Pesan Rahbar

Home » , » Keadilan Menurut Aristoteles Dan Filosof Muslim

Keadilan Menurut Aristoteles Dan Filosof Muslim

Written By Unknown on Wednesday, 21 January 2015 | 20:12:00


Pertanyaan:
Bagaimana keadilan menurut Aristoteles dan Filosof Muslim? Apa perbedaan di antara mereka?
Jawaban Global:
Aristoteles mendefinisikan kebahagiaan (sa’âdah) yang merupakan puncak kebaikan manusia sebagai “aktifitas jiwa dalam menyesuaikan dengan keutamaan.” Ia menilai puncak dari keutamaan ini adalah keadilan yang merealisasikan kebahagiaan umat manusia.

Menurut Aristoteles keadilan adalah keutamaan sempurna; karena berlaku adil atau berkeadilan meniscayakan pengerahan dan pemberdayaan seluruh keutamaan. Keadilan dari sudut pandang ini juga merupakan keutamaan paripurna dimana manusia merealisasikan keadilan ini pada dirinya (personal) bahkan juga pada pelbagai interaksi dengan orang lain (sosial).

Filosof menilai keadilan sebagai sebuah prinsip ideal yang dengan perantara keadilan makna kebenaran akan menjadi jelas; karena itu penghormatan dan pelaksanan keadilan adalah suatu hal yang mesti dilakukan. Apabila keadilan sesuai dengan kebenaran maka hal itu menunjukkan persamaan dan kelurusan, dan terkait dengan orang yang merealisasikan hal itu menunjukkan bahwa ia telah menguasai satu keutamaan di di antara beberapa keutamaan yang ada yaitu hikmah, keberanian, kemuliaan dan keadilan.

Keadilan dari sudut pandang ini merupakan sebuah keutamaan yang memiliki dua sisi: Keadilan personal dan keadilan sosial.

Untuk diperhatikan bahwa di antara pandangan Aristoteles dan filosof Muslim  terkait dengan keadilan tidak begitu berbeda. Mereka menilai keadilan itu sebagai bagian dari inti keutamaan.
Jawaban Detil:
Keadilan adalah salah satu keinginan intrinsik dan fitrawi manusia. Setiap manusia berdasarkan tuntutan fitrawinya yang sehat menolak dan membenci segala bentuk diskriminasi dan kezaliman.

Keadilan pada sebagian nilai-nilai moral dan spiritual memiliki kedudukan yang tinggi sebagaimana yang kita baca pada sebuah riwayat, “Imam Ali ditanya tentang manakah yang lebih mulia antara adil dan ihsan? Imam Ali As menjawab, ‘Keadilan (adl) yaitu meletakkan segala sesuatu pada tempatnya sementara ihsan (berbuat baik) yaitu mengeluarkan sesuatu dari tempatnya. Keadilan adalah pengaturan umum masyarakat sementara ihsan hanya mencakup kelompok tertentu dalam masyarakat. Karena itu keadilan lebih unggul dan lebih mulia.’”[1]

Sepanjang sejarah pemikiran manusia, para cendekiawan banyak menaruh perhatian terhadap masaah keadilan dan masing-masing sesuai dengan pandangan epistemogisnya menyodorkan makna dan definisi keadilan.

Apa itu Keadilan?
Keadilan (‘adalah) derivasinya dari kata ‘a-d-l yang secara leksikal bermakna persamaan[2] dan mengadili,[3] juga bermakna tingkatan medium antara sikap ekstrem (ifrath) dan sikap terlalu longgar (tafrith) sedemikian sehingga tidak ada kelebihan dan kekurangan di dalamnya; artinya bersikap proporsional (i’tidâl).[4] juga bermakna inshaf (fair).[5]

Keadilan menurut Aristoteles
Aristoteles adalah salah seorang pemikir dan cendikiawan yang memiliki klasifikasi beragam terkait dengan keadilan. Pada kesempatan ini, kita akan mengulas secuil pandangan Aristoteles sehubungan dengan adil dan keadilan. Untuk telaah dan keterangan lebih jauh kami persilahkan untuk merujuk pada literatur-literatur dan artikel-artikel yang secara khusus telah disusun dan ditulis dalam bidang ini.

Pertama: Aristoteles mendefinisikan kebahagiaan (sa’adah) yang merupakan puncak kebaikan manusia[6] sebagai “aktifitas jiwa dalam menyesuaikan dengan keutamaan.”[7] Ia menilai puncak dari keutamaan ini adalah keadilan yang merealisasikan kebahagiaan umat manusia.

Menurut Aristoteles keadilan adalah keutamaan sempurna; karena berlaku adil atau berkeadilan meniscayakan pengerahan dan pemberdayaan seluruh keutamaan. Keadilan dari sudut pandang ini juga merupakan kemuliaan sempurna dimana manusia merealisasikan keadilan ini pada dirinya bahkan juga pada pelbagai interaksi dengan orang lain.[8]

Kedua: Aristoteles menafsirkan keadilan sebagai tingkat medium dan berposisi ekuilibrium antara posisi ekstrem (ifrath) dan sikap terlalu longgar (tafrith).[9]

Ketiga: Aristoteles menjelaskan keadilan sosial dalam dua makna umum dan khusus; keadilan bermakna umum adalah penghormatan terhadap aturan-aturan dan persamaan warga kota.[10] Keadilan bermakna khusus terbagi menjadi dua jenis distribusi dan evaluasi (tashhihi); dalam keadilan distributive; kehormatan dan kemuliaan manusia, uang dan hal-hal yang berpengaruh lainnya dibagi di tengah warga kota. Dalam keadilan evaluatif; pelbagai transaksi dan interaksi antara sesama warga kota dievaluasi dan diluruskan.[11]

Keempat: Aristoteles menilai bahwa adil itu bukan persamaan melainkan kelayakan dan kepantasan. Menurutnya kedudukan hak-hak setiap orang di masyarakat harus sesuai dengan kepantasan dan pengetahuannya (meritokrasi).[12]

Keadilan menurut Filosof Muslim
Keadilan dalam karya-karya pemikir dan filosof Muslim tetap terpelihara kedudukannya. Di sini sebelum mengutip beberapa tuturan sebagian pemikir dan filosof Muslim; kami akan menjelaskan secara ringkas pandangan umum mereka. Para filosof memandang keadilan sebagai sebuah prinsip ideal yang dengan perantara keadilan ini makna kebenaran akan menjadi jelas; karena itu menghormati dan melaksanakan keadilan itu adalah sebuah keharusan. Apabila keadilan itu sejalan dengan kebenaran maka hal itu menunjukkan adanya persamaan dan kelurusan, dan terkait dengan orang yang melaksanakannya menunjukkan adanya sebuah keutamaan yang dimiliki di antara beberapa keutamaan yang lain seperti: hikmah (hikmah), keberanian (syaja’ah), dan menjaga kemuliaan (iffah).[13]

Keadilan dari sudut pandang ini merupakan sebuah keutamaan dan memiliki dua sisi: Pertama sisi personal dan kedua sisi sosial. Apabila ditinjau dari sisi sosial maka hal itu menunjukkan posisi kokoh dalam jiwa yang melakukan perbuatan-perbatan yang selaras dengan kebenaran; esensi dari perbuatan tersebut adalah sikap proporsional (i’tidal), berimbang, menjauhi perbuatan keji, menjalankan urusan-urusan wajib, dan apabila dari sisi sosial yang menjadi sorotan maka hal itu menunjukkan penghormatan kepada hak-hak orang lain dan penyerahan hak kepada pemiliknya.[14] Dengan kata lain,  keadilan sosial adalah penghormatan terhadap hak-hak orang lain dan pelaksanaan kemaslahatan umum atau pengenalan hak-hak natural dan kontrak sosial yang diyakini oleh komunitas berlaku atas setiap anggotanya.

Nah sekarang kita akan menyebutkan beberapa tuturan dari pemikir dan filosof Muslim terkait dengan keadilan:
  1. Ibnu Miskawaih (w 421 H): “Keadilan bukan bagian dari keutamaan melainkan keadilan adalah seluruh keutamaan itu sendiri.”[15]
  2. Abu Hamid Ghazali (w 505 H): “Keadilan berada dalam timbangan tiga fakultas akal, ghadabiyah (amarah) dan syahwiah (syahwat). Sebagaimana keindahan wajah dengan keindahan mata tanpa kecantikan hidung, mulut tidak akan sempurna bahkan semuanya harus proporsional dan selaras sehingga kecantikan wajah dapat sempurna, demikian juga batin seorang manusia terdiri dari empat pilar yang kesemuanya harus berada pada posisi berimbang dan dalam hal ini akan lahir perangai yang luhur. Empat pilar ini adalah fakultas ilmu, fakultas marah, fakultas syahwat dan fakultas proporsional berada di antara tiga fakultas ini.”[16]
Ghazali senada dengan Aristoteles dan meyakini kemuliaan adalah level medium antara dua kutub ifrath dan tafrith. Katanya, “Barang siapa yang memiliki seluruh sifat ini pada dirinya dan telah sampai pada level proporsional maka ia sudah barang tentu memiliki perangai yang luhur dan barang siapa yang hanya memiliki sebagian sifat ini telah sampai pada level proporsional  maka ia memiliki perangai yang luhur dalam artian khusus; seperti seseorang  yang sebagian anggota badannya tampak indah. Keluhuran fakultas ghadabiyah dan i’tidâl disebut sebagai syajâ’ah (keberanian) dan baiknya fakultas syahwiyah dan berada pada posisi i’tidâl maka hal itu disebut sebagai iffah. Apabila fakultas ghadabiyah condong lebih maka disebut sebagai tahawwu (nekat) dan apabila fakultas ghadabiyahnya kurang menonjol maka kondisi takut akan muncul dalam dirinya. Apabia syahwat yang lebih menonjol maka akan melahirkan tamak dan apabila syahwatnya kurang menonjol maka akan melahirkan sikap jumud (kaku). Karena itu, sifat yang terpuji adalah yang berada pada posisi seimbang dan di sinilah letak keutamaan. Pada dua sisi, ifrath dan tafrith kedua-duanya tercela dan termasuk perbuatan keji. Akan tetapi sikap adil tidak lebih dan kurang pada dua sisi. Kebalikan dari hal ini adalah sikap jahat dan tiran. Namun apabila hikmah digunakan untuk tujuan-tujuan merusak dan  berada pada level ifrath maka hal itu disebut sebagai khabats (nista) dan sisi tafrith-nya adalah bulah (sikap konyol) dan apa yang berada pada posisi pertengahan adalah yang layak disebut hikmah. Karena itu prinsip-prinsip penting moral adalah empat pilar: Hikmah, keberaniah, menjaga kemuliaan dan keadilan.

Yang dimaksud dengan hikmah adalah sebuah kondisi yang terdapat pada jiwa yang dengannya seluruh perbutan ikhtiari dapat mengidentifikasi yang benar dan salah. Yang dimaksud dengan keadilan dalah sebuah kondisi dan fakultas yang di dalamnya ghadab (marah) dan syahwat berjalan berdasarkan instruksi hikmah. Yang dimaksud dengan syajâ’ah adalah fakultas iffah yang melakukan sebuah perbuatan berada di bawah komando akal dan yang dimaksud dengan iffah adalah menggembleng fakultas syahwat berdasarkan timbangan-timbangan akal dan syariat. Dengan menyeimbangkan keempat sifat ini seluruh akhlak mulia akan diperoleh.”[17]
  1. Khajaw Nashiruddin Thusi (w 672 H), “Jenis-jenis keutaman ada empat: Hikmah, keberaniah, iffah dan keadilan.”[18] “Dan tiada keutamaan yang lebih sempurna daripada keutamaan keadilan.”[19]

Ia menilai bahwa keadilan yang terkait dengan urusan kehidupan manusia terbagi menjadi tiga bagian:
Pertama: Apa yang terkait dengan harta-harta dan kemuliaan manusia;
Kedua: Apa yang berhubungan dengan transaksi-transaksi dan jual-beli;
Ketiga: Apa yang bertalian dengan pengajaran-pengajaran dan politik-politik.[20]
  1. Syamsuddin Syahrzuri (abad 7): “Prinsip-prinsip keutamaan manusia yang tentunya berada pada level pertengahan adalah “hikmah, keberanian, iffah yang secara uturan berada pada kondisi keseimbangan akal, ghadab dan syahwat, dan keutamaan keadilan yang menjadi penjelas adanya kondisi berimbang tiga fakultas antara satu dengan yang lain. Keadilan ini adalah prinsip keempat dari empat prinsip keutamaan moral.”[21]
  2. Kamaluddin Abdurrazaq Kasyani (w 730 H), “Keadilan adalah bentuk nurani yang dengan kehadiranya konfrontasi antara hawa nafsu dan saling mendorong satu sama lain (tajadzub) sehingga muncul pelbagai fakultas dalam diri manusia dan pelbagai kondisinya disesuaikan dengan jalan yang lurus… dan keutamaan yang mencakup seluruh keutamaan-keutamaan moral, amal-amal saleh, pikiran-pikiran lurus, dan ucapan-ucapan benar yang masing-masing tersifatkan dengannya, pada dirinya menemukan seluruh yang dibutuhkan dan keselamatan, dan antara dirinya, kebenaran, dan makhluk yang telah saleh dan menjadi kecintaan Allah Swt…”[22]
  3. Imam Khomeini, “Ketauhilan keadilan adalah: posisi pertengahan antara ifrath dan tafrith. Keadilan ini adalah induk segala keutamaan moral; bahkan keadilan mutlak yang mencakup seluruh keutamaan batin, lahir, mental, hati, jiwa dan jasmani.”[23]
  4. Murtadha Muthahari membagi tiga makna terkait dengan makna keadilan:

Pertama: Berimbang; apabila satu kelompok atau sebuah kendaraan kita perhatian yang didalamnya menggunakan bagian-bagian beragam dan memiliki tujuan tertentu. Untuk sampai pada tujuan tersebut maka diperlukan syarat-syarat tertentu di dalamnya dari sisi ukuran yang diharuskan pada masing-masing bagian dari sisi model hubungan bagian dengan bagian-bagian lainnya dan hanya dengan cara seperti ini kumpulan atau kendaraan itu dapat bertahan dan dapat memberikan hasil yang diinginkan serta menjalankan peran yang dicanangkan. Apabila pada sesuatu kepantasan itu dijalankan maka hal itu adil.

Kedua: Persamaan dan menafikan segala jenis diskriminasi; biasananya tatkala disebutkan bahwa orang itu adil maka maksudnya adalah ia tidak melakukan diskriminasi dalam pekerjaannya. Karena itu adil artinya tidak diskriminatif.

Ketiga: Menjalankan asas kepantasan (meritokrasi) dan memberikan sesuatu kepada orang atau sesuatu yang layak menerimanya.[24]

Untuk diperhatikan : sebagaimana yang kita lihat di antara pandangan Aristoteles dan filosof Muslim terkait dengan keadilan tidak begitu berbeda. Mereka secara umum berpandangan bahwa keadilan itu adalah salah satu dari keutamaan.

Referensi:
[1]. Syarif al-Radhi, Muhammad bin Husain, Nahj al-Balâghah, Riset oleh Subhi Saleh, Hikmah 437, hal. 553, Qum, Hijrah, Cetakan Pertama, 1414 H.
[2]. Ahmad Ibnu Faris, Mu’jam Maqâyis al-Lughah, jil. 4, hal. 246-247, Qum, Maktabah al-A’lam al-Islami, Cetakan Pertama, 1404 H.
«العَدْل: الحکم بالاستواء. و یقال للشَّى‏ء یساوى الشى‏ء: هو عِدْلُه‏»
[3]. Mahmud bin Umar Zamakhsyari, Muqaddimah al-Adab, hal. 186, Muassasah Muthala’ah Islami Danesyah Tehran, Cetakan Pertama, Lughat Name Dekhuda, klausul “a-da-lah.”
[4]. Hasan Mustafawi, al-Tahqiq fi Kalimât al-Qur’ân al-Karim, jil 8, hal. 55, Beirut, Kairo, London, Dar al-Kutub al-Ilmiyah, Markaz Nasyr Atsar Allamah Mustafawi, Cetakan Ketiga.
[5]. Al-‘Adl=Al-Insaf, Husain Yusuf Musawi, al-Ifsah, jil. 1, hal. 242, Qum, Maktab al-A’lam al-Islami, Cetakan Keempat.
[6]Aristoteles, Ilmu al-Akhlaq ila Niqomakhus (Etika Nicomakea), jil. 1, hal. 175, Kairo, Dar Shadir, Cetakan Pertama, Tanpa Tahun.
[7]. Ibid, jil. 1, hal. 189.
[8]. Ibid, jil 2, hal. 60-61.
[9]. Ibid, jil. 2, hal. 55.
[10]. Ibid, jil. 2, hal. 62
[11]. Ibid, jil. 2, hal. 62-77.
[12]. Hamid Inayat, Bunyad Falsafah Siyasi Gharb (Heraclitus-Hobbes), Kata Pengantar Hamid Mushaddiq, hal. 111-112, Tehran, Danesygah Tehran, 1351 S.
[13]. Jamil Shalibah, Darbaidi Shani’i, Farhang Falsafi, hal. 461, Tehran, Intisyarat Hikmah, Cetakan Pertama, 1366 S.
[14] . Ibid, hal. 461.
[15]. Ibnu Miskawaih, Abu Ali Ahmad bin Muhammad, Tahdzib al-Akhlaq wa Tathir al-A’raq, hal 128, Tanpa Tahun, Maktabah al-Tsaqafah al-Diniyah, Cetakan Pertama, Tanpa Tahun.
[16]. Muhammad bin Muhammad Ghazali, Ihyâ ‘Ulum al-Din, jil. 8, hal. 97, Beirut, Dar al-Kutub al-‘Arabi, Cetakan Pertama, Tanpa Tahun.
[17]. Ibid, jil. 8, hal. 98-99.
[18]. Muhamad bin Muhammad Nashiruddin Thusi, Akhlâq Nashiri, hal 72, Tehran, Ilmiyah Islamiyah, Cetakan Pertama, Tanpa Tahun.
[19]. Ibid, hal. 95.
[20]. Ibid, hal. 96.
[21]. Syamsuddin Syahrzuri, Rasâil al-Syajarah al-Ilahiyyah fi ‘Ulum al-Haqâiq al-Rabbaniyah, Riset dan edit oleh Najafquli Habibi, hal. 479-480, Tehran, Muassasah Hikmah wa Falsafah Iran, Cetakan Pertama, 1383 S.
[22]. Kamaluddin Abdurrazzaq Kasyani, Majmua’ Rasâil wa Mushannafât, Kata Pengantar dan Edit oleh Majid Hadizadeh, hal. 347, Tehran, Mirats Maktub, Cetakan Kedua, 1380 S.
[23]. Sayid Ruhullah Khomeini, Syarh Hadits (Junud Aqal wa Jahl), hal. 147, Qum, Muassasah Tanzhim wa Nasyr Atsar Imam Khomeini Rah, Cetakan Kedelapan, 1382 S.
[24]. Murtadha Muthahhari, Majmu’ah Âtsâr, jil. 1, hal. 78-80, Tehran, Intisyarat Shadra.

(islamquest/ABNS)
Share this post :

Post a Comment

mohon gunakan email

Terkait Berita: