Hadis Keadaan Imam Ali Sepeninggal Nabi SAW.
Rasulullah SAW melalui lisan sucinya
telah mengabarkan kepada Imam Ali, bagaimana kondisi Imam Ali
sepeninggal Beliau SAW. Beliau SAW mengatakan bahwa Imam Ali akan
mengalami kesukaran atau kesulitan sepeninggal Beliau SAW. Hal ini
diriwayatkan dalam kabar shahih yang tercatat dalam kitab Al Mustadrak Al Hakim 3/151 no 4677
أخبرنا أحمد بن سهل الفقيه البخاري ثنا سهل بن المتوكل ثنا أحمد بن يونس ثنا محمد بن فضيل عن أبي حيان التيمي عن سعيد بن جبير عن ابن عباس رضي الله عنهما قال : قال النبي صلى الله عليه و سلم لعلي أما أنك ستلقى بعدي جهدا قال في سلامة من ديني ؟ قال : في سلامة من دينك
Telah mengabarkan kepada kami
Ahmad bin Sahl seorang faqih dari Bukhara yang berkata telah
menceritakan kepada kami Sahl bin Mutawwakil yang berkata telah
menceritakan kepada kami Ahmad bin Yunus yang berkata telah menceritakan
kepada kami Muhammad bin Fudhail dari Abi Hayyan At Taimi dari Sa’id
bin Jubair dari Ibnu Abbas RA yang berkata Nabi SAW berkata kepada Ali “Sesungguhnya kamu akan mengalami kesukaran (bersusah payah) sepeninggalKu”. Ali bertanya “apakah dalam keselamatan agamaku?”. Nabi SAW menjawab “dalam keselamatan agamamu”.
Kedudukan Hadis
Hadis Shahih. Hadis ini
telah diriwayatkan oleh para perawi tsiqat dan perawi Bukhari dan Muslim
sehingga bisa dikatakan sanadnya shahih sesuai persyaratan Bukhari dan
Muslim. Al Hakim setelah meriwayatkan hadis ini berkata:
هذا حديث صحيح على شرط الشيخين ولم يخرجاه
Hadis ini shahih sesuai syarat Bukhari dan Muslim tetapi mereka tidak meriwayatkannya.
Adz Dzahabi dalam Talkhis Al Mustadrak
4/238 hadis no 4677 juga mengakui kalau hadis ini shahih sesuai dengan
persyaratan Bukhari Muslim. Berikut keterangan mengenai para perawinya.
- Ahmad bin Sahl Abu Nashr yaitu seorang faqih dari Bukhara, Al Hakim menyebutnya sebagai Imam dan ia telah dinyatakan tsiqat oleh Al Khalili dalam Al Irsyad 3/190
- Sahl bin Mutawwakil Al Bukhari adalah seorang yang tsiqah. Ibnu Hibban memasukkannya dalam Ats Tsiqat juz 8 no 13521 dan Abu Ya’la Al Khalili dalam Al Irsyad 3/182 juga menyatakan ia tsiqat.
- Ahmad bin Yunus dia seorang Imam Hujjah dan Al Hafiz yang tsiqah sebagaimana disebutkan Adz Dzahabi dalam Siyar ‘Alam An Nubala 10/457 no 151. Ibnu Hajar menyebutkan biografinya dalam At Tahdzib juz 1 no 87, ia perawi Bukhari Muslim dan Ashabus Sunan dan telah dinyatakan tsiqat oleh Abu Hatim, Nasa’i, Al Ajli, Ibnu Sa’ad, Ibnu Hibban dan Ibnu Qani’. Dalam At Taqrib 1/39 ia disebut seorang hafiz yang tsiqat.
- Muhammad bin Fudhail bin Ghazwan adalah seorang syiah yang dikenal tsiqat. Ibnu Hajar dalam At Tahdzib juz 9 no 660 menyebutkan bahwa ia seorang perawi Bukhari Muslim dan Ashabus Sunan yang dinyatakan tsiqat oleh Ali bin Madini, Yaqub bin Sufyan, Ibnu Ma’in, Ibnu Sa’ad, Al Ajli, Ibnu Hibban dan Ibnu Syahin. Dalam At Taqrib 2/125 Ibnu Hajar menyebutnya shaduq dan tasyayyu’. Sebenarnya ia seorang yang tsiqah seperti yang dinyatakan Adz Dzahabi dalam Al Kasyf no 5115 oleh karena itu pernyataan Ibnu Hajar dikoreksi dalam Tahrir At Taqrib no 6227 bahwa Muhammad bin Fudhail tsiqat.
- Yahya bin Said bin Hayyan atau yang dikenal Abu Hayyan At Taimi. Ibnu Hajar menyebutkan dalam At Tahdzib juz 11 no 357 bahwa ia seorang perawi Bukhari Muslim dan Ashabus Sunan dan telah dinyatakan tsiqat oleh Ibnu Ma’in, An Nasa’i, Al Fallas, Yaqub bin Sufyan, Al Ajli dan Ibnu Hibban. Ibnu Hajar dalam At Taqrib 2/303 menyatakan ia tsiqat.
- Sa’id bin Jubair adalah seorang tabiin yang dikenal tsiqat dan dijadikan hujjah oleh Bukhari dan Muslim sebagaimana yang disebutkan Ibnu Hajar dalam At Tahdzib juz 4 no 14. Ibnu Hajar dalam At Taqrib 1/349 menyatakan ia tsiqat tsabit.
Jadi hadis ini tidak diragukan lagi keshahihannya dan shahih sesuai persyaratan Bukhari Muslim. Dan seperti biasa salafiyun suka mencari-cari dalih untuk mencacatkan hadis yang memberatkan mereka.
Kelalaian Syaikh Al Albani.
Syaikh Al Albani memasukkan hadis ini dalam kitabnya Silsilah Ahadits Adh Dhaifah 10/556 no 4906. Tentu saja hal ini merupakan keanehan luar biasa yang muncul dari Syaikh. Syaikh menyatakan bahwa hadis ini dhaif karena Sahl bin Mutawwakil perawi yang majhul dan tidak ada keterangannya dalam kitab biografi perawi hadis. Kami katakan bahwa Syaikh Al Albani benar-benar keliru, seandainya ia membuka kitab Ats Tsiqat Ibnu Hibban dan kitab Al Irsyad Abu Ya’la Al Khalili maka ia akan menemukan kalau Sahl bin Mutawwakil itu seorang yang tsiqah.
Sungguh kami dibuat terheran-heran, bagaimana mungkin kami yang bodoh
ini bisa menemukan keterangan tentang Sahl bin Mutawwakil tetapi Syaikh
pujaan hujjah salafy itu mengaku tidak menemukannya. Sungguh kelalaian
menimbulkan kemungkaran.
Penjelasan Singkat.
Hadis tersebut menjelaskan bahwa setelah Rasulullah SAW wafat, Imam Ali akan mengalami kesukaran atau kepayahan dan memang terbukti dalam sejarah bahwa setelah Rasulullah SAW wafat dimulai kezaliman pertama kepada Ahlul Bait yaitu ancaman pembakaran rumah Imam Ali. Sungguh sukar dimengerti bagaimana mereka yang mengaku mencintai Rasulullah SAW
bisa menunjukkan tingkah yang keji seperti itu kepada Ahlul Bait
Rasulullah SAW. Kesedihan Ahlul Bait karena ditinggal pergi Rasul SAW
kini ditambah dengan perlakuan yang sangat tidak baik kepada mereka.
Kami tidak menafikan bahwa diantara yang berbuat tidak baik itu ada sahabat yang berjasa dalam perjuangan islam.
Tetapi jasa tersebut tidaklah membuat sahabat menjadi kebal hukum.
Sahabat tetaplah orang yang perbuatannya harus ditimbang dengan kacamata
syariat. Sebagaimana telah disepakati bahwa para sahabat tidaklah
maksum, mereka bisa saja berbuat kesalahan bahkan kesalahan yang fatal.
Oleh karena itu tidak ada alasan sedikitpun untuk membela perbuatan
sahabat yang tidak baik kepada Ahlul Bait Rasul SAW. Ahlul
Bait sudah seharusnya dijadikan pegangan oleh sahabat agar tidak
tersesat, siapapun yang berbuat buruk dan menyusahkan Ahlul Bait atau
menentang Ahlul Bait maka dia sudah menyimpang dari jalan yang lurus. (http://secondprince.wordpress.com/)
Tambahan:
SEJARAH MUNCULNYA SYI’AH.
Mengapa Minoritas Syi’ah berpisah dari mayoritas Ahlussunnah?
Dengan melihat keistimewaan dan kedudukan yang dimiliki
oleh Imam Ali a.s., para pengikutnya meyakini bahwa ia adalah
satu-satunya sahabat yang berhak untuk menggantikan kedudukan Rasulullah
SAW setelah ia wafat.
Keyakinan ini menjadi semakin mantap setelah peristiwa
“kertas dan pena” yang terjadi beberapa hari sebelum ia meninggal dunia.
Akan tetapi, kenyataan bericara lain.
Ketika Ahlul Bayt a.s. dan para pengikut setia mereka
sedang sibuk mengurusi jenazah Rasulullah SAW untuk dikebumikan,
mayoritas sahabat yang didalangi oleh sekelompok sahabat yang memiliki
kepentingan-kepentingan pribadi dengan Islam, berkumpul di sebuah balai
pertemuan yang bernama Saqifah Bani Sa’idah guna menentukan khalifah
pengganti Rasulullah SAW.
Dan dengan cara dan metode keji, para dalang “permainan” ini menentukan Abu Bakar sebagai khalifah pertama muslimin.
Setelah para pengikut Imam Ali a.s. yang hanya segelintir
selesai mengebumikan jenazah Rasulullah SAW, mereka mendapat berita
bahwa khalifah muslimin telah dipilih. Banyak pengikut Imam Ali a.s.
seperti Abbas, Zubair, Salman, Abu Dzar, Ammar Yasir dan lain-lain yang
protes atas pemilihan tersebut dan menganggapnya tidak absah.
Yang mereka dengar hanyalah alasan yang biasa dilontarkan
oleh orang ingin membela diri. Mereka hanya berkata: “Kemaslahatan
muslimin menuntut demikian”.
Protes minoritas inilah yang menyebabkan mereka
memisahkan diri dari mayoritas masyarakat yang mendominasi arena politik
kala itu.
Dengan demikian, terwujudlah dua golongan di dalam tubuh
masyarakat muslim yang baru ditinggal oleh pemimpinnya. Akan tetapi,
pihak mayoritas yang tidak ingin realita itu diketahui oleh para musuh
luar Islam, mereka mengeksposkan sebuah berita kepada masyarakat bahwa
pihak minoritas itu adalah penentang pemerintahan yang resmi. Akibatnya,
mereka dianggap sebagai musuh Islam.
Meskipun adanya tekanan-tekanan dari kelompok mayoritas, kelompok
minoritas ini masih tetap teguh memegang keyakinannya bahwa kepemimpinan
adalah hak Imam Ali a.s. setelah Rasulullah SAW meninggal dunia.Bukan hanya itu, dalam menghadapi segala problema kehidupan, mereka hanya merujuk kepada Imam Ali a.s. untuk memecahkannya, bukan kepada pemerintah. Meskipun demikian, berkenaan dengan problema-problema yang menyangkut kepentingan umum, mereka tetap bersedia untuk ikut andil memecahkannya. Banyak problema telah terjadi yang tidak dapat dipecahkan oleh para khalifah, dan Imam Ali a.s. tampil aktif dalam memecahkannya.
Penyelewengan pada Masa Tiga Khalifah.
Pada masa kepemimpinan tiga khalifah pertama muslimin,
banyak terjadi penyelewengan-penyelewengan dilakukan oleh mereka dalam
menjalankan pemerintahan yang tidak sesuai dengan rel Islam dan sunnah
Rasulullah SAW.
Diamnya pemerintah atas pembunuhan yang telah dilakukan
oleh Khalid bin Walid terhadap Malik bin Nuwairah yang berlanjut dengan
pemerkosaan terhadap istrinya, pembagian harta baitul mal yang tidak
merata sehingga menimbulkan perbedaan strata masyarakat kaya dan miskin,
penghapusan dua jenis mut’ah yang sebelumnya pernah berlaku pada masa
Rasulullah SAW, penghapusan khumus dari orang-orang yang berhak
menerimanya, pelarangan penulisan hadis-hadis Rasulullah SAW, pelarangan
mengucapkan hayya ‘alaa khairil ‘amal dalam azan, pemberian harta dan
dukungan istimewa kepada Mu’awiyah sehingga ia dapat berkuasa di Syam
dengan leluasa, dan lain sebagainya, semua itu adalah bukti jelas
penyelewengan dan kepincangan yang terjadi pada masa tiga khalifah
pertama.
Semua itu jelas terjadi sehingga orang yang berpikiran
jernih dan tidak dipengaruhi oleh fanatisme mazhab akan dapat
menerimanya dengan menelaah buku-buku sejarah yang otentik.
Setelah Utsman bin Affan, Khalifat ketiga muslimin dibunuh
oleh para “pemberontak” yang tidak rela dengan kinerjanya selama ia
memegang tampuk khilafah, masyarakat dengan serta merta memilih Imam Ali
a.s. secara aklamasi untuk memegang tampuk khilafah. Di antara
Muhajirin yang pertama kali berbai’at dengannya adalah Thalhah dan
Zubair.
Hal ini terjadi pada tahun 5 H. Sangat disayangkan
kekhilafahannya hanya berjalan sekitar 4 tahun 5 bulan, masa yang sangat
sedikit untuk mengadakan sebuah perombakan dan reformasi mendasar.
Begitu ia menjadi khalifah, khotbah pertama yang dilontarkannya
adalah sebagai berikut: “Ketahuilah bahwa segala kesulitan yang pernah
kalian alami di masa-masa pertama Rasulullah SAW diutus menjadi nabi,
sekarang akan kembali menimpa kalian.
Sekarang orang-orang yang memiliki keahlian dan selama ini
disingkirkan harus memiliki kedudukan yang layak dan orang-orang yang
tidak becus harus disingkirkan dari kedudukan yang telah diberikan
kepada mereka dengan tidak benar”.
Seperti, ia pernah tidur di atas ranjang Rasulullah SAW di malam peristiwa lailatul mabit ketika Rasulullah SAW hendak berhijrah ke Madinah dan kepahlawannya di medan perang Badar, Uhud, Khandaq dan Khaibar.
Seandainya pengorbanan-pengorbanan tersebut tidak pernah
dilakukannya, niscaya Islam akan sirna di telan gelombang kebatilan.,
berdasarkan riwayat-riwayat mutawatir yang dinukil oleh Ahlussunnah dan
Syi’ah, Rasulullah SAW pernah bersabda bahwa Imam Ali a.s. terjaga dari
setiap dosa dan kesalahan, baik dalam ucapan maupun perilaku.
Semua tindakan dan perilakunya sesuai dengan agama Islam dan ia
adalah orang yang paling tahu tentang Islam., ketika Rasulullah SAW
mendapat perintah dari Allah SWT untuk mengajak keluarga terdekatnya
masuk Islam, ia berkata kepada mereka: “Barang siapa di antara kalian
yang siap untuk mengikutiku, maka ia akan menjadi pengganti dan washiku
setelah aku meninggal dunia”.
Tidak ada seorang pun di antara mereka yang bersedia untuk mengikutinya kecuali Ali a.s.
Sangat tidak masuk akal jika seorang pemimpin pergerakan –di hari
pertama ia memulai langkah-langkahnya–memperkenalkan penggantinya
setelah ia wafat kepada orang lain dan tidak memperkenalkanya kepada
para pengikutnya yang setia.
Keberatan-keberatan di atas adalah bukti kuat bahwa Imam Ali a.s.
setelah diperkenalkan sebagai pengganti dan washi Rasulullah SAW di hari
pertama dakwah memiliki misi sebagai washi
Syi’ah sebagai pengikut Ali bin Abi Thalib a.s. (imam pertama kaum Syi’ah) sudah muncul sejak Rasulullah SAW masih hidup.
______________________
Syiah sebagai pengikut Ali sudah muncul sejak Nabi Muhammad SAW masih hidup
Artikel Islam:
Sejarah Syiah: Sejak Zaman Rasulullah SAW sampai Abad 14 H
Kapan Syiah Muncul?
Syiah sebagai pengikut Ali bin Abi Thalib a.s. (imam
pertama Mazhab Syiah) sudah muncul sejak Nabi Muhammad SAW masih hidup.
Hal ini dapat dibuktikan dengan realita-realita berikut ini:
Pertama, ketika Nabi Muhammad SAW mendapat perintah dari
Allah SWT untuk mengajak keluarga terdekatnya masuk Islam, ia berkata
kepada mereka: “Barang siapa di antara kalian yang siap untuk
mengikutiku, maka ia akan menjadi pengganti dan washiku setelah aku
meninggal dunia”. Tidak ada seorang pun di antara mereka yang bersedia
untuk mengikutinya kecuali Sayyidina Ali bin abi thalib a.s. Sangat
tidak masuk akal jika seorang pemimpin pergerakan –di hari pertama ia
memulai langkah-langkahnya– memperkenalkan penggantinya setelah ia wafat
kepada orang lain dan tidak memperkenalkanya kepada para pengikutnya
yang setia. Atau ia mengangkat seseorang untuk menjadi penggantinya,
akan tetapi, di sepanjang masa aktifnya pergerakan tersebut ia tidak
memberikan tugas sedikit pun kepada penggantinya dan memperlakukannya
sebagaimana orang biasa. Keberatan-keberatan di atas adalah bukti kuat
bahwa Imam Ali bin abi thalib as setelah diperkenalkan sebagai pengganti
dan washi Nabi Muhammad SAW di hari pertama dakwah, memiliki misi yang
tidak berbeda dengan missi Nabi Muhammad SAW dan orang yang mengikutinya
berarti ia juga mengikuti Nabi Muhammad SAW.
Kedua, berdasarkan riwayat-riwayat mutawatir yang dinukil oleh Ahlussunnah dan Syiah,
Nabi Muhammad SAW pernah bersabda bahwa Imam Ali bin abi thalib as
terjaga dari setiap dosa dan kesalahan, baik dalam ucapan maupun
perilaku. Semua tindakan dan perilakunya sesuai dengan agama Islam dan
ia adalah orang yang paling tahu tentang Islam.
Ketiga, Imam Ali bin abi thalib as adalah
sosok figur yang telah berhasil menghidupkan Islam dengan
pengorbanan-pengorbanan yang telah lakukannya. Seperti, ia pernah tidur
di atas ranjang Nabi Muhammad SAW di malam peristiwa lailatul mabit
ketika Nabi Muhammad SAW hendak berhijrah ke Madinah dan kepahlawannya
di medan perang Badar, Uhud, Khandaq dan Khaibar. Seandainya
pengorbanan-pengorbanan tersebut tidak pernah dilakukannya, niscaya
Islam akan sirna di telan gelombang kebatilan.
Keempat, peristiwa Ghadir Khum adalah puncak keistimewaan yang dimiliki
oleh Imam Ali bin abi thalib as Sebuah peristiwa –yang seandainya dapat
direalisasikan sesuai dengan kehendak Nabi Muhammad SAW– akan memberikan
warna lain terhadap Islam.
Semua keistimewaan dan keistimewaan-keistimewaan lain yang
diakui oleh Ahlussunnah bahwa semua itu hanya dimiliki oleh Imam Ali bin
abi thalib as secara otomatis akan menjadikan sebagian pengikut Nabi
Muhammad SAW yang memang mencintai kesempurnaan dan hakikat, akan
mencintai Imam Ali bin abi thalib as dan lebih dari itu, akan menjadi
pengikutnya. Dan tidak menutup kemungkinan bagi sebagian pengikutnya
yang memang memendam rasa dengki di hati kepada Imam Ali bin abi thalib
as, untuk membencinya meskipun mereka melihat ia telah berjasa dalam
mengembangkan dan menjaga Islam dari kesirnaan.
Mengapa Minoritas Syi’ah berpisah dari mayoritas Ahlussunnah?
Dengan melihat keistimewaan dan kedudukan yang dimiliki
oleh Imam Ali bin abi thalib as, para pengikutnya meyakini bahwa ia
adalah satu-satunya sahabat yang berhak untuk menggantikan kedudukan
Nabi Muhammad SAW setelah ia wafat. Keyakinan ini menjadi semakin mantap
setelah peristiwa “kertas dan pena” yang terjadi beberapa hari sebelum
ia meninggal dunia. Akan tetapi, kenyataan bericara lain. Ketika Ahlul
Bayt a.s. dan para pengikut setia mereka sedang sibuk mengurusi jenazah
Nabi Muhammad SAW untuk dikebumikan, mayoritas sahabat yang didalangi
oleh sekelompok sahabat yang memiliki kepentingan-kepentingan pribadi
dengan Islam, berkumpul di sebuah balai pertemuan yang bernama Saqifah Bani Saidah guna
menentukan khalifah pengganti Nabi Muhammad SAW. Dan dengan cara dan
metode keji, para dalang “permainan” ini menentukan Abu Bakar sebagai
khalifah pertama muslimin.
Setelah para pengikut Imam Ali bin abi thalib as yang hanya
segelintir selesai mengebumikan jenazah Nabi Muhammad SAW, mereka
mendapat berita bahwa khalifah muslimin telah dipilih. Banyak pengikut
Imam Ali bin abi thalib as seperti Abbas, Zubair, Salman, Abu Dzar,
Ammar Yasir dan lain-lain yang protes atas pemilihan tersebut dan
menganggapnya tidak absah. Yang mereka dengar hanyalah alasan yang biasa
dilontarkan oleh orang ingin membela diri. Mereka hanya berkata:
“Kemaslahatan muslimin menuntut demikian”.
Protes minoritas inilah yang menyebabkan mereka memisahkan
diri dari mayoritas masyarakat yang mendominasi arena politik kala itu.
Dengan demikian, terwujudlah dua golongan di dalam tubuh masyarakat
muslim yang baru ditinggal oleh pemimpinnya. Akan tetapi, pihak
mayoritas yang tidak ingin realita itu diketahui oleh para musuh luar
Islam, mereka mengeksposkan sebuah berita kepada masyarakat bahwa pihak
minoritas itu adalah penentang pemerintahan yang resmi. Akibatnya,
mereka dianggap sebagai musuh Islam.
Meskipun adanya tekanan-tekanan dari kelompok mayoritas,
kelompok minoritas ini masih tetap teguh memegang keyakinannya bahwa
kepemimpinan adalah hak Imam Ali bin abi thalib as setelah Nabi Muhammad
SAW meninggal dunia. Bukan hanya itu, dalam menghadapi segala problema
kehidupan, mereka hanya merujuk kepada Imam Ali bin abi thalib as untuk
memecahkannya, bukan kepada pemerintah. Meskipun demikian, berkenaan
dengan problema-problema yang menyangkut kepentingan umum, mereka tetap
bersedia untuk ikut andil memecahkannya. Banyak problema telah terjadi
yang tidak dapat dipecahkan oleh para khalifah, dan Imam Ali bin abi
thalib as tampil aktif dalam memecahkannya.
Penyelewengan pada Masa Tiga Khalifah.
Pada masa kepemimpinan tiga khalifah pertama muslimin,
banyak terjadi penyelewengan-penyelewengan dilakukan oleh mereka dalam
menjalankan pemerintahan yang tidak sesuai dengan rel Islam dan sunnah
Nabi Muhammad SAW. Diamnya pemerintah atas pembunuhan yang telah
dilakukan oleh Khalid bin Walid terhadap Malik bin Nuwairah yang
berlanjut dengan pemerkosaan terhadap istrinya, pembagian harta baitul
mal yang tidak merata sehingga menimbulkan perbedaan strata masyarakat
kaya dan miskin, penghapusan dua jenis mut’ah yang sebelumnya pernah
berlaku pada masa Nabi Muhammad SAW, penghapusan khumus dari orang-orang
yang berhak menerimanya, pelarangan penulisan hadis-hadis Nabi Muhammad
SAW, pelarangan mengucapkan hayya ‘alaa khairil ‘amal dalam azan,
pemberian harta dan dukungan istimewa kepada Mu’awiyah sehingga ia dapat
berkuasa di Syam dengan leluasa, dan lain sebagainya, semua itu adalah
bukti jelas penyelewengan dan kepincangan yang terjadi pada masa tiga
khalifah pertama. Semua itu jelas terjadi sehingga orang yang berpikiran
jernih dan tidak dipengaruhi oleh fanatisme mazhab akan dapat
menerimanya dengan menelaah buku-buku sejarah yang otentik.
Setelah Utsman bin Affan, Khalifat ketiga muslimin dibunuh
oleh para “pemberontak” yang tidak rela dengan kinerjanya selama ia
memegang tampuk khilafah, masyarakat dengan serta merta memilih Imam Ali
bin abi thalib as secara aklamasi untuk memegang tampuk khilafah. Di
antara Muhajirin yang pertama kali berbai’at dengannya adalah Thalhah
dan Zubair. Hal ini terjadi pada tahun 5 H. Sangat disayangkan
kekhilafahannya hanya berjalan sekitar 4 tahun 5 bulan, masa yang sangat
sedikit untuk mengadakan sebuah perombakan dan reformasi mendasar.
Begitu ia menjadi khalifah, khotbah pertama yang
dilontarkannya adalah sebagai berikut: “Ketahuilah bahwa segala
kesulitan yang pernah kalian alami di masa-masa pertama Nabi Muhammad
SAW diutus menjadi nabi, sekarang akan kembali menimpa kalian. Sekarang
orang-orang yang memiliki keahlian dan selama ini disingkirkan harus
memiliki kedudukan yang layak dan orang-orang yang tidak becus harus
disingkirkan dari kedudukan yang telah diberikan kepada mereka dengan
tidak benar”.
Ia mengadakan perombakan-perombakan secara besar-besaran,
baik di bidang birokrasi maupun bidang pembagian harta baitul mal. Ia
mengganti semua gubernur daerah yang telah ditunjuk oleh para khalifah
sebelumnya dengan orang-orang yang layak untuk memegang tampuk tersebut
dan membagikan harta baitul mal dengan sama rata di antara masyarakat.
Hal ini menyebabkan sebagian sahabat sakit hati. Tentunya mereka yang
merasa dirugikan oleh metode Imam Ali bin abi thalib as tersebut. Hal
itu dapat kita pahami dalam peristiwa-peristiwa berdarah berikut:
Faktor utama perang Jamal adalah rasa sakit hati Thalhah
dan Zubair karena hak mereka –sebagai sahabat senior– dari harta baitul
mal merasa dikurangi dan disamaratakan dengan masyarakat umum. Dengan
alasan ingin menziarahi Ka’bah, mereka masuk ke kota Makkah dan menemui
A’isyah yang memiliki hubungan tidak baik dengan Imam Ali bin abi thalib
as demi mengajaknya memberontak atas pemerintahan yang sah. Slogan yang
mereka gembar-gemborkan untuk menarik perhatian opini umum adalah
membalas dendam atas kematian Utsman. Padahal, ketika Utsman dikepung
oleh para “pemberontak” yang ingin membunuhnya, mereka ada di Madinah
dan tidak sedikit pun usaha yang tampak dari mereka untuk membelanya.
A’isyah sendiri adalah orang pertama dan paling bersemangat mensupport
masyarakat untuk membunuhnya. Ketika ia mendengar Utsman telah terbunuh,
ia mencelanya dan merasa bahagia karena itu.
Faktor utama perang Shiffin adalah rasa tamak Mu’awiyah
atas khilafah, karena ia telah disingkirkan oleh Imam Ali bin abi thalib
as dari kursi kegubernuran Syam. Perang ini berlangsung selama 1,5
tahun yang telah memakan banyak korban tidak bersalah. Slogan Mu’awiyah
di perang adalah membalas dendam atas kematian Utsman juga. Padahal,
selama Utsman dalam kepungan para “pemberontak”, ia meminta bantuan dari
Mua’wiyah yang bercokol di Syam demi membasmi mereka. Dengan satu
pleton pasukan lengkap, Mu’awiyah berangkat dari Syam ke arah Madinah.
Akan tetapi, di tengah perjalanan mereka sengaja memperlambat jalannya
pasukan sehingga Utsman terbunuh. Setelah mendengar Utsman terbunuh,
mereka kembali ke Syam dan kemudian bergerak kembali menuju ke Madinah
dengan slogan “membalas dendam atas kematian Utsman”. Akhirnya pecahlah
Shiffin.
Anehnya, ketika Imam Ali bin abi thalib as syahid dan
Mu’awiyah berhasil memegang tampuk khilafah, mengapa ia tidak
mendengung-dengungkan kembali slogan “membalas dendam atas kematian
Utsman”?
Setelah perang Shiffin berhasil dipadamkan, perang Nahrawan
berkecamuk. Faktornya adalah ketidakpuasan sebagian sahabat yang
disulut oleh Mu’awiyah atas pemerintahan Imam Ali bin abi thalib as dan
atas hasil perdamaian yang dipaksakan oleh mereka sendiri terhadap Imam
Ali bin abi thalib as yang menghasilkan pencabutannya dari kursi
khilafah dan penetapan Mu’awiyah sebagai khalifah muslimin. Tapi
akhirnya, Imam Ali bin abi thalib as juga berhasil memadamkan api perang
tersebut.
Tidak lama berselang dari peristiwa Nahrawan, Imam Ali bin
abi thalib as syahid dengan kepala yang mengucurkan darah akibat tebasan
pedang Abdurrahman bin Muljam di mihrab masjid Kufah.
Keberhasilan-keberhasilan Pemerintahan Imam Ali bin abi thalib as.
Meskipun Imam Ali bin abi thalib as tidak berhasil
memapankan kembali situasi masyarakat Islam yang sudah bobrok itu secara
sempurna, akan tetapi, dalam tiga segi ia dapat dikatakan berhasil:
Pertama, dengan kehidupan sederhana yang dimilikinya, ia
berhasil menunjukkan kepada masyarakat luas, khususnya para generasi
baru, metode hidup Nabi Muhammad SAW yang sangat menarik dan pantas
untuk diteladani. Hal ini berlainan sekali dengan kehidupan Mu’awiyah
yang serba mewah. Ia a.s. tidak pernah mendahulukan kepentingan
keluarganya atas kepentingan umum.
Kedua, dengan segala kesibukan dan problema sosial yang
dihadapinya, ia masih sempat meninggalkan warisan segala jenis ilmu
pengetahuan yang berguna bagi kehidupan masyarakat dan dapat dijadikan
sebagai penunjuk jalan untuk mencapai tujuan hidup insani yang
sebenarnya. Ia mewariskan sebelas ribu ungkapan-ungkapan pendek dalam
berbagai bidang ilmu pengetahuan rasional, sosial dan keagamaan. Ia
adalah pencetus tata bahasa Arab dan orang pertama yang mengutarakan
pembahasan-pembahasan filosofis yang belum pernah dikenal oleh para
filosof kaliber kala itu. Dan ia juga orang pertama dalam Islam yang
menggunakan argumentasi-argumentasi rasional dalam menetapkan sebuah
pembahasan filosofis.
Ketiga, ia berhasil mendidik para pakar agama Islam yang
dijadikan sumber rujukan dalam bidang ilmu ‘irfan oleh para ‘arif di
masa sekarang, seperti Uwais Al-Qarani, Kumail bin Ziyad, Maitsam
At-Tammar dan Rusyaid Al-Hajari.
Masa Sulit bagi Mazhab Syiah.
Setelah Imam Ali bin abi thalib as syahid di mihrab
shalatnya, masyarakat waktu itu membai’at Imam Hasan a.s. untuk memegang
tampuk khilafah. Setelah ia dibai’at, Mu’awiyah tidak tinggal diam. Ia
malah mengirim pasukan yang berjumlah cukup besar ke Irak sebagai pusat
pemerintahan Islam waktu itu untuk mengadakan peperangan dengan
pemerintahan yang sah. Dengan segala tipu muslihat dan iming-iming harta
yang melimpah, Mu’wiyah berhasil menipu para anggota pasukan Imam Hasan
a.s. dan dengan teganya mereka meninggalkannya sendirian. Melihat
kondisi yang tidak berpihak kepadanya dan dengan meneruskan perang Islam
akan hancur, dengan terpaksa ia harus mengadakan perdamaian dengan
Mu’awiyah. (Butir-butir perjanjian ini dapat dilihat di sejarah 14
ma’shum a.s).
Setelah Mu’awiyah berhasil merebut khilafah dari tangan
Imam Hasan a.s. pada tahun 40 H., –sebagaimana layaknya para pemeran
politik kotor– ia langsung menginjak-injak surat perdamaian yang telah
ditandatanganinya. Dalam sebuah kesempatan ia pernah berkata: “Aku tidak
berperang dengan kalian karena aku ingin menegakkan shalat dan puasa.
Sesungguhnya aku hanya ingin berkuasa atas kalian, dan aku sekarang
telah sampai kepada tujuanku”.
Dengan demikian, Mu’awiyah ingin menghidupkan kembali
sistem kerajaan sebagai ganti dari sistem khilafah sebagai penerus
kenabian. Hal ini diperkuat dengan diangkatnya Yazid, putranya sebagai
putra mahkota dan penggantinya setelah ia mati.
Mua’wiyah tidak pernah memberikan kesempatan kepada para
pengikut Syi’ah untuk bernafas dengan tenang. Setiap ada orang yang
diketahui sebagai pengikut Syi’ah, ia akan langsung dibunuh di tempat.
Bukan hanya itu, setiap orang yang melantunkan syair yang berisi pujian
terhadap keluarga Ali a.s., ia akan dibunuh meskipun ia bukan pengikut
Syi’ah. Tidak cukup sampai di sini saja, ia juga memerintahkan kepada
para khotib shalat Jumat untuk melaknat dan mencerca Imam Ali bin abi
thalib as Kebiasaan ini berlangsung hingga masa pemerintahan Umar bin
Abdul Aziz pada tahun 99-101 H.
Masa pemerintahan Mu’awiyah (selama 20 tahun) adalah masa
tersulit bagi Mazhab Syiah di mana mereka tidak pernah memiliki sedikit
pun kesempatan untuk bernafas.
Mayoritas pengikut Ahlussunnah menakwilkan semua pembunuhan
yang telah dilakukan oleh para sahabat, khususnya Mu’awiyah itu dengan
berasumsi bahwa mereka adalah sahabat Nabi SAWW dan semua perilaku
mereka adalah ijtihad yang dilandasi oleh hadis-hadis yang telah mereka
terima darinya. Oleh karena itu, semua perilkau mereka adalah benar dan
diridhai oleh Allah SWT. Seandainya pun mereka salah dalam menentukan
sikap dan perilaku, mereka akan tetap mendapatkan pahala berdasarkan
ijtihad tang telah mereka lakukan.
Akan tetapi, Syi’ah tidak menerima asumsi di atas dengan alasan sebagai berikut:
Pertama, tidak masuk akal jika seorang pemimpin yang ingin
menegakkan kebenaran, keadilan dan kebebasan dan mengajak orang-orang
yang ada si sekitarnya untuk merealisasikan hal itu, setelah tujuan yang
diinginkannya itu terwujudkan, ia merusak sendiri cita-citanya dengan
cara memberikan kebebasan mutlak kepada para pengikutnya, dan segala
kesalahan, perampasan hak orang lain dengan segala cara, serta
tindakaan-tindakan kriminal yang mereka lakukan dimaafkan.
Kedua, hadis-hadis yang “menyucikan” para sahabat dan
membenarkan semua perilaku non-manusiwi mereka berasal dari para sahabat
sendiri. Dan sejarah membuktikan bahwa mereka tidak pernah
memperhatikan hadis-hadis di atas. Mereka saling menuduh, membunuh,
mencela dan melaknat. Dengan bukti di atas, keabsahan hadis-hadis di
atas perlu diragukan.
Mu’awiyah menemui ajalnya pada tahun 60 H. dan Yazid,
putranya menduduki kedudukannya sebagai pemimpin umat Islam. Sejarah
membuktikan bahwa Yazid adalah sosok manusia yang tidak memiliki
kepribadian luhur sedikit pun. Kesenangannya adalah melampiaskan hawa
nafsu dan segala keinginannya. Dengan latar belakangnya yang demikian
“cemerlang”, tidak aneh jika di tahun pertama memerintah, ia tega
membunuh Imam Husein a.s., para keluarga dan sahabatnya dengan dalih
karena mereka enggan berbai’at dengannya. Setelah itu, ia menancapkan
kepala para syahid tersebut di ujung tombak dan mengelilingkannya di
kota-kota besar; Di tahun kedua memerintah, ia mengadakan pembunuhan
besar-besaran di kota Madinah dan menghalalkan darah, harta dan harga
diri penduduk Madinah selama tiga hari kepada para pasukannya; Di tahun
ketiga memerintah, ia membakar Ka’bah, kiblat muslimin.
Setelah masa Yazid dengan segala kebrutalannya berlalu,
Bani Marwan yang masih memiliki hubungan keluarga dengan Bani Umaiyah
menggantikan kedudukannya. Mereka pun tidak kalah kejam dan keji dari
Yazid. Mereka berhasil berkuasa selama 70 tahun dan jumlah khalifah dari
dinasti mereka adalah sebelas orang. Salah seorang dari mereka pernah
ingin membuat sebuah kamar di atas Ka’bah dengan tujuan untuk
melampiaskan hawa nafsunya di dalamnya ketika musim haji tiba.
Dengan melihat kelaliman yang dilakukan oleh para khalifah
waktu itu, para pengikut Syi’ah makin kokoh dalam memegang keyakinan
mereka. Di akhir-akhir masa kekuasaan Bani Umaiyah, mereka dapat
menunjukkan kepada masyarakat dunia bahwa mereka masih memilliki
eksistensi dan mampu untuk melawan para penguasa lalim. Di masa
keimamahan Imam Muhammad Baqir a.s. dan belum 40 tahun berlalu dari
terbunuhnya Imam Husein a.s., para pengikut Syi’ah yang berdomisili di
berbagai negara dengan memanfaatkan kelemahan pemerintahan Bani Umaiyah
karena tekanan-tekanan dari para pemberontak yang tidak puas dengan
perilaku mereka, datang ke Madinah untuk belajar dari Imam Baqir a.s.
Sebelum abad ke-1 H. usai, beberapa pembesar kabilah di Iran membangun
kota Qom dan meresmikannya sebagai kota pemeluk Syi’ah. Beberapa kali
para keturunan Imam Ali bin abi thalib as karena tekanan yang dilakukan
oleh Bani Umaiyah atas mereka, mengadakan pemberontakan-pemberontakan
melawan penguasa dan perlawanan mereka –meskipun mengalami kekalahan–
sempat mengancam keamanan pemerintah. Realita ini menunjukkan bahwa
eksistensi Syi’ah belum sirna.
Dikarenakan kelaliman dinasti Bani Umaiyah yang sudah
melampui batas, opini umum sangat membenci dan murka terhadap mereka.
Setelah dinasti mereka runtuh dan penguasa terkahir mereka (Marwan ke-2
yang juga dikenal dengan sebutan Al-Himar, berkuasa dari tahun 127-132
H.) dibunuh, dua orang putranya melarikan diri bersama keluarganya.
Mereka meminta suaka politik kepada berbagai negara, dan mereka enggan
memberikan suaka politik kepada para pembunuh keluarga Nabi Muhammad SAW
tersebut. Setelah mereka terlontang-lantung di gurun pasir yang panas,
mayoritas mereka binasa karena kehausan dan kelaparan. Sebagian yang
masih hidup pergi ke Yaman, dan kemudian dengan berpakaian
compang-camping ala pengangkat barang di pasar-pasar mereka berhasil
memasuki kota Makkah. Di Makkah pun mereka tidak berani menampakkan
batang hidung, mungkin karena malu atau karena sebab yang lain.
Sejarah Syiah pada Abad Ke-2 H.
Di akhir-akhir sepertiga pertama abad ke-2 H., karena
kelaliman dinasti Bani Umaiyah, muncul sebuah pemberontakan dari arah
Khurasan, Iran dengan mengatasnamakan Ahlu Bayt a.s. Pemberontakan ini
dipelopori oleh seorang militer berkebangsaan Iran yang bernama Abu
Muslim Al-Marwazi. Dengan syiar ingin membalas dendam atas darah Ahlu
Bayt a.s., ia memulai perlawanannya terhadap dinasti Bani Umaiyah.
Banyak masyarakat yang tergiur dengan syiar tersebut sehingga mereka
mendukung pemberontakannya. Akan tetapi, pemberontakan ini tidak
mendapat dukungan dari Imam Shadiq a.s. Ketika Abu Muslim menawarkan
kepadanya untuk dibai’at sebagai pemimpin umat, ia menolak seraya
berkata: “Engkau bukanlah orangku dan sekarang bukan masaku untuk
memberontak”.
Setelah mereka berhasil merebut kekuasaan dari tangan Bani
Umaiyah, di hari-hari pertama berkuasa mereka memperlakukan para
keturunan Imam Ali bin abi thalib as dengan baik, dan demi membalas
dendam atas darah mereka yang telah dikucurkan, mereka membunuh semua
keturunan Bani Umaiyah. Bahkan, mereka menggali kuburan-kuburan para
penguasa Bani Umaiyah untuk dibakar jenazah mereka. Tidak lama berlalu,
mereka mulai mengadakan penekanan-penekanan serius terhadap para
keturunan Imam Ali bin abi thalib as dan para pengikut mereka serta
orang-orang yang simpatik kepada mereka. Abu Hanifah pernah dipenjara
dan disiksa oleh Manshur Dawaniqi dan Ahmad bin Hanbal juga pernah
dicambuk olehnya. Imam Shadiq a.s. setelah disiksa dengan keji, dibunuh
dengan racun dan para keturunan Imam Ali bin abi thalib as dibunuh atau
dikubur hidup-hidup.
Kesimpulannya, kondisi para pengikut Syi’ah pada masa
berkuasanya dinasti Bani Abasiah tidak jauh berbeda dengan kondisi
mereka pada masa dinasti Bani Umaiyah.
Sejarah Syiah pada Abad Ke-3 H.
Dengan masuknya abad ke-3 H., para pengikut Syi’ah Imamiah
mendapatkan kesempatan baru untuk mengembangkan missi mereka. Mereka
dapat menikmati sedikit keleluasaan untuk mengembangkan dakwah di
berbagai penjuru. Faktornya adalah dua hal berikut:
Pertama, banyaknya buku-buku berbahasa Yunani dan Suryani
dalam bidang filsafat dan ilmu pengetahuan yang diterjemahkan ke dalam
bahasa Arab, dan masyarakat bersemangat untuk memperlajari ilmu-ilmu
rasional dengan antusias. Di samping itu, peran Ma`mun Al-Abasi (195-218
H.) juga tidak patut dilupakan. Ia menganut mazhab Mu’tazilah yang
sangat mendorong para pengikutnya untuk mengembangkan dan mempelajari
argumentasi-argumentasi rasional. Oleh karena itu, ia memberikan
kebebasan penuh kepada para pemikir dan teolog setiap agama untuk
menyebarkan teologi dan keyakinan mereka masing-masing. Para pengikut
Syi’ah tidak menyia-siakan kesempatan ini. Mereka mengembangkan
jangkauan mazhab Syi’ah ke berbagai penjuru kota dan mengadakan dialog
dengan para pemimpin agama lain demi mengenalkan keyakinan mazhab Syi’ah
kepada khalayak ramai.
Kedua, Ma`mun Al-Abasi mengangkat Imam Ridha a.s. sebagai
putra mahkota. Dengan ini, para keturunan Imam Ali bin abi thalib as dan
sahabat mereka terjaga dari jamahan tangan para penguasa, dan menemukan
ruang gerak yang relatif bebas.
Akan tetapi, kondisi ini tidak berlangsung lama. Karena
setelah semua itu berlalu, politik kotor dinasti Bani Abasiyah mulai
merongrong para keturunan Imam Ali bin abi thalib as dan pengikut mereka
kembali. Khususnya pada masa Mutawakil Al-Abasi (232-247 H.). Atas
perintahnya, kuburan Imam Husein a.s. di Karbala` diratakan dengan
tanah.
Sejarah Syiah pada Abad ke-4 H.
Pada abad ke-4 H., dengan melemahnya kekuatan dinasti Bani
Abasiyah dan kuatnya pengaruh para raja dinasti Alu Buyeh yang menganut
mazhab Syi’ah di Baghdad (pusat khilafah Bani Abasiyah kala itu),
terwujudlah sebuah kesempatan emas bagi para penganut Syi’ah untuk
mengembangkan mazhab mereka dengan leluasa. Dengan demikian, –menurut
pendapat para sejarawan–mayoritas penduduk jazirah Arab, seperti Hajar,
Oman, dan Sha’dah, kota Tharablus, Nablus, Thabariah, Halab dan Harat
menganut mazhab Syi’ah kecuali mereka yang berdomisili di kota-kota
besar. Antara kota Bashrah sebagai pusat mazhab Ahlussunnah dan kota
Kufah sebagai pusat mazhab Syi’ah selalu terjadi gesekan-gesekan antar
mazhab. Tidak sampai di situ, penduduk kota Ahvaz dan Teluk Persia di
Iran juga memeluk mazhab Syi’ah.
Di awal abad ini, seorang mubaligh yang bernama Abu
Muhammad Hasan bin Ali bin Hasan bin Ali bin Umar bin Ali bin Imam
Husein a.s. yang dikenal dengan sebutan Nashir Uthrush (250-320 H.)
melakukan aktifitas dakwahnya di Iran Utara dan berhasil menguasai
Thabaristan. Lalu ia membentuk sebuah kerajaan di sana. Sebelumnya,
Hasan bin Yazid Al-Alawi juga pernah berkuasa di daerah itu.
Pada abad ini juga tepatnya tahun 296-527 H., dinasti
Fathimiyah yang menganut mazhab Syi’ah Isma’iliyah berhasil menguasai
Mesir dan mendirikan kerajaan besar di sana.
Sangat sering terjadi gesekan-gesekan antar mazhab di
kota-kota seperti Bahgdad, Bashrah dan Nisyabur antara mazhab Ahlusunnah
dan Syi’ah, dan di mayoritas gesekan antar mazhab tersebut, Syi’ah
berhasil menang dengan gemilang.
Sejarah Syiah pada Abad ke-5 hingga Abad ke-9 H.
Dari abad ke-5 hingga abad ke-9 H., sistematika
perkembangan mazhab Syi’ah tidak jauh berbeda dengan sistematika
perkembangannya pada abad ke-4. Perkembangannya selalu didukung oleh
kekuatan pemerintah yang memang menganut mazhab Syi’ah. Di akhir abad
ke-5 H., mazhab Syi’ah Isma’iliyah berkuasa di Iran selama kurang lebih
satu setengah abad dan ia dapat menyebarkan ajaran-ajaran Syi’ah dengan
leluasa. Dinasti Al-Mar’asyi bertahun-tahun berkuasa di Mazandaran,
Iran. Setelah masa mereka berlalu, dinasti Syah Khudabandeh, silsilah
kerajaan Mongol memeluk dan menyebarkan mazhab Syi’ah. Dan kemudian,
raja-raja dari dinasti Aaq Quyunlu dan Qareh Quyunlu yang berkuasa di
Tabriz dan kekuasaan mereka terbentang hingga ke daerah Kerman serta
dinasti Fathimiyah di Mesir berhasil menyebarkan mazhab Syi’ah ke
seluruh masyarakat ramai.
Akan tetapi, hal itu tidak berlangsung lama. Setelah
dinasti Fathimiyah mengalami kehancuran dan dinati Alu Ayyub berkuasa,
para pengikut Syi’ah mulai terikat kembali dan mereka tidak bebas
menyebarkan mazhab mereka. Banyak para tokoh Syi’ah yang dipenggal
kepalanya pada masa itu. Seperti Syahid Awal dan seorang faqih kenamaan
Syi’ah, Muhammad bin Muhammad Al-Makki dipenggal kepalanya pada tahun
786 H. di Damaskus karena tuduhan menganut mazhab Syi’ah, dan Syeikh
Isyraq, Syihabuddin Sahruwardi dipenggal kepalanya di Halab karena
tuduhan mengajarkan filsafat.
Sejarah Syiah pada Abad ke-10 hingga ke-11 H.
Pada tahun 906 H., Syah Isma’il Shafawi yang masih berusia
13 tahun, salah seorang keturunan Syeikh Shafi Al-Ardabili (seorang
syeikh thariqah di mazhab Syi’ah dan meninggal pada tahun 153 H.), ingin
mendirikan sebuah negara Syi’ah yang mandiri. Akhirnya, ia mengumpulkan
para Darwisy pengikut kakeknya dan mengadakan pemberontakan dimulai
dari daerah Ardabil dengan cara memberantas sistem kepemimpinan kabilah
yang dominan kala itu dan membebaskan seluruh daerah Iran dari
cengkraman dinasti Utsmaniyah dengan tujuan supaya Iran menjadi negara
yang tunggal. Dan ia berhasil mewujudkan cita-citanya tersebut sehingga
sebuah kerajaan Syi’ah Imamiah terbentuk dan berdaulat kala itu. Setelah
ia meninggal dunia, kerajaannya diteruskan oleh putra-putranya. Mazhab
Syi’ah kala itu memiliki legistimasi hukum yang sangat kuat sehingga
semua organ pemerintah menganut mazhab Syi’ah. Pada masa kecemerlangan
dinasti Shafawiyah di bawah pimpinan Syah Abbas yang Agung, kuantitas
pengikut Syi’ah mencapai dua kali lipat penduduk Iran pada tahun 1384 H.
Sejarah Syiah Pada Abad ke-12 hingga ke-14 H.
Di tiga abad terakhir ini, mazhab Syi’ah berkembang dengan
sangat pesat, khususnya setelah ia menjadi mazhab resmi Iran setelah
kemenangan Revolusi Islam. Begitu juga di Yaman dan Irak, mayoritas
penduduknya memeluk mazhab Syi’ah. Dapat dikatakan bahwa di setiap
negara yang penduduknya muslim, akan ditemukan para pemeluk Syi’ah. Di
masa sekarang, diperkirakan bahwa pengikut Syi’ah di seluruh dunia
berjumlah 300.000.000 lebih.