Faham Wahabi-Salafi di Arab Saudi tentu saja tidak bergejolak. Karena negara tersebut menerapkan faham Wahabi-Salafi sebagai ideologinya, walaupun kelompok mazhab atau faham lain diberantas dan diberangus. Misalnya mazhab lain dalam fikih seperti Mazhab Maliki dan Syafi’i, tentu saja mendapat tekanan bahkan dilarang oleh penguasa Wahabi-Salafi tersebut. Jadi, ulama Wahabi tidak ada toleransi dalam berbeda mazhab mazhab, namun di Indonesia mereka bebas leluasa mengkampanyekan fahamnya dengan tanpa ada halangan.
Contoh pelarangan mazhab lain seperti dilakukan terhadap Madrasah Sholatiyah di Makkah yang dikelola oleh Ulama-Ulama keturunan Indonesia dan India yang bermazhab Syafi’i sudah diberangus. Saat ini sudah tidak ada lagi kegiatan ajar-mengajar di madrasah tersebut. Bagi para mukimin yang belajar ke Mekkah pada awal tahun 1980-an, masih menikmati pelajaran dari para Masyaikh, para ulama selain Mazhab Hambali (Wahabi-Salafi), baik di Masjidil Haram, Madrasah Sholatiyah maupun madrasah di Jiyad (saya lupa namanya), bahkan termasuk pengajian ulama terkenal yang banyak menelorkan murid-murid dari Indonesia yaitu Sayyid Muhammad Maliki, walau bermazhab Maliki namun mengajarkan anak didik dari Indonesia yang bermazhab Syafii.
Begitupun ulama-ulama yang mengkritik faham dan pandangan Wahabi-Salafi, khususnya pandangan Imam Ibn Taymiyah (sebagai tokoh sentral mazhab Hambali-Wahabi) juga akan mendapatkan perlakuan yang sama, bahkan disuir dari Arab Saudi. Hal ini pernah terjadi pada Prof. Dr. Muhyiddin Al-Safi, mantan Dekan Fakultas Ushuluddin Universitas Al-Azhar yang diusir dari Arab Saudi karena mengkritik pandangan Ibn Taymiyah. Ketika ditanya kenapa beliau mengkritiknya. Dijawabnya, Imam Ibn Taymiyah tidak makshum. Yang Makshum hanya Nabi. Jadi, biasa boleh saja dikritik. Esoknya, sudah tersedia tiket untuk kembali ke Mesir. (Pada saat itu beliau sebagai dosen di salah satu universitas di Arab Saudi dan saya termasuk yang diajar oleh beliau. Prof. Al-Safi adalah sarjana filsafat dan menjadi guru besar filsafat di Universitas Al-Azhar Mesir).
Bagi yang pernah berhaji atau umrah pada era tersebut, tentunya masih ingat pembagian buku-buku yang dihadiahkan secara gratis, diantaranya adalah kitab tafsir “Shafwatut Tafasir”, karya Sheikh Muhammad Ali As-Shabuni. Saya termasuk diantara yang banyak mendapatkan buku-buku tersebut, baik yang satuan maupun yang berbentuk kitab tafsir lengkap dan besar. Namun, kemudian Sheikh Shabuni ada pendapatnya yang bertentangan dengan faham Wahabi, maka otomatis buku-buku Sheikh Shabuni yang dulunya dibagikan kepada para jamaah haji atau umrah, diberangus dari Arab Saudi. Dan banyak lagi kisah-kisah pemberangusan buku-buku yang berbeda pendapat dengan faham Wahabi-Salafi. Yang beredar hanya buku-buku karya ulama Wahabi seperti Sheikh Abdullah bin Baz, Sheikh Saleh Uthaimin, Sheikh Jamil Zeno, dan lain sebagainya. Begitupun terjemahan karya-karya ulama Wahabi yang banyak diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia sebagai corong Wahabi di tanah air seperti kelompok bercadar dan celana cingkrang, dan lain sebagainya. Jadi, jangan harap ada buku-buku yang berbeda dengan pandangan ‘mainstream’ ulama Wahabi. Diantara buku yang dilarang edar juga adalah kitab tafsir karya Sheikh Said Hawwa yaitu ‘Al-Asas fi al-Tafsir’.
Faham ektremis ala Wahabi-Salafi ini tentu saja menjadi persoalan bila diekspor ke luar Arab Saudi, termasuk ke negara-negara Arab, apa lagi non-Arab. Tengok saja Taliban sebagai wakil Wahabi-Salafi di Afghanistan, Boko Haram di Nigeria dan banyak kelompok-kelompok lain di negara Arab dan juga di Indonesia yang sering membuat ulah dengan faham ‘mainstream yang sudah mengakar di masing-masing negara.
Berita surat kabar Al-Arab hari ini (12/11) memberitakan bahwa salah seorang ulama Wahabi-Salafi dari kelompok Jihad Mesir, Sheikh Marjan Salim Jauhari dalam sebuah acara di TV Mesir “Dream” pada Sabtu lalu (10/11) mengajak untuk menghancurkan peningkalan purbakala zaman Fir’aun (Kerajaan Ramses) yaitu Sphinx dan Piramid. Menurutnya, wajib kita hancurkan patung-patung itu (ashnam), dan wajib hukumnya bagi Muslim menerapkan hukum Allah dengan diantaranya menghancurkan berhala-berhala yang dipenuhi di negara Mesir. Dia mencontohkan bahwa Nabi Muhammad saw menghancurkan berhala-berhala di Ka’bah.
Tentu saja pandangan ekstrem tersebut mendapat tanggapan beragam dari pemirsa dalam acara tersebut.
Diantaranya, antara lain oleh Nabil Sarafuddin yang mengatakan bahwa Panglima Amr bin Ash (pasukan tentara Islam yang pertama kali masuk ke Mesir dan membangun masjid pertama di Afrika yaitu Masjid Amr bin Ash yang terkenal di kota Fustat, Kairo lama) tidak menghancurkan peninggalan peradaban kuno Mesir tersebut. Karena semua peninggalan peradaban kuno tersebut tidak ada yang menyembahnya (sebagaimana disembah oleh Musyrikin Makkah di Ka’bah yang dihancurkan Nabi saw). Peninggalan peradaban Mesir kuno tersebut menjadi milik seluruh warga negara Mesir dan harus menjaga dan melestarikannya. Begitu pula tanggapan Sheikh Abdul Fattah Moro, Wakil Ketua An-Nahdah Tunisia yang tidak menyetujui penghancuran peninggalan warisan peradaban dunia tersebut.
Intinya adalah dimana Wahabi-Salafi berkuasa di suatu tempat di luar Arab Saudi pasti mengalami goncangan dengan faham setempat, termasuk di Indonesia. Boleh jadi nanti candi-candi peninggalan peradaban manusia Indonesia akan tinggal namanya saja, apalagi candi Borobudur yang saat ini menjadi tempat ibadah para pemeluk Budha.
Salam Damai.
(Al-Arab/Kompasiana/Berbagai-Sumber-Lain/ABNS)
Post a Comment
mohon gunakan email