Pesan Rahbar

Home » » Kebiadaban Rezim Soeharto di Sumatera Barat dan Riau

Kebiadaban Rezim Soeharto di Sumatera Barat dan Riau

Written By Unknown on Tuesday, 20 January 2015 | 18:05:00


PROPAGANDA bohong, fitnah dan rekayasa yang dilakukan oleh orang-orangnya Suharto melalui media massa, mulai 1 Oktober 1965, segera memicu kemarahan dan kebencian massa organisasi-organisasi yang sebelumnya memilih politik yang berseberangan dengan PKI dan ormas-ormas kiri pada umumnya. Terutama mereka yang mempunyai kepentingan yang berbeda, seperti dalam pelaksanaan land reform pada awal tahun 60-an. PKI mendukung land reform tapi banyak kekuatan politik yang menentang reformasi pertanahan pada waktu itu. Ini masih ditambah dengan penyebaran isu-isu bohong bahwa PKI sudah lama berencana mengambil alih pemerintahan yang sah dan membuat daftar nama ulama dan tokoh masyarakat yang akan dibunuh setelah mereka menang. Situasi panas ini dimanfatkan sebaik-baiknya oleh golongan keagamaan, terutama NU, Muhammadiyah, dan Partai Katolik untuk membentuk Kesatuan Aksi Pengganyangan Gerakan 30 September (KAP Gestapu), di bawah pimpinan Subchan Z.E. (NU) dan Harry Tjan Silalahi (Katolik), yang melalui Adam Malik mendapat curahan Rp50 juta (sekitar US$ 1,2 juta, menurut tukaran saat itu-pen) dari Kedubes AS di Jakarta untuk mengganyang PKI.

Partai-partai lain, berikut ormas-ormas yang selama ini bersaing dengan PKI untuk memperoleh dukungan massa, seperti PSII, Partai Kristen Indonesia, bahkan PNI yang menjadi tumpuan Soekarno, bergabung dalam aksi pengganyangan ini, secara langsung maupun tidak. KAP Gestapu mengadakan demonstrasi-demonstrasi panas menghujat dan menuntut pembubaran PKI.Tidak banyak orang  yang tahu bahwa organisasi utama penggalang aksi-aksi ini, termasuk KAMI  (Komando Aksi Mahasiswa Indonesia), KAPPI dll. sebenarnya dibentuk oleh tentara melalui tangan Menteri Pendidikan Brigjen. Sjarif Thajeb. Para demonstran menghancurkan Universitas Res Publica (sekarang Universitas Trisakti) dan rumah-rumah para pimpinan PKI di Jakarta, menuntut pembersihan kabinet, parlemen, MPRS, dan semua
lembaga-lembaga negara dari unsur-unsur komunis dan simpatisannya. NU juga mengeluarkan tuntutan pembubaran PKI pada tanggal 5 Oktober 65. Mereka seperti kerasukan dan seperti kehilangan keseimbangannya, dan menulis, menempelkan slogan-slogan di tembok, memekik dan meneriakkan yel-yel kemarahan.

Dapat juga diceritakan bahwa 500 demonstran membakar Universitas Res Publika pada 14 Oktober 65, dan menganiaya 100 mahasiswa yang menjaga gedung yang ditutup itu, di mana 40 mahasiswa yang menjaga Res Publika kemudian ditangkap oleh para demonstran.

Kedutaan RRT tidak luput dari amukan demonstran. Hubungan negara tirai bambu dengan RI yang tadinya begitu mesra, berubah menjadi musuh mengerikan. Para demonstran menjarah harta milik etnis Tionghoa, membakar rumah dan gedung-gedung mereka, memerkosa perempuan dan membunuh orang-orang Tionghoa dengan tuduhan komunis. Hubungan diplomatik diputuskan, suatu hal yang sangat didambakan AS untuk membendung pengaruh RRT. (MASHI-hal. 87)

DALAM situasi yang demikian, Marshall Green, Duta Besar Amerika Serikat di Jakarta pada tanggal 5 Oktober 1965, mengirim telegram Nomor 868 yang ditujukan kepada Departemen Luar Negeri Amerika Serikat, menyatakan:
“Inilah saat yang tepat untuk mengenyahkan komunisme dari Indonesia. Namun bantuan harus secara diam-diam”- “Army now has opportunity to move against PKI if it act quickly……Momentum is now at peak with discovery of bodies of murdered army leaders. In short, it’s now or never…”

Selanjutnya, Green memberikan beberapa panduan tentang sikap AS/ CIA : *Hindari keterlibatan yang terang-terangan karena seiring berkembangnya perebutan kekuasaan. *Secara sembunyi, sampaikan dengan jelas kepada tokoh-tokoh kunci di ABRI seperti Nasution dan Soeharto tentang keinginan kita membantu apa yang kita bisa, sementara di saat bersamaan sampaikan kepada mereka asumsi kita bahwa kita sebaiknya menjaga agar setiap bentuk keterlibatan atau campur tangan kita tidak terlihat. Pertahankan dan jika mungkin perluas kontak kita dengan militer. *Sebarkan berita mengenai kesalahan PKI , pengkhianatan dan kebrutalannya (prioritas ini mungkin paling membutuhkan bantuan kita segera, yang dapat kita berikan kepada ABRI jika kita menemukan jalan untuk melakukannya tanpa diketahui bahwa hal itu merupakan usaha AS)… Spread the story of PKI’s guilt, treachery dan brutality (this priority effort is perhaps most—needed immediate assistance we can give army if
we can find way to do it without identifying it as solely or largely US effort).”.
Rita Uli Hutapea, Misteri CIA di Seputar G30S, detik.com, 08/8/2001.

Ternyata, “panduan” Duta Besar AS/ CIA , Marshall Green itu, terutama perihal menyebarluaskan “kesalahan PKI , pengkhianatan dan kebrutalannya”, serta penghancurannya, menjadi garis utama para perwira Angkatan Darat, yang kemudian menjadi panutan dan policy Angkatan Darat dan pemerintahan militer. Hal ini terbukti, sebagaimana yang dikatakan Duta Besar Green dalam telegramnya “prioritas ini membutuhkan bantuan kita segera … tanpa diketahui bahwa hal itu merupakan usaha AS … secara sembunyi sampaikan dengan jelas kepada tokoh-tokoh kunci di ABRI seperti Nasution dan Soeharto tentang keinginan kita … seiring dengan berkembangnya perebutan kekuasa-an….”

Pada tanggal 5 Oktober itu juga, Phoenix Park Singapore (Kedutaan Inggris) mengirim telegram ke Departemen Luar Negeri di London, yang berbunyi: “….we should have no hesitation in doing what we can surreptitiously to blacken the PKI in the eyes of the people of Indonesia.”

Dengan nada dan irama yang sama, hal tersebut diperjelas dalam rapat para jenderal militer di Kostrad pada tanggal 5 Oktober 1965 yang dipimpin oleh Jenderal Suharto dan Jenderal A.H. Nasution, yang menghasilkan panduan perihal pelaksanaan dari rencana penghancuran PKI. (Robinson, p.283, n.25).

Tanggung jawab atas rencana dan segala cara-cara pelaksanaan operasi militer ini diakui dengan bangga oleh Jenderal Suharto, melalui pernyataan yang tertulis dalam bukunya Pikiran, Ucapan, dan Tindakan Saya, 1989, halaman 136, yang berbunyi:“Sejak menyaksikan … apa yang didapat di Lubang Buaya, kegiatan saya yang utama adalah menghancurkan PKI , menumpas perlawanan mereka di mana-mana, di ibukota, di daerah-daerah, dan di pegunungan tempat pelarian mereka….”

Semenjak “ucapan” Suharto, Pangkostrad yang mengangkat dirinya menjadi Pangad, dan bertekad untuk menghancurkan dan menumpas PKI , yang menjadi panutan dan policy militer (penguasa/pemerintah), maka pasukan-pasukan Angkatan Darat, terutama pasukan Resimen Para Komando Angkatan Darat (RPKAD), yang dipimpin oleh Kolonel Sarwo Edhie Wibowo, menggalang milisi-milisi terutama dari organisasi-organisasi keagamaan seperti Banser NU, Pemuda Muhammadiyah, untuk memusnahkan anggota, simpatisan, bahkan anggota keluarga yang dianggap berafiliasi dengan PKI . Para pemuda dipersenjatai, dilengkapi dengan alat komunikasi dan transportasi, dan didorong untuk melakukan tindakan-tindakan keji dan brutal terhadap orang-orang yang masih belum jelas apa salahnya, dan tidak tahu apa yang terjadi di Jakarta. Banyak korban jatuh justru setelah mereka diwajibkan melapor dan ‘diamankan’ di kantor-kantor polisi, militer atau institusi-institusi negara lainnya, seperti kecamatan atau kelurahan dan kemudian, tanpa diadili, dengan berbagai cara, dibunuh begitu saja. (MASHI-hal 88/89).

Jenderal Soemitro, Pangdam Brawijaya mengatakan bahwa “1 orang nyawa jenderal harus ditebus 100 ribu nyawa PKI.” Ia pun mengiringi pembantaian massal di berbagai wilayah di Indonesia. Dia pulalah yang memimpin penangkapan, penggorokan, penembakan ratusan massa sekaligus dan membuang mayat mereka ke dalam lubang yang digali oleh para korban itu sendiri. Diperkirakan 250.000 korban mati atau hilang di Jawa Timur. [Indymedia-jakarta] Mass Grave in Indonesia.

Bahkan pada akhir 1965, Jenderal Nasution dalam satu pidatonya mengatakan bahwa “nyawa seorang jenderal yang dibunuh, sama dengan nilai sejuta rakyat Indonesia”. (Ucapannya ini didengar oleh para tapol yang mengikuti siaran radio yang dipasang dengan speaker di gardu penjagaan RTM yang dikhususkan buat menahan 600-700 orang tapol semenjak Nopember 1965). Tidakkah ucapan Nasution ini adalah “perintah terselubung” kepada para pengikutnya untuk melakukan balas dendam? Kenyataannya, memang demikianlah yang terjadi!

Di Sumbar   “Kota Salido – Painan, dua kota kecil dari Kabupaten Pesisir Selatan, di Sumatra-Barat, yang mungkin sukar ditemukan di dalam peta. Ketika Rakyat Indonesia dikejutkan oleh Peristiwa 30 September`65 yang terjadi di Jakarta, tidak ada bentrokan, tidak ada pergaduhan dalam msyarakat Salido dan Painan, tidak ada apa yang dinamakan konflik horizontal. Semua hidup tenang rukun dan damai dan pemerintahan Kabupaten Pesisir Selatan juga berjalan dengan baik dan normal. Penduduk yang tertanya-tanya ingin tahu, menunggu berita Radio dari “Pusat” – demikian kebiasaan penduduk untuk menamakan Jakarta.

Penduduk menunggu Pidato Presiden Soekarno, menunggu kabar berita tentang apa sesungguhnya yang terjadi. Banyak rakyat, para ninik mamak dan orangtua duduk bersama di warung-warung kopi, bersenda, berkelakar, dengan rasa gembira dan persaudaraan tanpa ada rasa curiga antara satu dengan yang lain. Radio-radio di warung kopi mendendangkan lagu-lagu Minang Populer yang menjadi kesukaan penduduk, yang menggambarkan kerukunan dan keharmonisan penduduk Minangkabau. Memang sesungunyalah, keadaan Ranah Minang, persis seperti apa yang dilagukan itu! Rakyat Minangkabau merupakan penduduk yang elok, yang suka bergotong royong. Jika sakit sama-sama dirasa dan ditanggungkan. Begitu adat dan kebudayaan Minangkabau turun-temurun, dari generasi ke generasi. Pepatah Minangkabau mengatakan:  ”indak lakang dek paneh, indak lapuak dek hujan” (tidak lekang karena panas, tidak lapuk karena hujan).
Namun, keadaan itu menjadi berobah, menjadi bertolak belakang dan berlawanan! Langit yang semula cerah dan indah, kini berobah menjadi gelap, diiringi awan hitam tebal serta badai dan petir yang mengharu-birukan “kampuang jo nagari” di Ranah Minang. Adat dan kebudayaan yang semula menjadi pegangan utama, menjadi terabaikan, ditolak kebelakang, dan digantikan dengan politik dan kekuasaan, yang dibarengi dengan kekejaman, kebrutalan dan kebiadaban yang merajalela.

Dalam menanti dan menunggu berita dari pusat, menunggu pidato dari Presiden mereka Bung Karno, rakyatyang dalam ketidak-tahuan, tiba-tiba saja dikejutkan oleh kehadiran Komandan Kodim Painan, Letkol. Purnomo Sipur, yang menteror masyarakat di kota Painan dan sekitarnya. Pasukan Kodim itu dengan kejam dan brutal melakukan penangkapan atas beratus-ratus pemuka masyarakat, rakyat dan ninik mamak di Pesisir Selatan Kerinci.

Beliau-beliau yang ditangkap itu, digiring seperti menggiring hewan ternak, dimasukkan ke dalam penjara-penjara dan digunduli. Sebagian disuntik oleh dokter, yang adalah seorang Wamilda (Wajib Militer Darurat) dan dimuat ke sebuah dump truk yang biasa digunakan buat mengangkut sampah, tanah atau pecahan batu, dan dibawa ke Bukit Pulai, sekitar 10 KM di luarkota Painan. Di sana, para pemuka rakyat yang dijubelkan dalam dump truk itu, dituangkan dari dump truk seperti menuangkan sampah. Dan manusia-manusia yang berjatuhan di belakang truk yang bak bagian depannya dinaikkan itu, atas perintah dan komando Letkol. Purnomo Sipur, diberondong dengan tembakan senjata api.

Jerit, pekik dan lolong manusia-manusia tak berdosa, menyebut Allah, menggema di Bukit Pulai pada tanggal 9 Nopember 1965 itu. Tubuh-tubuh korban yang secara paksa dihabisi nyawanya itu, bergelimpangan bermandi darah, diiringi dengan sorak-sorai dan tawa-ria serdadu-serdadu brutal dan biadab pengikut Jenderal Suharto, di bawah komando Letkol. Purnomo Sipur.

Seperti kejadian beberapa tahun yang lalu, tahun 1958, dikala pemberontakan PRRI yang ingin melepaskan daerah Sumbar dari NKRI dengan dukungan dan bantuan Imperialis AS, ribuan para tahanan dibunuh, diberondong dengan senapan mesin dan mayat-mayat yang bergelimpangan ditolak dengan bulldozer ke lobang yang telah dipersiapkan, disiram bensin dan dibakar kemudian ditimbun dan tanah diratakan dengan bulldozer seperti yang terjadi di Situjuh, Simun, Atar dan Gunung Sago dan tempat-tempat lain di Sumbar.
Setelah peristiwa itu, Ranah Minang yang baru saja beberapa tahun sembuh dari luka akibat peristiwa PRRI, terutama Kabupaten Pesisir Selatan Kerinci, sekali lagi berobah warna! Penduduknya tidak lagi elok, tiada lagi persamaan dan persaudaraan. Tidak ada gotong-royong dan sakit sama dirasa. Semua punah! Yang ada hanya rasa curiga-mencurigai. Pihak-pihak yang seperti “anak harimau” yang dibesarkan oleh militer rezim Suharto, menjelajah “kampuang jo nagari” mencari orang-orang yang dituduh “ada indikasi”, terlibat langsung maupun tidak langsung dengan G30S yang terjadi jauh nun di Jakarta!

Rezim fasis Jenderal Suharto membangun semangat permusuhan di antara sesama penduduk suku Minangkabau. Antek-antek Jenderal Suharto, ABRI/Golkar dan segala bentuk Komando Aksi yang menjadi kekuatan dan sokoguru Orde Baru, memburu dan menghabisi orang-orang yang dituduh PKI atau yang di PKI-kan. Sakit hati dan dendam pribadi dengan mudah mengarah kepada pembunuhan! Manusia-manusia rezim Jenderal Suharto telah berobah menjadi serigala-serigala yang haus darah. Mereka tidak peduli dengan hukum agama, adat dan kemanusiaan. Bagi mereka, ikut apa yang difatwakan, bahwa darah komunis adalah halal hukumnya. Mereka mengingkari kemanusiaan orang komunis. Mereka mengingkari hukum, bahwa orang komunis itu adalah juga manusia-darah dan daging-yang juga diciptakan oleh Tuhan! Rezim Jenderal Suharto, melakukan cara-cara biadab dan brutal dan kebinatangan dalam melenyapkan lawan-lawannya yang tak berdosa dan tak tahu apa-apa. Ninik mamak dan ulama-ulama yang dianggap
condong dan toleran kepada komunis, juga mereka habisi!

Syamsudin, seorang bekas anggota Mobrig, ditangkap oleh militer rezim Suharto. Tangan dan kakinya diikat pada dua buah pedati yang kemudian ditarik oleh dua ekor kerbau dengan arah yang berlawanan. Tubuh Syamsudin hancur berkecai. Potongan tubuh bertebaran dengan darah yang berserakan membasah bumi Minangkabau! “Pesta” ABRI yang brutal dan biadab ini mereka lakukan di depan anak dan istri Syamsudin, yang dipaksa untuk menyaksikan “kebudayaan ABRI/Orde Baru Jenderal Suharto”!

Nurhayani, seorang gadis remaja yang baru saja tamat SMP, ditangkap, karena dia menghalang-halangi Letkol. Purnomo Sipur yang akan menangkap ayah si gadis. Perwira ABRI/Jenderal Suharto yang gagah perkasa ini, memasukkan Nurhayani ke dalam karung dan mengikatnya, dan melemparkannya ke Batang (Sungai) Nilam di Air Hadji. Para militer yang hebat dan perkasa itu, tertawa terbahak-bahak, sambil minum air kelapa muda, melihat karung yang berisi tubuh Nurhayani menggelepar-gelapar dibawa arus air. Setelah pahlawan-pahlawan rezim Suharto itu berlalu, keluarga dan sanak saudara Nurhayani, dengan raung dan tangis, mengambil karung yang berisi Nurhanyani yang telah menjadi mayat, dari Sungai Nilam dan mengebumikannya sesuai dengan adat istiadat Minangkabau.

Manusia militer biadab yang berbaju ABRI, yang bergembira bersorak-sorai menyiksa dan melenyapkan nyawa seorang umat Tuhan, seorang gadis remaja yang tidak tahu apa-apa, tiada berdaya dan tiada berdosa, sungguh memperlihatkan kebiadaban dan kebinatangannya. Perlakuan mereka terhadap Nurhayani, merupakan manifestasi bahwa mereka sesungguhnya “tidak punya perikemanusiaan”

Kekejaman, kebrutalan, kebiadaban dan kebinatangan rezim Orde Baru/Suharto menjadi-jadi! Selama puluhan tahun, selama kekuasaan zalim dan brutal Jenderal Soeharto, rakyat Minangkabau hidup dalam terror! Di setiap pelosok, di setiap sudut kampung dan negeri, berkeliaran kaki tangan dan antek-antek Orba/Soeharto, yang sewaktu-waktu, dengan melancarkan tuduhan “diduga ada indikasi”, “terlibat langsung maupun tidak langsung”, bisa menghancur-luluhkan kehidupan seseorang. Dengan tuduhan yang tanpa perlu dibuktikan kebenarannya, bisa ditangkap dan ditahan bertrahun-tahun tanpa proses bahkan sampai mati atau sengaja dibunuh di dalam tahanan!

Tidak ada lagi rasa persaudaraan di antara suku Minang, tidak ada lagi “sakik samo diraso” tidak ada lagi adat “suka bergotong-royong” karena Orde Baru telah membagi manusia ke dalam klas dan kasta, golongan yang “bersih” dan yamg “tak bersih dan dicurigai”! Orde Baru telah merusak tatanan hidup bangsa Indonesia umumnya dan suku Minangkabau khususnya. Mamak mencurigai kemenakan, dan kemenakan mencurigai mamak. Hidup rakyat menjadi porak-poranda karena saling curiga-mencurigai disebabkan kebusukan dan kebiadaban Orde Baru/ Suharto yang menjalankan fitnah dan adu domba. Bermacam hukum dan peraturan Orde Baru dijalankan. Anak kemenakan takut mengakui ayah atau mamaknya, yang diduga “ada indikasi” apalagi yang jelas-jemelas menjadi tapolnya Orba. Bahkan anak atau kemenakan yang mempunyai kedudukan tinggi, takut dan tidak mau mengakui ayah atau mamaknya yang dikategorikan oleh Orde Baru sebagai “tidak bersih”, karena takut akan kehilangan jabatan, kedudukan atau suami atau istri, disebabkan peraturan Mendagri Orba Letjen Amir Mahmud No. 32/1981 yang sangat diskriminatif yang diberlakukan dan tidak pernah dicabut, atau belum pernah dengar dicabut atau dibatalkan sampai hari ini.

Puluhan tahun rakyat dibungkam, diintimidasi, diteror, diancam untuk dipenjarakan, dan senantiasa hidup dalam ketakutan. Penduduk melihat perlakuan ABRI-Jendral Suharto yang biadab tersebut tidak berbeda seperti kekejaman tentara pedudukan kolonial Belanda dan fasisme Jepang. Penduduk menggerutu, dan bergumam bahwa”tentara Orde Baru dari Jawa datang ke kampung kita hanya untuk membunuh keluarga, sanak dan saudara kita”.

Untuk memberi bukti atas kekejaman, kebrutalan dan kebiadaban rezim fasis Ordebaru/Suharto di daerah Pesisir Selatan Kerinci, dan untuk mengenang pada korban kebiadaban rezim Suharto, yang jumlah keseluruhannya tidak kurang dari 300 orang, inilah sebagian dari nama-nama para korban:
1. Ilyas Radjo Bungsu – Perintis Kemerdekaan R.I., Veteran Pejuang R.I. (ikutserta aktif mendirikan TNI dari BKR, TKR, TP, dll. dalam proses perjuangan kemerdekaan R.I., dan pengisikemerdekaan R.I.;
2. Muhammad Yunus – Veteran Pejuang R.I dan Pegawai Departemen Penerangan;
3. Hanif Yunus – Pelajar SMEA; – aktivis Pemuda di bidang Sastra dan Kesenian Rakyat;
4. Alimuddin – Guru Sekolah Rakyat
5. Rabaini – Veteran Pejuang R.I. dan Tua Kampung;
6. Rajab – Veteran Pejuang R.I. Tua Kampung -aktivis masyarakat untuk pembangunan dalam bentuk gotong-royong;
7. Yunus Djamil – Pengusaha /Koperasi Rakyat;
8. Syofyan – Pengusaha/Koperasi Perikanan;
9. Mali – Pengusaha/Pedagang hasil pertanian.
10. Ismail – Pengusaha/Perternakan;
11. Zubir – Pedagang hasil-hasil hutan;
12. Zaininar – Guru Sekolah Rakyat;
13. Maas – Petani;
14. Djamirus – Barisan Tani;
15. Saidinia Abbas – Pegawai departemen Penerangan,
16. Idris – Veteran pejuang R.I, Sekretaris Subsekom PKI;
17. Rusli – Aktivis Buruh,
18. Ali Basril – Camat – Kecamatan Batangkas;
19. Mansyah – Pegawai Pajak;
20. Darusat – Urusan Kehutanan
21. Usman Latif – Aktivis urusan Pertanian
22. Syamsir Alam – Veteran Pejuang R.I.
23. Anas Hamid – Guru sekolah
24. Indra – Pegawai Camat-Tarusan;
25. Bachtiar – Pagawai Camat-Tarusan;
26. Imam Daralat – BTI
27. Wali Kadir – Wali Negeri/Lurah – Surantih
28. Jamirus – Pekerja/Buruh
29. Mansarudin – Aktivis Masyarakat kecamatan Kambang;
30. Sidi Salim – Aktivis Masyarakat kecamatan Kambang;
31. Nurdin – Aktivis masarakat dibidang pertanian daerah Kambang
32. Rahman – Pedagang
33. Agus Labak – pemuka masyarakat daerah Surantih,
34. Debok –
35. Cupu – Veteran Pejuang R.I., daerah kecamatan Air hadji
36. Ridwan Ber – kecamatan Indrapura,
37. Mansur K. – Kecamatan daerah Tapan
38. Rifai – daerah Lumpo
39. Lamid – daerah kecamatan Sungai Tunu;
40. Wali Gafar – Wali Negeri/Lurah kecamatan Sungai Tunu;
41. Nukman Jao – Pekerja kenegerian Sungai Tunu;
42. Aliudin – Pemuda Balai Selasa,
43. Palim – Pemuda Balaiselasa,
44. Ajis Jamin- Sekretaris Secom PKI Balaiselasa,
45. Nudar – dari BTI
46. Jirin – dari BTI
47. Halil Pasya – Anggota DPRD Painan.

Beliau-beliau tersebut disiksa, digunduli, disuntik oleh seorang Dokter Wamilda, dan dibawa dengan Dump Truck ke Bukit Pulai, sekitar 10 KM dari Kantor Kodim di Painan. Dan di bawah Komando Letkol. Purnomo Sipur, pada Tanggal 9 November 1965, mereka dihabisi nyawanya.

Tahanan Politik yang mati dalam pemeriksaan/penyiksaan di KODIM-Painan, adalah:
1. Abbas Datuk Sati – Veteran Pejuang R.I., Penghulu Adat, dari kelurahan Tambang,
2. Kasiran – Veteran Pejuang R.I., Wali Negeri/Lurah negeri Salido,
3. Hamzah – Perintis Kemerdekaan, Veteran Pejuang R.I. PengisiKemerdekaan R.I., Pemuka Masyarakat Salido,
4. Buyung Tabing – Veteran Pejuang R.I., Pegawai Perhutanan,
5. Kiram- Pegawai Departmen Penerangan – Balaiselasa,
6. Baharudin – Balaiselasa
7. Djulis – Balaiselasa
8. Darmansyah – Balaiselasa
9. Idris – Guru Sekolah Rakyat/Anggota DPRD-Tarusan
10. Alam Samad – Veteran Pejuang R.I:, Pegawai Negeri, daerah Api-Api,
11. Mat Asin – dari Barisan Tani
12. Ali Asam – Putra Mat Asin
13. Mansur – Serikat Buruh,

Yang dibunuh dengan cara penyuntikan di Kantor KODIM adalah:
1. Hadji Sunar – Veteran Pejuang R.I. – Aktivis Organisasi Veteran,
2. Sabirudin – Guru Sekolah Rakyat, Aktivis Pemuda,
3. Djamaan – Pengusaha,
4. Mak Usir – Pengusaha Perikanan,

Suharto telah lama mati. Matinya diperingati dan dirayakan dengan segala macam upacara yang sangat besar dan super mewah seperti seorang firaun. Suharto mati meninggalkan najis-najis yang belum sempat disapu, belum sempat dicuci, belum sempat dibersihkan! Borok-borok bernanah belum sempat diobati. Diseluruh persada tanah air, korban-korban Rezim Suharto berserakan di mana-mana tanpa batu nisan!

Daftar di atas hanya sebagian kecil dari para korban di Kabupaten Pesisir Selatan, Salido-Painan dan sekitanya. Bagaimana di Kabupaten lainnya, dimana Rezim Suharto membangun neraka-neraka untuk melampiaskan nafsu kebiadabannya, kebrutalannya dengan membunuhi para korban dan mengingkari kemanusiaan orang-orang yang dituduh komunis? Bagaimana di Kabupaten Padang-Pariaman, Agam, Tanah Datar, Limapuluh Kota, Pasaman, dan lain-lain? Berapa ratus ribu korban kebiadaban dan kebrutalan Rezim Jenderal Suharto di Ranah Minang?

Untuk menjadi catatan, semua korban diatas dibunuh oleh Militer, atas komando Letkol Purnomo Sipur, Komandan Kodim Painan! (Silahkan baca juga: Google: http://www.progind.net/modules/smartsection/item.php?Published by Genyon 14/Feb/2008 dan Penelitian Korban 65 di Sumatera Barat oleh Bedjo Untung, Tuesday, October 25, 2011/

http://www.facebook.com/home.php?clk_loc=5#!/notes/bedjo-untung/penelitian-korban-65-di-sumatera-barat/2160363808550

Riau.
“SEORANG staf Kedutaan Besar Amerika di Jakarta melaporkan tentang teror militer-muslim yang langsung ditujukan melawan kaum buruh dalam perusahaan minyak vital Caltex: “Muslim dengan sepengetahuan dan pesetujuan pihak militer menjarah rumah-rumah komunis di dalam kota dan menutup gedung-gedungnya di daerah-daerah. Pihak militer menggerebek rumah-rumah pimpinan PKI dan memberitahukan pihak pimpinan perusahaan minyak Caltex pada 29 Oktober 65, akan rencana militer, yang bakal menangkapi anggota-anggota dan pimpinan buruh komunis Perbum, yang menjadi tulang punggung dan kekuatan PKI di Provinsi Riau.” (Mike Head/Marian Wilkinson: Sydney Morning Herald, 20 Juli 1999)
Pada tanggal 18 November 1965 (20 hari setelah pemberitahuan pihak militer kepada Manajer Caltex), maka pihak militer, dengan dibantu oleh organisasi-organisasi buruh muslim dan lokal, melakukan operasi penangkapan atas anggota dan pimpinan organisasi buruh minyak Perbum (Persatuan Buruh Minyak), di seluruh daerah perusahaan Caltex. Ratusan buruh, baik staf maupun non staf, ditangkap dan dikumpulkan dalam satu tempat tahanan yang bernama RTM, Rumah Tahanan Militer, di ibukota provinsi, Pekanbaru. Di seluruh pelosok daerah, pihak militer menangkapi orang-orang yang yang diduga PKI , dan menjadi anggota atau simpatisan organisasi Pemuda Rakyat, Gerwani, Sobsi, BTI , Lekra, dan sebagainya. Rumah Tahanan Militer menjadi penuh sesak, namun penangkapan terus berlangsung.

Di RTM yang dikelilingi tembok beton tebal berukuran 50X50x5 meter, dimana di dalamnya ada 11 barak kayu dan sel-sel tembok, setiap baraknya dijejali dengan 50-70 orang tahanan. yang jumlah keseluruhannya tidak kurang dari 700 orang.

Para tahanan yang yang jumlahnya tidak kurang dari 700 orang itu, yang tidak tahu apa sebabnya mereka ditangkap umumnya terdiri dari anggota-anggota organisasi dan partai berhaluan kiri seperti Sobsi, Perbum, BTI, Lekra, SBKB, SBPP, Sarbupri, CGMI, IPPI, Pemuda Rakyat, Gerwani dan PKI bahkan juga PNI dan GMNI, Partindo dan Perti dan Baperki.

Penyiksaan dan Pelenyapan Tapol
Semenjak mereka ditangkap dan ditahan, setiap harinya, mereka diambil dan diperiksa satu persatu di kantor Teperda—Team Pemeriksaan Daerah—Riau. Setiap yang dikembalikan ke dalam Kamp Tahanan sehabis pemeriksaan, jarang yang dapat berjalan baik. Semua tubuh mereka babak belur dan bengkak. Dari pintu gerbang RTM untuk mencapai baraknya, beberapa teman terpaksa memapahnya. Dari orang-orang yang diperiksa Teperda/CPM, diketahui bahwa pemeriksaan-pemeriksaan itu semua diluar perikemanusiaan. Bermacam siksa dan aniaya yang mereka lakukan atas para tahanan yang tak bersalah.

Di samping tinju, tampar, pukul dan tendangan yang adalah merupakan “makanan” bagi tahanan yang diperiksa yang istilah gagahnya di “interogasi”, tidak jarang yang di stroom dengan baterai mobil dan jempol kaki ditekan dengan kursi yang diduduki. Sangat menyedihkan sekali dan sangat diluar batas perikemanusiaan adalah peristiwa di mana si tahanan yang di ikat batang kemaluannya, dan digantung ke loteng sehingga sitahanan menjerit meraung-raung karena kemaluannya serasa putus, menanggung beban berat tubuhnya. Ini sungguh terjadi atas diri saudara M, seorang  pimpinan Perbum dari daerah Caltex. Ketika M dikembalikan ke dalam tahanan, teman-teman dari Baperki berusaha mencoba memberikan bantuan dengan segala obat ramuan Tionghoa yang bisa diperoleh,  serta memberi pengurutan, namun sayang, tidak bisa berhasil! Tidak tertolong lagi! Kemaluannya tidak bisa ereksi lagi buat selama-lamanya!

Lebih sedih lagi, beberapa minggu setelah itu, dia diambil lagi, di “bon” malam hari untuk “interogasi” dan hilang lenyap tiada kembali…….

Para tahanan setiap malam berdebar dan hatinya ketar ketir dan saling bertanya “giliran siapa malam ini?” Karena setiap tahanan yang diambil dan “diperiksa”, tidak pernah lagi dikembalikan ke Kamp Tahanan. Hilang lenyap begitu saja. Kepanikan dalam kamp tahanan, namun apa yang bisa diperbuat? Nasib mereka tak ubahnya seperti ayam di dalam kandang, hanya menunggu saat untuk diambil dan disembelih……
Setelah aksi penguasa militer yang mengambil dan melenyapkan (membunuh) para tapol itu terhenti, diketahuilah jumlah mereka yang hilang dilenyapkan, dibunuh oleh rezim Suharto, yaitu:
1. Zainuddin-  Caltex, Ketua Sobsi Riau (ex. Tahanan  PRRI/1958 )
2. Muslihun- Ketua Cabang Perbum Caltex Rumbai
3. A.Aziz Siregar-fungsionaris Cabang Perbum  Rumbai
4. Misdar-pimpinan Perbum pada Caltex Dumai
5. Misbach-pimpinan Perbum pada Caltex Duri
6. Rusli Danur B.A.-Ketua PGRI  Pekanbaru Riau
7. Subekti. Pimpinan Lekra daerah Riau
8. M.Yusuf B.A.-anggota Badan Pemerintah Harian Kota Pekanbaru
9. Kambasli-Ketua CGMI Pekanbaru Riau (ex, tahanan PRRI/1958)
10. Hamdah-pimpinan PKI Sungai Pakning Riau (ex. Tahanan PRRI/1958)
11. Zubir Achmad – Ketua IPPI Pekanbaru
12. Muhktar Bagindo Marajo-pimpinan BTI Pekanbaru
13. A. Kusumitro-anggota pimpinan PKI Pekanbaru
14. Nurdin.O.-anggota Pemuda Rakyat Pekanbaru
15. Sujitno Hadi-anggota pimpinan PKI Kota Pekanbaru,
16. Sutan Malano, pimpinan SBPP Pekanbaru
17. Sudibyo, BTI Riau, Pekanbaru.
18. Sugimin,SSKDN, Kantor Balaikota Pekanbaru
19. Malanton Simanjuntak, SBKB Pekanbaru
20. Kamaluddin Sjamsuddin,anggota pimpinan Perbum Caltex Rumbai
21. Ardan A.N -Ketua Pemuda Rakyat Riau, Pekanbaru. (ex. Tahanan PRRI/1958).
22. Abunandar, Perbum Caltex Rumbai
23. Darajat Lubis, Sobsi Riau
24. Nasution, BTI Sei Rangau
25. Ibu Nasution, Sei Rangau
26. Jasni, anggota pimpinan CGMI
27. M. Lubis, Sobsi Pekanbaru
28. Hamlet Nasution, Pemuda Rakyat Pekanbaru
29. Tampubolon, Sungai Rangau, PKI
30. Syahrudin Jalal, Caltex, Perbum Rumbai
31. Aliusir, BTI Riau
32. Ngadimin, Caltex, Perbum Duri
33. Darwis, SBPU Pekanbaru (ex. Tahanan PRRI/1958)
34. Abas Mandor , Pekanbaru.
35. Syarif, Caltex Duri, Perbum.
36. M.Saleh, pelajar, IPPI
37. Sidi Barabanso ( Pimpinan BTI Riau/eks. Tawanan PRRI 1958)
38. Bachtiar (Pimpinan SBKB Riau/eks. Tawanan PRRI 1958)
39. Lukman ( Karyawan Bea dan Cukai)
40. Ngadibi (anggota Pimpinan Pemuda Rakyat Riau).

Disamping itu, karena kondisi makan yang sangat minim selama dalam tahanan, ditambah dengan sakit yang tidak mendapat perawatan, beberapa tahanan mengalami busung, disentri dan macam-macam penyakit, dan meninggal tanpa diadili, yaitu:
1. Anwar Datuk CS PKI Padang Panjang, meninggal di RTM Pekanbaru
2. Diun Sei Rangau BTI Sei Rangau
3. Kartopawiro Sidinginan BTI Sidinginan
4. Muljono Bangkinang TNI AD Bangkinang (Yon 444 mutasi dari Jateng)
5. Nurdin Kanan Rumbai PT Caltex Pacific Indonesia Rumbai
6. Radjab Siregar Minas SOBSI Minas
7. Sudirman Pekanbaru PT Caltex Pacific Indonesia Rumbai
8. Taufik A.Nopel Pekanbaru IPPI Pekanbaru
Selain yang diambil malam dari kamp tahanan dan dibunuh, yang kurang makan dan meninggal dalam tahanan, juga ada yang dipaksakan menerima “jatah” hukuman yang telah disediakan oleh Ordebaru/rezim Suharto, yaitu:
1. Abdullah Alihamy, Ketua CDB- PKI Riau. Ditangkap oleh Militer dan dihadapkan ke pengadilan rezim Orba di Pekanbaru dan dijatuhi hukuman mati. Dia dipindahkan ke Padang dan dieksekusi oleh regu tembak di Padang.
2. Mohammad Amin Zein, anggota MPRS-RI, Pimpinan BTI/CDB PKI Riau. Ditangkap dan dihadapkan  ke pengadilan Orba di Pekanbaru, dan dijatuhi hukuman seumur hidup. Pada tahun 1999 dibebaskan dan dalam keadaan sangat tua meninggal di kota Medan.
3. Sri Suharjo, CDB-PKI Riau ditahan sementara di Teperda/TPU/RTM Pekanbaru. Setelah dijatuhi hukuman seumur hidup oleh pengadilan Orba di Pekanbaru, dia dipindahkan ke Padang dan menjalani hukumannya di RTM Padang. Atas tuntutan Lembaga Amnesti Internasional, dia dibebaskan oleh Presiden B.J. Habibie. Dia keluar dari penjara RTM Padang dalam keadaan sangat tua dan sakit, dan masih sempat bertemu dengan keluarganya beberapa saat sebelum ia meninggal dunia .

Di samping ketiga tokoh pimpinan PKI Riau di atas, masih ada yang diseret ke ”pengadilan” Orde Baru di  Pengadilan Negeri Pekanbaru, yaitu beberapa orang pemuda dan pemudi yang dipaksa harus menerima ”jatah” hukuman antara 10-17 tahun,  dipenjara, kemudian beberapa orang meninggal dalam karena sakit dan kurang makan. Menarik sekali, seorang pemuda di siswa SMA Kelas II, dihukum 10 tahun penjara, hanya karena berjumpa di jalan dan berbicara dengan seorang yang bertanyakan arah jalan di Bagan Siapi-api, tanpa kenal dan tahu bahwa orang yang bertanya itu adalah anggota Pemuda Rakyat.

Dari daerah-daerah kabupaten atau kecamatan, penangkapan berjalan terus, dan para tahanan tersebut, dikatakan, dikirim ke Pekanbaru, ke Rumah Tahanan Militer, namun kenyataannya tidak pernah sampai, hilang lenyap dalam perjalanan, tak tahu kabar beritanya.

²  Dari Bengkalis: Saudara Murad yang adalah Anggota DPRD Bengkalis dan menjabat sebagai anggota CS-PKI Bengkalis, dibawa dengan kapal dalam rombongan sekitar 50 orang. Hilang lenyap dan sampai hari ini tiada kabar beritanya!

²  Dari Bagan Siapi-api: Saudara Syofyan (PKI), Sdr. Syahrudin (PKI), Sdr. Anis (PKI), Sdr. Syamsul Bahri (PKI) beserta istrinya, Ny. Syamsul Bahri (Gerwani), dalam satu rombongan sekitar 40 orang dibawa dengan kapal motor ke Pekanbaru, namun yang samnpai di TPU Pekanbaru hanya saudara Judo Pramono. (nomor 55 dalam daftar lampiran).

²  Dari Selat Panjang: Saudara Dahlan (PKI) beserta menantunya yaitu Bakar Ibrahim (Pemuda Rakyat), dibawa dengan kapal menuju Bengkalis dalam rombongan 30 orang, namun sampai kini tiada kabar beritanya.

²  Dari Rengat: Saudara Agus Alihamy (PKI), adik dari saudara Abdullah Alihamy, Ketua CDB-PKI Riau, Saudara Raja Abas (PKI), Saudari Rubinem (Gerwani Rengat), dibawa dengan truk dalam satu rombongan sekitar 50 orang. Hilang lenyap, tiada diketahui keberadaannya sampai sekarang!

²  Dari Tembilahan: Saudara Assaat dan Marsono (PKI), beserta 30 orang rombongan dibawa dalam satu truk dan hilang, tiada kabar setelah itu!

²  Dari Tanjung Pinang, tidak diketahui berapa jumlah yang pasti yang dilenyapkan atau dibenamkan dilautan, namun diantaranya adalah Saudara Sudomo (PKI) dan saudara Tajul Arifin (PKI). Sedang seorang dari Tanjung Pinang yaitu S.A. Soetarno, guru SMA Negeri (PGRI) yang dimutasikan dari Pekanbaru, dikembalikan ke Pekanbaru dan menghuni RTM/TPU Pekanbaru.

²  Dari Pasir Pengaraian, korban yang dibunuh aparat militer adalah:
1. Saudara Aladdin Nasution,
2. Rahman,
3. Kattudin Nasution (CS-PKI),
4. Metmet,
5. Ilyas,
6. Yahya (mantan imam mesjid),
7. Siddik,
8. Sotar,
9.  Nurdin,
10. Agus,
11. Pakso,
12. Sulung,
13. Amirhamsyah,
14. Usman,
15. Aliamron,
16. Malim,
17. Amirhasyim,
18. Masir,
19. Bacok,
20. Sinaga,
21. Buyung Saridin,
22. Mhd. Pi’i,
23. Zakaria,
24. Datuk Patih,
25. Abd. Hasan,
26. Mhd. Nur,
27. Marhanda,
28. Aminudin,
29. Karia,
30. Amat,
31. Laham,
32. Mhd. Nasution,
33. Kasim,
34. Yunus,
35. Tengku Pangeran,
36. Kapas,
37. Tengku Saleh,
38. Agus Salim,
39. Dohim,
40. Mhd. Talib,
41. Daib,
42. Kasud,
43. Ibrahim,
44. Dullah,
45. Muis,
46. Abd. Aziz,
47. Alikamis,
48. Mhd. Zen,

(ABNS)
Share this post :

Post a Comment

mohon gunakan email

Terkait Berita: