Pesan Rahbar

Home » » Imamah/Kepemimpinan Syi’ah Adalah Dusta Dan Menyesatkan ? Akidah ” KEPALSUAN DOKTRIN IMAMAH SYI’AH”?

Imamah/Kepemimpinan Syi’ah Adalah Dusta Dan Menyesatkan ? Akidah ” KEPALSUAN DOKTRIN IMAMAH SYI’AH”?

Written By Unknown on Saturday 31 January 2015 | 16:12:00


Jika kita mencermati perjalanan dakwah al-haq sejak diutusnya para nabi dan rasul, akan kita temukan berbagai bentuk penentangan dan penyelisihan terhadap al-haq. Ini menjadi bukti bahwa kebanyakan hamba- Nya tidak menginginkan kelurusan hidup. Mereka memberontak, menyerukan kebebasan beragama dan berkeyakinan, dengan slogan-slogan kekufuran. Di antara slogan itu ialah menghidupkan budaya dan peninggalan nenek moyang, serta menjaga eksistensi ajaran mereka. Dalam pandangan mereka, agama yang diturunkan oleh Allah Subhanahu wata’ala itu universal dan fleksibel. Ia bisa diotakatik dan ditarik ulur sesuai dengan kondisi dan zaman yang berlangsung.

Alhasil, yang ada adalah menghakimi ajaran agama, sebagaimana halnya perbuatan orang-orang kafir terhadap agama mereka. Akibatnya, muncullah dalam tubuh kaum muslimin istilah para “pembaru”, aliran-aliran modern di dalam Islam, pemikiran dan gerakan pembaruan, periode modern dalam sejarah Islam, dan berbagai istilah lain, yang notabene semuanya mempertanyakan (menggugat) sakralisasi Islam sebagai agama wahyu. Jika kita tarik benang merah, secara jujur, akan kita dapati bahwa penolakan mereka terhadap al-haq adalah titipan Iblis la’natullah alaih.

Dakwah para nabi dan rasul yang menebar rahmat kepada segenap manusia dianggap sebagai aturan yang mengekang kebebasan, membunuh karakteristik berpikir yang hidup dan luas, serta menumpulkan ketajaman akal. Dalam anggapan mereka, wahyu menjerat semua kehendak dan keinginan. Mengapa mereka tidak berpikir ringan dan mudah, yaitu bukankah Allah Subhanahu wata’ala yang menciptakan kita? Bukankah Allah yang mengatur urusan hidup ini? Bukankah Allah Subhanahu wata’ala yang telah memenuhi segala kebutuhan mereka?

Bukankah Allah Yang Maha Mengetahui kemaslahatan hidup setiap hamba? Dzat yang seperti ini tentu Mahaadil, Mahabijaksana, dan Maha Mengetahui akan seluk-beluk maslahat dan mafsadah bagi kehidupan manusia. Sungguh, Iblis la’natullah alaih bergembira melihat perilaku hambahamba Allah itu. Sebab, memperoleh banyak sahabat untuk memenuhi isi jahannam bersama dirinya. Ia mendapat banyak teman yang akan mendapatkan murka Allah Subhanahu wata’ala, dan banyak pengikut yang merasakan azab-Nya.

إِنَّ الشَّيْطَانَ لَكُمْ عَدُوٌّ فَاتَّخِذُوهُ عَدُوًّا ۚ إِنَّمَا يَدْعُو حِزْبَهُ لِيَكُونُوا مِنْ أَصْحَابِ السَّعِيرِ

“Sesungguhnya setan bagi kalian adalah musuh, maka jadikanlah dia sebagai musuh kalian, dan sesungguhnya setan menyeru pengikutnya menjadi penghuni neraka Sa’ir (yang menyala-nyala).” (Fathir: 6).


Imamah (kepemimpinan umat) adalah masalah yang selalu ditonjolkan oleh Syi’ah.

Mereka dikenal dengan sebutan Syi’ah Imamiyah. Mereka membatasi imamah ini hanya untuk keduabelas imam yaitu Ali bin Abi Thalib dan keturunannya. Sehingga mereka dikenal pula dengan sebutan Syi’ah Itsna ‘Asyariyah.

Adapun para imam yang mereka yakini itu adalah:
1. Ali bin Abi Thalib yang mereka juluki Al Murtadha (lahir 10 tahun sebelum diutusnya Nabi – 40 H)
2. Al Hasan bin Ali (Az Zaki) (3-50 H)
3. Al Husain bin Ali (Sayyid Syuhada’) (4-61 H)
4. Ali bin Husain (Zainal Abidin) (38-95 H)
5. Muhammad bin Ali bin Husain (Al Baqir) (57-114 H)
6. Ja’far bin Muhammad (Ash Shadiq) (83-148 H)
7. Musa bin Ja’far (Al Khadim) (128-182 H)
8. Ali bin Musa (Ar Ridha) (148-202 atau 203 H)
9. Muhammad bin Ali (Al Jawwad) (195-220 H)
10. Ali bin Muhammad (Al Hadi) (212-254 H)
11. Abu Muhammad bin Al Hasan (Al Askari) (232-260 H)
12. Muhammad bin Al Hasan yang mereka juluki Al Mahdi (256-260 H)


Imam kedua belas inilah yang diyakini kaum Syi’ah sebagai Imam Mahdi yang akan muncul di akhir jaman.

anggapan mereka bahwa yang berhak menjadi khalifah sepeninggal Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam adalah Ali bin Abu Thalib dan 12 keturunannya yang dianggap sebagai imam-imam yang maksum (terbebas dari dosa dan kesalahan). Mereka menganggap bahwa yang berhak menjadi khalifah adalah Ali.

Hadits Ghadir Khum benar datangnya dari Rasulullah. Sepulang beliau dari haji wada’, pada 18 Dzulhijjah, di sebuah tempat yang dikenal dengan nama Ghadir Khum, antara kota Makkah dan Madinah, beliau berwasiat,


كَأَنِّي دُعِيتُ فَأَجَبْتُ وَإِنِّي تَارِكٌ فِيْكُمُ الثَّقَلَيْنِ أَحَدِهِمَا أَكْبرُ مِنَ الْآخَرِ: كِتَابُ اللهِ وَعِتْرَتِي أَهْلِ بَيْتِي، فَانْظُرُوا كَيْفَ تَخْلُفُونِي فِيهِمَا فَإِنَّهُمَا لَنْ يَتَفَرَّقَا حَتَّى يَرِدَا عَلَيَّ الْحَوْضَ ثُمَّ قَالَ: إِنَّ اللهَ مَوْ يَالَ وَأَنَا وَلِيُّ كَلِّ مُؤْمِنٍ. ثُمَّ إِنَّهُ أَخَذَ بِيَدِ عَلِيٍّ فَقَالَ: مَنْ كُنْتُ وَلِيَّهُ فَهَذَا وَلِيُّهُ اللَّهُمَّ وَالِ مَنْ وَا هَالُ وَعَادِ مَنْ عَادَاهُ

“Seolah-olah aku dipanggil lalu aku menyambutnya. Sesungguhnya aku telah meninggalkan untuk kalian dua hal yang berat, yang satu lebih besar dari yang lain. Itulah kitabullah dan ‘itrati (keluargaku). Perhatikanlah apa yang kalian perbuat sepeninggalku terhadap keduanya.

Sesungguhnya keduanya tidak akan berpisah hingga keduanya mendatangiku di telaga kelak.” Lalu beliau berkata, “SesungguhnyaAllah adalah waliku, dan aku adalah wali setiap orang yang beriman.” Kemudian beliau memegang tangan Ali seraya berkata, “Barang siapa menjadi waliku, Ali pun menjadi walinya. Ya Allah, lindungilah orang yang melindunginya, dan musuhilah orang yang memusuhinya.”

Hadits di atas dinyatakan sahih oleh asy-Syaikh al-Albani dalam Silsilah ash- Shahihah no. 1750. Beliau bawakan pula syawahid (penguat-penguat) yang sangat banyak. Riwayat serupa datang dari banyak sahabat, seperti sahabat Zaid bin Arqam, Sa’d bin Abi Waqqash, Buraidah bin Hushaib, Ali bin Abu Thalib, Abu Ayyub al-Anshari, al-Bara’ bin ‘Azib, Abdulah bin Abbas, Anas bin Malik, dan Abu Hurairah.


Anda menuduh bahwa sampai akhir hidup Rasulullah SAW tidak menunjuk pengganti ?. Jadi menurut anda setelah Rasulullah berjuang begitu lama menjalankan perintah Allah kemudian ditinggalkan begitu saja. Tidak ada yang melanjutkan untuk memberi petunjuk. Aneh.

Sedangkan dalam Alqur’an begitu banyak Firman Allah yang menyatakan bahwa disetiap masa, setiap kaum akan ada orang2 yang akan Allah beri pentunjuk untuk memberi petunjuk pada kaumnya. Jadi kalau menurut anda Allah tidak memberi petunjuk pada Rasulullah untuk menunjuk orang/ penerus sesudah Rasulullah SAW ?

Syiah mengklaim bahwa Ali ra adalah khalifah pengganti Rosululloh saw setelah wafat


Hadis 12 khalifah

dari Jabir bin Samurah, ia berkata, “Saya masuk bersama ayah saya kepada Nabi SAW. maka saya mendengar beliau berkata, ‘Sesungguhnya urusan ini tidak akan habis sampai melewati dua belas khalifah.’ Jabir berkata, ‘Kemudian beliau berbicara dengan suara pelan. Maka saya bertanya kepada ayah saya, ‘Apakah yang dikatakannya?’ Ia berkata, ‘Semuanya dari suku Quraisy.’ Dalam riwayat yang lain disebutkan, ‘Urusan manusia akan tetap berjalan selama dimpimpin oleh dua belas orang.’ Dalam satu riwayat disebutkan. ‘Agama ini akan senantiasa jaya dan terlindungi sampai dua belas khalifah. (H.R.Shahih Muslim, kitab “kepemimpinan”, bab”manusia pengikut bagi Quraisy dan khalifah dalam kelompok Quraisy”).

Bani Hasyim adalah yang termulia dari suku Quraisy dan Ahlul Bait adalah yang termulia dari Bani Hasyim. Tidak berlebihan kalau dikatakan Ahlul Bait semulia-mulia dari Quraisy . Dalam Hadis Shahih Muslim Kitab keutamaan, Bab keutamaan nasab Nabi no: 2276 diriwayatkan bahwa Rasulullah SAW bersabda Sesungguhnya Allah telah memilih (suku) Kinanah daripada anak keturunan Ismail dan telah memilih (bangsa) Quraisy daripada (suku) Kinanah, dan telah memilih daripada (bangsa) Quraisy Bani Hasyim dan telah memilih aku daripada Bani Hasyim.

Yang perlu diperhatikan adalah bagaimana kalau khalifah islam yang ada untuk umat Islam itu hanya 12 belas.

Sebelumnya saya ingin menunjukkan sebuah hadis dalam Musnad Ahmadno 3781 diriwayatkan dari Masyruq yang berkata”Kami duduk dengan Abdullah bin Mas’ud mempelajari Al Quran darinya. Seseorang bertanya padanya ‘Apakah engkau menanyakan kepada Rasulullah SAW berapa khalifah yang akan memerintah umat ini?Ibnu Mas’ud menjawab ‘tentu saja kami menanyakan hal ini kepada Rasulullah SAW dan Beliau SAW menjawab ‘Dua belas seperti jumlah pemimpin suku Bani Israil’.

Dalam Fath Al Bari Ibnu Hajar Al Asqallani menyatakan hadis Ahmad dengan kutipan dari Ibnu Mas’ud ini memiliki sanad yang baik. Hadis ini juga dishahihkan oleh Syaikh Ahmad Muhammad Syakir dalam Takhrij Musnad Ahmad. Merujuk ke hadis di atas ternyata Khalifah untuk umat Islam itu hanya 12 belas. Padahal kenyataannya ada banyak sekali khalifah yang memerintah umat Islam sunni.

Bagi Ulama Syiah hadis ini merujuk kepada 12 Imam Ahlul Bait sebagai pengganti Rasulullah SAW. Jika kita mengambil premis bahwa ada banyak sekali khalifah yang memerintah umat Islam atau khalifah yang dimiliki umat Islam maka jelas sekali pemerintahan yang dimaksud bukanlah pemerintahan Islam yang memiliki banyak kahlifah yang terbagi dalam Khulafaur Rasyidin(di sisi Sunni), Dinasti Umayyah, Dinasti Abbasiyah, dan Dinasti Utsmaniyyah karena mereka semua jauh lebih banyak dari 12. Dari sini dapat dimengerti mengapa Ulama Syiah menyatakan bahwa khalifah yang dimaksud disini adalah 12 khalifah pengganti Rasulullah SAW. Tentu saya pribadi tidak akan menilai penafsiran mana yang lebih baik. Saya hanya ingin menampilkan bahwa penafsiran Ulama Syiah terhadap hadis 12 khalifah ini juga ada dasarnya.

Bagi Syiah keimamahan Ali dan keturunannya bersifat tegas, dan dalil-dalil tentang ini dapat ditemukan dalam kitab Sunni. Bukankah jika Rasulullah SAW menetapkan hal ini berapapun banyaknya mau sedikit atau sering maka itu sudah menjadi hujjah yang nyata.

Rukun iman adalah berkaitan dengan apa yang kita yakini. Apa salahnya jika Syiah meyakini setiap apa yang dikatakan oleh Rasulullah SAW tentang Imamah.

Dalil disisi Syiah jelas sangat banyak oleh karena itu mereka mengimaninya. Sedangkan dalil di sisi Sunni maka Syiah lagi-lagi berkata juga banyak, contohnya adalah hadis Al Ghadir yang mutawatir di sisi Sunni. Hadis Al Ghadir ini dari sisi sanad tidak bisa ditolak tetapi Sunni memang mengartikan lain hadis ini. Yang perlu diingat kesalahan atau penolakan memang selalu saja bisa dicari-cari.

Cukup banyak dalil shahih di sisi Sunni yang dijadikan dasar oleh Ulama Syiah hanya saja Sunni menafsirkan lain dalil-dalil tersebut. Oleh karena itu seharusnya yang perlu ditelaah adalah penafsiran mana yang benar atau lebih benar.

Wahabi berkata :
Buktinya syi’ah dalam sejarahnya terpecah belah menjadi beberapa firqah karena mereka berselisih siapakah yang akan menjadi imam selanjutnya setelah satu imam meninggal. (Lihat Al-Milal wa Al-Nihal).

Mereka yang berpecah belah dari Syiah imamiyah tidaklah lagi disebut Syiah kecuali sebagai sebutan saja. Syiah Zaidiyah dan Syiah Ismailiyah tidaklah disebut Syiah oleh Syiah Imamiyah. Lagipula adanya orang yang menyalahi nash tidaklah berarti nash itu sendiri palsu. Logika darimana itu, bukankah bisa juga sebaliknya berarti orang tersebut telah membangkang atau melanggar nash.


Pentingnya Keberadaan Imam

Dalam pembahasan sebab-sebab kenabian terakhir Rasulullah Saw. kita telah jelaskan bahwa ada tiga perkara yang dapat menjadi sebab perlunya diutus seorang nabi baru dan diturunkannya syariat baru di sepanjang sejarah manusia dan tiga perkara tersebut tidak ada dalam diri Islam.

- Pertama, ketidak-cukupan syari’at-syari’at sebelumnya mengingat kebutuhan-kebutuhan masyarakat mendatang telah dicukupkan oleh Allah Swt. dengan diutusnya nabi Muhammad Saw.
- Kedua, ajaran nabi-nabi sebelumnya selalu mengalami penyelewengan dan perubahan (tahrif) atau ajarannya dilupakan. Namun Islam, Allah swt. sendiri yang menjaga Al-Qur’an dari tahrif.
- Ketiga, kitab-kitab langit menjelaskan permasalahan-permasalahan secara global dan para nabi-lah yang bertugas untuk menjelaskannya secara rinci. Dengan meninggalnya nabi, berarti tidak ada orang yang menjelaskan kitab suci tersebut dan juga banyak permasalahan-permasalahan baru bermunculan dan hukumnya tidak dapat dijelaskan. Oleh karenanya, hikmah Ilahi menuntut diutusnya seorang nabi baru yang dapat menyempurnakan kekurangan ini. Adapun bagaimana dengan Islam? Jawabannya begini: dalam faham mazhab syi’ah pemenuhkan kekurangan tersebut telah diperhitungkan pula sebelumnya dan Allah Swt. dengan cara menentukan imam-imamm maksum yang memiliki kriteria-kriteria yang sama seperti nabi Muhammad Saw., hanya saja mereka tidak memiliki kedudukan sebagai seorang nabi atau rasul, menjaga Islam dari penyelewengan dan tahrif. Para imam selalu diilhami sehingga dapat menjelaskan permasalahan apa saja yang akan datang nanti. Dengan pemenuhan kebutuhan seperti inilah Islam menjadi agama sempurna yang tidak perlu ada agama lain setelahnya untuk diturunkan.[1]

Poin terakhir, yakni ketergantungan Islam sebagai agama sempurna dan global terhadap ditentukannya imam maksum dan tidak benarnya penentuan imam selain dengan cara penobatan, dapat kita fahami dari beberapa ayat dan riwayat yang mana penafsirannya pun juga telah dijelaskan.

Di surah Al-Ma’idah Allah Swt. berfirman:
Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah Ku-cukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan telah Ku-ridhai Islam itu jadi agama bagimu. (QS. Al-Maa’idah [5] : 3).

Secara sekilas dari melihat nada ayat di atas kita memahami bahwa pasti ada peristiwa yang terjadi sebelum diturunkannya ayat tersebut. Kejadian itu adalah batu bata terakhir bangunan Islam yang telah diletakkan dan karenanya Islam menjadi sempurna lalu menjadi agama yang diridhai Allah Swt. untuk dipeluk umat manusia. Hari itu juga adalah hari yang dimana kaum kafir telah berputus asa atas usahanya meruntuhkan pilar Islam. Penafsiran ayat ini dengan jelas tercatat dalam buku-buku tafsir ternama. Hari itu adalah hari ke-18 Dzulhijjah, ketika Rasulullah Saw. sedang kembali dari haji Wada’, saat beliau tiba di suatu tempat bernama Ghadir Khum. Di hari itu Rasulullah Saw. berbicara di depan umum tentang diangkatnya Imam Ali As. sebagai imam dan pengganti setelahnya dengan berkata “Siapakah yang memiliki wewenang di antara kalian atas diri kalian dan juga lebih mulia daripada kalian?” Para haji menjawab “Allah Swt. dan engkau, wahai Rasulullah.” Lalu beliau mengangkat tangan Imam Ali As. hingga terlihat ketiak mereka lalu dengan tegas berkata “Barang siapa menjadikan aku sebagai pemimpinnya, maka jadikanlah Ali sebagai pemimpinnya.”[2]

Berdasarkan kandungan hadis di atas, ditentukannya Imam Ali As. sebagai seorang imam setelah Rasulullah Saw. adalah penyempurna agama Islam. Dan, Islam sebagai agama yang sempurna, di dalam teks nya harus ada yang namanya penobatan imam maksum untuk semua periode setelah nabi. Karena tiadanya hal itu di dalam Islam bertentangan dengan kesempurnaan agama tersebut; karena sebagaimana yang kita tahu pengutusan Rasulullah Saw. kelazimannya adalah penobatan seorang imam. Karena tanpa ditentukannya seorang imam maka apa yang telah dilakukan dan disampaikan oleh nabi Muhammad Saw. adalah sia-sia belaka. Oleh karenanya Allah Swt. berfirman:

Hai Rasul, sampaikanlah apa yang diturunkan kepadamu dari Tuhanmu. Dan jika tidak kamu kerjakan (apa yang diperintahkan itu, berarti) kamu tidak menyampaikan amanat-Nya. Allah memelihara kamu dari (gangguan) manusia. Sesungguhnya Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang kafir. (QS, Al-Maa’idah [5] : 67).

Berdasarkan berbagai riwayat baik dari kalangan Suni maupun Syi’ah, perkara yang harus disampaikan oleh Rasulullah Saw. sebelum kepergiannya adalah perkara kepemimpinan Imam Ali As.[3]


Kriteria Seorang Imam

Saat kita mengamati dengan detil dalil-dalil aqli pentingnya keberadaan imam, kita dapat menyimpulkan bahwa imam sebagai seorang pengganti nabi harus memiliki tiga kriteria pokok: dinobatkan oleh Allah Swt., memiliki ilmu yang diilhamkan dari-Nya, dan maksum. Karena, dari satu sisi, jika seorang imam tidak memiliki ilmu yang diilhamkan oleh Allah Swt. dan tidak maksum, maka ia tidak mungkin bisa menjaga ajaran Islam dari penyelewengan dan tahrif; mereka juga tidak bisa menjelaskan hukum-hukum dengan benar. Dan dari sisi lain, hanya Tuhan yang mengetahui siapa yang memiliki kriteria-kriteria tersebut sehingga dapat Ia jadikan imam. Ketiga kriteria tersebut dapat kita temukan dalam ayat-ayat Al-Qur’an.

1. Dinobatkan Oleh Tuhan

Kita meyakini bahwa Imam Ali As. dinobatkan oleh Allah Swt. melalui rasul-Nya untuk menjadi imam setelah nabi Muhammad Saw. Dengan demikian, sempurnalah agama Islam. Ayat yang memerintahkan beliau untuk menyampaikan deklarasi penobatan Imam Ali As. sebagai imam dan hadis-hadis yang menunjukkan kepemimpinannya adalah bukti penobatan imam dari sisi Tuhan. Ditambah lagi ketika nabi ditanya siapakah Wali Amr yang harus ditaati? Apakah setiap pemimpin negara harus ditaati? Atau orang-orang tertentu saja? Rasulullah Saw. menjawab dengan menyebutkan nama-nama imam setelahnya. Dan dengan demikian beliau telah menentukan siapa saja imam yang akan memimpin kelak.

2. Ilmu yang Diilhamkan

Di ayat suci yang berbunyi: Berkatalah orang-orang kafir: “Kamu bukan seorang yang dijadikan Rasul.” Katakanlah: “Cukuplah Allah menjadi saksi antaraku dan kamu, dan antara orang yang mempunyai ilmu Al Kitab” (QS. Ar-Ra’d [13] : 43) Di ayat tersebut diterangkan mengenai kesaksian Tuhan dan sebagian orang di hari kiamat atas kebenaran ajaran agama Islam yang mana mereka memiliki “ilmu Al Kitab”.

Para ahli tafsir dalam menjelaskan ayat tersebut berkata bahwa maksud dari ilmu Al Kitab adalah pengetahuan terhadap apa yang tercatat pada lauhul mahfudz. Maksudnya adalah, seseorang dapat menjadi saksi kebenaran risalah nabi Muhammad Saw. ketika ia memiliki ilmu yang diilhamkan oleh Allah Swt. tentang lauhul mahfudz. Juga banyak riwayat yang menjelaskan bahwa orang-orang yang memiliki ilmu Al Kitab adalah Imam Ali As. dan anak-anaknya yang maksum. Dengan demikian ayat tersebut menyinggung ilmu ghaib para imam yang diilhamkan oleh Allah Swt. kepada mereka. ayat lain yang serupa adalah: Dan demikian (pula) Kami telah menjadikan kamu (umat Islam), umat yang adil dan pilihan agar kamu menjadi saksi atas (perbuatan) manusia dan agar Rasul (Muhammad) menjadi saksi atas (perbuatan) kamu. (QS. Al-Baqarah [2] : 143).

Karena memberikan kesaksian amal perbuatan manusia di hari kiamat adalah bagian dari pengetahuan akan semua perbuatan umat manusia dengan niat-niat mereka dan kesaksian ini tidak mungkin diberikan kecuali saksinya memiliki ilmu ghaib yang diilhamkan.

Untuk menjelaskan maksud ayat ini, meskipun ada beberapa pendapat yang telah diutarakan, namun pandangan-pandangan yang lebih sesuai dengan kandungan ayat tersebut dan juga pernah dijelaskan dalam berbagai riwayat adalah bahwa yang dimaksud dengan ummatan wasatha dalam surah Al-Hajj ayat 77 adalah para imam dan washi Rasulullah Saw. Dalam sebuah riwayat yang ditukil dari Imam Shadiq As. disebutkan bahwa beliau berkata “Apakah kalian pikir yang dimaksud dengan ummat wasath yang bersaksi atas semua umat manusia adalah seluruh Muslimin?” Sesungguhnya bukan begitu, maksud dari istilah tersebut adalah Ahlul Bait As.

3. Kemaksuman

Syi’ah berkeyakinan bahwa para imam Syi’ah, begitu pula dengan Fathimah Azzahra As., meskipun mereka bukan nabi tapi mereka memiliki derajat kemaksuman. Oleh karena itu, kemaksuman bukanlah kriteria khusus yang hanya dimiliki para nabi saja, namun selain nabi juga ada orang-orang yang maksum.

Kemaksuman yang dimiliki oleh 13 manusia suci tersebut sama persis dengan kemaksuman yang dimiliki para nabi. Yakni mereka terjaga dari segala dosa, baik sengaja atau tidak, dan juga dari kelalaian dan kelupaan. Ini bukan berarti selain 13 manusia suci tidak ada manusia maksum, karena mungkin saja ada orang lain yang juga maksum karena kebiasaannya untuk tidak berbuat dosa. Karena siapapun yang telah memiliki sifat taqwa yang melekat, meskipun dia berada dalam situasi yang benar-benar mendorongnya untuk berdosa namun ia tidak melakukannya, ia adalah maksum, alias terjaga dari dosa tersebut. Misalnya orang-orang seperti Salman Al-Farisi. Hanya saja, kita tidak bisa memastikan kemaksuman selain 13 manusia suci dan para nabi; kita hanya bisa memberikan kemungkinan saja. Rasulullah Saw. pernah bersabda “Salman adalah termasuk dari kami, Ahlul Bait.” Mungkin kata itu menunjukkan bahwa Salman memiliki beberapa kriteria yang juga dimiliki oleh Ahlul Bait As. Tidak hanya salman, orang lain siapapun itu, jika ia memiliki sifat taqwa yang benar-benar melekat dan tak melakukan dosa, dapat dikata bahwa ia telah mencapai derajat kemaksuman.

Berdasarkan apa yang telah lalu, jelas apa bedanya kemaksuman yang dimiliki oleh nabi dan 13 manusia suci dengan kemaksuman selain mereka. Kemaksuman manusia-manusia suci dapat dibuktikan dengan berbagai dalil baik ayat maupun riwayat. Di sini kita akan membawakan dalil-dalil kemaksuman para imam:


Dalil Qur’ani Kemaksuman Para Imam

Untuk membuktikan kemaksuman para imam, Syi’ah menjadikan beberapa ayat sebagai dalilnya. Misalnya:
Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Quran) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya. (QS. An-Nisaa’ [4] : 59).

Ayat ini memerintahkan orang-orang yang beriman untuk mentaati Allah, Rasul-Nya, dan Wali Amr. Ketaatan itu pun adalah ketaatan total, yakni lebih dari ketaatan dalam lingkup keagamaan, namun juga sosial dan politik juga. Istilahnya, kita harus mentaati perintah-perintah mereka baik yang maulawiyyah maupun yang wilayah. Sebagaimana yang telah kita bahas sebelumnya, Rasulullah Saw. memiliki beberapa kedudukan, yang mana kita harus mentaatinya di semua kedudukannya.

Lalu bagaimana ayat tersebut membuktikan kemaksuman para imam? Kata “taatilah” di ayat tersebut diulang sebanyak dua kali: pertama hanya untuk Allah Swt., dan kedua untuk Rasulullah Saw. dan Wali Amr. Dengan melihat kesejajaran Rasul dan Wali Amr di ayat tersebut dari segi harusnya mereka ditaati, menunjukkan bahwa mereka memiliki kedudukan yang sama untuk ditaati.

Ayat tersebut mengharuskan ketaatan terhadap mereka secara mutlak tanpa alasan apapun. Sebagaimana Allah Swt. harus ditaati tanpa alasan, Rasul dan Wali Amr juga harus ditaati seperti itu. Karena dalam sastra Arab, kata “taatilah” di sini adalah mutlaq dan ketaatan terhadap Rasulullah Saw. dan para imam merupakan kelaziman dari ketaatan terhadap Tuhan.

Jika mereka adalah orang-orang yang tidak terjaga dari dosa, maka ada kemungkinan kita bisa tidak mentaati mereka, dan itu bertentangan dengan kandungan ayat; ada dua perintah yang bertentangan: mentaati Tuhan yang tidak mungkin salah, dan mentaati Rasulullah Saw. yang mungkin salah. Jadi, dapat dikatakan bahwa karena Allah Swt. memerintahkan kita untuk mentaati mereka, artinya Ia telah menjamin bahwa segala yang mereka perintahkan adalah benar, yakni mereka maksum.

Di sisi lain, ayat tersebut diturunkan dalam rangka mengagungkan Rasulullah dan Wali Amr. Bagaimana mungkin orang yang tidak maksum disejajarkan dengan Rasulullah saw. dan mereka diagungkan di hadapan Tuhan?

Dan juga, ketaatan yang sampai ditekankan seperti ini adalah ketaatan khusus, bukan ketaatan biasa seperti kita mentaati orang biasa karena ia memerintahkan apa yang diperintahkan Tuhan dan melarang apa yang dilarang-Nya dalam rangka Amar Makruf Nahi Munkar. Karena jika tidak, apa gunanya ketaatan tersebut dijelaskan dan ditekankan dalam Al-Qur’an?

Selain apa yang telah dijelaskan tadi, jika seandainya ayat di atas ada pengecualiannya, yakni kita harus mentaati Rasulullah Saw. dan Wali Amr, kecuali begini dan begitu, pasti Allah Swt. telah mengatakannya sejak awal. Artinya ketatan terhadap mereka tidak ada pengecualiannya. Adapun ketaatan terhadap selain mereka, ada pengecualiannya, seperti ketaatan terhadap kedua orang tua. Allah Swt. berfirman:

Dan Tuhanmu telah memerintahkan supaya kamu jangan menyembah selain Dia dan hendaklah kamu berbuat baik pada ibu bapakmu dengan sebaik-baiknya. Jika salah seorang di antara keduanya atau kedua-duanya sampai berumur lanjut dalam pemeliharaanmu, maka sekali-kali janganlah kamu mengatakan kepada keduanya perkataan “ah” dan janganlah kamu membentak mereka dan ucapkanlah kepada mereka perkataan yang mulia. (QS. Al-Israa’ [17] : 23).

Ayat tersebut menekankan ketaatan terhadap orang tua. Namun karena orang tua bukanlah manusia suci yang terlepas dari dosa, Allah Swt. memberikan pengecualiannya dengan berfirman:

Dan jika keduanya memaksamu untuk mempersekutukan Aku dengan sesuatu yang tidak ada pengetahuanmu tentang itu, maka janganlah kamu mengikuti keduanya. Hanya kepada-Ku-lah kembalimu, lalu Aku kabarkan kepadamu apa yang telah kamu kerjakan. (QS. Al-‘Ankabut [29] :

Jadi, perintah Allah Swt. dan penekanan-Nya untuk mentaati Rasulullah Saw. dan para imam, dengan mengingat apa yang telah kita bahas di atas, mengisyarahkan kemaksuman mereka. Karena jika tidak maksum bagaimana mungkin Allah Swt. memerintahkan kita untuk taat tanpa terkecuali?

Salah satu syubhat yang sering didengar adalah, jika memang 12 imam adalah Wali Amr yang dinobatkan oleh Tuhan, lalu mengapa nama mereka tidak disebutkan dalam Al-Qur’an? Syubhat ini telah tersebar sejak zaman para imam hidup hingga sekarang. Namun untuk menjawabnya, para imam sendiri telah mengajari kita untuk menjawab begini: di dalam Al-Qur’an ada perintah shalat, namun apakah kalian melihat detil berapa rakaat kita harus shalat? Lalu kita harus bertanya kepada siapa tentang berapa rakaat kita musti shalat? Kita harus bertanya kepada Rasulullah Saw. Allah Swt. berfirman:

keterangan-keterangan (mukjizat) dan kitab-kitab. Dan Kami turunkan kepadamu Al Quran, agar kamu menerangkan pada umat manusia apa yang telah diturunkan kepada mereka dan supaya mereka memikirkan, (QS. An-Nahl [16] : 44).

Oleh karena itu, Rasulullah Saw. harus menjelaskan detil hukum-hukum syar’i. Begitu juga perintah zakat. Apakah Al-Qur’an menjelaskan bahwa dari 40 Dirham kita harus membayarkan satu Dirham? Tidak semuanya disebutkan dalam Al-Qur’an, kita yang harus mencari detilnya dalam ucapan-ucapan dan penjelassan Rasulullah Saw.

Untuk mengenal siapa Wali Amr, kita harus merujuk pada penafsirannya. Rasulullah Saw. sendiri yang menjelaskan tafsiran ayat tersebut. Diriwayatkan oleh Jabir bin Abdullah Anshari bahwa Rasulullah Saw. dalam rangka menjelaskan ayat tersebut menyebutkan nama para imam 12 dan mengenalkan mereka kepada para sahabatnya.[4]

Ayat lain yang dapat dijadikan bukti kemaksuman para imam adalah:
Sesungguhnya Allah bermaksud hendak menghilangkan dosa dari kamu, hai Ahlul Bait dan membersihkan kamu sebersih-bersihnya. (QS. Al-Ahzaab [33] : 33).

Pada ayat tersebut Allah Swt. menyebutkan ada sekelompok orang yang dikenal dengan Ahlul Bait, dan Ia hendak mensucikan mereka dari dosa. Kehendak ini pasti kehendak yang khusus berkenaan dengan mereka. Kehendak Tuhan ada dua, tasyri’i dan takwini. Kehendak tasyri’i adalah kehendak yang berkaitan dengan perintah Tuhan kepada manusia yang mana jika perintah tersebut dijalankan, kehendak Tuhan akan tercapai. Misalnya, Allah Swt. memerintahkan mandi dan wudhu karena Ia hendak mensucikan kalian (dari hadas baik kecil maupun besar). Kehendak tersebut akan terwujud dengan dijalankan perintah mandi dan wudhu. Namun kehendak takwiniadalah kehendak yang pasti akan tercapai tanpa syarat apapun. Sebagai contoh, saat Allah Swt. berkehendak untuk menciptakan manusia, Ia berkata “Jadilah! Maka ia jadi.”
Ahlul Bait As.

Sebagian ulama Ahli Sunah, menganggap Ahlul Bait sebagai istri-istri nabi, karena permulaan ayat berbicara tentang mereka. Dengan demikian mereka menganggap kehendak Allah Swt. dalam ayat itu sebagai kehendak tasyri’i, karena mereka tidak meyakini kemaksuman istri-istri nabi. Dengan demikian, bagi mereka ayat tersebut tidak dapat dijadikan bukti kemaksuman para imam.

Namun apa yang mereka fahami salah. Karena beberapa alasan, misalnya, dhamir dalam bagian terakhir ayat semuanya untuk lelaki, bukan untuk perempuan. Dengan demikian tidak mungkin yang dimaksud adalah istri-istri nabi. Tidak hanya itu, lebih dari 70 riwayat baik dari Syi’ah maupun Suni yang merupakan riwayat sahih menjelaskan bahwa yang dimaksud Ahlul Bait dalam ayat tersebut adalah lima manusia suci: Rasulullah Saw., imam Ali As., Sayidah Fathimah Azzahra As., imam Hasan As. dan imam Husain As.[5]

Kehendak takwini Tuhan tidak berarti jabr, namun artinya adalah kehendak itu pasti akan terjadi dan bahkan sudah terjadi. Perlu diketahui bahwa pada dasarnya kehendak takwini Tuhan mencakup segala ciptaan-Nya, baik melalui perantara pelaku yang berkehendak, maupun pelaku-pelaku alami yang tidak berkehendak. Kehendak takwini di ayat ini adalah kehendak yang terwujud melalui perantara pelaku yang berkehendak, yakni Ahlul Bait dengan kehendaknya sendiri mencapai kedudukan suci kemaksuman.
Kedudukan Para Imam

Syi’ah berkeyakinan bahwa semua kedudukan yang dimiliki Rasulullah Saw., selain kedudukan sebagai seorang nabi dan rasul, juga dimiliki oleh para imam. Keyakinan ini adalah salah satu keyakinan pokok dalam ajaran Syi’ah. Ayat Al-Qur’an yang membuktikan hal ini adalah ayat yang telah kita baca tadi, ayat 59 surah An-Nisaa’.

Sebagaimana sebelumnya telah dijelaskan, kedudukan para imam sebagai para pemimpin umat Islam secara umum dapat ditetapkan dengan ayat tersebut.

Adapun kedudukan sebagai hakim, sesungguhnya masalah kehakiman adalah bagian dari pemerintahan. Rasulullah Saw. dengan kedudukannya sebagai wali Muslimin dapat menjalankan tugasnya sebagai seorang hakim; begitu juga dengan para imam.

Dengan kedua kedudukan agung tersebut, kita pasti juga sampai pada pemahaman dimana mereka juga memiliki kedudukan berikutnya, yakni terpercayanya ucapan-ucapan mereka dalam menjelaskan penafsiran ayat-ayat Al-Qur’an. Karena seseorang yang telah dipilih Tuhan untuk duduk sebagai hakim pasti benar-benar memahami penafsiran ayat-ayat kitab suci-Nya; karena jika tidak ia tak mungkin bisa menghakimi dengan benar.

Dengan demikian kita dapat menyimpulkan bahwa Wali Amr adalah orang-orang pilihan Tuhan yang memiliki kedudukan sebagai pemerintah, hakim, dan juga penafsir ayat-ayat suci Allah Swt.

Berdasarkan pembahasan sebelumnya, telah terbukti bahwa Wali Amr adalah imam-imam suci. Apakah ada juga selain mereka? Jawabnya, ya. Para imam suci juga pernah memerintahkan kita untuk merujuk kepada seorang yang adil dan faham betul akan agama di masa keghaiban Imam Mahdi Aj., istilahnya faqih, dengan beberapa kriteria yang telah mereka sebutkan. Mereka berkata bahwa menolak pendapat seorang yang faqih sama dengan menolak kami, dan itu artinya syirik. Inilah dasar Wilayatul Faqih. Pembahasan ini tidak bisa kita teruskan lebih lanjut, karena keluar dari pembahasan asli buku ini.
[1] Mengenai Rasulullah Saw., dengan melihat bahwa beliau beberapa tahun pertama dakwahnya dimulai di Syu’b Abi Thalib di dalam kepungan kaum musyrikin, selama 10 tahun sering berperang melawan musuh-musuh Islam, dan kondisi-kondisi susah seperti itu tidak membiarkan beliau untuk dapat menjelaskan hukum-hukum syar’i dan pengetahuan-pengetahuan Islam secara sempurna kepada umatnya.
[2] Syaikh Kulaini, Al-Kafi, jil. 1, hlm. 289.
[3] Al-Ghadir, jil. 1, halaman 52, 214-216, 219, 220, 222; Ushul Al-Kafi, jil. 1, hlm. 289 dan 295; Ahmad Tabrasi, Al-Ihtijaj, jil. 1, hlm. 69; Ali ibn Muhammad Amadi, Ghayatul Maram, hlm. 336.
[4] Ghayatul Maram, hlm. 263-267.
[5] Ahmad bin Hambal, Musnad Ahmad, jil. 4, hlm. 107; Al-Kafi, jil. 1, hlm. 286-287.


Mempelajari Rahasia Ajaran Syiah dari Sumber Aslinya

Bila terdengar berita tentang demonstrasi menentang Syiah di daerah Tanah Air, sebagian orang menganggapnya sebagai tindakan berlebihan. “Padahal sama-sama Islam,” begitu komentar yang kerap terdengar.

Untuk dapat menilai dengan objektif tentang Syiah, tentu perlu pengkajian yang cermat dan kritis tentang ajaran Syiah itu sendiri. Tidak serta merta menyalahkan atau membela. Sebagaimana kata pepatah, “Jangan membeli kucing dalam karung,” begitu juga dalam menyikapi aliran semacam Syiah, jangan kita menilai tanpa meneliti dan mempelajarinya terlebih dahulu.


Anda menuduh bahwa sampai akhir hidup Rasulullah SAW tidak menunjuk pengganti ?. Jadi menurut anda setelah Rasulullah berjuang begitu lama menjalankan perintah Allah kemudian ditinggalkan begitu saja. Tidak ada yang melanjutkan untuk memberi petunjuk. Aneh.

Sedangkan dalam Alqur’an begitu banyak Firman Allah yang menyatakan bahwa disetiap masa, setiap kaum akan ada orang2 yang akan Allah beri pentunjuk untuk memberi petunjuk pada kaumnya. Jadi kalau menurut anda Allah tidak memberi petunjuk pada Rasulullah untuk menunjuk orang/ penerus sesudah Rasulullah SAW ?

Imamah atau ke-imaman dari segi bahasa adalah kepemimpinan dan setiap orang yang memiliki kedudukan sebagai seorang pemimpin disebut dengan imam (yang mana kata jamaknya adalah aimmah), baik memimpin di jalan yang benar maupun di jalan yang batil. Allah Swt. berfirman:

Dan Kami jadikan mereka pemimpin-pemimpin yang menyeru (manusia) ke neraka dan pada hari kiamat mereka tidak akan ditolong. (QS. Al-Qashash [28] : 41).

Adapun dalam istilah ilmu Kalam, adalah kepemimpinan umum atas seluruh masyarakat Muslim di seluruh perkara baik perkara agama maupun dunia yang mana dari sudut pandang syi’ah keabsahaman kepemimpinan ini bergantung pada penobatan Tuhan dan nabi-Nya. Oleh karena itu, penentuan imam setelah kenabian adalah hal yang dituntut oleh hikmah Ilahi.

Syiah mengklaim bahwa Ali ra adalah khalifah pengganti Rosululloh saw setelah wafat.


Hadis 12 khalifah

Dari Jabir bin Samurah, ia berkata, “Saya masuk bersama ayah saya kepada Nabi SAW. maka saya mendengar beliau berkata, ‘Sesungguhnya urusan ini tidak akan habis sampai melewati dua belas khalifah.’ Jabir berkata, ‘Kemudian beliau berbicara dengan suara pelan. Maka saya bertanya kepada ayah saya, ‘Apakah yang dikatakannya?’ Ia berkata, ‘Semuanya dari suku Quraisy.’ Dalam riwayat yang lain disebutkan, ‘Urusan manusia akan tetap berjalan selama dimpimpin oleh dua belas orang.’ Dalam satu riwayat disebutkan. ‘Agama ini akan senantiasa jaya dan terlindungi sampai dua belas khalifah. (H.R.Shahih Muslim, kitab “kepemimpinan”, bab”manusia pengikut bagi Quraisy dan khalifah dalam kelompok Quraisy”).

Bani Hasyim adalah yang termulia dari suku Quraisy dan Ahlul Bait adalah yang termulia dari Bani Hasyim. Tidak berlebihan kalau dikatakan Ahlul Bait semulia-mulia dari Quraisy . Dalam Hadis Shahih Muslim Kitab keutamaan, Bab keutamaan nasab Nabi no: 2276 diriwayatkan bahwa Rasulullah SAW bersabda Sesungguhnya Allah telah memilih (suku) Kinanah daripada anak keturunan Ismail dan telah memilih (bangsa) Quraisy daripada (suku) Kinanah, dan telah memilih daripada (bangsa) Quraisy Bani Hasyim dan telah memilih aku daripada Bani Hasyim.

Yang perlu diperhatikan adalah bagaimana kalau khalifah islam yang ada untuk umat Islam itu hanya 12 belas.

Sebelumnya saya ingin menunjukkan sebuah hadis dalam Musnad Ahmadno 3781 diriwayatkan dari Masyruq yang berkata”Kami duduk dengan Abdullah bin Mas’ud mempelajari Al Quran darinya. Seseorang bertanya padanya ‘Apakah engkau menanyakan kepada Rasulullah SAW berapa khalifah yang akan memerintah umat ini?Ibnu Mas’ud menjawab ‘tentu saja kami menanyakan hal ini kepada Rasulullah SAW dan Beliau SAW menjawab ‘Dua belas seperti jumlah pemimpin suku Bani Israil’.

Dalam Fath Al Bari Ibnu Hajar Al Asqallani menyatakan hadis Ahmad dengan kutipan dari Ibnu Mas’ud ini memiliki sanad yang baik. Hadis ini juga dishahihkan oleh Syaikh Ahmad Muhammad Syakir dalam Takhrij Musnad Ahmad. Merujuk ke hadis di atas ternyata Khalifah untuk umat Islam itu hanya 12 belas. Padahal kenyataannya ada banyak sekali khalifah yang memerintah umat Islam sunni.

Bagi Ulama Syiah hadis ini merujuk kepada 12 Imam Ahlul Bait sebagai pengganti Rasulullah SAW. Jika kita mengambil premis bahwa ada banyak sekali khalifah yang memerintah umat Islam atau khalifah yang dimiliki umat Islam maka jelas sekali pemerintahan yang dimaksud bukanlah pemerintahan Islam yang memiliki banyak kahlifah yang terbagi dalam Khulafaur Rasyidin(di sisi Sunni), Dinasti Umayyah, Dinasti Abbasiyah, dan Dinasti Utsmaniyyah karena mereka semua jauh lebih banyak dari 12. Dari sini dapat dimengerti mengapa Ulama Syiah menyatakan bahwa khalifah yang dimaksud disini adalah 12 khalifah pengganti Rasulullah SAW. Tentu saya pribadi tidak akan menilai penafsiran mana yang lebih baik. Saya hanya ingin menampilkan bahwa penafsiran Ulama Syiah terhadap hadis 12 khalifah ini juga ada dasarnya.

Bagi Syiah keimamahan Ali dan keturunannya bersifat tegas, dan dalil-dalil tentang ini dapat ditemukan dalam kitab Sunni. Bukankah jika Rasulullah SAW menetapkan hal ini berapapun banyaknya mau sedikit atau sering maka itu sudah menjadi hujjah yang nyata.

Rukun iman adalah berkaitan dengan apa yang kita yakini. Apa salahnya jika Syiah meyakini setiap apa yang dikatakan oleh Rasulullah SAW tentang Imamah.

Dalil disisi Syiah jelas sangat banyak oleh karena itu mereka mengimaninya. Sedangkan dalil di sisi Sunni maka Syiah lagi-lagi berkata juga banyak, contohnya adalah hadis Al Ghadir yang mutawatir di sisi Sunni. Hadis Al Ghadir ini dari sisi sanad tidak bisa ditolak tetapi Sunni memang mengartikan lain hadis ini. Yang perlu diingat kesalahan atau penolakan memang selalu saja bisa dicari-cari.

Cukup banyak dalil shahih di sisi Sunni yang dijadikan dasar oleh Ulama Syiah hanya saja Sunni menafsirkan lain dalil-dalil tersebut. Oleh karena itu seharusnya yang perlu ditelaah adalah penafsiran mana yang benar atau lebih benar.

Wahabi berkata :
Buktinya syi’ah dalam sejarahnya terpecah belah menjadi beberapa firqah karena mereka berselisih siapakah yang akan menjadi imam selanjutnya setelah satu imam meninggal. (Lihat Al-Milal wa Al-Nihal).

Mereka yang berpecah belah dari Syiah imamiyah tidaklah lagi disebut Syiah kecuali sebagai sebutan saja. Syiah Zaidiyah dan Syiah Ismailiyah tidaklah disebut Syiah oleh Syiah Imamiyah. Lagipula adanya orang yang menyalahi nash tidaklah berarti nash itu sendiri palsu. Logika darimana itu, bukankah bisa juga sebaliknya berarti orang tersebut telah membangkang atau melanggar nash.

Di sisi Sunni terdapat kecenderungan di antara Ulama-ulamanya ketika berhujjah dengan Ulama Syiah:
• Mereka Ulama Sunni cenderung untuk menyalahkan setiap apapun yang dikatakan Syiah walaupun dalilnya ternyata shahih disisi Sunni(kecenderungan ini saya temukan pada Ibnu Taimiyyah dalam Minhaj As Sunnah dan Ali As Salus dalam Imamah dan Khilafah)
• Selain itu Ulama Sunni juga punya kecenderungan untuk begitu mudah mencacat suatu dalil dengan alasan perawi dalil itu adalah syiah walaupun dalil itu sendiri tercatat dalam kitab Sunni.


(Syiah-Ali/Alulbayt/ABNS)
Share this post :

Post a Comment

mohon gunakan email

Terkait Berita: