Pesan Rahbar

Home » , » Penyebab Jatuhnya Air Asia QZ8501

Penyebab Jatuhnya Air Asia QZ8501

Written By Unknown on Sunday, 11 January 2015 | 04:21:00

Dua Analisis Penyebab Jatuhnya AirAsia QZ8501

Sejumlah Analis Penerbangan dalam dan luar negeri sepakat, jatuhnya Airbus 320-200 AirAsia QZ8501 di perairan Pangkalan Bun, Kalimantan Tengah pada Minggu (28/12) memang karena cuaca super ekstrem dan aneh. Tak ada yang bisa dilakukan pilot untuk menyelamatkan 162 orang di dalamnya.

Analis menggambarkan, AirAsia QZ8501 jatuh dengan turun secara vertikal seolah-olah didorong oleh tangan raksasa. “Airbus 320-200 itu naik dengan cara yang tidak mungkin dicapai oleh pilot, kemudian tidak jatuh dari langit seperti pesawat terbang,” kata analis penerbangan Indonesia, Gerry Soejatman kepada Fairfax Media, dan dilansir oleh The Sydney Morning Herald, Kamis (1/1).


Gerry menjelaskan, pesawat yang sedang dalam perjalanan Surabaya-Singapura itu terjebak dalam cengkeraman cuaca yang tak bisa dibayangkan secara umum. “Seperti sepotong logam yang dilemparkan ke bawah. Ini sangat sulit untuk dipahami, berbatasan di tepi logika,” ujarnya.

Setelah merangkum bocoran angka kecepatan dan ketinggian AirAsia QZ8501, Gerry mengatakan bahwa pesawat itu dilengkapi dengan radar mode S, peralatan relatif baru yang bisa mengirimkan informasi yang lebih komprehensif, secara real time, dari pesawat ke darat.

Angka bocoran menunjukkan pesawat naik pada tingkat hampir belum pernah terjadi sebelumnya dari 6000-9000ft per menit. “Dan Anda tidak bisa melakukannya di ketinggian itu bersama Airbus 320 dengan tindakan pilot. Yang paling bisa biasanya diharapkan akan 1000-1500 kaki secara berkelanjutan, dengan sampai 3000 meter di burst,” katanya.

Pesawat kemudian jatuh pada tingkat yang lebih luar biasa: 11.000 kaki per menit dengan lonjakan hingga 24.000 kaki per menit. Gerry membandingkan, Air France A330 Airbus yang jatuh pada tahun 2009 menewaskan 228 penumpang juga mencapai tingkat pendakian dan keturunan memusingkan.

“Kita tidak bisa mengesampingkan bahwa data yang salah, namun data ini berasal dari pesawat itu sendiri, dikirim melalui radar mode S. Ini misterius,” ujarnya.

Sementara ahli penerbangan Australia, Peter Marosszeky, mengatakan tingkat naik dari 6000 kaki per menit akan menunjukkan peristiwa memang terjadi dalam cuaca buruk. “Tingkat pendakian adalah domain untuk jet tempur. Namun itu mungkin karena daerah tropis,” katanya.

Dalam kasus Air France, penyelidikan mengungkap bahwa kesalahan pilot telah diperparah kondisi cuaca yang sulit sehingga terjadi kecelakaan.

Dalam kasus AirAsia, Kapten Iriyanto, pilot, adalah mantan pilot Angkatan Udara pilot dan dihormati dengan pengalaman 23.000 jam terbang pengalaman, Pesawatnya berusia enam tahun dan terakhir telah melalui perawatan rutin di bulan November.

“Jadi salah satu kemungkinan (penyebab) adalah updraft yang sangat kuat, diikuti oleh ground draft yang kuat, atau kegagalan struktural dari pesawat,” pungkas Marosszeky.


Rp 1 Triliun untuk Ganti Rugi Pesawat AirAsia

Asosiasi Asuransi Umum Indonesia (AAUI) menilai pihak maskapai AirAsia sama sekali tidak mengalami kerugian finansial akibat kecelakaan pesawat yang menewaskan 162 penumpang itu. Pasalnya, perusahaan asuransi-lah yang menanggung semua kewajiban dan kerusakan.

“AirAsia hanya rugi dalam hal imej saja, urusan finansial semua yang menanggung adalah pihak asuransi, mulai dari asuransi pesawat hingga asuransi untuk penumpang,” ujar Direktur Eksekutif Asosiasi Asuransi Umum Indonesia (AAUI), Julian Noor kepada Jawa Pos (Induk JPNN.com), Jumat (2/1).

Dari sisi kerugian pesawat, AirAsia akan langsung mendapatkan penggantian senilai harga pesawat yang jatuh di perairan dekat Pangkalan Bun. Nilainya disesuaikan dengan harga pesawat sejenis dipotong biaya penyusutan.”Itu seperti asuransi mobil aja, kalau tabrakan total loss bakal dapat ganti senilai harga mobil. Untuk pesawat AirAsia itu bisa Rp 1 triliun,” tandasnya.

Data dari situs airliners.net, pesawat itu Airbus A320-200 itu dikirimkan dari pabrikannya di Perancis, Oktober 2008. Harga pesawat sejenis pada tahun itu berada pada kisaran USD 73,2 juta (sekitar Rp 915 miliar) hingga USD 80,6 juta (sekitar Rp 1 triliun).

“Itu nanti ada appraisal internasional yang khusus menghitung harga pesawat dikurangi biaya penyusutannya,” terangnya.

Julian mengaku mendapat informasi bahwa penanggung jawab asuransi pesawat AirAsia di Indonesia adalah PT Jasindo yang mendapat backup dari lead insurance Allianz.

“Soal asuransi untuk penumpangnya saya belum dapat informasi. Bisa jadi gabung di Jasindo, bisa juga di perusahaan lain,” sebutnya.

Namun begitu, dia menegaskan bahwa sesuai aturan internasional berdasar Konvensi Montreal seharusnya ganti rugi untuk kecelakaan pesawat bisa lebih Rp 2 miliar per penumpang. Namun Indonesia tidak meratifikasi Konvensi Montreal.”Indonesia punya Permenhub 77/2011 yang ganti ruginya Rp 1,25 miliar per penumpang,” lanjutnya.

Menurut dia, angka tersebut sudah sangat baik karena mendekati yang diamanatkan di dunia internasional. Besaran di tiap negara berbeda-beda tergantung dari tingkat ekonomi masing-masing. “Selain dapat Rp 1,25 miliar, juga dapat santunan dari Jasa Raharja Rp 50 juta per penumpang,” jelasnya.

(Berita-Indonesia/JPNN/Berbagai-Sumber-Lain/ABNS)
Share this post :

Post a Comment

mohon gunakan email

Terkait Berita: