Daftar Isi Nusantara Angkasa News Global

Advertising

Lyngsat Network Intelsat Asia Sat Satbeams

Meluruskan Doa Berbuka Puasa ‘Paling Sahih’

Doa buka puasa apa yang biasanya Anda baca? Jika jawabannya Allâhumma laka shumtu, maka itu sama seperti yang kebanyakan masyarakat baca...

Pesan Rahbar

Showing posts with label Adz Dzahabi*. Show all posts
Showing posts with label Adz Dzahabi*. Show all posts

Musuh Islam sebenarnya saat ini bukan hanya Yahudi, Nasrani, Komunis tetapi juga sesame muslim sendiri. Kebanyakan dari golongan muslim yang menghancurkan Islam, mereka tidak menyadari bahwa tindakannya hanya akan menghancurkan Islam itu sendiri. Berkumpul bersama mereka, berdiskusi, atau bahkan hanya melihat mereka, dapat membawa kegelapan dihati kita.. Berdebat dengan salafi nashibi

Salafi Wahabi pelanjut misi sesat kaum Nawashib!


Tidak ada kebencian terhadap keluarga suci Nabi Muhammad saw. yang ditampakkan kelompok yang mengaku Muslim melebihi kebencian kaum Nawâshib, baik al Bakriyyah al Utsmaniyyah maupun kaum Khawârij. Sejarah mencatat bahwa tidak sedikit dari mereka yang menyelinap di tengah-tengah umat Islam dengan menyembunyikan identitas mereka sesungguhnya, namun demikian kebusukan akidah dan jiwa mereka sulit mereka sembunyikan, sebab sepandai-pandai seorang menyembunyikan bangkai pasti suatu saat, cepat atau lambat akan tercium juga baunya! Kebusukan mental dan jiwa mereka akan tercium melalui kata-kata yang terlontar atau sikap sinis yang tampak dari mereka.
————————————————————
Kebencian kepada Imam Ali as. adalah bukti kuat kemunafikan.
Dalam banyak hadis, Nabi menyabdakan:
Imam Muslim dan lainnya meriwayatkan dari Zirr ibn Hubaisy, ia berkata, “Aku mendengar Ali as. bersabda:

وَ الذِي فَلَقَ الْحَبَّةَ و بَرَأَ النَّسَمَةَ إنَّهُ لَعَهْدُ النَّبِيِّ الأُمِّيْ أَنَّهُ : لاَ يُحِبُّنِيْ إلاَّ مُؤْمِنٌ ولاَ يُبْغِضُنِيْ إلا مُنافِقُ.

“Demi Dzat Yang membelah biji-bijian dan menciptakan makhluk bernyawa, ini adalah ketetapan Nabi yang Ummi kepadaku bahwa tiada mencintaiku kecuali mukmin dan tiada membenciku kecuali munafik.”[1]

Allah SWT akan membongkar kedok kemunafikan mereka melalui apa yang terlontar dari mulut-mulut mereka yang mencerminkan kebusukan hati mereka. Allah berfirman:

أَمْ حَسِبَ الَّذينَ في قُلُوبِهِمْ مَرَضٌ أَنْ لَنْ يُخْرِجَ اللَّهُ أَضْغانَهُمْ * وَ لَوْ نَشاءُ لَأَرَيْناكَهُمْ فَلَعَرَفْتَهُمْ بِسيماهُمْ وَ لَتَعْرِفَنَّهُمْ في لَحْنِ الْقَوْلِ وَ اللَّهُ يَعْلَمُ أَعْمالَكُمْ.

“Atau apakah orang-orang yang ada penyakit dalam hatinya mengira bahwa Allah tidak akan menampakkan kedengkian mereka.* Dan kalau Kami menghendaki, niscaya Kami tunjukkan mereka kepadamu sehingga kamu benar-benar dapat mengenal mereka dengan tanda-tandanya. Dan kamu benar-benar akan mengenal mereka dari kiasan-kiasan perkataan mereka dan Allah mengetahui perbuatan-perbuatan kamu.” (QS. Muhammad [47]:29-30).

Imam Jalaluddin as Suyuthi meriwayatkan dalam tafsir ad Durr al Mantsûr-nya [2] ketika menafsirkan ayat di atas beberapa hadis di antaranya:
Ibnu ‘Asâkir dan Ibnu Murdawaih meriwayatkan dari sahabat Abu Sa’id al Khudri ra. ia berkata tentang ayat:

وَ لَتَعْرِفَنَّهُمْ في لَحْنِ الْقَوْلِ

“Dan kamu benar-benar akan mengenal mereka dari kiasan-kiasan perkataan mereka”
Ia berkata: “Dengan kebenciannya kepada Ali ibn Abi Thalib.”
Dan kaum munafik adalah penghuni tetap neraka Jahannam.
Allah berfirman:

إِنَّ الْمُنافِقينَ فِي الدَّرْكِ الْأَسْفَلِ مِنَ النَّارِ وَ لَنْ تَجِدَ لَهُمْ نَصيراً إِلاَّ الَّذينَ تابُوا وَ أَصْلَحُوا وَ اعْتَصَمُوا بِاللَّهِ وَ أَخْلَصُوا دينَهُمْ لِلَّهِ فَأُولئِكَ مَعَ الْمُؤْمِنينَ وَ سَوْفَ يُؤْتِ اللَّهُ الْمُؤْمِنينَ أَجْراً عَظيماً.

“Sesungguhnya orang-orang munafik itu (ditempatkan) pada tingkatan yang paling bawah dari neraka. Dan kamu sekali-kali tidak akan mendapat seorang penolong pun bagi mereka.* Kecuali orang-orang yang tobat dan mengadakan perbaikan dan berpegang teguh pada (agama) Allah dan tulus ikhlas (mengerjakan) agama mereka karena Allah. Maka mereka itu adalah bersama-sama orang yang beriman dan kelak Allah akan memberikan kepada orang-orang yang beriman pahala yang besar.” (QS. An Nisâ’[4]:145-146).

Ulama Islam Telah Membongkar Kemunafikan Kaum Nawâshib!

Para ulama Islam, baik Sunni maupun Syi’ah telah membongkar kedok kemunafikan dan penyimpangan kaum Nawâshib. Mereka bukan Sunni apalagi Syi’ah! Ulama Sunni sendiri menolak jika mereka digolongkan sebagai Ahlusunnah! Lebih dari itu, mereka adalah kelompok terkecam!

Beberapa abad silam ajaran menyimpang dan kesesatan kaum Nawâshib mulai dihidupkan dan disebar-luaskan kembali oleh Ibnu Taimiyah dan murid-murid setiapnya seperti Ibnu Qayyim, adz Dzahabi dkk. Dan kini tonggak obor estafet itu direbut oleh kaum Salafiyah Wahabiyah.

Dengan semangat berkobar-kobar mereka bangkit menghidupkan kembali dan menyebar-luaskan kesesatan kaum Nawâshib dengan berkedok ajaran sesat mereka adalah ajaran Ahlusunnah wa al Jama’ah. Aktifitas mereka juga tertuju kepada pendha’ifan dan menvonis maudhû’/ palsu hadis-hadis keutamaan Imam Ali dan Ahlulbait Nabi saw. dengan berbagai alasan yang mengada-ngada. Di samping yang tidak mereka lewatkan adalah membela mati-matian musuh-musuh Imam Ali dan Ahlulbait as., seperti Mu’awiyah. Yazid, Amr ibn al ‘Âsh dkk.

Seperti telah kami singgung bahwa di antara cara licik dan licin mereka adalah mempoles pandangan sesat kaum Nawâshib sebagai yang mewakili pandangan Sunni. Dalam rangka ini mereka tidak segan-segan memalsu atas nama tokoh-tokoh Salaf!

Blog Nawâshib: haulasyiah menurunkan artikel berjudul: ( ISYARAT RASULULLAH ABU BAKAR SEBAGAI KHALIFAH, bantahan syubuhat syi’ah ke 5 ) untuk menghidupkan kembali kesesatan pandangan kaum Nawâshib yang telah setangan terkubur itu. Di dalamnya oleh Ustadz Muh. Umar as Sewed berkata:
“Para ulama telah berbeda pendapat tentang bagaimana pengangkatan Abu Bakar ash-Shidiq sebagai khalifah. Apakah pengangkatan tersebut ditentukan dengan nash secara langsung dari Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam atau dilakukan dengan musyawarah antara kaum muslimin. Sebagian ulama berpendapat bahwa pengangkatan beliau sebagai khalifah ada lah hasil dari musyawarah dari kaum muslimin ketika itu.
Sedangkan Hasan al-Bashri dan sebagian para ulama dari kalangan ahlul hadits berpendapat bahwa terpilihnya Abu Bakar sebagai khalifah adalah dengan nash yang samar dan isyarat dari rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam”. (Lihat Syarh Aqidah ath-Thahawiyah, hal. 471).

Ibnu Jakfari berkata:
Apa yang ia katakan itu tidak berdasar dan hanya kaum Nawashib lah yang meyakini keyakinan seperti itu. Umat Islam selain Nawâshib hanya meyakini salah satu dari dua opsi dalam masalah kekhilifahan sepeninggal Nabi Muhammad saw:
* Nabi telah menunjuk Imam Ali as. sebagai Imam dan Khalifah sepeninggal beliau secara langsung dengan penunjukan terang dan tegas! (Baca: http://www.facebook.com/profile.php?id=1155794121&v=app_2347471856&ref=profile#!/note.php?note_id=412397671140)

* Nabi saw, tidak menunjuk siapa-siapa. Abu Bakar dipilih oleh kaum Muslim saat itu berdasarkan musyawarah/baiat. Tidak ada penunjukan atasnya sama sekali.

Yang meyakini adanya menunjukan hanya kaum Nawâshib. Mereka tidak segan-segan memalsu banyak hadis atas nama Nabi Muhammad saw. untuk menandingi hadis-hadis keutamaan dan penujukan Imam Ali as., yang kemudian hadis-hadis palsu itu mereka sebar-luaskan di tengah-tangah umat Islam!

Ahlusunnah Sepakat Tidak Ada Nash Penujukan Atas Abu Bakar!

Hal mendasar yang akan membubarkan angan-angan kaum Nawâshib, seperti pendiri sekte sempalan Wahhabiyah dan para mukallidnya dalam hal ini adalah: bahwa termasuk hal yang telah disepakati para pembesar ulama Ahlusunnah adalah bahwa Nabi saw. tidak pernah menujuk siapa Khalifah sepeninggal beliau saw.

Ada sebuah stitmen penting dan mendasar yang disampaikan Umar –selaku Khalifah kedua- ketika ia diminta para sahabat untuk menunjuk seorang Khalifah yang akan mengantikan posisinya setalah mati nanti, maka ia berkata, ”Jika aku tidak menunjuk seorang pengganti maka ketahuilah bahwa Rasulullah juga tidak menunjuk seorang pengganti dan jika aku menunjuk maka Abu Bakar telah menunjuk.” [3]

Dan di saat-saat terakhir menjelang kematiannya, ketika ada yang mengatakan kepadanya, “Jangan Anda biarkan umat Muhammad tanpa pengembala, tunjuklah seorang pemimpin!” Umar ibn al Khaththâb menjawab, “Jika aku membiarkan maka ketahuilah bahwa orang yang lebih baik dariku (Rasulullah saw. maksudnya) telah membiarkan dan jika aku menunjuk seorang pengganti maka sesungguhnya seorang yang juga lebih baik dariku (Abu Bakar maksudnya) telah menunjuk.” [4]

Selain bukti di atas, Anda dapat menemukan bagaimana Abu Bakar -selaku Khalifah pertama- juga berandai-andai jika ia dahulu bertanya kepada Rasulullah saw. siapa yang berhak atas jabatan kekhalifahan ini dan apakah kaum Anshar memiliki hak untuk menjabat atau tidak? Abu Bakar berkata, “Saya ingin andai dahulu aku bertanya kepada Rasulullah untuk siapa perkara (khilafah) ini sehingga ia tidak direbut oleh seorang pun yang bukan ahlinya? Aku ingin andai aku bertanya, apakah orang-orang Anshar mempunyai hak dalam perkara ini?” [5]

Al hasil, banyak sekali bukti akan hal itu, akan tetapi jika Anda hanya mau patuh dan mendengar ucapan ulama, maka kami akan sebutkan pernyataan tegas seorang tokoh tersohor Ahlusunnah di bawah ini.
Ketika berusaha menegakkan bukti keabsahan Khilafah Abu Bakar, Imam al Qusyji mewakili pandangan Ahlusunnah mengatakan demikian, Al Maqshad Keempat tentang Imam (Khalifah) yang haq sepeninggal Rasulullah saw.. menurut kami (Ahlusunnah) adalah Abu Bakar, sedangkan menurut Syi’ah adalah Ali as.
Dalil kami adalah dua:
Pertama: Cara penunjukan seorang Imam (Khalifah) bisa dengan nash (penunjuan langsung) bisa dengan ijmâ’. Adapun nash sama sekali tidak ada, seperti akan dijelaskan nanti, sedangankan ijmâ’ tidak terjadi untuk selain Abu Bakar secara aklamasi…. “[6]

Mungkin Ustadz as Sewed kurang mengenal dan tidak akrab dengan buku-buku teologi Ahlusunnah Asy’ariyyah yang ditulis para ulama dan tokoh mereka, sebab bisa jadi sang Ustadz mulia hanya akrab dengan kitab-kitab kaum Nawâshib dan musuh-musuh Ahlusunnah Asy’ariyah seperti Ibnu Taimiyah, Ibnu Qayyim, adz Dzahabi, Ibnu Abdil Wahhab, Abdul Aziz ibn Bâz dan Ibnu Utsaimin CS. yang menggolongkan Asya’ariyah termasuk kelompok sesat!

Hanya Kaum Nawâshib Yang Meyakini Penunjukan Abu Bakar Sebagai Khalifah!
Jika demikian, lalu kelompok manakan yang meyakini keyakinan sesat seperti itu?
Keterangan ulama Ahlusunnah di bawah ini akan menjawabnya. Perhatikan!

Dalam kitab al Mawâqif dan Syarahnya ditegaskan:

الإمام الْحقُّ بعد النبي (ص) أبو بكر، ثبتَتْ إمامتُهُ بالإجماعِ وَ إنْ تَوقَّفَ بعضُهم … و لَم ينُصَّ رسول اللهِ (ص) علَى أحَدٍ خِلافًا لِلْبَكْرِيَّةِ، فَإنهم زَعَمُوا النصَّ على أبِي بكر…. إِمَّا نَصًّا جَلِيًّا و إما نَصًّا خَفِيًّا، و الْحقُّ عِنْدَ الْجُمهور نَفْيُهُما

“Imam (Khalifah) yang benar/haq sepeninggal Nabi saw. adalah Abu Bakar. Keimamahannya telah tetap dengan dasar ijmâ’, walaupun ada sebagian orang sahabat menahan diri tentangnya (tidak mengakuinya) [7]

… Rasulullah saw. tidak menunjuk seorang pun, berbeda dengan kaum al Bakriyah, mereka mengaku adanya nash (penunjukan) atas Abu Bakar…. Baik nash terang maupun nash samar. Dan yang benar adalah pendapat Jumhur yaitu tidak adanya nash dari dua bentuk tersebut!“.[8]

Pernyataaan serupa juga ditegaskan oleh al Munnâwi dalam Faidhul Qadîr -nya.[9]

Maka jelaslah sekarang bahwa kaum Nawâshib (al Bakriyah) lah di balik kesesatan pandangan yang ditegakkan di atas hadis-hadis palsu itu.

Jika demikian, dari hidangan siapakah as Sewed dan kaum Nawâshib modern menelan fitnah tersebut?
Bukti di bawh ini akan memperjelas bahwa tidak lain mereka menelan fitnah ini dari gembong kaun Nawâshib abad pertengahan yang kini selalu menjadi andalan dan rujukan utama mereka… Dia tidak lain adalah Ibnu Taimyah, hamba sesat lagi menyesatkan seperti ditegaskan para ulama Ahlusunnah!
Ketika Allamah al Hilli (semoga rahmat Allah meliputinya) dalam kitab Minhâj al Karâmah-nya mengatakan bahwa dalam pandangan Ahlusunnah diyakini bahwa Nabi saw. tidak menunjuk siapa-siapa, Ibnu Taimiyah bangkit membantah dengan mengatakan:
“Tidak benar pendapat itu sebagai pendapat seluruh Ahlusunnah. akan tetapi ada beberapa kelompok dari Ahlusunnah yang berpendapat bahwa imamah (khilafah) Abu Bakar telah tetap berdasarkan nash.” [10]

Apa yang dikatakan Ibnu Taimyah di atas jelaslah palsu! Ibnu Tamiyah jelas-jelas memalsu keterangan adanya kelompok-kelompok di dalam tubuh Ahlusunnah yang menyakini adanya nash penunjukan atas Abu Bakar! Sebab Ahlusunnah sepakat tidak adanya nash penunjukan atas Abu Bakar!

Dan dengan demikian terbongkarlah sudah kedok sok Sunni yang sedang dilakonkan kaum Nawâshib seperti as Sewed Sc… sebab terbukti sekarang bahwa sumber rujukan pemalsuan data tersebut adalah Ibnu Taimiyah; seorang yang telah dikecam bahkan divonis sesat dan munafik oleh banyak ulama Sunni.

Tentang Ibnu Tamiyah; Imam kaum Salafiyah Nawâshib yang satu ini, al Hâfidz Ibnu Hajar al Asqallâni berkata:

ومنهم من ينسبه الى الزندقة، لقوله ان النبي لا يستغاث به، وان في ذلك تنقيصا و منعا من تعظيم النبي، ومنهم من ينسبه الى النفاق لقوله في علي ما تقدم، ولقوله انه كان مخذولا حيثما توجه، وانه حاول الخلافة مرار فلم يحصلها، انما قتاله للرئاسة لا للديانة.

“Dan di antara ulama Islam ada yang menisbatkannya (Ibnu Taimiyah) kepada kakafiran karena ucapannya bahwa Nabi tidak layak diistighatsai. Ucapan itu adalah penghinaan dan larangan untuk mangagungkan Nabi. Dan di antara ulama ada yang menisbatkannya kepada kemunafikan karena ucapannya yang lalu dan ucapannya bahwa Ali selalu dihinakan Allah kemanapun ia menuju. Dan ia (Ali) terus-menerus merusaha merebut Khilafah tetapi tidak pernah berhasil. Ali berperang hanya untuk merebut kekuasaan bukan untuk menegakkkan agama.”

Dengan demikian, akan lebih jujur jika kaum Salafiyah Nawâshib tidak berbicara mengatas-namakan Ahlusunnah wa Al Jama’ah, sebab mereka bukan Ahlusunnah! Mereka adalah Nawâshib!

Jika Benar Demikian Berarti Hasan Bashri Bukan Sunni Dia Nâshibi!

Seperti telah disinggung bahwa kaum Nawâshib tak segan-segan memalsu atas nama tokoh-tokoh penting generasi pendahulu untuk menipu kaum awam bahwa kesesatan mereka sebenarnya berlebel “Salafi” yang diambil dari pandangan kaum Salaf Shaleh!

Dalam kasus ini nama Hasan al Bashri; seorang tokoh ternama generasi tabi’în mereka bawa-bawa!
Jika benar apa yang mereka sebutkan, pastilah Hasan al Bashri bukan seorang Sunni atau yang boleh dan layak ditokohkan oleh Ahlusunnah, sebab dengan pandangannya itu ia tergolong al Bakriyah! Apakah itu yang hendak disimpulkan oleh kaum Nawâshib?

Penutup:
Untuk sementara kami cukupkan tanggapan kami atas ustadz as Sewed, semoga dalam kesempatan lain kami kembali membuktikan penyimpangan dan kesalahan kaum Nawâshib; musuh-musuh Ahlulbait as. dan Syi’ah setia mereka. Amin..

Wa Shallallahu ‘Alâ Sayyidina Muhammad Wa Âlihi ath Thâhirîn.
_____________________________________________________________________
[1] Hadis telah diriwayatkan oleh:
1) Imam Muslim dalam Shahihnya
2) An Nasa’i dalam Sunannya dengan dua jalur dan dalam Khashâishnya dengan tiga jalur: hadis 95,96 dan 97, yang semuanya sahih berdasarkan komentar Abu Ishaq al Hawaini (korektor kitab Khashâish), terbitan Saudi Arabia.
3) At Turmudzi dalam Sunannya, Manâqibu Ali, bab 95 (Tuhfatu al Ahwadzi,10/239-230) dan ia berkata: “Hadis ini hasan sahih.”
4) Ibnu Mâjah dalam Shahihnya, bab Fadhlu Ali ibn Abi Thalib ra.,1/42, hadis114. Ia hadis pertama dalam bab itu.
5) Ibnu Abi ‘Âshim dalam kitab Sunnahnya,2/598.
6) Abu Nu’aim dalam Hilyatu al Awliyâ’, 4/185 dari tiga jalur dari Adiy ibn Tsâbit dari Zirr, kemudian ia berkata, “Hadis ini muttafaqun ‘alaih (disepakati kesahihannya)”. Setelahnya ia menyebutkan banyak ulama yang meriwayatkan dari Adiy.
7) Al Muttaqi al Hindi dalam Kanz al ‘Umâlnya, 6/394 dan ia berkata, “Hadis ini telah dikeluarkan oleh Al Humaidi, Ibnu Abi Syaibah, Ahmad ibn Hanbal, Al Adani, At Turmudzi, An Nasa’i, Ibnu Mâjah, Ibnu Hibbân, Abu Nu’aim dan Ibnu Abi ‘Âshim.
[2] Ad Durr al Mantsûr,6/54.
[3] Baca Shahih Bukhari,9/100, pada Kitabu al Ahkâm, Bab al Istikhlâf dan Shahih Muslim, 3/1454 bab al Istikhlâf wa tarkihi, Hilyah al Auliyâ’,1\44, as Sunan al Kubrâ, 8\149 dll.
[4] Murûj adz Dzahab; as Mas’udi,:2\253. Dâr al Fikr.
[5] Tarikh ath Thabari:4\53dan al Iqd al Farîd,2\254.
[6] Al Mawâqif Fi Ilmi al Kalâm; Qadhi ‘Adhududdîn Abdurahman ibn Ahmad al Îji:400. cet. ‘Alamul Kotob, Bairut.
[7] Seperti Sa’ad ibn Ubadah –seorang tokoh sentral kaun Anshar dan putra-putranya yang hingga wafat secara mesterius ia tetap menolak mengakui kekhalifahan Abu Bakar. Demikian juga dengan Siti Fatimah –putri kesayangan Nabi saw. dn istri Imam Ali as. hingga beliau wafat tetap menolak mengakui keabsahan kekhalifahan Abu Bakar! Sebagian kaum Nâwashib tidak segan-segan menyerang dan menghujat serta menuduh Sa’ad sebagai rajulun sû’ (seorang yang busuk) lagi munafik. Sedang tentang Siti Faitmah as. saya tidak mengetahui hingga saat ini bagaimana sikap kaum Salafiyah Nawâshib terhadap beliau as.? Apakah mereka juga menvonisnya mati jahiliah sebab tidak mengakui kekhalifahan Abu Bakar? Atau mereka akan mengada-ngada kepalsuan dengan mengatakan bahwa Fatimah adalah orang wanita pertama yang membaiat dan mengakui serta merestui kekhalifahan Abu Bakar!!
[8] Syarah al Mawâqif,8/354.
[9] Faidhul Qadîr,2/56, ketika menerangkan hadis nomer:1318-1310. terbitan Dâr al Ma’rifah. Bairut-Lebanon.
[10] Minhâj as Sunnah; mIbnu Taimyah,1/487.


Musuh Islam sebenarnya saat ini bukan hanya Yahudi, Nasrani, Komunis tetapi juga sesame muslim sendiri. Kebanyakan dari golongan muslim yang menghancurkan Islam, mereka tidak menyadari bahwa tindakannya hanya akan menghancurkan Islam itu sendiri. Berkumpul bersama mereka, berdiskusi, atau bahkan hanya melihat mereka, dapat membawa kegelapan dihati kita. Berdebat dengan mereka adalah tindakan yang terburuk.

Dibalik perhatian mereka yang baik terhadap ibadah mereka, dan hanya Allah swt dan nabi saw yang mengetahuinya, mereka tak dapat menolong diri mereka sendiri untuk menjadi korban dari ibadahnya sendiri. Muslim yang tumbuh dalam lingkungan islam dan semenjak kecil dalam didikan sekolah Islam hingga ketingak universitas, kurikulum agama islam yang mereka pelajari berdasarkan akidah yang akan menghancurkan Islam itu sendiri.

Media massa, televisi, radio , surat kabar, walaupun merupakan program yang sangat relijius, juga artikel mereka di surat kabar merupakan hal yang sangat mendistorsikan pemahaman keislaman. Dan hal ini tak dapat mengangkat citra islam bahkan membuat perpecahan dikalangan umat Islam sendiri. Tetapi mereka masih mengatakan hal itu sesuatu yang islami.

Jangan harapkan mereka, kecuali keburukan saja dari golongan seperti ini. Allah swt telah menuliskan bimbingan dan epetance, bahwa hanya dengan rasa memiliki kepada nabi saw melalui barakah Awliya, mereka dapat menghitung kehidupannya dan melalui pandangan ampunan dan meletakan mereka dibawah sayap intercession.

Dalam pandangan saya, saya hanya melihat satu cara bagaimana menghadapi mereka di Amerika dan didunia barat, dan hal itu adalah dengan cara menjauh dari mereka dan mengingatkan masyarakat tentang mereka. Seorang Syaikh yang saya ketahui mengatakan kepada para murid-muridnya untuk menjauhi mereka, mereka adalah musuh sesungguhnya bagi Islam, dan berbicara dengan mereka akan membawa kegelapan pada hati, bahkan pada seluruh sisa umur kehidupan mereka. Dan butuh waktu seratus tahun untuk membersihkan racun dari hati akibat racun dari ibadah mereka.

Bagaimana cara mengenali mereka?
Disini ada beberapa elemen dasar ciri-ciri mereka sehingga kita dapat menghindari mereka dalam kehidupan didunia maupun diakherat nanti. Insya Allah. Satu-satunya harapan untuk Islam di bumi ini adalah…
Salat mereka tidak sesuai dari salah satu daripada umunya mazhab dalam islam. Khususnya ketika mereka mengangkat tangan mereka setelah ruku dan menyilangkan tangan mereka diantara ruku dan sujud.

Cara mereka ketika Tashahhud (ketika duduk tahiyat) dan menggerakan jari telunjuk mereka terus menerus selama tasahud tersebut. Pemahaman mereka terhadap sunah Mustafa, hadist Nabi saw, sangat kontradiksi dengan seluruh mazhab meskipun mereka menggunakan hadist yang sama yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad, Nabi saw menggerakkan telunjuknya ketika tashahud. Beberapa mazhab hanya menggerakkan tangan sekali saja, kecuali mazhab Maliki dalam seluruh tashahud tetapi hanya menggerakkan kekiri dan kekanan tidak keatas dan kebawah. Mereka membuat cara yang baru dengan menggerakn telunjuk kesegala arah yang sangat bertentangan dengan cara-cara yang disebutkan dalam mazhab.

Mereka tidak pernah melakuakan Shalat Israq, 2 rakaat sunah setelah matahari terbit, Bila hal ini masih belum cukup untuk mengenali tanda-tanda mereka dan menghindari berkumpul bersama mereka bahkan menjauh dari mereka, maka ada beberapa cirri-ciri mereka lainnya seperti disebutkan dibawah ini.

Mereka berkata, bahwa sholat mereka hanya mengikuti Qur’an dan sunah saja. Berarti kehidupan Islam yang dibangun muslim selama lebih dari 13 abad, sebelum faham mereka muncul pada tahun 1930 an mereka katakan tidak mengikuti Qur’an dan Sunah. Tetapi mereka juga mengatakan kembali kepada sunah adalah keharusan, jangan dengarkan para Imam mazhab atau ulama islam lainnya, siapapun mereka.

Mayoritas muslim akan berpegangan pada Ulama Besar Islam dijaman awal yang mengatakan, “Jika kalian melihat apa yang saya katakan dan hal itu bertentangan dengan sunah Nabi saw, maka abaikan apa yang saya katakan, dan ikuti sunah saja”. Kata-kata ini menggambarkan betapa rendah hatinya ulama besar jaman awal yang tidak ingin menonjolkan diri, tetapi saat ini mereka menghantam saja. Mereka tidak memperhatikan , bahwa Imam yang mengatakan hal ini juga mengatakan, “Jika Nabi saw meninggalkan ku meski hanya satu malam, saya akan menganggap diriku sebagai hipokrit”. Ini adalah ucapan Abu Hanifa Ibn Numan, mudah-mudahan Allah merahmatinya.

Mereka juga berkata,”Mereka adalah manusia biasa dan kita juga manusia”. Kita tahu saat ini yang mereka tak tahu. Yang paling moderat diantara mereka adalah mereka yang tidak berbicara negative mengenai para Imam mazhab, meskipun demikian mereka tetap tidak mengikuti kebiasaan Imam para Madzhab tsb. Mereka mengikuti cara mereka sendiri berdasarkan buku terkenal Sifat Salat Nabi saw, oleh Nasrudin al Albani, Albani bahkan tidak pernah bisa membuktikan bahwa ia telah mendapat Ijazah untuk mengajar dari gurunya.

Satu dari argument terburuk mereka, adalah bertanya mengenai dalil dari Al-Quran dan Sunah yang menjadi pedoman para Ulama Besar tadi. Mereka tidak mengerti bahwa Al-Quran dan Sunah adalah pilar yang mana antara lainnya terbukti termasuk juga Qiyas, Ijma. Dan juga yang tak kalah pentingnya adalah Maaruf, atau berdasarkan pendapat orang yang memiliki moral yang baik dan setuju bahwa amalan tersebut adalah baik.

Jika kalian bertanya kepada mereka mengenai kebiasaan muslim di seluruh dunia memperingati hari kelahiran atau Maulid Nabi, maka mereka akan mengatakan Bid’ah.

Masjid-masjid mereka hanya memiliki dinding yang putih saja, padahal rumah dan kantor mereka penuh hiasan kaligrafi. Tak perlu bertanya kepada mereka mengapa demikian, karena mereka tak akan menjawabnya. Mereka mungkin saja sangat dermawan dan kaya, tetapi berhati-hatilah apa yang mereka katakan dibelakang kalian jika kalian mengatakan bahwa kalian adalah murid dari Syaikh ini. Itu adalah salah satu dosa terbesar dalam pandangan mereka jika kalian memiliki Syaikh.

Mereka mungkin memaafkan kalian jika kalian tak tahu ilmu agama, tetapi mereka tak akan memaafkan kalian jika kalian mempelajari agama melalui seorang Mursyid. Mereka lebih memilih belajar melalui buku, video tape atau melalui universitas mereka.

Poin terakhir dalam bagian ini adalah interpretasi literal mereka dalam sebuah hadis Nabi saw seperti, “Apa yang terdapat di bawah engkel adalah neraka!. Disisi lain mereka cenderung untuk mencari interpretasi sendiri, tetapi paling obvious dari hadist kewalian”, “Aku akan menjadi mata baginya bagi apa yang dilihatnya, menjadi pendengarannya ketika ia mendengar, menjadi tangannya untuk memegang, dan menjadi kakinya dimana ia melangkah”. Pernah saya katakan hadist ini kepada seorang teman di perpustakaan Islamic Center dan satu dari mereka yang duduk disebelahku berkata, “Ini adalah Hululiya!”. Saya tak dapat menahan berkata, “Jika Nabi saw berkata ini adalah hululiya maka saya hululiya.”


Ayatullah Ali Khamenei berkisah: Saya bersama Hashemi Rafsanjani dan seorang lainnya bergerak dari Tehran menuju kota Qom untuk menghadap Imam Khomeini guna menanyakan perihal apa yang harus kita perbuat terhadap para mata-mata yang ditangkap dari kedutaan besar Amerika Serikat. Apakah mereka tetap kita tahan atau kita bebaskan saja. Apalagi pemerintahan sementara saat itu terus menyebarkan pernyataan-pernyataan miring terkait para tahanan tersebut.

Ketika kami sampai di Qom dan menghadap Imam Khomeini, teman-teman menjelaskan keadaan yang sebenarnya dan menambahkan bahwa sejumlah media memberikan tanggapan yang beragam, dan Amerika Serikat juga tak ketinggalan melakukan propaganda, begitu juga pejabat pemerintah memberikan pernyataan yang lain. Setelah berpikir sejenak, Imam Khomeini kemudian bertanya, “Apakah kalian takut kepada Amerika?” Kami menjawab, “Tidak.” Imam melanjutkan dengan mengatakan bahwa tahan saja mata-mata tersebut.

Begitulah, orang akan melihat betapa Imam Khomeini tidak dibuat gentar oleh kedigdayaan lahir dan imperium yang memiliki segalanya. Keberanian dan ketidakgentaran menghadapi kekuatan materi pada diri beliau bersumber dari kepribadian besar dan kearifan beliau. Keberanian yang penuh perhitungan berbeda dengan keberanian yang membabi buta. Contohnya, seorang anak kecil tidak takut pada orang yang kuat dan juga tidak takut terhadap hewan buas. Orang yang kuat juga tidak mengenal rasa takut. Hanya saja manusia terkadang melakukan kesalahan dan tidak menyadari kekuatan yang sebenarnya.

Dibelahnya Dada Rasulullah saw: Fakta atau Fiksi? Apa benar dada Rasulullah saw pernah dibelah? Jika memang benar, apakah hal itu tidak bertentangan dengan kemaksuman beliau?


Apa benar dada Rasulullah saw pernah dibelah? Jika memang benar, apakah hal itu tidak bertentangan dengan kemaksuman beliau?

Cerita tentang dibelahnya dada Rasulullah saw yang sering kita dengar ternyata hanyalah kisah bohong belaka. Dalam pembahasan ini kita akan membuktikan kebohongan riwayat tersebut.

Kisah Dibelahnya Dada Nabi
Anas bin Malik menukil: “Di masa kanak-kanak, pada suatu hari Rasulullah saw bermain-main dengan anak-anak Bani Sa’ad. Jibril mendatanginya, lalu mentengkurapkannya, lalu membelah dadanya. Ia mengambil jantung nabi, lalu membersihkannya dari lumuran darah dan berkata: “Ini adalah bagian setan dari dirimu.” Lalu ia mencuci jantung itu dengan air zamzam kemudian mengembalikannya ke tempat semula. Anak-anak lainnya berlari ke rumah Halimah dan berkata kepadanya bahwa Muhammad telah dibunuh. Mereka juga mengerumuni Muhammad dan melihatnya berwajah pucat. Anas berkata: “Aku melihat bekas belahan itu di dada Rasulullah saw.”[1] Kejadian ini menyebabkan Rasulullah saw dikembalikan ke Madinah ke sisi ibunya.[2]

Riwayat ini disebutkan dalam kebanyakan referensi hadits Ahlu Sunah. Bukannya ada yang mengkritik hadits ini, malahan ada yang berkata bahwa peristiwa tersebut terulang sebanyak lima kali; keempatnya disepakati, dan satu kalinya banyak pendapat berbeda-beda tentangnya. Kali pertamanya di usia ke-3 tahun Rasulullah saw, kali kedua di usia 10 tahun, kali ketiga di saat diutusnya nabi, dan di saat perjalanan Mi’raj.

Referensi riwayat
Sayang sekali riwayat tersebut seringkali disebut dalam buku-buku sejarah. Hal itu membuat citra Rasulullah saw tercoreng di benak dan fikiran para intelektual dan ilmuan dunia lainnya yang membacanya karena jelas tak masuk akal. Riwayat itu pula yang disalah gunakan oleh orang-orang yang berniat buruk terhadap Rasulullah saw dengan mengolok dan menghinanya.

Tentang referensi-referensi riwayat di atas, sebagai contoh, perhatikan beberapa referensi berikut ini:
Shahih Muslim, jil. 1, Kitab Iman, bab 74, hadits 260-263; Shahih Bukhari, jil. 1, Kitab Sholat, bab 242, jil. 2, Kita Anbiya, bab 901 dan…; Sirah Nabawiyah, Ibnu Hisyam, jil. 1; Tarikh Thabari; Muruj Adz-Dzahab Mas’udi.

Kebanyakan penulis menganggap hal itu sebagai mukjizat nabi dan menunjukkan bahwa sejak awal Tuhan telah menjadikan beliau sebagai hamba yang spesial dengan cara demikian. Dengan itu Tuhan telah membersihkan nabi dari dosa dan kesalahan. Sebagaimana sebagian ahli tafsir menganggap bear riwayat tersebut dan menafsirkan ayat-ayat pertama surah Al-Insyirah dengan penafsiran ini. Namun di sisi lain akibat adanya riwayat ini banyak sekali kritikan-kritikan yang tertuju pada keagungan Rasulullah saw. Orang-orang yang memusuhi Islam menjadikan riwayat sedemikian rupa sebagai senjata untuk menjatuhkan Islam. Bagaimana tidak, semua orang yang berakal pasti terheran-heran membaca riwayat tersebut. Allamah Majlisi dalam Biharul Anwar meskipun membenarkan sanad riwayatnya, namun ia terheran-heran dan tidak bisa meyakini kebenaran kandungan riwayat itu.[3]

Sayang sekali riwayat-riwayat ini banyak sekali ditemukan dalam buku-buku sejarah dan tafsir umat Islam yang akhirnya sering dikritik oleh berbagai pihak. Seandainya tidak ada riwayat-riwayat ini, pasti citra Rasulullah saw dan Al-Qur’an akan terjaga. Tidak akan ada buku-buku seperti Ayat-Ayat Setan yang ditulis Salman Rushdi. Andai referensi-referensi terpercaya Islam bersih dari segala hadits-hadits dan riwayat seperti ini.

Bukti tidak benarnya riwayat
Salah satu ketidak benaran riwayat di atas, adalah karena peristiwa tersebut dijadikan alasan mengapa Rasulullah saw dikembalikan kepada ibunya, Aminah. Mereka meriwayatkan bahwa seusai peristiwa itu, suami Halimah berkata kepada istrinya: “Karena peristiwa ini kita harus mengembalikan Muhammad kepada keluarganya.”[4] Padahal dalam sumber-sumber yang terpercaya juga disebutkan bahwa sebab dikembalikannya Rasulullah saw bukanlah peristiwa itu, namun hal lain. Diriwayatkan bahwa pada suatu hari sekelompok orang Kristen datang dari Habasyah dan sangat memperhatikan Muhammad saw secara seksama lalu meminta Halimah untuk memberikan anak itu untuk dibawa ke Habasyah. Halimah khawatir lalu oleh karenanya ia mengembalikan Muhammad saw kepada keluarganya.[5]

Pertentangan dalam waktu dikembalikannya Rasulullah saw
Menurut riwayat dibelahnya dada nabi itu, Rasulullah saw dikembalikan kepada keluarganya saat berusia tiga tahun. Padahal di riwayat-riwayat lainnya disebutkan bahwa nabi Muhammad saw terus bersama Halimah sampai berusia lima tahun. Jika riwayat itu benar, maka bagaimana bisa beliau terus bersama Halimah salpai berusia lima tahun?

Ikhtilaf dalam penukilan riwayat
Di sebagian riwayat disebutkan bahwa malaikat-malaikat itu berjumlah dua orang dengan berpakaian warna putih. Namun di riwayat lainnya disebutkan ada tiga malaikat yang mendatangi beliau. Dalam teks sebagian riwayat dijelaskan bahwa saat itu Rasulullah saw sedang sibuk bersama saudaranya menggembala kambing, lalu malaikat-malikat itu datang. Padahal dalam riwayat lainnya disebutkan saat itu Rasulullah saw sedang bermain dengan teman-teman sebayanya. Sebagian riwayat menjelaskan bahwa jantung nabi dicuci dengan air zamzam, namun di riwayat lainnya disebutkan bahwa dicuci dengan es dan gumpalan salju. Dan masih banyak lagi…

Tidak ada kaitannya badan materi dengan kebaikan dan keburukan
Sebenarnya bagaimana bisa segumpal darah berhubungan langsung dengan kebaikan dan keburukan? Kebaikan dan keburukan, hidayah dan kesucian, semunya berkaitan dengan spiritualitas, bukan badan materi. Seseorang tidak bisa menjadi baik hanya karena dadanya dibelah dan jantungnya dicuci dengan air. Jika hal itu masuk akal, maka seharusnya siapapun bisa dibelah dadanya dan dicuci jantungnya agar menjadi orang baik? Padahal tidak, dan hal itu sama sekali tak masuk akal.

Disebutkan dalam riwayat-riwayat tersebut bahwa peristiwa tersebut terulang sebanyak empat atau lima kali di saat-saat yang berbeda. Aneh sekali, mengapa terkesan seperti oprasi kanker yang tak kunjung sembuh? Sehingga dada beliau harus dibelah berkali-kali. Jika memang dibelahnya dada nabi bertujuan agar setan tidak bisa lagi mengganggu nabi Muhammad saw, maka seharusnya sekali saja cukup dan kali pertama itu ampuh. Lalu mengapa harus diulang? Berarti hal itu tidak manjur dan setan tetap saja bisa menganggu beliau sehingga harus dilakukan berkali-kali?

Bertentangan dengan hikmah Ilahi
lagi pula apakah Tuhan tidak mampu mencapai tujuan-Nya tanpa melakukan pembelahan dada? Pasti Tuhan mampu. Lalu untuk apa Ia harus membelah dada nabi, itu pun di depan mata anak-anak kecil?

Tidak adanya kehendak dan ikhtiar nabi
Jika riwayat itu benar, maka setiap perbuatan baik yang dilakukan oleh nabi bukanlah atas kehendaknya sendiri. Karena nabi tidak bisa melakukan apapun selain kebaikan. Padahal nabi atas kehendaknya sendiri bergegas mensucikan jiwa dan selalu mendekatkan diri kepada Allah swt hingga beliau diangkat menjadi nabi. Jika riwayat itu benar, dan jika nabi tidak berikhtiar dalam kebaikan-kebaikannya, maka apa keistimewaan nabi?

Bertentangan dengan ayat-ayat Al-Qur’an
Allah swt dalam berbagai ayat-Nya menjelaskan bahwa setan tidak kuasa untuk menganggu hamba-hamba Allah swt yang diridhai-Nya. Ia berfirman:  

“Iblis berkata: “Ya Tuhanku, oleh sebab Engkau telah memutuskan bahwa aku sesat, pasti aku akan menjadikan mereka memandang baik (perbuatan ma’siat) di muka bumi, dan pasti aku akan menyesatkan mereka semuanya, kecuali hamba-hamba Engkau yang mukhlis di antara mereka.” Allah berfirman: “Ini adalah jalan yang lurus, kewajiban Aku-lah (menjaganya). Sesungguhnya hamba-hamba-Ku tidak ada kekuasaan bagimu terhadap mereka, kecuali orang-orang yang mengikut kamu, yaitu orang-orang yang sesat.” (QS. Al-Hijr [15]:42)

“Sesungguhnya hamba-hamba-Ku, kamu tidak dapat berkuasa atas mereka. Dan cukuplah Tuhan-mu sebagai Penjaga.” (QS. Al-Isra’ [17]:65)

“Sesungguhnya syaitan itu tidak ada kekuasaannya atas orang-orang yang beriman dan bertawakkal kepada Tuhannya.” (QS. An-Nahl [16]:99)

Secara pasti kami nyatakan bahwa nabi adalah orang yang imannya paling tinggi di antara hamba-hamba lainnya, begitu pula tingkat tawakalnya. Jika kita meyakini kebenaran riwayat pembelahan dada di atas, berarti keyakinan kita bertentangan dengan ayat-ayat yang telah disebutkan tadi.

Peristiwa yang diada-ada itu bukanlah mukjizat nabi. Bagaimana mungkin suatu mukjizat juga terjadi untuk seorang musyrik seperti Umayyah bin Abi Shilat? Itu pun tidak hanya sekali dua kali, namun empat kali. Umayyah bin Abi Shilat adalah penyair Arab, yang menurut para ahli sejarah ia sama sekali tidak memeluk Islam dan hidup hingga tahun ke-9 Hijriah. Ia adalah orang yang membacakan puisi-puisi kebanggaan untuk orang-orang kafir yang mati di medan perang melawan Muslimin.[6] Ia tahu bahwa di Hijaz akan ada seorang nabi. Ia berharap nabi itu adalah dirinya.

Namun ternyata bukan, dan ia sangat hasud terhadap Rasulullah saw. Oleh karena itu Allah menurunkan ayat ini:  
 “Dan bacakanlah kepada mereka berita orang yang telah Kami berikan kepadanya ayat-ayat Kami (pengetahuan tentang isi Al Kitab), kemudian dia melepaskan diri dari pada ayat-ayat itu, lalu dia diikuti oleh syaitan (sampai dia tergoda), maka jadilah dia termasuk orang-orang yang sesat.” (QS. Al-A’raf [7]: 175)

Kenyataannya
Sepertinya riwayat tentang kisah palsu pembelahan dada nabi terilhami dongeng kuno jaman jahiliah yang sama sekali tidak ada kenyataannya. Dalam kitab Al-Aghani Al-Isfahani,[7] dongeng-dongeng serupa juga dijelaskan berkenaan dengan Umayyah bin Abi Shilat yang ringkasnya demikian: Umayyah saat itu sedang tidur lalu datang dua ekor burung. Satu ekor hinggap di atas kepalanya, dan satunya lagi masuk ke rumah lalu kembali kemudian membelah dadanya, dan mengeluarkan jantungnya, kemudian mengembalikannya lagi. Burung kedua bertanya kepada burung pertama: “Apakah ia faham?” Dijawabnya, “Ya.” Lalu bertanya lagi, “Apakah sudah bersih?” Dijawab, “Ia menolak.”

Menurut riwayat yang lain, Umayyah pergi ke rumah saudarinya lalu tidur di pojok rumah. Perawi berkata: “Atap rumah itu terbelah lalu datang dua ekor burung. Salah satunya hinggap di dadanya dan satunya tetap berada di atas. Burung yang hinggap di dadanya membelah dada Umayyah lalu mengeluarkan jantungnya. Burung kedua bertanya, “Apakah ia tahu?” Ia menjawab, “Ya, ia tahu.” Lalu ditanya, “Apakah ia menerima?” Dijawabnya, “Ia menolak.”” Berdasarkan riwayat tersebut, peristiwa itu berulang sampai empat kali.

Mungkin tujuan diceritakannya kisah bohong itu untuk mengagungkan derajat penyair Arab tersebut. Supaya mereka dapat berkata: “Syair-syair tinggi Umayyah dikarenakan banyaknya peristiwa-peristiwa menakjubkan yang terjadi padanya.” Akhirnya hal yang sama mereka lakukan untuk nabi Muhammad saw. Yang kemudian mulut ke mulut cerita tersebut sampai ke semua orang, kemudian di masa penulisan hadits kisah fiksi tersebut dianggap sebagai mukjizat nabi.

Referensi untuk mengkaji lebih jauh:
1. Ash-Shahih Min Sirat An-Nabi Al-A’dzam, Sayid Ja’far Murtadha Amili, jil. 2.
2. Tarikh e Tahqiqi e Islam, Yusefi Gharawi, jil. 1.
3. Pajohesh va Tahqiq e Nouw Dar Sire e Nabi A’dzam, sekumpulan penulis, di bawah pengawasan Husain Ibrahimi, penerbit Nur Tsaqalain.

Hadits akhir:
Rasulullah saw bersabda: “Janganlah memuji diri sendiri. Aku adalah tuannya anak-anak Adam as.”[8]


Rujukan:
[1] Qusyairi Neisyaburi, Muslim bin Hujjaj, Shahih Muslim, jil. 1, hal. 147-148.
[2] Ibnu Hisyam, Sirah Nabawiah, tahkik: Mustafha Saqa’, Ibrahim Alabyari, Abdul Hafiz Syalbi, jil. 1, hal. 177.
[3] Biharul Anwar, jil. 16, hal. 140.
[4] Sirah Ibnu Hisyam, jil. 1, hal. 177.
[5] Ibid; Tarikh Thabari, jil. 1, hal. 575.
[6] Abul Faraj Isfahani, Al-Aghani, jil. 4, hal. 120-133; Ahmad bin Ali bin Hajar Al-Asqalani, Al-Ishabah fi Tamyiiz Al-Shahabah, Tahkik: Syaikh Adil Ahmad Abdul Maujud dan Syaikh Ali Muhammad Muawidh, jil. 1, hal. 384-387.
[7] Abul Faraj Isfahani, Al-Aghani, jil. 4, hal. 120-133.
[8] Biharul Anwar, jil. 8, hal. 48.

Sunni adalah pengikut Bani Umayyah, bukan pengikut Bani Hasyim

Shiite History:Wahabi/Deobandi are the followers of Bani Umayyah not Bani Hashim.

[MUST WATCH] Imam Khomeini Talking about TODAY situation - Persian sub English - ShiaTV.net 

Many scholars of our Sunni brethren claim that the Prophet did not leave a successor. Is this true? watch to find out from their own books.

Imam Ali 1st Khalifa! [Eng] من كان اول خليفة لرسول الله (ص)؟؟


Dinasti Umawi sejak dari pertama kali mereka menyertai Islam, telah banyak kali mempermainkan Islam atau cuba mempermainkannya secara sembunyi-sembunyi. Mereka ingin mengatur Islam mengikut kehendak mereka, dan menjauhkan pengikutnya dari pelindungnya yang sebenar, yakni Ahlulbait(as) Nabi(sawa) yang suci.
“Golongan Umawi telah menipu Nabi serta dakwahnya, kita telah mengetahui,  bagaimana Islamnya pemimpin Umawi yakni Abu Sofyan, dan kita tahu bagaimana tidak tersisa sedikitpun untuk Umawiyin  kedudukan-kedudukan apapun secara aklamasi dalam lingkungan Islam, yang mana kemunculan Islam membawa keberuntungan dan kemenangan bagi pihak Bani Hasyim, dalam naungan Islam, mereka mempersiapkan langkah awal untuk diri mereka sendiri dan mengutamakan kekuasaan, dan mereka telah mendapatkan dalam kekuasaan Yazid bin Abi Sofyan dan Muawiyah setelahnya di Syam. Langkah pertama, mereka dapat menginjakkan kaki-kaki mereka, setelah itu mereka mendapatkan kesempatan untuk bangkit  melakukan kejahatan-kejahatan atau teror.” (Al Imam Husain karangan Abdullah Al Alili  (dari madrasah sahabat) pada hal 31).
Dalam kitab yang sama pada bab Inqilab Umawi atau Atsauroh Hukumah Al Khulafa hal 55.
“Sungguh kebanyakan mereka menjauhkan penisbatan pembrontakan kudeta ini kepada kelompok Umawi, padahal kudeta yg di maksud itu adalah Bani Umayah. akan tetapi kita memiliki nas nas dan yang pasti tidak ada yang sanggup menyanggah atau melawan. sesungguhnya aku menasihati kepada setiap orang yang sibuk dengan sejarah, bahwa pada situasi atau era ini hendaknya mereka mengutamakan diantara pelajaran-pelajaran mereka itu sebuah kitab yang berjudul “ An Niza’ Wattakhosum Fima Baina Bani Umayyah Wa Bani Hasyim (artinya keributan dan perselisihan yang terjadi antara Bani Umayah dan Bani Hasyim )“ karangan Taqiyudin Al Miqrizi yang mana didalamnya Al Miqrizi berkata :
“Tujuan pokok kelompok ini adalah mengumpulkan hukum-hukum yang dibuat oleh Bani Umayyah. Yang kemudian lahirlah ajaran-ajaran Islam  versi Umawi melalui riwayat-riwayat palsu tentang keutamaan-keutamaan Muawiyah bin Abi Sofyan yang mereka terapkan dan menyingkirkan keutaman-keutamaan Ali.
Adapun diantara pokok-pokok penting akidah madrasah Ahlul Bait adalah keyakinan mereka akan kemaksuman Ali dan Ahlul Bait. Sementara madrasah sahabat atau Ahlu Sunnah Wal Jamaah tidak meyakini kemaksuman Ali dan Ahlul Bait.

Adapun yang membezakan antara madrasah para sahabat dan madrasah Bani Umayyah adalah,  Madrasah para sahabat(Ahlulsunnah) meyakini dan mengakui kedudukan tinggi yang dimiliki oleh Ali dan Ahlulbait. Mereka meyakini bahawasanya Ahlulbait memiliki kedudukan, keutamaan dan menganggap kecintaan kepada mereka sebagai iman, dan membenci mereka sebagai kufur. Paling tidak, mereka meyakini samada Ali dan Fatimah atau Ali sahaja.

Berbeda dengan mazhab Bani Umayah yang selalu berusaha menyingkirkan Ali dari semua keutamaan-keutamaan serta kedudukan-kedudukannya.

Apa buktinya, kalau Islam versi Bani Umayyah berusaha menyingkirkan Ali dari semua keutamaan-keutamaannya?

Buktinya adalah mereka mensunahkan membenci Ali, mencacinya, dan berlepas diri darinya diatas mimbar-mimbar mereka. Hal itu diperkuat oleh Ibn Taimiah salah seorang dari para syekh Umawi dengan mengatakan : Sesungguhnya para pejabat Muawiyah mereka adalah para pejabat Usman, dan mereka adalah orang-orang yang membenci Ali.

Di dalam kitab Faidul Qodir Jilid 3 halaman 18 hadis ke 2631, terbitan Dar Fikr, cetakan pertama, tahun 1426 – 1427 H, (karangan Muhammad Abd Rouf lahir th 1545 wafat 1622 M / 952 – 1031 H):
Rasul saw bersabda“sesungguhnya aku tinggalkan pada kalian dua khalifah satu adalah Kitabullah tali yang terbentang antara langit dan bumi,dan yang kedua adalah Itrohku Ahlul Baitku. Sungguh keduanya tidak akan pernah berpisah hingga menjumpaiku di telaga .
Al Manawi mengomentari hadis ini : “ Itrohku Ahlul Baitku mereka adalah Ashabul Qisa, Allah telah menjaga mereka dari dosa dan mensucikan mereka sesuci-sucinya. dan disebut orang-orang yang di haramkan menerima zakat.
dan diperkuat oleh Qurtubi yang mengatakan :
” Wasiat ini dan penguatan agung ini menetapkan akan wajibnya menghormati kelurganya-pen. Ahlul bait-, berbuat baik kepada mereka, menghormati dan mencintai merekaadalah kewajiban yang di fardukan, yang mana tidak ada alasan bagi seseorang menyimpang darinya. hal ini seiring dengan sesuatu yang telah diketahui melalui karakteristik mereka dengan Nabi Saw karena mereka bagian darinya, sebagaimana Nabi Saw bersabda : ” Fatimah bagian dariku “. Pada saat yang sama Bani Umayah menolak kebenaran-kebenaran dengan cara menentang. Mereka menumpahkan darah Ahlul Bait, menawan wanita-wanita dan anak-anak kecil mereka, membakar rumah-rumah mereka, merendahkan kemulian dan keutamaan mereka, serta menganggap sunnah mencaci dan melaknat mereka,  mereka telah menentang Rasul saw dalam wasiatnya dan memutarbalikan maksudnya”.
Apa kata Ibn Taimiyah ? musykilah Bani Umayah adalah perbincangan mereka tentang Ali dan tidak berkata cacimaki mereka pada Ali, kata Ibn Taimiyah dalam kitabnya.

Apa yang telah dilakukan Bani Umayyah kepada Ahlul Bait, yangmana Allah swt telah memerintahkan untuk mencintai mereka.- kami tidak mengatakan taat pada mereka?

Para ulama bersepakat atas wajibnya mencintai Ahlul Bait, menghormati, dan bersolawat kepada mereka. Tidak ada yang berbeda pendapat tentangnya kecuali dia keluar dari Islam. Oleh Karena itu, hendaknya kita tidak mencampuradukkan antara mazhab Bani Umayyah dengan madrasah sahabat atau Ahlus Sunnah Wal Jamaah.

Apakah benar masalah seputar caci maki Bani Umayyah terhadap Ali terdapat dalam kitab-kitab hadis dan kitab-kitab sejarah???

Dalam kitab Tarikh Thabari Jilid 2 halaman 239, terbitan Maktabah At Taufiqiyah (karangan Abu Ja’far At-Thabari, lahir 839 wafat 923 M / 224 – 310 H):
“Sesungguhnya Muawiyah bin Abi Sofyan ketika melantik Mughiroh bin Syu’bah di Kufah pada bulan jumady tahun 41 H, dia memanggilnya. Lalu dia (Muawiyah bin Abi Sofyan) mengucapkan puja puji kepada Allah Swt kemudian berkata :
“Aku ingin mewasiatkan kepadamu mengenai banyak hal, dan aku serahkan karena aku percaya terhadapmu atas sesuatu yang membuat aku rido dan membahagiakan kekuasaanku, dan memperbaiki kepemimpinanku, namun aku tidak mau meninggalkan wasiat padamu mengenai satu hal :”Janganlah kamu berhenti dari mencaci dan menghina Ali, berkasih sayanglah kepada Usman dan memintakan ampunan untuknya, dan celalah para sahabat Ali, serta asingkanlah mereka, dan jangan hiraukan ucapan-ucapan mereka, dengan memuji Syiah Usman ridwanallah alaih, dekatilah, dan dengarkanlah mereka, Mugiroh bin Syu’bah menjawab :” sungguh aku telah melakukannya sebelum aku diperintahkan, dan aku telah mengerjakannya sebelum kamu dan selain kamu”.
Mugiroh bin Syu’bah berkuasa di kufah sebagai pelayan Muawiyah selama 7 tahun beberapa bulan. Dan itu adalah pejalanannya yang terbaik, dan kecintaannya yang sangat terhadap kesejahteraan, hanya saja ia tidak pernah  meninggalkan menghina Ali dan senantiasa melakukannya dan selalu mencela pembunuh Usman, serta melaknat mereka, berdoa untuk Usman dengan rahmat dan ampunan dan mensucikan para sahabatnya…..
Bagaimana riwayat ini dengan hadis yang terdapat dalam Sohih Muslim ketika Muawiyah bin Abi Sofyan menyuruh Sa’ad bin Abi Waqqos untuk mencela Ali??
Mustadrak Al Hakim Jilid 1 halaman 493, terbitan Dar Fikr tahun 1422 H/2002M (karangan Abu Abdillah Al Hakim An-naisabury, lahir 933 – 1015 M/321– 405 H):
Dari Zaid bin ‘Alaqoh dari pamannya : “ Sungguh Mughiroh bin Syu’bah mencaci Ali bin Abi Thalib. Kemudian Zaid bin Arqom berdiri seraya berkata :
“Hai, Mughiroh, tidakkah engkau tahu sesungguhnya Rasul saw telah melarang  mencacimaki orang mati. Kenapa engkau mencaci Ali sementara ia telah meninggal..?
Disini Zaid bin Arqom tidak mengatakan : ”kenapa engkau mencacimaki Ali, padahal dia adalah Nafsunnabi ( diri Nabi ), yang mencintai Allah dan Rasulnya, yang termasuk khalifah ke empat, dan yang……dst, sesungguhnya Zaid bin Arqom tidak mampu melakukan semua itu, karena dia takut terhadap kezaliman Bani Umayah).

Pertanyaannya sekarang adalah kenapa sebagian ulama meragukan kitab Mustadrak Sohihain ?
Dalam Kitab Silsilah Al-Ahadis Sohihah, Jilid 5 halaman 520, terbitan maktabah Ma’arif, cetakan pertama tahun 1422 H/ 2002 M (karangan Muhammad Nasirudin Albani, lahir 1914 wafat 1999 M/ 1332-1420 H) :
Al-Hakim telah mengeluarkan hadis dari Zaid bin ‘Alaqoh, dari pamannya : Sesungguhnya Mugiroh bin Syu’bah telah mencacimaki Ali bin Abi Thalib……. Al-Hakim berkata :” Hadis tersebut Sohih menurut syarat Muslim ” dan Adz dzahabi menyepakatinya. Aku (Al-Bani)berkata :” dan itu sebagaimana yang telah dikatakan oleh keduanya ……………….dst.
Jadi Al-Bani dan Adz-Dzahabi keduanya mensohihkan hadis berikut ini : “sesungguhnya mugiroh bin syu’bah telah mencacimaki Ali” dan cacimaki ini diriwayatkan didalam Tarikh At Thabari tentang wasiat Muawiyah.

Padahal Adz-Dzahabi termasuk dari mazhab Umawy bukan dari  madrasah Sahabat atau Ahlu Sunnah wal Jamaah.

Didalam kitab Siyar ‘Alam An-Nubala Jilid 12 halaman 573-574, terbitan Darul Hadis tahun 1427 H / 2006 M (karangan Syamsuddin Adzahabi, lahir 1275-1347 M / 673-748 H):
“Aku telah mengumpulkan jalur-jalur hadis ”burung” kedalam satu bagian. Dan jalur-jalur hadis “ siapa yang menjadikan aku pemimpinnya, maka Ali juga pemimpinnya”, adalah hadis paling sohih. Dan yang paling sohih dari hadis tersebut adalah hadis yang telah dikeluarkan oleh Muslim dari Ali yang berkata:” Sesungguhnya Nabi saw mengamanahkan kepadaku: ” sungguh tidak ada yang mencintaimu kecuali mukmin dan tidak ada yang membencimu kecuali munafik”, disini terdapat tiga masalah[1] ada segolongan yang mencintainya dan ada golongan Nasibi yang membenci Ali karena kebodohan mereka “.
Dengan maksud untuk membebaskan Muawiyah bin Abi Sofyan dan Bani Umayyah.
Sementara dalam kitab yang sama ketika sampai pada Abu Bakar pada Jilid 12 halaman 266:
Dari Jabir :  seorang mukmin tidak membenci Abu Bakar dan Umar, dan seorang munafik tidak  akan mencintai keduanyahadisnya diabaikan dan matannya benar [2] Akan tetapi hadis tersebut dikenal tidak sohih.

Semua nas dan ketetapan mengenai keutamaan Ali biasanya mazhab bani Umayyah langsung memberikannya kepada orang lain dengan tujuan untuk menghilanglah keutamaan-keutamaan Ali.
———
Note :
  1. Didalam hadis itu tidak ditujukan untuk Ali, karena tidak menyebutkan sanadnya siapa yang meriwayatkan dalam sohih Muslim tersebut, akan tetapi permasalahannya ada pada matan hadisnya
  2. walaupun sanadnya bohong, namun untuk Ali ada permasalahan dikarenakan matannya
saudaraku….
Sesungguhnya Islam yang berusaha diterapkan oleh keturunan umayyah dan berusaha untuk mengatur umat Islam  dengan Islamnya itu. Mempunyai pengaruh  dan idiologi yang sangat berbahaya bagi umat Islam.Karena kita dapati bahwa sekte atau kelompok ini dan Islam yang terdapat dalam ajaran-ajarannya serta strategi-strateginya secara umum berusaha mengarah kepada sekelompok cendikiawan muslim untuk memberikan dasar-dasar serta berpendapat  dengan Islam yang telah diusahakan oleh bani umayyah.
Lebih berbahaya lagi adalah, kelompok ini berusaha mengaku sebagai Islam Sahabat atau Ahlusunnah wal Jamaah. Ini adalah beberapa bahaya yang sangat mendasar. Sementara Islam danajaran-ajaran yang terdapat dalam madrasah sahabat memiliki banyak perbedaan yang sangat asasi, baik dari sisi Islamnya, langkah-langkahnya, idiologinya dengan Islam  yang diterapkan oleh Bani Umayyah. Objek inilah yang harus kita pisahkan antara Mazhab Ahlusunnah Wal Jamaah dengan Mazhab Bani Umayyah.

Karena itu, kejadian in ibukan saja kejadian sejarah. Tentang bagaimana masuk Islamnya Bani Umayyah pada futuh Makkah, sedangkan mereka termasuk tulaqa (artinya-orang-orang yang dibebaskan oleh Nabi saww), bagaimana mereka dapat berkuasa sementara mereka tidak memiliki keahlianagama dan pengetahuan begitupun muawiyah dan keluarganya?. dan bagaimana merekadapat mengaku sebagai Amirul Mukminin kepada kaum muslimin ?, dan mengaku sebagaiKhalifah Rasulullah saww dan Muslimin ?.
Sesungguhnya Islamnya tersebut adalah Islam versi Umawi yaitu Muawiyah bin Abi Sofyan sangat bertolakbelakang dengan Islam Muhammadi atau Nabawi atau hakiki yang mana Rasul sawwingin mendidik umat dengan Islam yang hakiki.

Oleh karena itu, Ketika Muawiyah bin Abi Sofyan memperoleh kekuasaan politik dan menjadi seorang khalifah serta menjadi Amirul Mukminin yang kemudian dikenal dengan nama Islam Bani Umayyah, ia segera melakukan beberapa hal setelah itu.

Pertama :
Muawiyah bin Abi Sofyan menetapkan untuk menyebut Ali dan keutamaan-keutamaannya dan mengganti semua riwayat dari Rasul saww dan juga apa-apa yang telah diriwayatkan dari para sahabat tentang Ali dan keutamaan-keutamaannya dengan cara mengurangi keutamaan-keutamaan Ali.

Pertanyaannya adalah :
Benarkah  Muawiyah bin Abi Sofyan menyuruh demikian ?

Jawabnya terdapat:
Di dalam kitab Shahih Muslim, kitab keutamaan Sahabat,bab keutamaan Ali bin Abi Thalib Jilid 2 halaman 448 hadis ke 2404, cetakan DarFikr  tahun 1414 / 1993 (karangan Muslim bin Hajjaj An-naisaburi, lahir th 820 wafat th 875 M /  204-261 H):
Dari Amar bin Sa’ad bin Abi Waqqos dari ayahnya iaberkata: ” Muawiyah telah memerintahkan Sa’ad, apa yang mencegah engkau dari mencaci Abu Turab ?. Sa’ad menjawab: ” aku ingat Tiga hal  yang Rasul saww pernah bersabda, dan aku tidak akan pernah mencacinya, karena seandainya salah satu dari tiga itu aku miliki, lebih aku sukai daripada unta merah. :
  1. Ali berkata kepada Rasul Saww : ” Ya Rasulullah engkau tinggalkan akubersama para wanita dan anak-anak kecil ? kemudian Rasulullah menjawab :”tidakkah engkau rido menjadi bagian dariku sebagaimana  kedudukan Harun disisi Musa hanya saja tidakada Nabi setelahku.[Untuk lebih jelasnya, tentang apa yangdimaksud oleh Rasul saww dengan kedudukan tersebut maka silahkan buka Qs.20:30-32 "(yaitu) Harun, saudaraku teguhkanlah dengan dia kekuatanku danjadikankanlah dia sekutu dalam urusanku"hadis initerdapat pula dalam Bukhori Jilid 2 halaman 300.]
  2. Dan aku mendengar beliau bersabda pada perang Khaibar: “Pasti akan aku berikan panji ini kepada seorang lelaki yang mencintai Allah dan Rasulnya dan Allah serta Rosulnya mencintai dia.” [(buka Qs. 3:31). dalam ayat tsb menjelaskan bahwa amirul mukminin adalah sebagai tolok ukur yang paling utama bagi orang yang mengikuti Rasulullah saww. Dan hadis ini pun terdapat dalam kitab Bukhori Jilid 3 halaman 51. Rasul saww bersabda : "panggilkan untukku Ali, maka datanglah Ali menemui beliau dalam keadaan sakit mata, lalu Nabi memberi ludah pada matanya kemudian menyerahkan panji kepadanya,maka Allah memberikan kemenangan ditangannya.]
  3. Dan pada saat turun ayat ini “katakanlah mari kita panggil anak-anak kami dan anak-anak kalian” kemudian Rasul saww memanggil Ali, Fatimah, Hasan dan Husain. Lalu beliau berdoa” Ya Allah merekalah keluargaku. [Hadis ini menggugurkan pendapatyang mengatakan bahwa Istri-istri Nabi termasuk Ahlu Bait yang disucikan sesuci-sucinya sebagaimana yang terdapat dalam Qs. 33 : 33.]
Sementara Ibn Taymiyah adalah orang yang selalu meragukan semua riwayat yang didalamnya meriwayatkan keutamaan Ali dan Ahlul Bait.

Ketika kita sampai kepada nas-nas diatas kita mendapatkan kejelasan bahwa Muawiyah bin Abi Sofyan memang benar  telah memerintahkan Sa’ad bin Abi Waqqos untuk mencaci Ali. Hal itu, diperjelas oleh Ibn Taimiyah dalam kitabnya Minhajussunnah An-nabawiyah Jilid 5 halaman 23, terbitan Darul Hadis Qohirah tahun 1425/2004 (karangan Ibn Taimiyah Taqiyyudin, lahir th 1263 wafat 1328 M / 661-728 H).  

Ibn Taimiyah berkata: “ Adapun hadis Sa’ad ketika Muawiyah bin Abi Sofyan memerintahkanpadanya untuk mencaci maki Ali lalu ia menolak”.

Dari perkataannya tersebut menunjukan bahwa Ibn Taymiyah memahami benar maksud dari hadis Sohih Muslim diatas?

Muawiyah adalah seorang sahabat, yang meminta sahabat lain untuk mencaci Ali. Bukankah hal ini termasuk mengurangi keutamaan sahabat ?

Dalam kitab Shawaiq al Muqriqahterbitan Maktabah Al Qohirah, cetakan ke 2 tahun 1385 H / 1965 M.Pada halaman 211, (karangan Ibn Hajar Al Haitami, lahir 1504 wafat 1567 M /909-974 H):
” Telah berkata Imam pada zamannya Abu Zur’ah Arrozi paling mulianyadiantara guru-guru Muslim, ia berkata : “jika kamu melihat seseorang mengurangi salah seorang sahabat Rasul saww. Ketahuilah sesungguhnya dia zindiq.
Dalam kitab yang sama dia berkata :” Abu Zur’ah Arrozi adalah orang yang duduk bersama Imam Ahmad bin Hanbal.
Bagaimana dengan Muawiyah bin Abi Sofyan yang menyuruh Sa’ad bin Abi Waqos untuk mencaci Ali. Bukankah Ali termasuk sahabat Rasulullah juga ?
Ibn Taimiyah berkeyakinan bahwa nas-nas yang menyatakan “Islam senantiasa Mulia hingga12 kholifah, semuanya dari Quraisy”, Ibn Taimiyah berkeyakinan bahwa dari 12 khalifah tersebut yang ke 7 dan ke 8 nya adalah dari Bani Umayah, bahkan dia meragukan apakah Ali termasuk dari mereka atau tidak ?.

Kedua:
Di dalam kitab Minhajus-Sunah An-Nabawiyah Jilid 8 halaman 238 terbitan Darul Hadis Qohirah tahun 1425/2004, (karangan Ibn Taimiyah Taqiyyudin, lahir th 1263 wafat 1328 M / 661-728 H):
Maka para khalifah itu adalah Abu Bakar, Umar, Usman dan Ali kemudian diangkatlah seseorang yang disepakati manusia. ia mendapatkan kemuliaan, dan kekuasaan ia adalah Muawiyah dan anaknya Yazid kemudian Abdul Malik bin Marwan dan ke empat anaknya diantara mereka adalah Umar bin Abdul Aziz. Yang ke 8 dari 12 khalifah itu adalah mereka yang telah mendapatkan kabar gembira dari Nabi Ismail as. Dan sebagian daripara pembesar itu dari Bani Umayah.
Dengan kata lain Ibn Taymiyah tidak memasukkan Al-Hasan dan Al-Husain termasuk dari 12 Khalifah dan tidak termasuk para pembesar yang mendapatkan kabar gembira dari Nabi Ismail as. Secara tidak langsung Ibn Taimiyah lebih mengutamakan Yazid daripada Al-Hasan dan Al-Husain.

Sekarang nampak jelas bagi kita, bahwa mazhab Ibn Taymiyah sangat condong kepada Bani Umayah.
Ibn Taymiyah berkata : “Sebagian dari faktor-faktor semua itu adalah bahwa sesungguhnya mereka berada pada awal Islam dan era kejayaan. Kemudian Ibn Taimiyah berkata: ” yang sangat besar adalah manusia menaruh dendam kepada Bani Umayah dikarenakan dua hal, salah satunya adalah ” perbincangan mereka menjelek-jelekankan Ali” – (artinya caci maki mereka kepada Ali).
Ibn Taymiyah tidak berkata pelaknatan atau cacian mereka kepada Ali, akan tetapi menyepelekan masalah tersebut, dengan begitu dia dapat mengelabui dan menipu umat Islam terhadap sesuatu yang telah dilakukan Bani Umayyah terhadap Ahlul Bait as.

Anehnya, Apabila menjelek-jelekan khalifah pertama, kedua dan ke tiga merupakan musykilah yang besar, namun apabila menjelek-jelekan Ali tidak termasuk musykilah yang besar.!

Kemudian Ibn Taymiyah berkata:
“yang dimaksud disini adalah sesungguhnya hadis yang didalamnya menyebutkan 12 khalifah, baik Ali ditetapkan termasuk darinya atau tidak adalah sama saja. (pen.Ibn taimiyah berusaha meragukan kembali, dengan alasan umat tidak sepakat terhadap Ali).
Kita kembali kepada nas yang disebutkan oleh Ibn Taymiyah yang berkata:
” yang sangat besar adalah manusia menaruh dendam kepada Bani Umayah karena dua hal salah satu dari keduanya adalah perbincangan mereka tentang Ali dan yang kedua mengakhirkan waktu Sholat.
Ibn Taymiyah berkata:
“Oleh karena itu, Umar bin Maroh Al Jumali telah meriwayatkan setelahkematiannya, dikatakan kepadanya. Apa yang telah Allah lakukan dengan semua itu? Ia (Umar bin Maroh Al Jumali) berkata : Allah telah mengampuniku karena aku selalu menjaga sholat-sholatku pada waktunya, dan karena kecintaanku kepada Ali bin Abi Thalib.  Ini adalah orang yang menjaga dua sunnah. Oleh karena itu, seseorang harus berpegang teguh dengan sunnah ketika telah bermunculan bid’ah” ( pen. Dari perkataannya Ibn Taymiyah mengakui bahwa cinta kepada Ali termasuk dari sunnah Nabawiyah. sekarang jelas bahwa Ibn Taimiyah kebanyakan lupa.)
Qs. 42 :23 (asy-Syura;23):

قُلْ لَا أَسْأَلُكُمْ عَلَيْهِ أَجْرًا إِلَّا الْمَوَدَّةَ فِي الْقُرْبَىٰ ۗ وَمَنْ يَقْتَرِفْ حَسَنَةً نَزِدْ لَهُ فِيهَا حُسْنًا ۚ إِنَّ اللَّهَ غَفُورٌ شَكُورٌ
Katakanlah: “Aku tidak meminta kepadamu sesuatu upah pun atas seruanku kecuali kasih sayang kepada Al Qurba.” Dan siapa yang mengerjakan kebaikan akan Kami tambahkan baginya kebaikan pada kebaikannyaitu. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Mensyukuri”.
Ayat diatas menjelaskan kepada kita bahwa Allah Swt telah mewajibkan kepada kita untuk mencintai Al Qurba sebagai upah atas dakwah Rasul saww, Siapakah Al Qurba yang wajib kita cintai itu ? mereka adalah Ali bin Abi Thalib, Fatimah, Al-Hasan dan Al-Husein. Untuk lebih jelasnya silahkan rujuk beberapa kitab berikut :
  1. Tafsir Al Qurtubi Jilid 8 hal.16, terbitan Dar Fikr tahun 1424 H/ 2003M
  2. Tafsir fakhrurozi Jilid 14 hal.167, terbitan Dar Fikr tahun 2002/1423
  3. Mustadrak Al hakim Jilid 3 hal.51, terbitan Dar fikr tahun 2002/1422
  4. Fusulul Muhimmah hal. 27 karangan Ibn Shobag, terbitan Dar Adwa, cetakan ke dua
  5. Tafsir Baidowi Jilid 4 hal. 53, terbitan Dar Fikr
  6. Yanabiul Mawaddah karangan Al Qunduzy Al Hanafi, terbitan Muassasah Al Ilmiyah Beirut. dll
Qs 3:61(Ali Imran ;61):

فَمَنْ حَاجَّكَ فِيهِ مِنْ بَعْدِ مَا جَاءَكَ مِنَ الْعِلْمِ فَقُلْ تَعَالَوْا نَدْعُ أَبْنَاءَنَا وَأَبْنَاءَكُمْ وَنِسَاءَنَا وَنِسَاءَكُمْ وَأَنْفُسَنَا وَأَنْفُسَكُمْ ثُمَّ نَبْتَهِلْ فَنَجْعَلْ لَعْنَتَ اللَّهِ عَلَى الْكَاذِبِينَ
Siapa yang membantahmu tentang kisah Isa sesudah datang ilmu (yang meyakinkan kamu), maka katakanlah (kepadanya): “Marilah kita memanggil anak-anak kami dan anak-anak kamu, isteri-isteri kami dan isteri-isteri kamu, diri kami dan diri kamu; kemudian marilah kita bermubahalah kepada Allah dan kita minta supaya la’nat Allah ditimpakan kepada orang-orang yang dusta”.
Demikianlah riwayat-riwayat mereka mengenai kecintaan kepada para khalifah Bani Umayyah, sementara cinta kepada Ali terdapat dalam Al Qur’an. dan mereka wahabi selalu berkata :”kami pun mencintai Ali dan Ahlul Baitnya.”..!

jawabannya adalah : Jelas, mereka harus mencintai Ali dan Ahlul Bait, karena jika tidak maka mereka keluar dari Islam.
Dan Harus diketahui bahwa kecintaan kita kepada Ahlul Bait bukanlah suatu keberuntungan bagi Ahlul Bait akan tetapi manfaat kecintaan tersebut kembali kepada diri kita sendiri.Karena mencintai mereka adalah kewajiban dari Allah swt.

Ketiga:
Di dalam kitab Minhajus-Sunnah An-Nabawiyah, Jilid 5 halaman 244, terbitan Darul Hadis Qohirah tahun 1425/2004, (karangan Ibn Taimiyah Taqiyyudin, lahir th 1263 wafat 1328 M/ 661-728 H):
” Dan juga, sungguh kondisi politik lebih tertata / tertib pada masa Muawiyah sebagaimana belum tertata pada masa Ali, maka wajib menjadikan para pejabat Muawiyah lebih baik daripada para pejabat Ali”. (pen. Kalau ukurannya seperti itu kenapa Allah swt tidak mensucikan Muawiyah bin Abi Sofyan saja ???)
Para pejabat Muawiyah bin Abi Sofyan antara lain : Amr bin Ash, Mughiroh bin Syu’bah, Basar bin Arthat,Marwan, Hakam dan orang-orang yang telah dilaknat Rasul saww. Jadi, Ibn Taimiyah mengangap tingkatan dan kedudukan mereka ini lebih utama dari pada Salman, Abu Dzar,dan Amar. Demikianlah keyakinan Ibn Taimiyah mengenai sahabat.!

Siapakah para pejabat Muawiyah bin Abi Sofyan itu ?
Ibn Taymiyah berkata: “Para pejabat Muawiyah adalah Syiah Usman.”
Siapakah Syiah Usman itu?
Ibn Taymiyah berkata: “mereka itu adalah Nashibi yaitu orang-orang yang membenci Ali”.
Kalau begitu dimana kewajiban cinta kepada Ahlul Bait ??
Ibn Taimiyah berkata: “Syiah Usman  dan Nashibi keberadaannya lebih utama daripada Syiah Ali diatas semua standard.
Jadi Ibn Taymiyah meyakini bahwa orang-orang yang membenci Ali, keberadaannya  lebih utama daripada Syiah Ali dan orang-orang yang mencintai Ali.

Kemudian Ibn Taymiyah berkata:
” Para sahabat Ali itu tidak memiliki ilmu, agama, keberanian dan kedermawanan. Dan keadaan mereka tidak baik didunia maupun diakhirat.”
Artinya para pejabat Usman dan Syiahnya yang kemudian mereka menjadi Syiah Muawiyah. Menurut Ibn Taymiyah Mereka itu berilmu, beragama, berani, dan dermawan lebih utama daripada sahabat Ali as.

Demikianlah idiologi Ibn Taimiyah yang memperkuat existensi mazhab Bani Umayyah hingga sekarang.
Jadi, jawaban bagi orang yang mengatakan bahwa ini hanya kejadian sejarah saja, adalah salah besar, karena sekarang hadir dalam kehidupan kita dalam bentuk pemikiran, aqidah, agama, keimanan, serta politik, dll.

Di dalam kitab Fathul Bari Jilid 9 hadis ke 3649, terbitan Dar Fikr, cetakan pertama tahun 1425/2005, (karangan  Ibn Hajar Al ‘Asqolani, lahir 1372  wafat 1448 M / 773-852): kitab keutamaan sahabat, Manaqib Al-Anshari, Al Maghozi berkata  :
“Manusia terbagi dua kelompok. (sebelum peristiwa bani Umayyah dan Muawiyah) Akan tetapi para pembuat bid’ah hanya sedikit, kemudian terjadilah pada pemerintahan Ali apa yang terjadi, yang kemudian lahirlah kelompok lain yang memeranginya. (Ketika sampai pada masalah kekuasaan maka terdapat tiga kelompok yang berkeyakinan untuk memerangi Ali) Yang kemudian diparahkan lagi oleh para khotib. Mereka mengurangi keutamaan Ali, dan menjadikan laknat kepadanya dimimbar-mimbar sebagai sunnah, dari situ manusia kemudian terpecah menjadi tiga kelompok dalam masalah hak Ali.
  1. Kelompok Ahlu sunnah : kelompok ini sering diistilahkan dengan madrasah sahabat, mereka adalah orang-orang yang menghormati, mencintai serta mengagungkan Ali dan keutamaan-keutamaannya.
  2. Kelompok Khawarij – para pembuat bid’ah.
  3. Kelompok Bani Umayyah yaitu orang-orang yang memerangi Ali dan para pengikutnya.
Kelompok yang ketiga inilah yang ingin kita jelaskan kepada manusia mengenai karakter mereka  dan ciri-cirinya.

Kita tahu bahwa menurut keyakinan madrasah Ahlul Bait, Ali adalah khalifah pertama yang haq secara hukum. Sementara kelompok lain berkeyakinan bahwa Ali adalah Imam muslimin, khalifah ke empat dan salah satu dari sepuluh orang yang mendapat kabar gembira dengan surga.

Namun, Berbeda jauh dengan kelompok Bani Umayyah yang ingin menjadikan sebuah sunnah dengan cara melaknat Ali, mencaci, membenci dan memeranginya.

Didalam kitab Sohih Muslim, Jilid 2 halaman 979 hadis ke 2404, kitab keutamaan sahabat, bab keutamaan Ali bin Abi Thalib, cetakan Dar Fikr  tahun 1414 / 1993, (karangan Muslim bin Hajjaj An-naisaburi, lahir th 820 wafat th 875 M /  204-261 H):
“ Muawiyah bin Abi Sofyan telah memerintah Sa’ad’. ( Ada orang berkata : dalam hadis tersebut tidak ditemukan bahwa Muawiyah  telah memerintah Sa’ad untuk mencacimaki Ali )
Lalu Muawiyah berkata: “ Apa yang mencegah engkau dari mencaci maki  Abu Turab ??
Sa’ad menjawab: “ Aku ingat Tiga hal  yang Rasul saw pernah bersabda, dan aku tidak akan pernah mencacinya, karena seandainya salah satu dari tiga itu aku miliki, lebih aku sukai daripada unta merah.
  1. Ali berkata kepada Rasul :Ya Rasulullah engkau tinggalkan aku bersama para wanita dan anak-amak kecil ? kemudian Rasulullah menjawab : “Tidakkah engkau rido menjadi bagian dariku sebagaimana  kedudukan Harun disisi Musa hanya saja tidak ada Nabi setelahku.
  2. Dan aku mendengar beliau bersabda pada perang khaibar” pasti akan aku berikan panji ini kepada seorang lelaki yang mencintai Allah dan Rasulnya dan Allah serta Rasulnya mencintai dia. Rasul saw bersabda :” panggilkan untukku Ali, maka datanglah Ali menemui beliau dalam keadaan sakit mata, lalu Nabi memberi ludah pada matanya kemudian menyerahkan panji kepadanya, maka Allah memberikan kemenangan ditangannya.
  3. Dan pada saat turun ayat ini “katakanlah mari kita panggil anak-anak kami dan anak-anak kalian” Rasul saw memanggil Ali, Fatimah, Hasan dan Husain. Lalu beliau berdoa : Ya Allah merekalah keluargaku.
Dalam kitab Sunan Ibn Majah Jilid 1 halaman 7, terbitan Dar fikr, (karangan Abu Abdillah Muhammad bin Yazid Al Qozwini lahir 824 wafat 887 M/ 209-273 H) Pada Mukaddimah kitabnya  ia berkata :
” Kami telah menyebutkan hukum-hukum syekh Muhammad Nasiruddin Albani atas hadis-hadis. Satu persatu hadis yang telah dinukil dari kitab-kitabnya sohihi sunan. Dan medoifkannya lalu kami susun semua itu sebagai berikut .
Jadi nas-nas yang diriwayatkan disini, apabila kita temukan terdapat didalam sumber hadis dia (albani) berkata “ sohih”.  Ini pensohihan (hadis) menurut Alamah AlBani.  sementara kita mengetahui pendirian Albani terhadap madrasah sahabat dan kelompok salafi.
Di dalam hadis ke 121:
“Shohih (diantara dua sisi) telah berkata kepada kami Ali bin Muhammad, telah berkata kepada kami Abu Muawiyah, telah berkata kepada kami Musa bin Muslim dari Abi Sabith dia adalah Abdurrahman dari Sa’ad bin Abi Waqos berkata: ” Muawiyah mengutarakan sebagian hajatnya, kemudian masuklah Sa’ad menemuinya, lalu keduanya memperbincangkan Ali – pen. Muawiyah dan Sa’ad- lalu (Muawiyah) menerimanya, kemudian marahlah Sa’ad seraya berkata: ” engkau mengatakan hal ini kepada seorang lelaki yang aku pernah mendengar Rasul saw bersabda: “ barang siapa yang menjadikan aku pemimpinnya  maka Ali adalah pemimpinnya pula” dan aku mendengar Rasul saw bersabda: ” engkau dariku  sebagaimana kedudukan Harun disisi Musa hanya saja  tidak ada Nabi setelahku”, dan aku pernah mendengar Rasul saw bersabda: ” suatu hari pasti akan aku berikan panji ini kepada seorang lelaki yang mencintai Allah dan Rasulnya.
Jika ini tidak dianggap cacian, dan bukti akan kebencian Muawiyah terhadap Ali, maka bukti apa lagi ?
Sedangkan mereka (kelompok Bani Umayyah) selalu berkata : “Sesungguhnya Syiah Ahlul Bait dan para pengikutnya selalu mencaci maki sahabat ?”

Bagaimana dengan hadis diatas yang menjelaskan bahwa Muawiyah bin Abi Sofyan  telah melaknat Ali diatas mimbar-mimbar dan menjadikannya sunnah hingga puluhan tahun ?. Dan bagaimana dengan riwayat yang menyatakan bahwa: ” janganlah engkau mencaci maki sahabat-sahabatku…”

Pandangan-pandangan berikut: “ mereka berijtihad tapi salah “, dan pandangan-pandangan “tinggalkanlah apa yang telah terjadi diantara para sahabat Rasulullah saw, dan tentang keadilan para sahabat “.
Semua itu adalah isu dan propaganda yang dihembuskan guna membela Muawiyah bin Abi Sofyan dan keturunannya.

Kesimpulannya adalah: Muawiyahlah yang telah memulai sunnah yang buruk ini..!
Rasul saww bersabda:
“Barang siapa yang menjalankan sunnah yang baik maka pahalanya bagi dia, dan barang siapa yang menjalankan sunnah yang buruk maka baginya balasannya dan balasan orang yang mengamalkan nya hingga hari kiamat.
Di dalam kitab Minhajussunah An-Nabawiyah, Jilid 5 halaman 466 terbitan Darul Hadis Qohirah tahun 1425/2004, (karangan Ibn Taimiyah Taqiyyudin, lahir th 1263 wafat 1328 M / 661-728 H):
“Maka wajib menjadikan para pejabat Muawiyah lebih baik dari pada pejabat Ali, dan para pejabat Muawiyah adalah Syiah Usman, mereka itu adalah Nasibi yaitu orang-orang yang membenci Ali”.
Marwan bin Hakam termasuk dari Syiah Usman.
Aisyah berkata kepada Marwan bin Hakam:
” Engkau wahai Marwan , aku bersaksi bahwa Rasul saw telah melaknat bapakmu sementara engkau masih dalam sulbinya. (terdapat dalam kitab shahabat Fil Mizan).
SIAPAKAH NASHIBI ITU?
Dalam Siyar A’lam An Nubala terbitan Darul Hadis tahun 1427 H / 2006 M, dengan tahkik Syuaib Al Arnaut Jilid 18 halaman 184, (karangan Syamsuddin Adzahabi, lahir 1275-1347 M / 673-748 H) :
Ibn Hazm berkata:
“Dan yang bertambah di dalam hatinya, adalah ke-syiaahnnya Ibn Hazm kepada pembesar Bani Umayah yang terdahulu maupun yang kemudian, dan keyakinannya terhadap sahnya kepemimpinan mereka, sampai dia (Ibn Hazm) dinisbatkan sebagai nashibi.
Syuaib Al Arnut (muhaqik kitab Siyaru A’lam An-Nubala) berkata:
Nashibi adalah benci kepada Ali r.a dan berwilayah kepada Muawiyah bin Abi Sofyan.
Sementara khawarij benci kepada Ali tapi tidak berwilayah kepada Muawiyah dan keluarganya.
Menurut Ibn Taimiyah:
Mereka Nashibi itu adalah orang-orang yang membenci Ali dan berwilayah kepada Muawiyah. namun jika dia mencintai Ali (bukan meyakini kemaksumannya) dan mengakui keutamaan-keutamaannya tetapi berpaling dari Muawiyah  bin Abi Sofyan maka dia syiah. Hal ini masih berlaku hingga zaman kita sekarang.
Contohnya adalah :
Al Hakim An-Naisabury, dia termasuk diantara orang yang meyakini bahwa seluruh sahabat itu baik serta meyakini syariat khalifah Abu Bakar, Umar dan Usman, akan tetapi apa pendapat  Adzahabi terhadap Al Hakim An-Naisabury ?

Di dalam kitab Siyarul A’lam An-Nubala,  Jilid 17, terbitan Darul hadis tahun 1427 H / 2006 M (karangan Syamsuddin Adzahabi, lahir 1275-1347 M / 673-748 H): dalam terjemah ke 100 (Al-Hakim An-Naisaburi):
” Dia (AL HAKIM) telah mengarang, lalu mengeluarkan, membedah, dan menimbang, kemudian mensohihkan, dan dia termasuk dari lautan ilmu namun sedikit syiah.”
Apa penyebab Al Hakim An Naisaburi dituduh syiah?
Pada kitab yang sama halaman 168:
Dan dia (Alhakim) berprinsip bahwa sesungguhnya hadis tersebut sohih menurut syarat bukhori dan muslim, -sebagian hadis-hadis itu- diantaranya adalah hadis tentang burung, hadis man kuntu maulah fa aliyun maulah, sementara ahli hadis telah mengingkari semua itu, ini adalah cerita yang kuat. Maka ia menerima dan mengeluarkan hadis tentang burung dalam mustadraknya ? (kenapa Alhakim mengeluarkan hadis burung itu ? ) sementara dia (Adzahabi) meyakini bahwa seandainya benar ada seseorang yang lebih utama dari Ali setelah Nabi.Karena Al-hakim mengatakan : “Seandainya hadis ini sohih ketika ada seseorang yang lebih utama dari Ali setelah Rasulullah. Karena Rasul saw berdoa : Ya Allah utuslah kepadaku mahlukmu yang paling aku cintai”.
Adz-Dzahabi menjelaskan dalam kitab Tadzkiratil Huffadz, Jilid 2 halaman 103 dia berkata:
“Adapun hadis burung, memiliki banyak sekali jalur-jalurnya.  Sungguh aku telah mengarangnya secara terpisah serta mengumpulkannya (jalur-jalurnya) yang mengharuskan  agar hadis tsb memiliki aslinya.”
Dia (Adz-Dzahabi) berkata:
“Mengabarkan kepadaku Ahmad (Fulan) dari Ibn Thohir, bahwa dia bertanya kepada Abu Ismail bin Muhammad Alharwi tentang Abi Abdillah Alhakim. Lalu dia menjawab: ” seorang yang terpercaya dalam hadis, seorang rafidoh (syiah) yang buruk. – pen. Kenapa ia rofidoh yang buruk ?, karena Al-Hakim menukil riwayat-riwayat tentang keutamaan Ali-. “ Dan dia (Alhakim) berpaling dari Muawiyah dan keluarganya. ( yaitu Yazid, Walid, Mugiroh bin Syu’bah dll dengan istilah Ibn Taimiyah : Sungguh Islam berada pada masa kejayaan dan kemakmuran di zaman mereka ).
Contoh lainnya adalah:
Al-Allamah Ibn Abil Hadid juga dituduh syiah!

Meskipun dalam pembukaan kitabnya yaitu kitab Syarah Nahzul Balagoh, (Ibn Abil Hadid, lahir th 1190  wafat 1258 M/ 586-656 H). dia (Ibn Abil Hadid) mengatakan:
” Aku berkeyakinan terhadap syariat yang disyariatkan oleh khalifah Abu Bakar, Umar dan Usman. Dan tidak meyakini pandangan-pandangan nas.
Dan dia sangat menolak keras tuduhan Syiah pada dirinya, akan tetapi semuanya itu tidak memberi manfaat kepada mereka (kelompok Umawy). Selama Ibn Abil Hadid berpaling dari Muawiyah bin Abi Sofyan, dan selama dia tidak membenci Ali. Maka dia akan tetap dituduh Syiah.

Pada umumnya para ulama itu mencintai Ahlul Bait dikarenakan ayat Qs. 42 :23 yang penuh barkah yang bebunyi: “katakanlah wahai Muhammad aku tidak meminta upah kepada kalian atas seruanku kecuali kecintaan kalian kepada Al Qurba”. Dan disisi lain mereka pun mengagungkan musuh-musuh Ahlul Bait.
Qs. 58 : 22:
“Kamu tak akan mendapati kaum yang beriman pada Allah dan hari akhirat, saling berkasih-sayang dengan orang-orang yang menentang Allah dan Rasul-Nya, sekalipun orang-orang itu bapak-bapak, atau anak-anak atau saudara-saudara ataupun keluarga mereka. Meraka itulah orang-orang yang telah menanamkan keimanan dalam hati mereka dan menguatkan mereka dengan pertolongan[1462] yang datang daripada-Nya. Dan dimasukan-Nya mereka ke dalam surga yang mengalir di bawahnya sungai-sungai, mereka kekal di dalamnya. Allah ridha terhadap mereka, dan merekapun merasa puas terhadap (limpahan rahmat)-Nya. Mereka itulah golongan Allah. Ketahuilah, bahwa sesungguhnya hizbullah itu adalah golongan yang beruntung.
Sekarang perhatikanlah apa komentar Ibn Taimiyah dalam kitabnya pada Jilid 6 halaman 201:
“Adapun yang termasuk syiah Usman (para pejabat Usman) adalah orang yang mencaci maki Ali, dan menampakkan semua itu diatas mimbar-mimbar dan di tempat-tempat lainnya.”
Di dalam kitab Siyar A’lam An Nubala, jilid 10 nomer 113, terbitan Darul hadis tahun 1427 H / 2006 M. (karangan Syamsuddin Adzahabi, lahir 1275-1347 M / 673-748 H)
:
Terjemah al madaini : ”Dia keheranan, dalam memahami sejarah-sejarah, peperangan kecil, hari-hari arab membenarkan apa-apa yang ia nukil yang sanadnya bersambung keatas. Dia lahir tahun 230.”
Dalam kitab yang sama jilid 10 halaman 402:
Almadaini bercerita bahwa dia pernah menemui Al-Makmun, lalu ia menceritakan hadis-hadis tentang Ali, kemudian melaknat Bani Umayyah.
Aku (Al-Madaini) berkata: Al-Mutsanna bin Abdillah Al-Ansori telah menceritakan padaku, ia berkata : pada saat aku berada di Syam, aku tidak mendengar nama Ali, nama Hasan. aku hanya mendengar nama Muawiyah, Yazid, Al-Walid. kemudian aku melewati seorang lelaki yang berada di pintu. seraya berkata: ” berilah dia minum ya Hasan”.
lalu aku bertanya : apakah engkau namai Hasan ?, dengan cepat dia menjawab: ” Anak-anakku Hasan, Husain, dan Ja’far. Karena semua penduduk Syam menamai anak-anak mereka dengan nama-nama khalifah Allah, kemudian lelaki tersebut melaknat anaknya dan mencacinya, (kenapa?) Sesungguhnya budaya tersebut telah mengakar di Syam. Bahwa sesungguhnya menamakan anak-anaknya dengan nama-nama Hasan, Husain agar supaya dia tidak lupa mencaci dan melaknat Ahlul Bait. Karena apabila menamakan anaknya Yazid, dia akan lupa melaknat Al Hasan dan Al Husain. Inilah  didikan Bani Umayyah.
Aku berkata (Al Mutsanna kepada lelaki dari penduduk Syam itu) : ”aku kira engkau penduduk Syam yang baik, kalau begitu Neraka Jahannam tidak lebih buruk daripada kamu. Lalu Al-Makmun berkata (kepada Almadaini) :” Sungguh Allah swt telah menjadikan orang yang melaknat pada masa hidup dan meninggal mereka (Ahlul Bait). Dianggap Nasibi.
Muawiyah berangkat haji kemudian dia masuk kota madinah. Dan dia ingin melaknat Ali diatas mimbar Rasulullah, disampaikan kepadanya (muawiyah) :” bahwa disini ada Sa’ad bin Abi Waqqos, dan kami tidak melihat dia ridha dengan hal ini (melaknat Ali), maka utuslah kepada Sa’ad dan tariklah jubahnya. Maka (Muawiyah) mengutusnya dan menyebutkan kepadanya sebutan itu (keinginan Muawiyah melaknat Ali), maka dia berkata (Sa’ad) : jika engkau lakukan, aku akan keluar dari masjid dan tidak akan kembali lagi. Maka Muawiyahpun menunda melaknat Ali hingga Sa’ad meninggal dunia. Dan ketika (Sa’ad) telah meninggal dunia dia melaknatnya (Muawiyah melaknat diatas mimbar) serta menetapkan kepada para gubernurnya untuk melaknat Ali diatas mimbar-mimbar. Dan merekapun melakukannya.
Kemudian Ummu Salamah Istri Nabi menulis surat kepada Muawiyah: ”Sungguh kalian sedang melaknat Allah dan Rasulnya diatas mimbar-mimbar kalian yang secara tidak langsung kalian sedang melaknat Ali bin Abi Thalib sekaligus orang yang sangat mencintainya, dan aku bersaksi sesungguhnya Allah dan Rasulnya lebih mencintai dia”.
Di sini Ummu Salamah tidak mengatakan: “Kalian melaknat Ali” , tapi Ummu Salamah mengatakan: “Kalian melaknat Allah dan Rasul-Nya” (yang mana Imam Ali as adalah diri Nabi saww , melaknat Imam Ali berarti Melaknat Rasulullah saww).

MENGENAI Hadis Keadaan Imam Ali Sepeninggal Nabi SAW dan Kelalaian Syaikh Al Albani

Hadis Keadaan Imam Ali Sepeninggal Nabi SAW.
Rasulullah SAW melalui lisan sucinya telah mengabarkan kepada Imam Ali, bagaimana kondisi Imam Ali sepeninggal Beliau SAW. Beliau SAW mengatakan bahwa Imam Ali akan mengalami kesukaran atau kesulitan sepeninggal Beliau SAW. Hal ini diriwayatkan dalam kabar shahih yang tercatat dalam kitab Al Mustadrak Al Hakim 3/151 no 4677

أخبرنا أحمد بن سهل الفقيه البخاري ثنا سهل بن المتوكل ثنا أحمد بن يونس ثنا محمد بن فضيل عن أبي حيان التيمي عن سعيد بن جبير عن ابن عباس رضي الله عنهما قال : قال النبي صلى الله عليه و سلم لعلي أما أنك ستلقى بعدي جهدا قال في سلامة من ديني ؟ قال : في سلامة من دينك

Telah mengabarkan kepada kami Ahmad bin Sahl seorang faqih dari Bukhara yang berkata telah menceritakan kepada kami Sahl bin Mutawwakil yang berkata telah menceritakan kepada kami Ahmad bin Yunus yang berkata telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Fudhail dari Abi Hayyan At Taimi dari Sa’id bin Jubair dari Ibnu Abbas RA yang berkata Nabi SAW berkata kepada Ali “Sesungguhnya kamu akan mengalami kesukaran (bersusah payah) sepeninggalKu”. Ali bertanya “apakah dalam keselamatan agamaku?”. Nabi SAW menjawab “dalam keselamatan agamamu”.

Kedudukan Hadis
Hadis Shahih. Hadis ini telah diriwayatkan oleh para perawi tsiqat dan perawi Bukhari dan Muslim sehingga bisa dikatakan sanadnya shahih sesuai persyaratan Bukhari dan Muslim. Al Hakim setelah meriwayatkan hadis ini berkata:

هذا حديث صحيح على شرط الشيخين ولم يخرجاه

Hadis ini shahih sesuai syarat Bukhari dan Muslim tetapi mereka tidak meriwayatkannya.
Adz Dzahabi dalam Talkhis Al Mustadrak 4/238 hadis no 4677 juga mengakui kalau hadis ini shahih sesuai dengan persyaratan Bukhari Muslim. Berikut keterangan mengenai para perawinya.
  • Ahmad bin Sahl Abu Nashr yaitu seorang faqih dari Bukhara, Al Hakim menyebutnya sebagai Imam dan ia telah dinyatakan tsiqat oleh Al Khalili dalam Al Irsyad 3/190
  • Sahl bin Mutawwakil Al Bukhari adalah seorang yang tsiqah. Ibnu Hibban memasukkannya dalam Ats Tsiqat juz 8 no 13521 dan Abu Ya’la Al Khalili dalam Al Irsyad 3/182 juga menyatakan ia tsiqat.
  • Ahmad bin Yunus dia seorang Imam Hujjah dan Al Hafiz yang tsiqah sebagaimana disebutkan Adz Dzahabi dalam Siyar ‘Alam An Nubala 10/457 no 151. Ibnu Hajar menyebutkan biografinya dalam At Tahdzib juz 1 no 87, ia perawi Bukhari Muslim dan Ashabus Sunan dan telah dinyatakan tsiqat oleh Abu Hatim, Nasa’i, Al Ajli, Ibnu Sa’ad, Ibnu Hibban dan Ibnu Qani’. Dalam At Taqrib 1/39 ia disebut seorang hafiz yang tsiqat.
  • Muhammad bin Fudhail bin Ghazwan adalah seorang syiah yang dikenal tsiqat. Ibnu Hajar dalam At Tahdzib juz 9 no 660 menyebutkan bahwa ia seorang perawi Bukhari Muslim dan Ashabus Sunan yang dinyatakan tsiqat oleh Ali bin Madini, Yaqub bin Sufyan, Ibnu Ma’in, Ibnu Sa’ad, Al Ajli, Ibnu Hibban dan Ibnu Syahin. Dalam At Taqrib 2/125 Ibnu Hajar menyebutnya shaduq dan tasyayyu’. Sebenarnya ia seorang yang tsiqah seperti yang dinyatakan Adz Dzahabi dalam Al Kasyf no 5115 oleh karena itu pernyataan Ibnu Hajar dikoreksi dalam Tahrir At Taqrib no 6227 bahwa Muhammad bin Fudhail tsiqat.
  • Yahya bin Said bin Hayyan atau yang dikenal Abu Hayyan At Taimi. Ibnu Hajar menyebutkan dalam At Tahdzib juz 11 no 357 bahwa ia seorang perawi Bukhari Muslim dan Ashabus Sunan dan telah dinyatakan tsiqat oleh Ibnu Ma’in, An Nasa’i, Al Fallas, Yaqub bin Sufyan, Al Ajli dan Ibnu Hibban. Ibnu Hajar dalam At Taqrib 2/303 menyatakan ia tsiqat.
  • Sa’id bin Jubair adalah seorang tabiin yang dikenal tsiqat dan dijadikan hujjah oleh Bukhari dan Muslim sebagaimana yang disebutkan Ibnu Hajar dalam At Tahdzib juz 4 no 14. Ibnu Hajar dalam At Taqrib 1/349 menyatakan ia tsiqat tsabit.
Jadi hadis ini tidak diragukan lagi keshahihannya dan shahih sesuai persyaratan Bukhari Muslim. Dan seperti biasa salafiyun suka mencari-cari dalih untuk mencacatkan hadis yang memberatkan mereka.

Kelalaian Syaikh Al Albani.
Syaikh Al Albani memasukkan hadis ini dalam kitabnya Silsilah Ahadits Adh Dhaifah 10/556 no 4906. Tentu saja hal ini merupakan keanehan luar biasa yang muncul dari Syaikh. Syaikh menyatakan bahwa hadis ini dhaif karena Sahl bin Mutawwakil perawi yang majhul dan tidak ada keterangannya dalam kitab biografi perawi hadis. Kami katakan bahwa Syaikh Al Albani benar-benar keliru, seandainya ia membuka kitab Ats Tsiqat Ibnu Hibban dan kitab Al Irsyad Abu Ya’la Al Khalili maka ia akan menemukan kalau Sahl bin Mutawwakil itu seorang yang tsiqah. Sungguh kami dibuat terheran-heran, bagaimana mungkin kami yang bodoh ini bisa menemukan keterangan tentang Sahl bin Mutawwakil tetapi Syaikh pujaan hujjah salafy itu mengaku tidak menemukannya. Sungguh kelalaian menimbulkan kemungkaran.

Penjelasan Singkat.
Hadis tersebut menjelaskan bahwa setelah Rasulullah SAW wafat, Imam Ali akan mengalami kesukaran atau kepayahan dan memang terbukti dalam sejarah bahwa setelah Rasulullah SAW wafat dimulai kezaliman pertama kepada Ahlul Bait yaitu ancaman pembakaran rumah Imam Ali. Sungguh sukar dimengerti bagaimana mereka yang mengaku mencintai Rasulullah SAW bisa menunjukkan tingkah yang keji seperti itu kepada Ahlul Bait Rasulullah SAW. Kesedihan Ahlul Bait karena ditinggal pergi Rasul SAW kini ditambah dengan perlakuan yang sangat tidak baik kepada mereka.

Kami tidak menafikan bahwa diantara yang berbuat tidak baik itu ada sahabat yang berjasa dalam perjuangan islam. Tetapi jasa tersebut tidaklah membuat sahabat menjadi kebal hukum. Sahabat tetaplah orang yang perbuatannya harus ditimbang dengan kacamata syariat. Sebagaimana telah disepakati bahwa para sahabat tidaklah maksum, mereka bisa saja berbuat kesalahan bahkan kesalahan yang fatal. Oleh karena itu tidak ada alasan sedikitpun untuk membela perbuatan sahabat yang tidak baik kepada Ahlul Bait Rasul SAW. Ahlul Bait sudah seharusnya dijadikan pegangan oleh sahabat agar tidak tersesat, siapapun yang berbuat buruk dan menyusahkan Ahlul Bait atau menentang Ahlul Bait maka dia sudah menyimpang dari jalan yang lurus. (http://secondprince.wordpress.com/)

Tambahan:
SEJARAH MUNCULNYA SYI’AH.
Mengapa Minoritas Syi’ah berpisah dari mayoritas Ahlussunnah?
Dengan melihat keistimewaan dan kedudukan yang dimiliki oleh Imam Ali a.s., para pengikutnya meyakini bahwa ia adalah satu-satunya sahabat yang berhak untuk menggantikan kedudukan Rasulullah SAW setelah ia wafat. 

Keyakinan ini menjadi semakin mantap setelah peristiwa “kertas dan pena” yang terjadi beberapa hari sebelum ia meninggal dunia. Akan tetapi, kenyataan bericara lain.
Ketika Ahlul Bayt a.s. dan para pengikut setia mereka sedang sibuk mengurusi jenazah Rasulullah SAW untuk dikebumikan, mayoritas sahabat yang didalangi oleh sekelompok sahabat yang memiliki kepentingan-kepentingan pribadi dengan Islam, berkumpul di sebuah balai pertemuan yang bernama Saqifah Bani Sa’idah guna menentukan khalifah pengganti Rasulullah SAW.
Dan dengan cara dan metode keji, para dalang “permainan” ini menentukan Abu Bakar sebagai khalifah pertama muslimin.
Setelah para pengikut Imam Ali a.s. yang hanya segelintir selesai mengebumikan jenazah Rasulullah SAW, mereka mendapat berita bahwa khalifah muslimin telah dipilih. Banyak pengikut Imam Ali a.s. seperti Abbas, Zubair, Salman, Abu Dzar, Ammar Yasir dan lain-lain yang protes atas pemilihan tersebut dan menganggapnya tidak absah.
Yang mereka dengar hanyalah alasan yang biasa dilontarkan oleh orang ingin membela diri. Mereka hanya berkata: “Kemaslahatan muslimin menuntut demikian”.


Protes minoritas inilah yang menyebabkan mereka memisahkan diri dari mayoritas masyarakat yang mendominasi arena politik kala itu.
Dengan demikian, terwujudlah dua golongan di dalam tubuh masyarakat muslim yang baru ditinggal oleh pemimpinnya. Akan tetapi, pihak mayoritas yang tidak ingin realita itu diketahui oleh para musuh luar Islam, mereka mengeksposkan sebuah berita kepada masyarakat bahwa pihak minoritas itu adalah penentang pemerintahan yang resmi. Akibatnya, mereka dianggap sebagai musuh Islam.
Meskipun adanya tekanan-tekanan dari kelompok mayoritas, kelompok minoritas ini masih tetap teguh memegang keyakinannya bahwa kepemimpinan adalah hak Imam Ali a.s. setelah Rasulullah SAW meninggal dunia.

Bukan hanya itu, dalam menghadapi segala problema kehidupan, mereka hanya merujuk kepada Imam Ali a.s. untuk memecahkannya, bukan kepada pemerintah. Meskipun demikian, berkenaan dengan problema-problema yang menyangkut kepentingan umum, mereka tetap bersedia untuk ikut andil memecahkannya. Banyak problema telah terjadi yang tidak dapat dipecahkan oleh para khalifah, dan Imam Ali a.s. tampil aktif dalam memecahkannya.

Penyelewengan pada Masa Tiga Khalifah.

Pada masa kepemimpinan tiga khalifah pertama muslimin, banyak terjadi penyelewengan-penyelewengan dilakukan oleh mereka dalam menjalankan pemerintahan yang tidak sesuai dengan rel Islam dan sunnah Rasulullah SAW.
Diamnya pemerintah atas pembunuhan yang telah dilakukan oleh Khalid bin Walid terhadap Malik bin Nuwairah yang berlanjut dengan pemerkosaan terhadap istrinya, pembagian harta baitul mal yang tidak merata sehingga menimbulkan perbedaan strata masyarakat kaya dan miskin, penghapusan dua jenis mut’ah yang sebelumnya pernah berlaku pada masa Rasulullah SAW, penghapusan khumus dari orang-orang yang berhak menerimanya, pelarangan penulisan hadis-hadis Rasulullah SAW, pelarangan mengucapkan hayya ‘alaa khairil ‘amal dalam azan, pemberian harta dan dukungan istimewa kepada Mu’awiyah sehingga ia dapat berkuasa di Syam dengan leluasa, dan lain sebagainya, semua itu adalah bukti jelas penyelewengan dan kepincangan yang terjadi pada masa tiga khalifah pertama.
Semua itu jelas terjadi sehingga orang yang berpikiran jernih dan tidak dipengaruhi oleh fanatisme mazhab akan dapat menerimanya dengan menelaah buku-buku sejarah yang otentik.
Setelah Utsman bin Affan, Khalifat ketiga muslimin dibunuh oleh para “pemberontak” yang tidak rela dengan kinerjanya selama ia memegang tampuk khilafah, masyarakat dengan serta merta memilih Imam Ali a.s. secara aklamasi untuk memegang tampuk khilafah. Di antara Muhajirin yang pertama kali berbai’at dengannya adalah Thalhah dan Zubair.
Hal ini terjadi pada tahun 5 H. Sangat disayangkan kekhilafahannya hanya berjalan sekitar 4 tahun 5 bulan, masa yang sangat sedikit untuk mengadakan sebuah perombakan dan reformasi mendasar.
 Begitu ia menjadi khalifah, khotbah pertama yang dilontarkannya adalah sebagai berikut: “Ketahuilah bahwa segala kesulitan yang pernah kalian alami di masa-masa pertama Rasulullah SAW diutus menjadi nabi, sekarang akan kembali menimpa kalian.
Sekarang orang-orang yang memiliki keahlian dan selama ini disingkirkan harus memiliki kedudukan yang layak dan orang-orang yang tidak becus harus disingkirkan dari kedudukan yang telah diberikan kepada mereka dengan tidak benar”.
 peristiwa Ghadir Khum adalah puncak keistimewaan yang dimiliki oleh Imam Ali a.s. Sebuah peristiwa –yang seandainya dapat direalisasikan sesuai dengan kehendak Rasulullah SAW– akan memberikan warna lain terhadap Islam., Imam Ali a.s. adalah sosok figur yang telah berhasil menghidupkan Islam dengan pengorbanan-pengorbanan yang telah lakukannya.

Seperti, ia pernah tidur di atas ranjang Rasulullah SAW di malam peristiwa lailatul mabit ketika Rasulullah SAW hendak berhijrah ke Madinah dan kepahlawannya di medan perang Badar, Uhud, Khandaq dan Khaibar.

Seandainya pengorbanan-pengorbanan tersebut tidak pernah dilakukannya, niscaya Islam akan sirna di telan gelombang kebatilan., berdasarkan riwayat-riwayat mutawatir yang dinukil oleh Ahlussunnah dan Syi’ah, Rasulullah SAW pernah bersabda bahwa Imam Ali a.s. terjaga dari setiap dosa dan kesalahan, baik dalam ucapan maupun perilaku.
Semua tindakan dan perilakunya sesuai dengan agama Islam dan ia adalah orang yang paling tahu tentang Islam., ketika Rasulullah SAW mendapat perintah dari Allah SWT untuk mengajak keluarga terdekatnya masuk Islam, ia berkata kepada mereka: “Barang siapa di antara kalian yang siap untuk mengikutiku, maka ia akan menjadi pengganti dan washiku setelah aku meninggal dunia”.
Tidak ada seorang pun di antara mereka yang bersedia untuk mengikutinya kecuali Ali a.s.
Sangat tidak masuk akal jika seorang pemimpin pergerakan –di hari pertama ia memulai langkah-langkahnya–memperkenalkan penggantinya setelah ia wafat kepada orang lain dan tidak memperkenalkanya kepada para pengikutnya yang setia.
Keberatan-keberatan di atas adalah bukti kuat bahwa Imam Ali a.s. setelah diperkenalkan sebagai pengganti dan washi Rasulullah SAW di hari pertama dakwah memiliki misi sebagai washi
Kapan Syi’ah Muncul?
Syi’ah sebagai pengikut Ali bin Abi Thalib a.s. (imam pertama kaum Syi’ah) sudah muncul sejak Rasulullah SAW masih hidup.
______________________

Syiah sebagai pengikut Ali sudah muncul sejak Nabi Muhammad SAW masih hidup


Artikel Islam:
Sejarah Syiah: Sejak Zaman Rasulullah SAW sampai Abad 14 H

Di tiga abad terakhir ini, mazhab Syi’ah berkembang dengan sangat pesat, khususnya setelah ia menjadi mazhab resmi Iran setelah kemenangan Revolusi Islam. Begitu juga di Yaman dan Irak, mayoritas penduduknya memeluk mazhab Syi’ah. Dapat dikatakan bahwa di setiap negara yang penduduknya muslim, akan ditemukan para pemeluk Syi’ah. Di masa sekarang, diperkirakan bahwa pengikut Syi’ah di seluruh dunia berjumlah 300.000.000 lebih. 

 

Kapan Syiah Muncul?
Syiah sebagai pengikut Ali bin Abi Thalib a.s. (imam pertama Mazhab Syiah) sudah muncul sejak Nabi Muhammad SAW masih hidup. Hal ini dapat dibuktikan dengan realita-realita berikut ini:
Pertama, ketika Nabi Muhammad SAW mendapat perintah dari Allah SWT untuk mengajak keluarga terdekatnya masuk Islam, ia berkata kepada mereka: “Barang siapa di antara kalian yang siap untuk mengikutiku, maka ia akan menjadi pengganti dan washiku setelah aku meninggal dunia”. Tidak ada seorang pun di antara mereka yang bersedia untuk mengikutinya kecuali Sayyidina Ali bin abi thalib a.s. Sangat tidak masuk akal jika seorang pemimpin pergerakan –di hari pertama ia memulai langkah-langkahnya– memperkenalkan penggantinya setelah ia wafat kepada orang lain dan tidak memperkenalkanya kepada para pengikutnya yang setia. Atau ia mengangkat seseorang untuk menjadi penggantinya, akan tetapi, di sepanjang masa aktifnya pergerakan tersebut ia tidak memberikan tugas sedikit pun kepada penggantinya dan memperlakukannya sebagaimana orang biasa. Keberatan-keberatan di atas adalah bukti kuat bahwa Imam Ali bin abi thalib as setelah diperkenalkan sebagai pengganti dan washi Nabi Muhammad SAW di hari pertama dakwah, memiliki misi yang tidak berbeda dengan missi Nabi Muhammad SAW dan orang yang mengikutinya berarti ia juga mengikuti Nabi Muhammad SAW.

Kedua, berdasarkan riwayat-riwayat mutawatir yang dinukil oleh Ahlussunnah dan Syiah, Nabi Muhammad SAW pernah bersabda bahwa Imam Ali bin abi thalib as terjaga dari setiap dosa dan kesalahan, baik dalam ucapan maupun perilaku. Semua tindakan dan perilakunya sesuai dengan agama Islam dan ia adalah orang yang paling tahu tentang Islam.

Ketiga, Imam Ali bin abi thalib as adalah sosok figur yang telah berhasil menghidupkan Islam dengan pengorbanan-pengorbanan yang telah lakukannya. Seperti, ia pernah tidur di atas ranjang Nabi Muhammad SAW di malam peristiwa lailatul mabit ketika Nabi Muhammad SAW hendak berhijrah ke Madinah dan kepahlawannya di medan perang Badar, Uhud, Khandaq dan Khaibar. Seandainya pengorbanan-pengorbanan tersebut tidak pernah dilakukannya, niscaya Islam akan sirna di telan gelombang kebatilan.
Keempat, peristiwa Ghadir Khum adalah puncak keistimewaan yang dimiliki oleh Imam Ali bin abi thalib as Sebuah peristiwa –yang seandainya dapat direalisasikan sesuai dengan kehendak Nabi Muhammad SAW– akan memberikan warna lain terhadap Islam.

Semua keistimewaan dan keistimewaan-keistimewaan lain yang diakui oleh Ahlussunnah bahwa semua itu hanya dimiliki oleh Imam Ali bin abi thalib as secara otomatis akan menjadikan sebagian pengikut Nabi Muhammad SAW yang memang mencintai kesempurnaan dan hakikat, akan mencintai Imam Ali bin abi thalib as dan lebih dari itu, akan menjadi pengikutnya. Dan tidak menutup kemungkinan bagi sebagian pengikutnya yang memang memendam rasa dengki di hati kepada Imam Ali bin abi thalib as, untuk membencinya meskipun mereka melihat ia telah berjasa dalam mengembangkan dan menjaga Islam dari kesirnaan.

Mengapa Minoritas Syi’ah berpisah dari mayoritas Ahlussunnah?
Dengan melihat keistimewaan dan kedudukan yang dimiliki oleh Imam Ali bin abi thalib as, para pengikutnya meyakini bahwa ia adalah satu-satunya sahabat yang berhak untuk menggantikan kedudukan Nabi Muhammad SAW setelah ia wafat. Keyakinan ini menjadi semakin mantap setelah peristiwa “kertas dan pena” yang terjadi beberapa hari sebelum ia meninggal dunia. Akan tetapi, kenyataan bericara lain. Ketika Ahlul Bayt a.s. dan para pengikut setia mereka sedang sibuk mengurusi jenazah Nabi Muhammad SAW untuk dikebumikan, mayoritas sahabat yang didalangi oleh sekelompok sahabat yang memiliki kepentingan-kepentingan pribadi dengan Islam, berkumpul di sebuah balai pertemuan yang bernama Saqifah Bani Saidah guna menentukan khalifah pengganti Nabi Muhammad SAW. Dan dengan cara dan metode keji, para dalang “permainan” ini menentukan Abu Bakar sebagai khalifah pertama muslimin.

Setelah para pengikut Imam Ali bin abi thalib as yang hanya segelintir selesai mengebumikan jenazah Nabi Muhammad SAW, mereka mendapat berita bahwa khalifah muslimin telah dipilih. Banyak pengikut Imam Ali bin abi thalib as seperti Abbas, Zubair, Salman, Abu Dzar, Ammar Yasir dan lain-lain yang protes atas pemilihan tersebut dan menganggapnya tidak absah. Yang mereka dengar hanyalah alasan yang biasa dilontarkan oleh orang ingin membela diri. Mereka hanya berkata: “Kemaslahatan muslimin menuntut demikian”.

Protes minoritas inilah yang menyebabkan mereka memisahkan diri dari mayoritas masyarakat yang mendominasi arena politik kala itu. Dengan demikian, terwujudlah dua golongan di dalam tubuh masyarakat muslim yang baru ditinggal oleh pemimpinnya. Akan tetapi, pihak mayoritas yang tidak ingin realita itu diketahui oleh para musuh luar Islam, mereka mengeksposkan sebuah berita kepada masyarakat bahwa pihak minoritas itu adalah penentang pemerintahan yang resmi. Akibatnya, mereka dianggap sebagai musuh Islam.

Meskipun adanya tekanan-tekanan dari kelompok mayoritas, kelompok minoritas ini masih tetap teguh memegang keyakinannya bahwa kepemimpinan adalah hak Imam Ali bin abi thalib as setelah Nabi Muhammad SAW meninggal dunia. Bukan hanya itu, dalam menghadapi segala problema kehidupan, mereka hanya merujuk kepada Imam Ali bin abi thalib as untuk memecahkannya, bukan kepada pemerintah. Meskipun demikian, berkenaan dengan problema-problema yang menyangkut kepentingan umum, mereka tetap bersedia untuk ikut andil memecahkannya. Banyak problema telah terjadi yang tidak dapat dipecahkan oleh para khalifah, dan Imam Ali bin abi thalib as tampil aktif dalam memecahkannya.

Penyelewengan pada Masa Tiga Khalifah.
Pada masa kepemimpinan tiga khalifah pertama muslimin, banyak terjadi penyelewengan-penyelewengan dilakukan oleh mereka dalam menjalankan pemerintahan yang tidak sesuai dengan rel Islam dan sunnah Nabi Muhammad SAW. Diamnya pemerintah atas pembunuhan yang telah dilakukan oleh Khalid bin Walid terhadap Malik bin Nuwairah yang berlanjut dengan pemerkosaan terhadap istrinya, pembagian harta baitul mal yang tidak merata sehingga menimbulkan perbedaan strata masyarakat kaya dan miskin, penghapusan dua jenis mut’ah yang sebelumnya pernah berlaku pada masa Nabi Muhammad SAW, penghapusan khumus dari orang-orang yang berhak menerimanya, pelarangan penulisan hadis-hadis Nabi Muhammad SAW, pelarangan mengucapkan hayya ‘alaa khairil ‘amal dalam azan, pemberian harta dan dukungan istimewa kepada Mu’awiyah sehingga ia dapat berkuasa di Syam dengan leluasa, dan lain sebagainya, semua itu adalah bukti jelas penyelewengan dan kepincangan yang terjadi pada masa tiga khalifah pertama. Semua itu jelas terjadi sehingga orang yang berpikiran jernih dan tidak dipengaruhi oleh fanatisme mazhab akan dapat menerimanya dengan menelaah buku-buku sejarah yang otentik.

Setelah Utsman bin Affan, Khalifat ketiga muslimin dibunuh oleh para “pemberontak” yang tidak rela dengan kinerjanya selama ia memegang tampuk khilafah, masyarakat dengan serta merta memilih Imam Ali bin abi thalib as secara aklamasi untuk memegang tampuk khilafah. Di antara Muhajirin yang pertama kali berbai’at dengannya adalah Thalhah dan Zubair. Hal ini terjadi pada tahun 5 H. Sangat disayangkan kekhilafahannya hanya berjalan sekitar 4 tahun 5 bulan, masa yang sangat sedikit untuk mengadakan sebuah perombakan dan reformasi mendasar.

Begitu ia menjadi khalifah, khotbah pertama yang dilontarkannya adalah sebagai berikut: “Ketahuilah bahwa segala kesulitan yang pernah kalian alami di masa-masa pertama Nabi Muhammad SAW diutus menjadi nabi, sekarang akan kembali menimpa kalian. Sekarang orang-orang yang memiliki keahlian dan selama ini disingkirkan harus memiliki kedudukan yang layak dan orang-orang yang tidak becus harus disingkirkan dari kedudukan yang telah diberikan kepada mereka dengan tidak benar”.

Ia mengadakan perombakan-perombakan secara besar-besaran, baik di bidang birokrasi maupun bidang pembagian harta baitul mal. Ia mengganti semua gubernur daerah yang telah ditunjuk oleh para khalifah sebelumnya dengan orang-orang yang layak untuk memegang tampuk tersebut dan membagikan harta baitul mal dengan sama rata di antara masyarakat. Hal ini menyebabkan sebagian sahabat sakit hati. Tentunya mereka yang merasa dirugikan oleh metode Imam Ali bin abi thalib as tersebut. Hal itu dapat kita pahami dalam peristiwa-peristiwa berdarah berikut:

Faktor utama perang Jamal adalah rasa sakit hati Thalhah dan Zubair karena hak mereka –sebagai sahabat senior– dari harta baitul mal merasa dikurangi dan disamaratakan dengan masyarakat umum. Dengan alasan ingin menziarahi Ka’bah, mereka masuk ke kota Makkah dan menemui A’isyah yang memiliki hubungan tidak baik dengan Imam Ali bin abi thalib as demi mengajaknya memberontak atas pemerintahan yang sah. Slogan yang mereka gembar-gemborkan untuk menarik perhatian opini umum adalah membalas dendam atas kematian Utsman. Padahal, ketika Utsman dikepung oleh para “pemberontak” yang ingin membunuhnya, mereka ada di Madinah dan tidak sedikit pun usaha yang tampak dari mereka untuk membelanya. A’isyah sendiri adalah orang pertama dan paling bersemangat mensupport masyarakat untuk membunuhnya. Ketika ia mendengar Utsman telah terbunuh, ia mencelanya dan merasa bahagia karena itu.

Faktor utama perang Shiffin adalah rasa tamak Mu’awiyah atas khilafah, karena ia telah disingkirkan oleh Imam Ali bin abi thalib as dari kursi kegubernuran Syam. Perang ini berlangsung selama 1,5 tahun yang telah memakan banyak korban tidak bersalah. Slogan Mu’awiyah di perang adalah membalas dendam atas kematian Utsman juga. Padahal, selama Utsman dalam kepungan para “pemberontak”, ia meminta bantuan dari Mua’wiyah yang bercokol di Syam demi membasmi mereka. Dengan satu pleton pasukan lengkap, Mu’awiyah berangkat dari Syam ke arah Madinah. Akan tetapi, di tengah perjalanan mereka sengaja memperlambat jalannya pasukan sehingga Utsman terbunuh. Setelah mendengar Utsman terbunuh, mereka kembali ke Syam dan kemudian bergerak kembali menuju ke Madinah dengan slogan “membalas dendam atas kematian Utsman”. Akhirnya pecahlah Shiffin.

Anehnya, ketika Imam Ali bin abi thalib as syahid dan Mu’awiyah berhasil memegang tampuk khilafah, mengapa ia tidak mendengung-dengungkan kembali slogan “membalas dendam atas kematian Utsman”?
Setelah perang Shiffin berhasil dipadamkan, perang Nahrawan berkecamuk. Faktornya adalah ketidakpuasan sebagian sahabat yang disulut oleh Mu’awiyah atas pemerintahan Imam Ali bin abi thalib as dan atas hasil perdamaian yang dipaksakan oleh mereka sendiri terhadap Imam Ali bin abi thalib as yang menghasilkan pencabutannya dari kursi khilafah dan penetapan Mu’awiyah sebagai khalifah muslimin. Tapi akhirnya, Imam Ali bin abi thalib as juga berhasil memadamkan api perang tersebut.

Tidak lama berselang dari peristiwa Nahrawan, Imam Ali bin abi thalib as syahid dengan kepala yang mengucurkan darah akibat tebasan pedang Abdurrahman bin Muljam di mihrab masjid Kufah.

Keberhasilan-keberhasilan Pemerintahan Imam Ali bin abi thalib as.
Meskipun Imam Ali bin abi thalib as tidak berhasil memapankan kembali situasi masyarakat Islam yang sudah bobrok itu secara sempurna, akan tetapi, dalam tiga segi ia dapat dikatakan berhasil:
Pertama, dengan kehidupan sederhana yang dimilikinya, ia berhasil menunjukkan kepada masyarakat luas, khususnya para generasi baru, metode hidup Nabi Muhammad SAW yang sangat menarik dan pantas untuk diteladani. Hal ini berlainan sekali dengan kehidupan Mu’awiyah yang serba mewah. Ia a.s. tidak pernah mendahulukan kepentingan keluarganya atas kepentingan umum.

Kedua, dengan segala kesibukan dan problema sosial yang dihadapinya, ia masih sempat meninggalkan warisan segala jenis ilmu pengetahuan yang berguna bagi kehidupan masyarakat dan dapat dijadikan sebagai penunjuk jalan untuk mencapai tujuan hidup insani yang sebenarnya. Ia mewariskan sebelas ribu ungkapan-ungkapan pendek dalam berbagai bidang ilmu pengetahuan rasional, sosial dan keagamaan. Ia adalah pencetus tata bahasa Arab dan orang pertama yang mengutarakan pembahasan-pembahasan filosofis yang belum pernah dikenal oleh para filosof kaliber kala itu. Dan ia juga orang pertama dalam Islam yang menggunakan argumentasi-argumentasi rasional dalam menetapkan sebuah pembahasan filosofis.
Ketiga, ia berhasil mendidik para pakar agama Islam yang dijadikan sumber rujukan dalam bidang ilmu ‘irfan oleh para ‘arif di masa sekarang, seperti Uwais Al-Qarani, Kumail bin Ziyad, Maitsam At-Tammar dan Rusyaid Al-Hajari.

Masa Sulit bagi Mazhab Syiah.
Setelah Imam Ali bin abi thalib as syahid di mihrab shalatnya, masyarakat waktu itu membai’at Imam Hasan a.s. untuk memegang tampuk khilafah. Setelah ia dibai’at, Mu’awiyah tidak tinggal diam. Ia malah mengirim pasukan yang berjumlah cukup besar ke Irak sebagai pusat pemerintahan Islam waktu itu untuk mengadakan peperangan dengan pemerintahan yang sah. Dengan segala tipu muslihat dan iming-iming harta yang melimpah, Mu’wiyah berhasil menipu para anggota pasukan Imam Hasan a.s. dan dengan teganya mereka meninggalkannya sendirian. Melihat kondisi yang tidak berpihak kepadanya dan dengan meneruskan perang Islam akan hancur, dengan terpaksa ia harus mengadakan perdamaian dengan Mu’awiyah. (Butir-butir perjanjian ini dapat dilihat di sejarah 14 ma’shum a.s).

Setelah Mu’awiyah berhasil merebut khilafah dari tangan Imam Hasan a.s. pada tahun 40 H., –sebagaimana layaknya para pemeran politik kotor– ia langsung menginjak-injak surat perdamaian yang telah ditandatanganinya. Dalam sebuah kesempatan ia pernah berkata: “Aku tidak berperang dengan kalian karena aku ingin menegakkan shalat dan puasa. Sesungguhnya aku hanya ingin berkuasa atas kalian, dan aku sekarang telah sampai kepada tujuanku”.

Dengan demikian, Mu’awiyah ingin menghidupkan kembali sistem kerajaan sebagai ganti dari sistem khilafah sebagai penerus kenabian. Hal ini diperkuat dengan diangkatnya Yazid, putranya sebagai putra mahkota dan penggantinya setelah ia mati.

Mua’wiyah tidak pernah memberikan kesempatan kepada para pengikut Syi’ah untuk bernafas dengan tenang. Setiap ada orang yang diketahui sebagai pengikut Syi’ah, ia akan langsung dibunuh di tempat. Bukan hanya itu, setiap orang yang melantunkan syair yang berisi pujian terhadap keluarga Ali a.s., ia akan dibunuh meskipun ia bukan pengikut Syi’ah. Tidak cukup sampai di sini saja, ia juga memerintahkan kepada para khotib shalat Jumat untuk melaknat dan mencerca Imam Ali bin abi thalib as Kebiasaan ini berlangsung hingga masa pemerintahan Umar bin Abdul Aziz pada tahun 99-101 H.

Masa pemerintahan Mu’awiyah (selama 20 tahun) adalah masa tersulit bagi Mazhab Syiah di mana mereka tidak pernah memiliki sedikit pun kesempatan untuk bernafas.

Mayoritas pengikut Ahlussunnah menakwilkan semua pembunuhan yang telah dilakukan oleh para sahabat, khususnya Mu’awiyah itu dengan berasumsi bahwa mereka adalah sahabat Nabi SAWW dan semua perilaku mereka adalah ijtihad yang dilandasi oleh hadis-hadis yang telah mereka terima darinya. Oleh karena itu, semua perilkau mereka adalah benar dan diridhai oleh Allah SWT. Seandainya pun mereka salah dalam menentukan sikap dan perilaku, mereka akan tetap mendapatkan pahala berdasarkan ijtihad tang telah mereka lakukan.

Akan tetapi, Syi’ah tidak menerima asumsi di atas dengan alasan sebagai berikut:
Pertama, tidak masuk akal jika seorang pemimpin yang ingin menegakkan kebenaran, keadilan dan kebebasan dan mengajak orang-orang yang ada si sekitarnya untuk merealisasikan hal itu, setelah tujuan yang diinginkannya itu terwujudkan, ia merusak sendiri cita-citanya dengan cara memberikan kebebasan mutlak kepada para pengikutnya, dan segala kesalahan, perampasan hak orang lain dengan segala cara, serta tindakaan-tindakan kriminal yang mereka lakukan dimaafkan.

Kedua, hadis-hadis yang “menyucikan” para sahabat dan membenarkan semua perilaku non-manusiwi mereka berasal dari para sahabat sendiri. Dan sejarah membuktikan bahwa mereka tidak pernah memperhatikan hadis-hadis di atas. Mereka saling menuduh, membunuh, mencela dan melaknat. Dengan bukti di atas, keabsahan hadis-hadis di atas perlu diragukan.

Mu’awiyah menemui ajalnya pada tahun 60 H. dan Yazid, putranya menduduki kedudukannya sebagai pemimpin umat Islam. Sejarah membuktikan bahwa Yazid adalah sosok manusia yang tidak memiliki kepribadian luhur sedikit pun. Kesenangannya adalah melampiaskan hawa nafsu dan segala keinginannya. Dengan latar belakangnya yang demikian “cemerlang”, tidak aneh jika di tahun pertama memerintah, ia tega membunuh Imam Husein a.s., para keluarga dan sahabatnya dengan dalih karena mereka enggan berbai’at dengannya. Setelah itu, ia menancapkan kepala para syahid tersebut di ujung tombak dan mengelilingkannya di kota-kota besar; Di tahun kedua memerintah, ia mengadakan pembunuhan besar-besaran di kota Madinah dan menghalalkan darah, harta dan harga diri penduduk Madinah selama tiga hari kepada para pasukannya; Di tahun ketiga memerintah, ia membakar Ka’bah, kiblat muslimin.

Setelah masa Yazid dengan segala kebrutalannya berlalu, Bani Marwan yang masih memiliki hubungan keluarga dengan Bani Umaiyah menggantikan kedudukannya. Mereka pun tidak kalah kejam dan keji dari Yazid. Mereka berhasil berkuasa selama 70 tahun dan jumlah khalifah dari dinasti mereka adalah sebelas orang. Salah seorang dari mereka pernah ingin membuat sebuah kamar di atas Ka’bah dengan tujuan untuk melampiaskan hawa nafsunya di dalamnya ketika musim haji tiba.

Dengan melihat kelaliman yang dilakukan oleh para khalifah waktu itu, para pengikut Syi’ah makin kokoh dalam memegang keyakinan mereka. Di akhir-akhir masa kekuasaan Bani Umaiyah, mereka dapat menunjukkan kepada masyarakat dunia bahwa mereka masih memilliki eksistensi dan mampu untuk melawan para penguasa lalim. Di masa keimamahan Imam Muhammad Baqir a.s. dan belum 40 tahun berlalu dari terbunuhnya Imam Husein a.s., para pengikut Syi’ah yang berdomisili di berbagai negara dengan memanfaatkan kelemahan pemerintahan Bani Umaiyah karena tekanan-tekanan dari para pemberontak yang tidak puas dengan perilaku mereka, datang ke Madinah untuk belajar dari Imam Baqir a.s. Sebelum abad ke-1 H. usai, beberapa pembesar kabilah di Iran membangun kota Qom dan meresmikannya sebagai kota pemeluk Syi’ah. Beberapa kali para keturunan Imam Ali bin abi thalib as karena tekanan yang dilakukan oleh Bani Umaiyah atas mereka, mengadakan pemberontakan-pemberontakan melawan penguasa dan perlawanan mereka –meskipun mengalami kekalahan– sempat mengancam keamanan pemerintah. Realita ini menunjukkan bahwa eksistensi Syi’ah belum sirna.

Dikarenakan kelaliman dinasti Bani Umaiyah yang sudah melampui batas, opini umum sangat membenci dan murka terhadap mereka. Setelah dinasti mereka runtuh dan penguasa terkahir mereka (Marwan ke-2 yang juga dikenal dengan sebutan Al-Himar, berkuasa dari tahun 127-132 H.) dibunuh, dua orang putranya melarikan diri bersama keluarganya. Mereka meminta suaka politik kepada berbagai negara, dan mereka enggan memberikan suaka politik kepada para pembunuh keluarga Nabi Muhammad SAW tersebut. Setelah mereka terlontang-lantung di gurun pasir yang panas, mayoritas mereka binasa karena kehausan dan kelaparan. Sebagian yang masih hidup pergi ke Yaman, dan kemudian dengan berpakaian compang-camping ala pengangkat barang di pasar-pasar mereka berhasil memasuki kota Makkah. Di Makkah pun mereka tidak berani menampakkan batang hidung, mungkin karena malu atau karena sebab yang lain.

Sejarah Syiah pada Abad Ke-2 H.
Di akhir-akhir sepertiga pertama abad ke-2 H., karena kelaliman dinasti Bani Umaiyah, muncul sebuah pemberontakan dari arah Khurasan, Iran dengan mengatasnamakan Ahlu Bayt a.s. Pemberontakan ini dipelopori oleh seorang militer berkebangsaan Iran yang bernama Abu Muslim Al-Marwazi. Dengan syiar ingin membalas dendam atas darah Ahlu Bayt a.s., ia memulai perlawanannya terhadap dinasti Bani Umaiyah. Banyak masyarakat yang tergiur dengan syiar tersebut sehingga mereka mendukung pemberontakannya. Akan tetapi, pemberontakan ini tidak mendapat dukungan dari Imam Shadiq a.s. Ketika Abu Muslim menawarkan kepadanya untuk dibai’at sebagai pemimpin umat, ia menolak seraya berkata: “Engkau bukanlah orangku dan sekarang bukan masaku untuk memberontak”.

Setelah mereka berhasil merebut kekuasaan dari tangan Bani Umaiyah, di hari-hari pertama berkuasa mereka memperlakukan para keturunan Imam Ali bin abi thalib as dengan baik, dan demi membalas dendam atas darah mereka yang telah dikucurkan, mereka membunuh semua keturunan Bani Umaiyah. Bahkan, mereka menggali kuburan-kuburan para penguasa Bani Umaiyah untuk dibakar jenazah mereka. Tidak lama berlalu, mereka mulai mengadakan penekanan-penekanan serius terhadap para keturunan Imam Ali bin abi thalib as dan para pengikut mereka serta orang-orang yang simpatik kepada mereka. Abu Hanifah pernah dipenjara dan disiksa oleh Manshur Dawaniqi dan Ahmad bin Hanbal juga pernah dicambuk olehnya. Imam Shadiq a.s. setelah disiksa dengan keji, dibunuh dengan racun dan para keturunan Imam Ali bin abi thalib as dibunuh atau dikubur hidup-hidup.

Kesimpulannya, kondisi para pengikut Syi’ah pada masa berkuasanya dinasti Bani Abasiah tidak jauh berbeda dengan kondisi mereka pada masa dinasti Bani Umaiyah.

Sejarah Syiah pada Abad Ke-3 H.
Dengan masuknya abad ke-3 H., para pengikut Syi’ah Imamiah mendapatkan kesempatan baru untuk mengembangkan missi mereka. Mereka dapat menikmati sedikit keleluasaan untuk mengembangkan dakwah di berbagai penjuru. Faktornya adalah dua hal berikut:
Pertama, banyaknya buku-buku berbahasa Yunani dan Suryani dalam bidang filsafat dan ilmu pengetahuan yang diterjemahkan ke dalam bahasa Arab, dan masyarakat bersemangat untuk memperlajari ilmu-ilmu rasional dengan antusias. Di samping itu, peran Ma`mun Al-Abasi (195-218 H.) juga tidak patut dilupakan. Ia menganut mazhab Mu’tazilah yang sangat mendorong para pengikutnya untuk mengembangkan dan mempelajari argumentasi-argumentasi rasional. Oleh karena itu, ia memberikan kebebasan penuh kepada para pemikir dan teolog setiap agama untuk menyebarkan teologi dan keyakinan mereka masing-masing. Para pengikut Syi’ah tidak menyia-siakan kesempatan ini. Mereka mengembangkan jangkauan mazhab Syi’ah ke berbagai penjuru kota dan mengadakan dialog dengan para pemimpin agama lain demi mengenalkan keyakinan mazhab Syi’ah kepada khalayak ramai.

Kedua, Ma`mun Al-Abasi mengangkat Imam Ridha a.s. sebagai putra mahkota. Dengan ini, para keturunan Imam Ali bin abi thalib as dan sahabat mereka terjaga dari jamahan tangan para penguasa, dan menemukan ruang gerak yang relatif bebas.

Akan tetapi, kondisi ini tidak berlangsung lama. Karena setelah semua itu berlalu, politik kotor dinasti Bani Abasiyah mulai merongrong para keturunan Imam Ali bin abi thalib as dan pengikut mereka kembali. Khususnya pada masa Mutawakil Al-Abasi (232-247 H.). Atas perintahnya, kuburan Imam Husein a.s. di Karbala` diratakan dengan tanah.

Sejarah Syiah pada Abad ke-4 H.
Pada abad ke-4 H., dengan melemahnya kekuatan dinasti Bani Abasiyah dan kuatnya pengaruh para raja dinasti Alu Buyeh yang menganut mazhab Syi’ah di Baghdad (pusat khilafah Bani Abasiyah kala itu), terwujudlah sebuah kesempatan emas bagi para penganut Syi’ah untuk mengembangkan mazhab mereka dengan leluasa. Dengan demikian, –menurut pendapat para sejarawan–mayoritas penduduk jazirah Arab, seperti Hajar, Oman, dan Sha’dah, kota Tharablus, Nablus, Thabariah, Halab dan Harat menganut mazhab Syi’ah kecuali mereka yang berdomisili di kota-kota besar. Antara kota Bashrah sebagai pusat mazhab Ahlussunnah dan kota Kufah sebagai pusat mazhab Syi’ah selalu terjadi gesekan-gesekan antar mazhab. Tidak sampai di situ, penduduk kota Ahvaz dan Teluk Persia di Iran juga memeluk mazhab Syi’ah.

Di awal abad ini, seorang mubaligh yang bernama Abu Muhammad Hasan bin Ali bin Hasan bin Ali bin Umar bin Ali bin Imam Husein a.s. yang dikenal dengan sebutan Nashir Uthrush (250-320 H.) melakukan aktifitas dakwahnya di Iran Utara dan berhasil menguasai Thabaristan. Lalu ia membentuk sebuah kerajaan di sana. Sebelumnya, Hasan bin Yazid Al-Alawi juga pernah berkuasa di daerah itu.

Pada abad ini juga tepatnya tahun 296-527 H., dinasti Fathimiyah yang menganut mazhab Syi’ah Isma’iliyah berhasil menguasai Mesir dan mendirikan kerajaan besar di sana.
Sangat sering terjadi gesekan-gesekan antar mazhab di kota-kota seperti Bahgdad, Bashrah dan Nisyabur antara mazhab Ahlusunnah dan Syi’ah, dan di mayoritas gesekan antar mazhab tersebut, Syi’ah berhasil menang dengan gemilang.

Sejarah Syiah pada Abad ke-5 hingga Abad ke-9 H.
Dari abad ke-5 hingga abad ke-9 H., sistematika perkembangan mazhab Syi’ah tidak jauh berbeda dengan sistematika perkembangannya pada abad ke-4. Perkembangannya selalu didukung oleh kekuatan pemerintah yang memang menganut mazhab Syi’ah. Di akhir abad ke-5 H., mazhab Syi’ah Isma’iliyah berkuasa di Iran selama kurang lebih satu setengah abad dan ia dapat menyebarkan ajaran-ajaran Syi’ah dengan leluasa. Dinasti Al-Mar’asyi bertahun-tahun berkuasa di Mazandaran, Iran. Setelah masa mereka berlalu, dinasti Syah Khudabandeh, silsilah kerajaan Mongol memeluk dan menyebarkan mazhab Syi’ah. Dan kemudian, raja-raja dari dinasti Aaq Quyunlu dan Qareh Quyunlu yang berkuasa di Tabriz dan kekuasaan mereka terbentang hingga ke daerah Kerman serta dinasti Fathimiyah di Mesir berhasil menyebarkan mazhab Syi’ah ke seluruh masyarakat ramai.

Akan tetapi, hal itu tidak berlangsung lama. Setelah dinasti Fathimiyah mengalami kehancuran dan dinati Alu Ayyub berkuasa, para pengikut Syi’ah mulai terikat kembali dan mereka tidak bebas menyebarkan mazhab mereka. Banyak para tokoh Syi’ah yang dipenggal kepalanya pada masa itu. Seperti Syahid Awal dan seorang faqih kenamaan Syi’ah, Muhammad bin Muhammad Al-Makki dipenggal kepalanya pada tahun 786 H. di Damaskus karena tuduhan menganut mazhab Syi’ah, dan Syeikh Isyraq, Syihabuddin Sahruwardi dipenggal kepalanya di Halab karena tuduhan mengajarkan filsafat.

Sejarah Syiah pada Abad ke-10 hingga ke-11 H.
Pada tahun 906 H., Syah Isma’il Shafawi yang masih berusia 13 tahun, salah seorang keturunan Syeikh Shafi Al-Ardabili (seorang syeikh thariqah di mazhab Syi’ah dan meninggal pada tahun 153 H.), ingin mendirikan sebuah negara Syi’ah yang mandiri. Akhirnya, ia mengumpulkan para Darwisy pengikut kakeknya dan mengadakan pemberontakan dimulai dari daerah Ardabil dengan cara memberantas sistem kepemimpinan kabilah yang dominan kala itu dan membebaskan seluruh daerah Iran dari cengkraman dinasti Utsmaniyah dengan tujuan supaya Iran menjadi negara yang tunggal. Dan ia berhasil mewujudkan cita-citanya tersebut sehingga sebuah kerajaan Syi’ah Imamiah terbentuk dan berdaulat kala itu. Setelah ia meninggal dunia, kerajaannya diteruskan oleh putra-putranya. Mazhab Syi’ah kala itu memiliki legistimasi hukum yang sangat kuat sehingga semua organ pemerintah menganut mazhab Syi’ah. Pada masa kecemerlangan dinasti Shafawiyah di bawah pimpinan Syah Abbas yang Agung, kuantitas pengikut Syi’ah mencapai dua kali lipat penduduk Iran pada tahun 1384 H.

Sejarah Syiah Pada Abad ke-12 hingga ke-14 H.
Di tiga abad terakhir ini, mazhab Syi’ah berkembang dengan sangat pesat, khususnya setelah ia menjadi mazhab resmi Iran setelah kemenangan Revolusi Islam. Begitu juga di Yaman dan Irak, mayoritas penduduknya memeluk mazhab Syi’ah. Dapat dikatakan bahwa di setiap negara yang penduduknya muslim, akan ditemukan para pemeluk Syi’ah. Di masa sekarang, diperkirakan bahwa pengikut Syi’ah di seluruh dunia berjumlah 300.000.000 lebih.

Terkait Berita: