TAQLID DALAM AJARAN SYI'AH (dalam ajaran Syi'ah Imamiah).
Penulis: Abu Qurba
Penyunting: Abu 'Ali Akbar
Desain sampul: Mozammal
Tata Letak: Pay Ahmed
Cetakan I: Oktober 2003
Diterbitkan oleh: Fathu Makkah
1
Amaliah Praktis
Daftar Isi
Mukaddimah
Definisi Mujtahid, Muqallid dan Muhthat
Kewajiban bertaqlid bagi setiap Muslim
Dalil-dalil keharusan bertaqlid
Pembagian taqlid
Appendix
2
Amaliah Praktis
Mukaddimah
Agama Islam
-sebagaimana maklum- meliputi masalah-masalah akidah, fiqih dan akhlak.
Di dalam masalah aqidah (ushuluddin), khususnya menurut ajaran madzhab
Ahlul Bait as tidak dibenarkan bertaqlid buta dan mengikuti akidah orang
lain tanpa memahami dalil-dalil dan argumen-argumennya. Misalnya dalam
masalah menetapkan dan meyakini adanya Tuhan Sang Pencipta alam semesta
ini, adanya hari pembalasan, mengenai keesaan Tuhan dan lain-lain, dalam
hal ini kita tidak boleh ikut-ikutan dan bertaqlid buta kepada orang
lain, sekalipun kepada guru atau orang tua kita sendiri, artinya kita
harus mencari atau memahami dengan baik dan benar akan dalil-dalil dan
argument-argumen yang berhubungan dengan masalah tersebut. sehingga
ketika kita ditanya orang; apakah Tuhan itu ada? Kalau Tuhan itu ada,
apakah dia itu esa, satu ataukah ada tiga? Apakah hari kiamat itu pasti
terjadi? Dan pertanyaan-pertanyaan akidah lainnya, kita dapat
menjawabnya sekalipun dengan argument-argumen yang sangat sederhana;
seperti bahwa Tuhan Pencipta itu ada, dalilnya adalah adanya kita dan
alam semesta ini.
Berbeda halnya dengan masalah fiqih atau
furu'uddin (cabang-cabang agama). Sehubungan dengan masalah ini,
khususnya dalam hal-hal yang sifatnya bukan "daruriyatuddin" seperti
kewajiban shalat dll, kaum muslimin secara umum dan apa pun madzhab dan
alirannya dapat dibagi menjadi tiga kelompok, yaitu kelompok Ulama
Mujtahid, kelompok muqallid dan kelompok Muhtath.
Sebelum kami jelaskan masing-masing definisi Mujtahid, Muqallid dan Muhtaht, dan demi memperjelas pengertian "daruriyatuddin", baiklah akan kami jelaskan pembagian "Ahkam Syari'ah".
Hukum-hukum
syari'at (ajaran Islam) ditinjau dari sudut pandang upaya mengenal dan
mengetahuinya dapat dibagi menjadi dua bagian, yaitu:
1. Ahkam Daruriah, yaitu hukum-hukum daruriyah yang biasa juga disebut "daruriyatuddin"
artinya adalah hukum-hukum yang sudah jelas, gamblang dan ma'ruf serta
telah menjadi keyakinan seluruh kaum muslimin. Karena untuk
mengetahuinya tidak perlu meguras tenaga dan kemampuan untuk mengkaji,
meneliti dan menggunakan kaidah-kaidah ushul, dengan kata lain untuk
mengetahui hukum-hukum daruriah itu tidak memerlukan ijtihad, contohnya
seperti wajibnya Shalat, zakat, haji dan lain-lain atau seperti haramnya
berzina, membunuh dan lain-lain yang mana seluruh kaum muslimin telah
meyakini dan mengetahui dengan jelas tanpa berijtihad atau belajar lama
di hawzah (pesantren).
2. Hukum-hukum syari'at yang bukan daruri, artinya hukum-hukum yang tidak gamblang bagi setiap muslim yang biasa juga disebut "ahkam ghairu daruriah".
Ahkam ghairu daruriah ini menuntut segenap kemampuan dan kerja keras
untuk dapat mengetahuinya, yaitu dengan cara menggunakan kaidah-kaidah
Ushul Fiqh dan ilmu-ilmu alat lainnya (seperti tata bahasa arab, ilmu
hadits, tafsir, dll) untuk dapat menentukan hukum-hukum tersebut,
seperti perincian hukum-hukum ibadat dan muamalat pada umumnya.
Sudah tentu tidak setiap muslim mampu melakukan pekerjaan berat semacam
ini, bahkan tidak juga setiap ulama mampu melakukannya. Pekerjaan
seperti ini dinamakan ijtihad yang hanya dapat dilakukan oleh para
mujtahid. Untuk dapat mencapai tingkat ijtihad ini diperlukan keseriusan
dalam belajar di tingkat Bahtsul Kharij, yaitu peringkat tinggi dalam
pelajaran fiqih dan ushul.
Tentunya setelah melewati peringkat
sutuh satu dan dua. Setidaknya -menurut hemat kami- mereka yang duduk
di tingkat Bahtsul Kharij ini menghabiskan waktu kurang lebih selama
lima belas tahun untuk dapat melakukan ijtihad. Sedangkan peringkat
sutuh satu dan dua itu dapat ditempuh secara normal selama delapan
tahun, setelah itu barulah memasuki pelajaran fiqih dan ushul pada
tingkat Bahtsul Kharij. Harapan dan doa kami semoga di hari-hari
mendatang pelajar Indonesia yang masih berada pada maqta'/sutuh dua
dalam spesifikasi fiqih dan ushul dapat segera menyelesaikan studinya
dengan lancer dan baik, untuk selanjutnya dapat duduk pada tingkat
bahtsul kharij.
Dan setelah menjalani masa kurang lebih lima
belas tahun pada tingkat Bahtsul Kharij ini, barulah nantinya akan
sampai pada tingkat ijtihad dan menjadi seorang mujtahid. Insya Allah.
Dan selanjutnya menjadi seorang marja' dengan izin dan taufiq dari Allah
Swt. Seorang Mujtahid mutlak untuk dapat mencapai tingkat marjaiyah
(menjadi marja' bagi masyarakat umum) masih memerlukan waktu yang tidak
sedikit. Dan ada syarat-syarat khusus yang ia harus tempuh, seperti
telah menulis Risalah Amaliah.
Seorang ulama Syi'ah Imamiyah yang merupakan seorang mujtahid dan telah mencapai tingkat marja' berkata: "mengingat
ijtihad itu memerlukan ilmu yang canggih, keseriusan dan kerja keras
yang istiqamah, oleh karena itu sedikit sekali orang-orang yang mampu
mencapai peringkat mulia dan terpuji ini. Keadaan seperti inilah yang
menyebabkan mayoritas kaum muslimin harus merujuk kepada seorang
mujtahid sebagai nara sumber dalam masalah-masalah fiqih. Dan inilah
yang disebut "taqlid".
3
Amaliah Praktis
Definisi Mujtahid, Muqallid dan Muhtath
Mujtahid adalah orang
yang -dengan ilmunya yang tinggi dan lengkap- telah mampu menggali dan
menyimpulkan hukum-hukum Islam dari sumber-sumbernya yang asli seperti
Al Qur'an dan Hadits. Mujtahid inilah yang menjadi rujukan (marja') bagi
orang awam dan kelompok muqallid.
Muqallid ialah:
orang-orang awam yang belum atau tidak sampai kepada derajat ijtihad.
Mereka ini diwajibkan bertaqlid kepada seorang mujtahid atau marja' yang
telah memenuhi syarat. Pendeknya bahwa muqallid adalah orang yang
ber-taqlid atau mengikuti seorang mujtahid. Sedangkan arti taqlid itu
sendiri beramal ibadah, bermu'amalah, bermasyarakat dan bertingkah laku
sessuai dengan fatwa-fatwa seorang mujtahid atau marja'.
Muhtath ialah:
orang yang juga belum mencapai peringkat ijtihad, akan tetapi lebih
tinggi derajatnya dari muqallid karena ia telah mampu mengkaji dan
membandingkan antara fatwa-fatwa seorang marja' dengan fatwa-fatwa
marja' lainnya, sehingga ia dapat memilih fatwa yang lebih hati-hati dan
lebih berat untuk diamalkan. Singkatnya definisi muhtath adalah orang
yang berhati-hati dalam segala amal ibadah dan perbuatannya. Kelompok
muhtath jumlahnya sangat sedikit, karena berihtiyath adalah termasuk
pekerjaan yang berat. Oleh karena itu, kelompok ini pun dibolehkan
bertaqlid kepada seorang marja'.
Kewajiban Bertaqlid Bagi Setiap Muslim
Apabila Anda ditanya orang; mengapa dalam agama Islam dan khususnya
dalam Madzhab Syi'ah Imamiah (Ahlul Bait as) setiap muslim dilarang
bertaqlid -dalam masalah akidah- kepada orang lain sekalipun kepada
ulama dan para mujtahid, akan tetapi dalam masalah-masalah fiqih yang
bukan "daruriyatuddin" setiap muslim yang awam diwajibkan bertaqlid
kepada salah seorang mujtahid atau marja'?
Jawabnya adalah: karena setiap muslim yang berakal sehat pasti mampu untuk mencari atau memahami argument-argumen ushuluddin
4
kidah dengan menggunakan akal pikirannya itu, sehingga dalam
masalah-masalah akidah ini tidak perlu dan tidak dibolehkan bertaqlid
kepada orang lain. Akan tetapi dalam masalah-masalah fiqih/furu'uddin
tidaklah demikian, artinya tidak semua orang -bahkan sedikit sekali-
yang mampu menggali hukum dari sumbernya yang asli yaitu Al Qur'an dan
hadits. Hanya para mujtahidlah yang mampu melakukan pekerjaan (ijtihad)
ini. Oleh karena itu, dalam masalah fiqih ini orang awam (yang belum
mencapai peringkat ijtihad) diwajibkan bertaqlid kepada seorang marja'.
Dalam masalah pengetahuan umum saja, kalau kita perhatikan kehidupan
dan kemajuan zaman sekarang ini, diperlukan adanya spesialis-spesialis
dalam bidang-bidang tertentu. Misalnya kedokteran, filsafat, ekonomi,
politik, tehnik, dan lain-lain. Bahkan ilmu kedokteran saja
bercabang-cabang lagi, nah apalagi dalam masalah agama dan hukum-hukum
dalam Islam, sudah tentu sangat diperlukan adanya para mujtahid dan
marja' agar orang-orang awam tidak tersesat dan tidak berani
menyimpulkan dan mengeluarkan hukum sendiri.
Sebagaimana dalam
masalah penyakit dan pengobatannya orang-orang awam diharuskan merujuk
kepada dokter spesialis, maka begitu pula dalam masalah-masalah fiqih
dan ahkam, yaitu orang-orang awam diharuskan merujuk para mujtahid dan
marja' yang telah memenuhi syarat. Tentu saja taqlid semacam ini jauh
berbeda dengan taqlid kepada orang-orang asing dalam masalah budaya dan
adat istiadat, karena bertaqlid kepada mereka dalam masalah ini akan
menyebabkan hancurnya aqidah, iman dan akhlak islami seorang muslim.
Seorang muslim haruslah senantiasa menjaga akhlak, iman dan adapt
istiadat atau budayanya yang sesuai dengan ajaran-ajaran Islam.
Dalil-dalil Keharusan Bertaqlid
Paling tidak ada lima argument yang bisa dijadikan sebagai dasar
kebolehan dan keharusan bertaqlid bagi orang-orang awam -dalam
masalah-masalah fiqih- kepada seorang mujtahid marja'. Lima buah
argument itu ialah:
1. Sirah al 'Uqala (tingkah laku orang-orang yang berakal).
Argument terpenting sehubungan dengan masalah ini adalah argument
perilaku 'uqala sepanjang sejarah kehidupan. Dalam kehidupan sehari-hari
kita saksikan bahwa mayoritas masyarakat umum senantiasa mengikuti,
bertaqlid dan merujuk kepada para ahli dibidangnya masing-masing.
Misalnya mereka yang bukan ahli dalam bidang elektronik ketika TV mereka
rusak, mereka akan merujuk tempat-tempat servis TV dimana tenaga ahli
terdapat disitu dan bahwa mereka siap mengikuti dan mengamalkan petunjuk
yang diberikan oleh para ahli itu.
Maka janganlah coba-coba
apabila anda bukan ahli dibidangnya untuk memperbaiki TV, membongkar
mesin mobil atau pun menyervis computer, karena pasti anda tidak akan
berhasil dan masyarakat umum pun akan mencaci maki anda. Akan tetapi,
rujuklah para ahli di bidangnya masing-masing. Kalau dalam urusan materi
dan dunia saja harus demikian, apalagi dalam hal-hal yang berhubungan
erat dengan kehidupan alam akhirat yang kekal dan abadi. Logiskah
apabila anda menanyakan apa hukumnya bekerja di bank, bagaimana cara
melakukan ibadah haji dan lain-lain kepada penjual sayuran di pasar?
Atau kepada ahli bangunan?
2. Al Qur'an.
Artinya:"hendaklah ada sekelompok dari orang-orang yang beriman yang
mendalami masalah-masalah agama untuk memberikan peringatan kepada
kaumnya". (Qs. At Taubah: 122)
Penjelasan:
Ayat
tersebut menunjukkan wajibnya melakukan "indzar" (memberikan dan
menyampaikan peringatan kepada umat manusia akan adanya siksa Allah Swt
ketika mereka tidak mentaati dan melanggar hukum-hukum-Nya). Sudah
barang tentu tidak semua orang mampu untuk menentukan, menetapkan dan
menjelaskan hukum-hukum Allah Swt tersebut selain para 'ulama dan
mujtahid yang telah mengkaji masalah-masalah agama puluhan tahun. Dengan
demikian, ayat tersebut secara tidak langsung mewajibkan orang-orang
muslim yang awam untuk bertaqlid kepada para 'ulama, maraji' dan
mujtahidin yang telah memenuhi syarat. Sehubungan dengan ayat tersebut
sebagian ulama ahli sunnah berkata:"maka dengan demikian Allah Swt telah
mewajibkan kaum muslimin untuk menerima "indzar" dan peringatan yang
disampaikan oleh para ulama, dan hal itu berarti "taqlid" kepada mereka.
3. Al Qur'an.
Artinya:" maka hendaklah kalian bertanya kepada Ahli Dzikir (para ulama) jika memang kalian tidak tahu". (Qs. An Nahl: 43).
Penjelasan:
Sangat jelas, bahwa ayat tersebut menunjukkan kewajiban bertaqlid bagi
orang-orang awam yang belum mencapai peringkat mujtahid. Nampaknya ayat
ini lebih jelas tekanannya dibandingkan dengan ayat sebelumnya, karena
ayat ini menjelaskan tugas si muqallid, hanya saja yang menjadi masalah
adalah siapakah ahli dzikir yang dimaksud oleh ayat itu?
Sehubungan dengan pengertian "ahli dzikir" tersebut, ada beberapa jawaban dan pandangan yang perlu diperhatikan baik-baik:
a. Ahli ilmu dan ahli Al Qur'anul al Karim
b. Ibnu Qayyim al Jauzi berpendapat bahwa yang dimaksud dengan "ahli dzikir" ialah ahli tafsir dan ahli hadits.
c. Ibnu Hazm berkata: "ahli dzikir adalah para perawi hadits Nabi dan para 'ulama tentang hukum-hukum al Qur'an".
Dari beberapa jawaban dan pandangan tersebut dapat kita simpulkan bahwa
seluruh umat Islam yang awam yaitu yang belum mencapai derajat ijtihad
diwajibkan untuk bertanya, mengikuti dan bertaqlid kepada Ahli Dzikir,
yaitu para Ulama yang betul-betul telah mendalam pengetahuannya tentang
Al Qur'an dan hadits-hadits Nabi saw. Hal ini sesuai dengan penafsiran
secara umum dan sesuai pula dengan kondisi sekarang ini, dimana kita
hidup pada masa "ghaibah kubra" nya Imam Zaman Afs. Sedang Ahli Dzikir
menurut pandangan yang lebih dalam, lebih luas dan khusus yang ditopang
oleh ayat-ayat lainnya dan berbagai riwayat adalah: para Imam Ma'shum
yang jumlahnya ada dua belas orang. Mohon ma'af, kami tidak dapat
menyinggung masalah yang luas ini dalam risalah yang sederhana ini.
4. Al Qur'an.
Artinya: "katakanlah kepada mereka:"taatilah Allah Swt, Rasul-Nya dan Ulim Amri dari kalian". (Qs. An Nisa: 59)
Penjelasan:
Sebagian ulama Ahlu Sunnah menjadikan ayat ini sebagai dalil atas
wajibnya bertaqlid, mereka mengatakan:"sesungguhnya Allah Swt telah
memerintahkan hamba-Nya untuk mentaati-Nya, mentaati Rasul-Nya dan Ulil
Amri yaitu para ulama dan umara. Dan taat kepada mereka berarti
mentaqlidi mereka atas segala apa yang mereka fatwakan, karena
sesungguhnya kalau tidak ada taqlid, maka tidak akan ada ketaatan yang
khusus kepada mereka itu."
Para Ulama Syi'ah Imamiah
-berdasarkan riwayat-riwayat yang juga bersumber dari kitab-kitab Ahlu
Sunnah- mengatakan bahwa yang dimaksud dengan Ulil Amri dalam ayat
tersebut adalah: "para Imam dua belas" setelah wafatnya Rasulullah saw
dari mulai Imam Ali bin Abi Thalib As sampai kepada Imam Zaman Al Mahdi
Afs. Dengan demikian ayat tersebut berarti: "hendaknya kalian senantiasa
mentaati Allah Swt, Rasul-Nya, dan para Imam Ma'shum yang 12 orang".
Sedang pada masa ghaibah kubranya Imam yang ke 12 sekarang ini, kalian
wajib mentaati wali faqih, yaitu Imam Ali Khamene'I Hf dan marja' kalian
masing-masing yang telah memenuhi syarat-syarat.
5. Riwayat Imam Hasan al Askari As.
Artinya: "adapun terhadap seorang faqih yang senantiasa menjaga dirinya
dari perbuatan dosa, selalu menjaga agamanya, melawan hawa nafsunya dan
selalu mentaati perintah-perintah "maula" nya, maka diwajibkan bagi
semua orang awam untuk bertaqlid kepadanya".
Penjelasan:
Telah jelas dan masyhur bahwa riwayat ini menunjukkan dan menjelaskan
kewajiban bertaqlid bagi semua orang awam -pada masa sekarang- kepada
seorang marja' dan mujtahid yang sebagian syarat-syaratnya telah
disebutkan dalam riwayat tersebut.
Kalau kita perhatikan para
pengikut madzhab Ahlu Sunnah di seluruh dunia pada masa kita sekarang
ini -di dalam masalah fiqih- sebagian mereka bertaqlid kepada Imam
Syafi'I, sebagian lainnya bertaqlid kepada Imam Malik, Hanafi dan
Hanbali. Terlepas mereka itu paham atau pun tidak akan masalah taqlid
ini, mereka sadari atau pun tidak, yang jelas mereka itu -dalam masalah
furu'uddin- bertaqlid dan mengamalkan fatwa-fatwa salah seorang dari
para mujtahid dan marja' tersebut.
Sedangkan para pengikut
madzhab Syi'ah Imamiah diwajibkan untuk bertaqlid -dalam masalah
furu'uddin yang bukan daruriyatuddin dan pada masa ghaibah kubra
sekarang ini- kepada seorang mujtahid dan marja' yang telah memenuhi
syarat. Dan mayoritas mujtahidin itu kini berada di Negara Republik
Islam Iran, khususnya di kota Qum Al Muqaddasah.
Syarat-syarat
yang harus dipenuhi oleh seorang mujtahid dan marja' yang bisa
ditaqlidi, sebagaimana telah dijelaskan oleh para ulama di dalam
kitab-kitab fiqih mereka ialah:
1. Telah mencapai peringkat mujtahid.
2. Adil.
3. Laki-laki.
4. Beriman (Syi'ah Imamiah).
5. Bukan anak hasil zina.
6. Wara'
7. Lebih alim dari mujtahid lainnya
8. Dll
Apabila terdapat beberapa orang yang telah memenuhi syarat-syarat
tersebut, sebagaimana kenyataannya sekarang ini, maka si muqallid -untuk
dapat memilih dan mentaqlidi salah seorang dari mereka- haruslah dengan
bantuan dan perantara "ahli khibrah". "Ahli khibrah" ialah orang-orang
yang telah lama (kira-kira lebih dari 20 tahun) mempelajari dan mengkaji
ilmu-ilmu agama sehingga mereka telah mampu menilai, menentukan dan
membedakan antara mujtahid dan antara a'lam dengan yang tidak.
Menurut Imam Khomeini Ra, Sayyid al Qaid Hf, dll. Minimalnya harus
melalui perantara dua orang ahli khibrah untuk dapat memilih, menentukan
dan mentaqlidi seorang mujtahid atau marja'. Dengan demikian si
mukallaf atau muqallid yang awam tidak dibenarkan memilih dan menentukan
marja'nya dengan penilaiannya sendiri, apalagi jika penilaian dan
pemilihannya atas seorang marja' itu didasari oleh sifat rakus dan
tamaknya terhadap materi dan dunia, seperti -misalnya- jika marja' yang
ia pilih itu lebih dekat dan lebih banyak memberikan bantuan kepadanya
dari pada marja' lainnya. Nah, dasar penilaian dan pemilihan seperti ini
jelas kebatilannya, karena satu-satunya tolok ukur a'lamiah seorang
marja' adalah: kelebih pandaiannya dalam beristinbath dan menetapkan
suatu hukum dari sumber-sumbernya, dan sama sekali bukan yang lebih
pandai dalam masalah-masalah social, politik apalagi materinya.
5
Amaliah Praktis
Pembagian Taqlid
Taqlid seseorang kepada orang lain -dalam hal apa pun- dapat dibagi menjadi empat bagian, yaitu:
1. taqlid seorang alim kepada alim lainnya.
2. taqlid seorang jahil kepada jahil lainnya.
3. taqlid seorang alim kepada seorang jahil.
4. taqlid seorang jahil kepada seorang alim.
Bagian pertama, yaitu
taqlid seorang yang alim kepada orang alim lainnya, menurut penilaian
akal sehat adalah suatu perbuatan yang jelek dan tidak terpuji, karena
tidak ada alasan bagi orang yang telah mengetahui (alim) tentang suatu
masalah bertaqlid kepada orang lain yang juga mengetahui permasalahan
yang sama. Oleh karena itu, seorang mujtahid tidak dibenarkan dan tidak
dibolehkan bertaqlid kepada mujtahid lainnya.
Bagian kedua, yaitu
taqlidnya seorang jahil , bodoh dan tidak mempunyai ilmu pengetahuan
kepada orang jahil yang sama. Sudah tentu akal sehat menilai perbuatan
semacam ini sangat buruk dan tidak logis. Bagaimana mungkin orang yang
bodoh bertaqlid kepada orang yang bodoh pula. Hal ini tidak ada bedanya
dengan orang buta yang berkata kepada kawannya yang juga buta
pula:"peganglah tanganku dan tuntunlah aku menuju kesuatu tempat di
sana".
Bagian ketiga, yaitu taqlidnya seorang 'alim
kepada orang jahil. Taqlid semacam ini adalah paling buruk dan hinanya
perbuatan di mata masyarakat umum dan bahkan menurut penilaian anak
kecil sekali pun. Mana mungkin orang yang dapat melihat dengan baik
mohon bantuan untuk dituntun ke suatu tempat kepada orang yang buta
matanya.
Bagian keempat adalah: taqlidnya seorang jahil
kepada orang alim dan pandai (ahli ilmu). Hal ini sangatlah wajar dan
logis. Bahkan menurut akal sehat memang begitulah seharusnya, yaitu
orang yang awam dan bodoh diharuskan bertaqlid dan mengikuti
saran-saran, nasihat-nasihat, fatwa-fatwa dan jejak langkah ahli ilmu.
Dalam hal ini, agama pun -terutama madzhab Ahlul Bait As- sangat
menekankan dan mewajibkannya. Taqlid semacam ini tidaklah dikategorikan
sebagai taqlid buta yang memang sangat dicela oleh akal sehat dan Al
Qur'an Al Karim. Contoh taqlid keempat ini tidak ada bedanya dengan
seorang awam yang terkena penyakit tertentu berkonsultasi dan berobat
kepada seorang dokter spesialis di bidangnya Itu.
"Taqlid
Buta" adalah suatu sifat yang sangat buruk, rendah dan tercela, yaitu
ketika seseorang mengikuti orang lain tanpa dalil dan argument yang
jelas, kuat dan logis, baik dalam hal ibadat, maupun dalam hal adapt
istiadat. Baik yang diikuti itu masih hidup, ataupun sudah mati. Baik
kepada orang tua dan nenek moyang, maupun kepada bangsa lain. Sifat
inilah yang disandang orang-orang kafir dan dungu, dari dahulu kala
hingga pada zaman kita sekarang ini, dimana mereka menjalankan ibadah
mereka sehari-hari berdasarkan taqlid buta dan mengikuti lampah dan
perbuatan nenek-nenek moyang mereka yang tidak mempunyai dalil dan
argument sama sekali. Allah Swt berfirman:"dan apabila dikatakan kepada
mereka (orang-orang kafir dan yang menyekutukan Allah Swt): "ikutilah
semua ajaran dan petunjuk yang telah Allah turunkan". Mereka
menjawab:"kami hanya mengikutisegala apa yang telah dilakukan oleh
nenek-nenek moyang kami". Padahal nenek-nenek moyang mereka itu tidak
mengerti apa-apa dan tidak juga mendapat hidayah (dari Allah Swt)". (Qs.
Al Baqarah: 170).
Dengan kata lain, bahwa nenek-nenek moyang
mereka itu adalah orang-orang yang bodoh dan tersesat, akan tetapi
walaupun demikian mereka tetap mengikuti dan mentaqlidinya. Mereka
menolak bertaqlid kepada orang-orang yang telah mendapat hidayah dari
Allah Swt, ma'shum (terjaga) dari segala kesalahan dan dosa dan ahli
ilmu pengetahuan, yang sifat-sifatnya telah jelas disebutkan oleh Allah
Swt di dalam Al Qur'an Al Karim, yaitu para Nabi, Rasul, Imam-Imam suci
dan para ulama yang telah memenuhi syarat-syarat yang telah kami
singgung diatas.
Para pembaca yang budiman, mengingat risalah
ini sengaja dibuat seringkas mungkin, maka kami kira bukan pada
tempatnya untuk menjelaskanmasalah taqlid yang lebih luas lagi, terutama
yang berhubungan dengan masalah "marja'iyah" dan "a'lamiah".
Secara singkat kami katakana, bagi anda yang baru baligh atau baru
masuk/pindah ke madzhab Syi'ah Imamiah pada masa sekaran ini, dimana
tidak ada kata sepakat dari para ahli khibrah tentang a'lamiah seorang
mujtahid atau marja', jika ingin bertaqlid kepada seorang
mujtahid/marja', maka carilah dua orang ahli khibrah yang menyaksikan
dan menyatakan a'lamiahnya. Disamping itu pula, tentunya anda dituntut
untuk mengenal dan memperhatikan ahli khibrah itu, baik dari sisi
akhlak, pengetahuan, zuhud, dll. Baik melalui cerita-cerita orang-orang
yang mengenalnya, membaca biografi dan karangan-karangannya, atau dengan
cara lainnya. Karena ahli khibrah itulah yang menyampaikan anda kepada
seorang mujtahid atau marja' taqlid. Sedangkan marja' taqlid itu
menyampaikan dan menyambungkan tali hubungan anda dengan Imam Zaman Afs.
Dan Imam Zaman Afs adalah tali penghubung dan Al Urwah al Wutsqa kepada
Allah Swt bagi setiap muqallid, bahkan secara umum bagi setiap insane
dan jin yang berusaha mencari dan menelusuri jalan menuju Al Haq. Bahkan
lebih dari itu, Imam Zaman Afs yang berperan sebagai "Al Hujjah" di
muka bumi dunia fana ini, adalah sebagai tonggak dan poros utama bagi
keteraturan alam semesta ini dengan segala aktivitasnya, "Lawlal Hujjah
Lasaakhatil ardlu biahlihaa", tanpa adanya Al Hujjah (Imam Zaman Afs
sebagai Imam Ma'shum yang ke 12), maka akan hancur luluhlah bumi ini
dengan segenap penduduk dan isinya. Pembahasan tentang Imam Zaman afs
sebagai Al Hujjah, wasilah dan Al Urwah al Wutsqa ini, berhubungan erat
dengan pembahasan "hukum kausalitas", sebab akibat dan Sunnatullah di
dalam pelajaran dan kajian filsafat. Hal ini tidak dapat kami bahas
dalam risalah sederhana ini. Namun anda dapat menanyakannya kepada
seorang ustadz yang telah mempelajari dan mengkaji aqidah Syi'ah Imamiah
dengan baik dan mendalam.
Dengan ungkapan lain yang lebih
jelas sehubungan dengan peran penting kehadiran seorang marja' dan Imam
Zaman Afs dalam kehidupan kita sehari-hari, kami katakana bahwa kita
tidak akan dapat mencapai maqam "Mardlatillah" yang murni dan sempurna
tanpa mengenal Imam Zaman Afs dan menapaki jalan-jalan Syari'ah dan
bimbingan beliau. Sebagaimana pula kita yang awam ini tidak mungkin akan
dapat mentaati dan melaksanakan segala perintah, syari'at dan bimbingan
beliau tanpa menjalankan berbagai aturan dan tata cara beribadah,
bermua'amalah, bermasyarakat, dst yang telah dirangkum dalam "Risalah
Amaliah" seorang mujtahid/marja'.
Dengan demikian, betapa urgen
dan pentingnya kehadiran sebuah "Risalah Amaliah" Marja' Taqlid Anda
disisi anda. Bila hal ini dapat anda pahami dengan baik dan benar,
sehubungan dengan "Hablumminallah" dan "Hablumminannas", maka tidak ada
alasan lagi bagi anda untuk mengabaikan dan membiarkan "Risalah Amaliah"
jauh keberadaannya dari sisi anda, dan tidak mungkin pula anda akan
lebih mengutamakan membaca Koran-koran, majalah-majalah dan media
lainnya hanya sekedar untuk mengorek-ngorek informasi dan berita-berita
dunia yang tidak ada hubungannya dengan peningkatan keimanan anda dan
tidak ada kaitannya pula dengan nasib anda di alam akhirat yang kekal
abadi.
Tidaklah mengherankan apabila terdengar adanya satu dua
orang yang dengan sengaja mengabaikan dan tidak memperdulikan kehadiran
sebuah "Risalah Amaliah" dalam praktek kehidupannya sehari-hari, dan
mereka itu lebih mengutamakan sisi afkar (pemikiran) dan akidah global
dalam madzhab Syi'ah Imamiah, lantaran mereka belum dapat memahami
dengan baik bagaimana menggapai keridhaan Imam Zaman Afs sebagai langkah
"wasilah" menuju titik sasaran utama dan terakhir "Mardlatillah Swt".
Harapan dan doa kami, semoga kini tidak terdengar lagi
ungkapan-ungkapan seperti:" yang pentingkan pemikiran, fiqih itu tidak
perlu", atau ungkapan :" untuk menjadi Syi'ah cukuplah dengan
mempercayai dua belas Imam, dan tidak perlu mempraktekkan fiqih syi'ah
sebelum aqidah kita mantap". Padahal sekedar mengkaji dan meyakini
adanya dua belas Imam itu tidaklah ada artinya sama sekali, apabila
dalam beramal ibadahnya masih meyakini dan mengikuti aturan-aturan yang
datang dari selain mereka.
Demi untuk mempermudah para pecinta
dan pengikut setia ajaran Ahlul Bait As di tanah air tercinta yang ingin
bertaqlid kepada Imam Khamene'I Hf (Ayatullah Al 'Uzma Sayyid Ali Al
Khamene'I Hf), maka kami tunjukkan dua orang ahli khibrah yang telah
menyaksikan dan menyatakan a'lamiah beliau. Dua orang ahli khibrah itu
ialah: 1. Ayatullah Syaikh Muhammad Yazdi Hf. 2. Ayatullah Sayyid Ja'far
al Karimi Hf. Informasi tentang dua orang ahli khibrah ini kami peroleh
langsung dari kantor Sayyid Al Qa'id Hf pada tanggal 21 Rabi'ul Awwal
Th 1421 H. Isi surat yang kami ajukan dengan bahasa Arab tersebut kurang
lebih demikian isinya:
Assalamu'alaikum Wr. Wb.
Bismihi Ta'ala
Dengan ini kami kabarkan kepada antum (petugas istiftaat) yang mulia
-sesuai pengetahuan kami yang dangkal- bahwa mayoritas mutasyayyi'in di
negeri kami (Indonesia) bertaqlid kepada yang mulia Ayatullah al 'Uzma
Sayyid Ali Khamene'I Hf.. Hal itu demi menghimpun pada pribadi beliau
yang mulia antara
Marja'iyah dan Qiyadah atau Wilayah, dan nyatanya
memang maslahat menuntut demikian. Disamping itu pula bahwa beliau
telah masyhur dengan predikat a'lam dari sisi politik, bahkan lebih dari
itu, Imam Khomeini yang agung telah memberikan isyarat tentang
kelayakan beliau dalam hal tersebut. Dan para mutasyayyi'in tersebut
bertaqlid kepada beliau yang mulia tanpa muroja'ah terlebih dahulu
kepada Ahli Khibrah. Dan apabila antum berpendapat bahwa taqlid semacam
ini tidak dianggap sah, artinya: mereka itu harus muroja'ah terlebih
dahulu kepada ahli khibrah untuk mengokohkan a'lamiah beliau, maka hal
itu merupakan hal yang sulit buat mereka dan taklif yang tidak mampu
untuk dipikul (Layukallifullahu nafsan illa wus'aha).
Oleh
karena itu, kami sangat mengharapkan kepada antum yang terhormat agar
kiranya dapat menunjukkan kami atau menyebutkan nama-nama Ahli Khibrah
yang mendukung a'lamiah Ayatullah al 'Uzma Sayyid Ali Khamene'I Hf.
Karena terus terang, kami sendiri tidak mampu untuk meneliti dan mohon
penjelasan tentang a'lamiah beliau secara langsung dari Ahli Khibrah.
Oleh karena itulah kami bertawasul kepada antum untuk dapat bertaqlid
kepada beliau yang mulia. Semoga antum mendapatkan ganjaran yang besar
dari sisi Allah Swt. Amin…
Wassalamu'alaikum Wr. Wb.
Qom al Muqaddasah,
17 Jumaditstsani 1420 H.
Abu Qurba
Assalamu'alaikum Wr. Wb.
Jawab:
Bismihi Ta'ala
Setelah Ahli Khibrah seperti "Himpunan Guru-guru Hawza" (jami'atul
Mudarrisin) -semoga Allah Swt memberkahi mereka- membuat kesaksian atas
bolehnya bertaqlid kepada yang mulia Ayatullah Sayyid Ali Khamene'i Hf
bagi seluruh kaum muslimin dan bahwa bertaqlid kepada beliau dapat
dipertanggungjawabkan dan juga setelah sekelompok dari mereka mengadakan
kesaksian atas a'lamiah beliau seperti Ayatullah Sayyid Ja'far al
Karimi dan Ayatullah Muhammad Yazdi dan ulama-ulama lainnya, maka
setelah itu, tidak ada lagi peluang keraguan dan kesamaran atas sahnya
taqlid mereka; seluruh ikhwan mu'minin di Indonesia, begitu pula kaum
mu'minin di negara-negara lainnya.
Wassalamu'alaikum Wr. Wb.
Qom,
21 Rabi'ul Awwal 1421 H
Daftar Rahbar
P.S.
Insya Allah pada kesempatan lainnya akan kami lanjutkan penjelasan
masalah taqlid ini. Do'a antum semua sangat kami harapkan, semoga Allah
Swt memberikan taufiq dan panjang umur untuk kami demi melakukan ama
tersebut. Amin...untuk itu, saran dan nasihat Antum kami tunggu selalu
melalui E-mail: abu qurba@yahoo.com/hotmail.com
Qom al Muqaddasah
24 Rabiuts Tsani 1424 H.
Al Haqir: Abu Qurba
Wabillahittaufiq wal Hidayah.
Wassalamu'alaikum Wr. Wb.
6
Amaliah Praktis
Appendix:
Menimbang dan mengingat:
1. adanya hubungan erat antara pembayaran, penyerahan dan pengelolaan uang dan harta khumus dengan masalah taqlid.
2. banyaknya pertanyaan yang sampai di Daftar Rahbar (kantor Ayatullah
Sayyid Ali Khamene'I Hf) tentang masalah penyerahan dan pengelolaan uang
dan harta Khumus.
3. demi memberikan petunjuk, bimbingan dan
saran syar'I kepada kaum mutasyayyi'in di seluruh tanah air tercinta dan
dibelahan dunia lainnya agar menyerahkan uang khumus dan mengelolanya
sesuai dengan aturan, ketentuan yang berlaku dan humum syar'i.
4. demi menghindari hal-hal yang tidak syar'I sehubungan dengan masalah khumus.
5. risalah 'amaliah tidak menjelaskan masalah ini dengan detail dan
terkadang timbul salah paham dari pembaca atau pendengar tentang masalah
yang bersangkutan.
Maka -menurut al haqir- alangkah baiknya
apabila risalah taqlid singkat dan sederhana ini kami tambahkan
(appendix) dengan menjelaskan beberapa masalah yang berhubungan dengan
pembayaran dan pengelolaan khumus.
Masalah Pertama
Hukumnya wajib membayar atau menyerahkan khumus (seperlima dari
keuntungan atau kelebihan bersih, yaitu setelah digunakan untuk biaya
hidup sehari-hari setelah masa satu tahun) kepada "Wali Urusan Khumus"
yaitu Marja' Taqlid anda masing-masing. Jelasnya adalah apabila anda
bertaqlid kepada Ayatullah Sayyid Ali Khamene'I Hf, maka anda wajib
menyerahkan khumus kepada beliau, apabila si Fulan bertaqlid kepada
Ayatullah Bahjat Hf, maka ia wajib menyerahkan khumusnya kepada
Ayatullah Bahjat Hf tersebut, dan begitulah seterusnya, sesuai dengan
fatwa kebanyakan Maraji'.
Masalah Kedua
Saham (bagian) Imam Ma'shum dan saham Sadat sekalipun, wajib diserahkan
kepada Wali Urusan Khumus, dan tidak boleh menggunakan atau mengelola
harta khumus tersebut tanpa memperoleh izin terlebih dahulu dari Wali
Urusan Khumus.
Masalah Ketiga
Apabila
tidak memungkinkan bagi anda untuk membayar atau menyerahkan uang
khumus secara langsung kepada Marja' Taqlid Anda, karena jauhnya tempat
tinggal Anda misalnya, kaum mutasyayyi'in yang tinggal di Indonesia dll,
maka Anda boleh dan wajib menyerahkannya kepada wakilnya yang resmi
yaitu yang telah mendapatkan surat izin dari marja' yang bersangkutan
untuk mengambil dan mengumpulkan khumus tersebut untuk nantinya
diserahkan kepada marja' yang bersangkutan.
Masalah Keempat
Apabila anda merasa ragu; apakah seseorang yang akan anda serahkan uang
khumus itu betul-betul telah menadapatkan surat izin resmi dari Marja'
Taqlid Anda ataukah tidak, maka dalam hal ini hendaknya anda memohon
padanya dengan penuh hormat dan sopan agar ia bersedia memperlihatkan
pada anda surat izin tertulis dari Marja' yang bersangkutan. Sudah
tentu, jika memang ia betul-betul sebagai wakil pengumpul khumus resmi
Marja' Anda, pasti ia akan menerima anda dengan senyum penuh sopan dan
senang hati untuk memperlihatkan surat izin tersebut pada anda. Dan
apabila ia menolak untuk memperlihatkan surat izin resmi tertulis itu,
maka anda bisa menghubungi Marja' Taqlid Anda via telpon atau E-mail.
Dan sebaiknya Anda tidak/jangan membayar khumus kepadanya.
Masalah Kelima
Apabila anda telah atau sudah pernah menyerahkan khumus kepada
seseorang, kemudian anda merasa ragu; jangan-jangan orang yang anda
serahkan khumus itu tidak atau belum memperoleh surat izin resmi dari
marja' anda, ataupun Anda tidak merasa yakin kalau uang khumus tersebut
ia sampaikan dan ia serahkan kepada marja' anda, maka dalam hal ini
hendaknya dengan penuh hormat dan sopan pula minta tanda bukti pemberian
khumus yang telah distempel oleh Marja' Taqlid anda. Karena biasanya
dan pada umumnya, setiap orang dan setiap wakil urusan khumus yang
menyerahkan harta atau uang khumus mutasyayyi'in kepada Marja' Taqlid
yang bersangkutan, akan dicatat dengan baik dan diberikan surat tanda
bukti penyerahan khumus tersebut semacam kwitansi yang telah distempel
atau ditanda tangani. Apabila ia dapat membuktikan atau memperlihatkan
surat tanda bukti pembayaran khumus tersebut, maka secara syar'I khumus
Anda dinilai sah.
Masalah Keenam
Apabila Anda merasa yakin (dengan indikasi-indikasi dan bukti-bukti yang
anda lihat atau dengar) bahwa si Fulan bukanlah pengumpul khumus bagi
Marja' Taqlid Anda, atau ia tidak menyerahkannya kepada Marja' Anda,
atau ia menggunakan dan mengelola harta khumus itu tanpa memperoleh izin
dari Marja' Anda, maka dalam hal ini janganlah anda menyerahkan khumus
anda kepada orang tersebut. Kemudian apabila pada kondisi semacam itu
Anda tetap ngeyel dan menyerahkan khumus kepadanya, apakah dalam hal ini
khumus anda itu dianggap sah ataukah tidak? Kalau tidak dianggap sah,
apakah anda wajib membayar ulang khumus tersebut ataukah tidak?. Nah,
apabila hal semacam ini terjadi pada diri anda, kami persilahkan Anda
menanyakan masalah tersebut kepada Marja' Taqlid Anda via E-mail:
istiftaa@wilayah.org atau info@ahlu-bayt.org atau telp. 7742264 (kode
lengkapnya: 00198251).
Masalah Ketujuh
Biasanya dan sudah menjadi maklum serta merupakan satu kemestian bahwa
setiap Marja' Taqlid mempunyai wakil-wakil urusan/pengumpul khumus di
Negara-negara yang terdapat kaum mutasyayyi'in yang bertaqlid pada
Marja' yang bersangkutan, tanpa kecuali negara kita Indonesia. Di
Indonesia terdapat beberapa orang (bukan hanya satu orang) wakil urusan
khumus, zakat, hak tasarruf dan lain-lain yang biasa dikenal dengan Umur
Hibiyah (Hal-hal yang berhubungan dengan masalah pengumulan khumus,
kaffarah, zakat, pengelolaan dan penggunaannya fi sabilillah dan fi
mardlatillah, dll sesuai dengan wewenang yang telah diberikan), yang
memperoleh surat izin resmi dari Marja' Taqlid Ayatullah Sayyid Imam Ali
Khamene'I Hf. Maka sebaiknya, sewajarnya dan sudah semestinya Anda
mengenal dan mengetahui dengan baik siapakah mereka itu. Bila anda
mendapatkan kesulitan dalam mengenal mereka, silahkan anda melayangkan
surat ke alamat di atas.
Perlu juga kami tambahkan pada
kesempatan ini bahwa di Negara kita Indonesia -sebagaimana telah kami
jelaskan diatas- terdapat beberapa orang yang telah mendapatkan surat
izin resmi untuk menangani "Umur Hibiyah". Lain halnya jika anda pergi
ke Iran, khususnya kota suci Qom. Disana anda bisa menyerahkan khumus,
zakat dan lain-lain serta dapat menanyakan hal-hal yang ada hubungannya
dengan masalah-masalah hukum dan lain-lain kepada Marja' Taqlid Anda
secara langsung atau kepada wakil-wakil mereka dalam masalah istiftaat.
Lebih dari itu, Ayatullah Sayyid Imam Ali Khamene'I Hf mempunyai
wakil-wakil di setiap kota di Iran yang berperan melaksanakan khutbah
Jum'at, menjawab masalah-masalah fiqih dan lain-lain.
Perlu
Anda ketahui bahwa untuk menjadi wakil beliau Hf sebagai wali Faqih dan
sekaligus Marja' Taqlid, paling tidak sudah mencapai peringkat Mujtahid.
Bahkan ada beberapa orang wakil beliau yang telah mencapai maqam
marja'iyah pula, seperti ayatollah Syeikh Husein Mazhahiri Hf wakil
beliau di Ishfahan. Dan sementara ini belum ada satu pun pelajar
Indonesia yang telah mencapai peringkat tinggi dan mulia tersebut.
Bahkan sampai saat ini (saat kami menulis beberapa masalah ini) bisa
dikatakan, belum ada pelajar kita yang duduk di tingkat Bahtsul Kharij.
Sedangkan untuk dapat mencapai derajat mujtahid minimalnya harus duduk
tekun di kelas Bahtsul Kharij itu selama 15 tahun sebagaimana telah kami
singgung. Dan tidak sedikit syuyukh yang telah duduk di kelas dan
tingkat Bahtsul Kharij lebih dari 20 tahun, akan tetapi masih belum juga
mencapai Mujtahid Mutlak.
Bila anda dapat memahami dan
mengetahui betapa sulitnya seseorang mencapai peringkat mujtahid,
terlebih lagi peringkat Marja', maka anda akan memahami dan mengetahui
pula betapa tinggi derajat dan mulia kedudukan orang-orang yang telah
mencapai derajat tersebut. bila anda pun dapat mengerti dan mengetahui
sulitnya seorang Marja' Taqlid dan wakil-wakilnya (termasuk Lajnah
Istiftaat) dalam menjawab dab memecahkan berbagai persoalan dan problema
masyarakat muqallidnya, maka anda pun akan mengerti dan mengetahui pula
betapa tinggi, mulia, suci dan sakralnya orang-orang yang menduduki
kursi marja'iyah dan juga orang-orang yang menduduki kursi wikalahnya.
Harapan dan doa kita, semoga pada 20 atau 30 tahun mendatang, kita
sudah mempunyai seorang mujtahid yang mampu menjadi penyambung lisan
Wali Faqih dan MArja' baik dalam tutur kata maupun dalam amal
perbuatannya, sehingga dapat mengatasi dan menyelesaikan berbagai
problema masyarakat kaum muslimin dan kaum mutasyayyi'in khususnya.
Bukan seorang mujtahid yang malah membuat problema di tengah-tengah
masyarakat Islam.
Akhi dan ukhti fillah, ketahuilah
sesungguhnya orang-orang yang telah mencapai peringkat mujtahid dan
marja' (dalam makna yang sebenarnya), adalah sebaik-baik manusia yang
hidup di muka bumi ini (setelah Imam Ma'shum tentunya), dan jauh lebih
mulia dan tinggi kedudukannya disbandingkan malaikat Allah Swt.
Sebagian dari masalah-masalah diatas, anda dapat merujuknya pada kitab
Istiftaat jilid 1, hal 313 pada bab Wali Amril khumus wa al wukala'I wa
maurid as sharf. Dengan kata lain, beberapa masalah tersebut kami tulis
sesuai dengan fatwa Rahbar kita (semoga Allah Swt senantiasa menjaga
beliau dan orang-orang yang loyal kepadanya serta mengamalkan
fatwa-fatwanya dengan benar dan jujur sesuai dengan yang beliau
inginkan).
Wabillahit taufiq wal Hidayah
Wassalamu'alaikum Wr. Wb.
7