa saat itu Rasulullah saw sedang sibuk bersama saudaranya menggembala kambing, lalu malaikat-malikat itu datang. Padahal dalam riwayat lainnya disebutkan saat itu Rasulullah saw sedang bermain dengan teman-teman sebayanya. Sebagian riwayat menjelaskan bahwa jantung nabi dicuci dengan air zamzam, namun di riwayat lainnya disebutkan bahwa dicuci dengan es dan gumpalan salju. Dan masih banyak lagi…

Tidak ada kaitannya badan materi dengan kebaikan dan keburukan
Sebenarnya bagaimana bisa segumpal darah berhubungan langsung dengan kebaikan dan keburukan? Kebaikan dan keburukan, hidayah dan kesucian, semunya berkaitan dengan spiritualitas, bukan badan materi. Seseorang tidak bisa menjadi baik hanya karena dadanya dibelah dan jantungnya dicuci dengan air. Jika hal itu masuk akal, maka seharusnya siapapun bisa dibelah dadanya dan dicuci jantungnya agar menjadi orang baik? Padahal tidak, dan hal itu sama sekali tak masuk akal.

Disebutkan dalam riwayat-riwayat tersebut bahwa peristiwa tersebut terulang sebanyak empat atau lima kali di saat-saat yang berbeda. Aneh sekali, mengapa terkesan seperti oprasi kanker yang tak kunjung sembuh? Sehingga dada beliau harus dibelah berkali-kali. Jika memang dibelahnya dada nabi bertujuan agar setan tidak bisa lagi mengganggu nabi Muhammad saw, maka seharusnya sekali saja cukup dan kali pertama itu ampuh. Lalu mengapa harus diulang? Berarti hal itu tidak manjur dan setan tetap saja bisa menganggu beliau sehingga harus dilakukan berkali-kali?

Bertentangan dengan hikmah Ilahi
lagi pula apakah Tuhan tidak mampu mencapai tujuan-Nya tanpa melakukan pembelahan dada? Pasti Tuhan mampu. Lalu untuk apa Ia harus membelah dada nabi, itu pun di depan mata anak-anak kecil?

Tidak adanya kehendak dan ikhtiar nabi
Jika riwayat itu benar, maka setiap perbuatan baik yang dilakukan oleh nabi bukanlah atas kehendaknya sendiri. Karena nabi tidak bisa melakukan apapun selain kebaikan. Padahal nabi atas kehendaknya sendiri bergegas mensucikan jiwa dan selalu mendekatkan diri kepada Allah swt hingga beliau diangkat menjadi nabi. Jika riwayat itu benar, dan jika nabi tidak berikhtiar dalam kebaikan-kebaikannya, maka apa keistimewaan nabi?

Bertentangan dengan ayat-ayat Al-Qur’an
Allah swt dalam berbagai ayat-Nya menjelaskan bahwa setan tidak kuasa untuk menganggu hamba-hamba Allah swt yang diridhai-Nya. Ia berfirman:  

“Iblis berkata: “Ya Tuhanku, oleh sebab Engkau telah memutuskan bahwa aku sesat, pasti aku akan menjadikan mereka memandang baik (perbuatan ma’siat) di muka bumi, dan pasti aku akan menyesatkan mereka semuanya, kecuali hamba-hamba Engkau yang mukhlis di antara mereka.” Allah berfirman: “Ini adalah jalan yang lurus, kewajiban Aku-lah (menjaganya). Sesungguhnya hamba-hamba-Ku tidak ada kekuasaan bagimu terhadap mereka, kecuali orang-orang yang mengikut kamu, yaitu orang-orang yang sesat.” (QS. Al-Hijr [15]:42)

“Sesungguhnya hamba-hamba-Ku, kamu tidak dapat berkuasa atas mereka. Dan cukuplah Tuhan-mu sebagai Penjaga.” (QS. Al-Isra’ [17]:65)

“Sesungguhnya syaitan itu tidak ada kekuasaannya atas orang-orang yang beriman dan bertawakkal kepada Tuhannya.” (QS. An-Nahl [16]:99)

Secara pasti kami nyatakan bahwa nabi adalah orang yang imannya paling tinggi di antara hamba-hamba lainnya, begitu pula tingkat tawakalnya. Jika kita meyakini kebenaran riwayat pembelahan dada di atas, berarti keyakinan kita bertentangan dengan ayat-ayat yang telah disebutkan tadi.

Peristiwa yang diada-ada itu bukanlah mukjizat nabi. Bagaimana mungkin suatu mukjizat juga terjadi untuk seorang musyrik seperti Umayyah bin Abi Shilat? Itu pun tidak hanya sekali dua kali, namun empat kali. Umayyah bin Abi Shilat adalah penyair Arab, yang menurut para ahli sejarah ia sama sekali tidak memeluk Islam dan hidup hingga tahun ke-9 Hijriah. Ia adalah orang yang membacakan puisi-puisi kebanggaan untuk orang-orang kafir yang mati di medan perang melawan Muslimin.[6] Ia tahu bahwa di Hijaz akan ada seorang nabi. Ia berharap nabi itu adalah dirinya.

Namun ternyata bukan, dan ia sangat hasud terhadap Rasulullah saw. Oleh karena itu Allah menurunkan ayat ini:  
 “Dan bacakanlah kepada mereka berita orang yang telah Kami berikan kepadanya ayat-ayat Kami (pengetahuan tentang isi Al Kitab), kemudian dia melepaskan diri dari pada ayat-ayat itu, lalu dia diikuti oleh syaitan (sampai dia tergoda), maka jadilah dia termasuk orang-orang yang sesat.” (QS. Al-A’raf [7]: 175)

Kenyataannya
Sepertinya riwayat tentang kisah palsu pembelahan dada nabi terilhami dongeng kuno jaman jahiliah yang sama sekali tidak ada kenyataannya. Dalam kitab Al-Aghani Al-Isfahani,[7] dongeng-dongeng serupa juga dijelaskan berkenaan dengan Umayyah bin Abi Shilat yang ringkasnya demikian: Umayyah saat itu sedang tidur lalu datang dua ekor burung. Satu ekor hinggap di atas kepalanya, dan satunya lagi masuk ke rumah lalu kembali kemudian membelah dadanya, dan mengeluarkan jantungnya, kemudian mengembalikannya lagi. Burung kedua bertanya kepada burung pertama: “Apakah ia faham?” Dijawabnya, “Ya.” Lalu bertanya lagi, “Apakah sudah bersih?” Dijawab, “Ia menolak.”

Menurut riwayat yang lain, Umayyah pergi ke rumah saudarinya lalu tidur di pojok rumah. Perawi berkata: “Atap rumah itu terbelah lalu datang dua ekor burung. Salah satunya hinggap di dadanya dan satunya tetap berada di atas. Burung yang hinggap di dadanya membelah dada Umayyah lalu mengeluarkan jantungnya. Burung kedua bertanya, “Apakah ia tahu?” Ia menjawab, “Ya, ia tahu.” Lalu ditanya, “Apakah ia menerima?” Dijawabnya, “Ia menolak.”” Berdasarkan riwayat tersebut, peristiwa itu berulang sampai empat kali.

Mungkin tujuan diceritakannya kisah bohong itu untuk mengagungkan derajat penyair Arab tersebut. Supaya mereka dapat berkata: “Syair-syair tinggi Umayyah dikarenakan banyaknya peristiwa-peristiwa menakjubkan yang terjadi padanya.” Akhirnya hal yang sama mereka lakukan untuk nabi Muhammad saw. Yang kemudian mulut ke mulut cerita tersebut sampai ke semua orang, kemudian di masa penulisan hadits kisah fiksi tersebut dianggap sebagai mukjizat nabi.

Referensi untuk mengkaji lebih jauh:
1. Ash-Shahih Min Sirat An-Nabi Al-A’dzam, Sayid Ja’far Murtadha Amili, jil. 2.
2. Tarikh e Tahqiqi e Islam, Yusefi Gharawi, jil. 1.
3. Pajohesh va Tahqiq e Nouw Dar Sire e Nabi A’dzam, sekumpulan penulis, di bawah pengawasan Husain Ibrahimi, penerbit Nur Tsaqalain.

Hadits akhir:
Rasulullah saw bersabda: “Janganlah memuji diri sendiri. Aku adalah tuannya anak-anak Adam as.”[8]


Rujukan:
[1] Qusyairi Neisyaburi, Muslim bin Hujjaj, Shahih Muslim, jil. 1, hal. 147-148.
[2] Ibnu Hisyam, Sirah Nabawiah, tahkik: Mustafha Saqa’, Ibrahim Alabyari, Abdul Hafiz Syalbi, jil. 1, hal. 177.
[3] Biharul Anwar, jil. 16, hal. 140.
[4] Sirah Ibnu Hisyam, jil. 1, hal. 177.
[5] Ibid; Tarikh Thabari, jil. 1, hal. 575.
[6] Abul Faraj Isfahani, Al-Aghani, jil. 4, hal. 120-133; Ahmad bin Ali bin Hajar Al-Asqalani, Al-Ishabah fi Tamyiiz Al-Shahabah, Tahkik: Syaikh Adil Ahmad Abdul Maujud dan Syaikh Ali Muhammad Muawidh, jil. 1, hal. 384-387.
[7] Abul Faraj Isfahani, Al-Aghani, jil. 4, hal. 120-133.
[8] Biharul Anwar, jil. 8, hal. 48.
Share this post :

Post a Comment

mohon gunakan email

Terkait Berita: