Pesan Rahbar

Home » , , , » Taqlid dan Wilayatul Faqih

Taqlid dan Wilayatul Faqih

Written By Unknown on Monday, 19 January 2015 | 00:24:00


SOAL:
Apakah kewajiban bertaqlid bersifat rasional saja, ataukah juga memiliki dalil syar’i?

JAWAB:
Kewajiban bertaqlid adalah masalah yang berdasarkan dalil syar’i; dan secara rasional, akal juga mengharuskan orang yang tidak tahu akan hukum-hukum agama untuk merujuk kepada seorang mujtahid yang cukup syarat.

SOAL:
Menurut Anda, manakah yang lebih utama, bertindak berdasarkan ihtiath ataukah taqlid?

JAWAB:
Karena bertindak berdasarkan ihtiath bergantung pada pengetahuan tentang letak-letak dan cara berihtyath, dan hal itu hanya diketahui oleh sedikit orang, di samping karena bertindak berdasarkan ihtiath sering kali memerlukan waktu yang lebih banyak, maka yang lebih utama adalah bertaqlid kepada mujtahid yang memenuhi seluruh persyaratannya.

SOAL:
Apakah batas lingkup ihtiath dalam hukum di antara fatwa-fatwa fuqaha’ ? Dan apakah wajib menyertakan fatwa-fatwa para fuqaha’ yang telah lalu?

JAWAB:
Yang dimaksud dengan ihtiath dalam konteks kewajibannya ialah mempertimbangkan semua kemungkinan yurisprudensial (yang bersifat fiqhiyah) berkenaan dengan konteks itu apabila ada dugaan akan wajibnya dan mempertimbangkan kemungkinan-kemungkinan tersebut.

SOAL:
Beberapa minggu lagi putri saya akan mencapai usia taklif (menjadi mukallaf, aqil balig). Sejak saat itu ia berkewajiban memilih seorang marja’ taqlid . Mengingat memahami masalah ini sulit baginya, maka kami mohon Anda menjelaskan kepada kami tentang apa yang wajib dilakukan?

JAWAB:
Jika ia tidak menyadari sendiri tugas syar’iy-nya berkenaan dengan masalah ini, maka taklif (tugas) Anda adalah mengingatkan, membimbing dan mengarahkannya.

SOAL:
Yang populer adalah bahwa identifikasi subyek hukum adalah tugas mukallaf, sedangkan identifikasi hukum itu sendiri merupakan tanggungjawab mujtahid. Bagaimana kita bersikap terhadap identifikasi-identifikasi subyek hukum yang dilakukan oleh marja’? Apakah wajib bertindak sesuai identifikasi-identifikasi tersebut, karena kami acap kali menemukan campur tangan marja’ dalam hal itu?

JAWAB:
Identifikasi subyek hukum memang merupakan tugas mukallaf. Karenanya tidak wajib baginya mengikuti identifikasi yang dilakukan oleh mujtahid yang ia ikuti, kecuali jika ia yakin tentang hal itu, atau jika ternyata subyek hukum itu tergolong subyek-subyek mustanbathah (bersifat interpretatif).

SOAL:
Apakah orang yang tidak mempelajari hukum-hukum syari’i yang lazim dihadapi tergolong pelaku maksiat?

JAWAB:
Apabila keengganannya untuk mempelajari hukum-hukum syari’i mengakibatkan ia meninggalkan sesuatu yang wajib atau melakukan sesuatu yang haram, maka ia adalah pelaku maksiat.

SOAL 7:
Sebagian orang yang tidak memiliki wawasan luas ketika kami tanya: “ kepada siapa Anda bertaqlid? ”, menjawab: “ kami tidak tahu ”, atau mengaku bertaqlid kepada marja’ si fulan, namun mereka tidak merasa terikat untuk merujuk ke buku fatwanya dan mengamalkannya. Apakah hukum perbuatan mereka?

JAWAB:
Jika perbuatan-perbuatan mereka sesuai dengan ihtiath, atau sesuai dengan hukum yang sebenarnya (waqi’), atau sesuai fatwa mujtahid yang wajib diikutinya, maka hukumnya sah.

SOAL:
Dalam masalah-masalah yang di mana mujtahid yang lebih pandai (a’lam) menetapkan ihtiath wajib kami bisa mengikuti mujtahid a’lam yang lain setelahnya. Yang kami tanyakan ialah, jika mujtahid a’lam kedua tersebut menetapkan ihtiath wajib juga dalam masalah tersebut, bolehkah kami mengikuti mujtahid a’lam yang ketiga dalam masalah itu? Dan jika yang ketiga juga demikian, apakah dibenarkan kami merujuk kepada mujtahid a’lam berikutnya dan begitulah seterusnya? Kami mohon penjelasan tentang masalah ini?

JAWAB:
Tidak ada masalah mengikuti mujtahid yang tidak berihtiath dalam masalah tertentu, melainkan ia memiliki fatwa secara tegas, selama memperhatikan urutan a’lam.
Share this post :

Post a Comment

mohon gunakan email

Terkait Berita: