Daftar Isi Nusantara Angkasa News Global

Advertising

Lyngsat Network Intelsat Asia Sat Satbeams

Meluruskan Doa Berbuka Puasa ‘Paling Sahih’

Doa buka puasa apa yang biasanya Anda baca? Jika jawabannya Allâhumma laka shumtu, maka itu sama seperti yang kebanyakan masyarakat baca...

Pesan Rahbar

Showing posts with label TAQLID. Show all posts
Showing posts with label TAQLID. Show all posts

Taqlid dan Wilayatul Faqih


SOAL:
Apakah kewajiban bertaqlid bersifat rasional saja, ataukah juga memiliki dalil syar’i?

JAWAB:
Kewajiban bertaqlid adalah masalah yang berdasarkan dalil syar’i; dan secara rasional, akal juga mengharuskan orang yang tidak tahu akan hukum-hukum agama untuk merujuk kepada seorang mujtahid yang cukup syarat.

SOAL:
Menurut Anda, manakah yang lebih utama, bertindak berdasarkan ihtiath ataukah taqlid?

JAWAB:
Karena bertindak berdasarkan ihtiath bergantung pada pengetahuan tentang letak-letak dan cara berihtyath, dan hal itu hanya diketahui oleh sedikit orang, di samping karena bertindak berdasarkan ihtiath sering kali memerlukan waktu yang lebih banyak, maka yang lebih utama adalah bertaqlid kepada mujtahid yang memenuhi seluruh persyaratannya.

SOAL:
Apakah batas lingkup ihtiath dalam hukum di antara fatwa-fatwa fuqaha’ ? Dan apakah wajib menyertakan fatwa-fatwa para fuqaha’ yang telah lalu?

JAWAB:
Yang dimaksud dengan ihtiath dalam konteks kewajibannya ialah mempertimbangkan semua kemungkinan yurisprudensial (yang bersifat fiqhiyah) berkenaan dengan konteks itu apabila ada dugaan akan wajibnya dan mempertimbangkan kemungkinan-kemungkinan tersebut.

SOAL:
Beberapa minggu lagi putri saya akan mencapai usia taklif (menjadi mukallaf, aqil balig). Sejak saat itu ia berkewajiban memilih seorang marja’ taqlid . Mengingat memahami masalah ini sulit baginya, maka kami mohon Anda menjelaskan kepada kami tentang apa yang wajib dilakukan?

JAWAB:
Jika ia tidak menyadari sendiri tugas syar’iy-nya berkenaan dengan masalah ini, maka taklif (tugas) Anda adalah mengingatkan, membimbing dan mengarahkannya.

SOAL:
Yang populer adalah bahwa identifikasi subyek hukum adalah tugas mukallaf, sedangkan identifikasi hukum itu sendiri merupakan tanggungjawab mujtahid. Bagaimana kita bersikap terhadap identifikasi-identifikasi subyek hukum yang dilakukan oleh marja’? Apakah wajib bertindak sesuai identifikasi-identifikasi tersebut, karena kami acap kali menemukan campur tangan marja’ dalam hal itu?

JAWAB:
Identifikasi subyek hukum memang merupakan tugas mukallaf. Karenanya tidak wajib baginya mengikuti identifikasi yang dilakukan oleh mujtahid yang ia ikuti, kecuali jika ia yakin tentang hal itu, atau jika ternyata subyek hukum itu tergolong subyek-subyek mustanbathah (bersifat interpretatif).

SOAL:
Apakah orang yang tidak mempelajari hukum-hukum syari’i yang lazim dihadapi tergolong pelaku maksiat?

JAWAB:
Apabila keengganannya untuk mempelajari hukum-hukum syari’i mengakibatkan ia meninggalkan sesuatu yang wajib atau melakukan sesuatu yang haram, maka ia adalah pelaku maksiat.

SOAL 7:
Sebagian orang yang tidak memiliki wawasan luas ketika kami tanya: “ kepada siapa Anda bertaqlid? ”, menjawab: “ kami tidak tahu ”, atau mengaku bertaqlid kepada marja’ si fulan, namun mereka tidak merasa terikat untuk merujuk ke buku fatwanya dan mengamalkannya. Apakah hukum perbuatan mereka?

JAWAB:
Jika perbuatan-perbuatan mereka sesuai dengan ihtiath, atau sesuai dengan hukum yang sebenarnya (waqi’), atau sesuai fatwa mujtahid yang wajib diikutinya, maka hukumnya sah.

SOAL:
Dalam masalah-masalah yang di mana mujtahid yang lebih pandai (a’lam) menetapkan ihtiath wajib kami bisa mengikuti mujtahid a’lam yang lain setelahnya. Yang kami tanyakan ialah, jika mujtahid a’lam kedua tersebut menetapkan ihtiath wajib juga dalam masalah tersebut, bolehkah kami mengikuti mujtahid a’lam yang ketiga dalam masalah itu? Dan jika yang ketiga juga demikian, apakah dibenarkan kami merujuk kepada mujtahid a’lam berikutnya dan begitulah seterusnya? Kami mohon penjelasan tentang masalah ini?

JAWAB:
Tidak ada masalah mengikuti mujtahid yang tidak berihtiath dalam masalah tertentu, melainkan ia memiliki fatwa secara tegas, selama memperhatikan urutan a’lam.

TAQLID DALAM AJARAN SYI'AH






TAQLID DALAM AJARAN SYI'AH (dalam ajaran Syi'ah Imamiah).
Penulis: Abu Qurba
Penyunting: Abu 'Ali Akbar
Desain sampul: Mozammal
Tata Letak: Pay Ahmed
Cetakan I: Oktober 2003
Diterbitkan oleh: Fathu Makkah



1
Amaliah Praktis

Daftar Isi
Mukaddimah

Definisi Mujtahid, Muqallid dan Muhthat

Kewajiban bertaqlid bagi setiap Muslim

Dalil-dalil keharusan bertaqlid

Pembagian taqlid

Appendix


2
Amaliah Praktis

Mukaddimah
Agama Islam -sebagaimana maklum- meliputi masalah-masalah akidah, fiqih dan akhlak. Di dalam masalah aqidah (ushuluddin), khususnya menurut ajaran madzhab Ahlul Bait as tidak dibenarkan bertaqlid buta dan mengikuti akidah orang lain tanpa memahami dalil-dalil dan argumen-argumennya. Misalnya dalam masalah menetapkan dan meyakini adanya Tuhan Sang Pencipta alam semesta ini, adanya hari pembalasan, mengenai keesaan Tuhan dan lain-lain, dalam hal ini kita tidak boleh ikut-ikutan dan bertaqlid buta kepada orang lain, sekalipun kepada guru atau orang tua kita sendiri, artinya kita harus mencari atau memahami dengan baik dan benar akan dalil-dalil dan argument-argumen yang berhubungan dengan masalah tersebut. sehingga ketika kita ditanya orang; apakah Tuhan itu ada? Kalau Tuhan itu ada, apakah dia itu esa, satu ataukah ada tiga? Apakah hari kiamat itu pasti terjadi? Dan pertanyaan-pertanyaan akidah lainnya, kita dapat menjawabnya sekalipun dengan argument-argumen yang sangat sederhana; seperti bahwa Tuhan Pencipta itu ada, dalilnya adalah adanya kita dan alam semesta ini.

Berbeda halnya dengan masalah fiqih atau furu'uddin (cabang-cabang agama). Sehubungan dengan masalah ini, khususnya dalam hal-hal yang sifatnya bukan "daruriyatuddin" seperti kewajiban shalat dll, kaum muslimin secara umum dan apa pun madzhab dan alirannya dapat dibagi menjadi tiga kelompok, yaitu kelompok Ulama Mujtahid, kelompok muqallid dan kelompok Muhtath.

Sebelum kami jelaskan masing-masing definisi Mujtahid, Muqallid dan Muhtaht, dan demi memperjelas pengertian "daruriyatuddin", baiklah akan kami jelaskan pembagian "Ahkam Syari'ah".

Hukum-hukum syari'at (ajaran Islam) ditinjau dari sudut pandang upaya mengenal dan mengetahuinya dapat dibagi menjadi dua bagian, yaitu:

1. Ahkam Daruriah, yaitu hukum-hukum daruriyah yang biasa juga disebut "daruriyatuddin" artinya adalah hukum-hukum yang sudah jelas, gamblang dan ma'ruf serta telah menjadi keyakinan seluruh kaum muslimin. Karena untuk mengetahuinya tidak perlu meguras tenaga dan kemampuan untuk mengkaji, meneliti dan menggunakan kaidah-kaidah ushul, dengan kata lain untuk mengetahui hukum-hukum daruriah itu tidak memerlukan ijtihad, contohnya seperti wajibnya Shalat, zakat, haji dan lain-lain atau seperti haramnya berzina, membunuh dan lain-lain yang mana seluruh kaum muslimin telah meyakini dan mengetahui dengan jelas tanpa berijtihad atau belajar lama di hawzah (pesantren).

2. Hukum-hukum syari'at yang bukan daruri, artinya hukum-hukum yang tidak gamblang bagi setiap muslim yang biasa juga disebut "ahkam ghairu daruriah". Ahkam ghairu daruriah ini menuntut segenap kemampuan dan kerja keras untuk dapat mengetahuinya, yaitu dengan cara menggunakan kaidah-kaidah Ushul Fiqh dan ilmu-ilmu alat lainnya (seperti tata bahasa arab, ilmu hadits, tafsir, dll) untuk dapat menentukan hukum-hukum tersebut, seperti perincian hukum-hukum ibadat dan muamalat pada umumnya.

Sudah tentu tidak setiap muslim mampu melakukan pekerjaan berat semacam ini, bahkan tidak juga setiap ulama mampu melakukannya. Pekerjaan seperti ini dinamakan ijtihad yang hanya dapat dilakukan oleh para mujtahid. Untuk dapat mencapai tingkat ijtihad ini diperlukan keseriusan dalam belajar di tingkat Bahtsul Kharij, yaitu peringkat tinggi dalam pelajaran fiqih dan ushul.

Tentunya setelah melewati peringkat sutuh satu dan dua. Setidaknya -menurut hemat kami- mereka yang duduk di tingkat Bahtsul Kharij ini menghabiskan waktu kurang lebih selama lima belas tahun untuk dapat melakukan ijtihad. Sedangkan peringkat sutuh satu dan dua itu dapat ditempuh secara normal selama delapan tahun, setelah itu barulah memasuki pelajaran fiqih dan ushul pada tingkat Bahtsul Kharij. Harapan dan doa kami semoga di hari-hari mendatang pelajar Indonesia yang masih berada pada maqta'/sutuh dua dalam spesifikasi fiqih dan ushul dapat segera menyelesaikan studinya dengan lancer dan baik, untuk selanjutnya dapat duduk pada tingkat bahtsul kharij.

Dan setelah menjalani masa kurang lebih lima belas tahun pada tingkat Bahtsul Kharij ini, barulah nantinya akan sampai pada tingkat ijtihad dan menjadi seorang mujtahid. Insya Allah. Dan selanjutnya menjadi seorang marja' dengan izin dan taufiq dari Allah Swt. Seorang Mujtahid mutlak untuk dapat mencapai tingkat marjaiyah (menjadi marja' bagi masyarakat umum) masih memerlukan waktu yang tidak sedikit. Dan ada syarat-syarat khusus yang ia harus tempuh, seperti telah menulis Risalah Amaliah.

Seorang ulama Syi'ah Imamiyah yang merupakan seorang mujtahid dan telah mencapai tingkat marja' berkata: "mengingat ijtihad itu memerlukan ilmu yang canggih, keseriusan dan kerja keras yang istiqamah, oleh karena itu sedikit sekali orang-orang yang mampu mencapai peringkat mulia dan terpuji ini. Keadaan seperti inilah yang menyebabkan mayoritas kaum muslimin harus merujuk kepada seorang mujtahid sebagai nara sumber dalam masalah-masalah fiqih. Dan inilah yang disebut "taqlid".



3
Amaliah Praktis

Definisi Mujtahid, Muqallid dan Muhtath
Mujtahid adalah orang yang -dengan ilmunya yang tinggi dan lengkap- telah mampu menggali dan menyimpulkan hukum-hukum Islam dari sumber-sumbernya yang asli seperti Al Qur'an dan Hadits. Mujtahid inilah yang menjadi rujukan (marja') bagi orang awam dan kelompok muqallid.

Muqallid ialah: orang-orang awam yang belum atau tidak sampai kepada derajat ijtihad. Mereka ini diwajibkan bertaqlid kepada seorang mujtahid atau marja' yang telah memenuhi syarat. Pendeknya bahwa muqallid adalah orang yang ber-taqlid atau mengikuti seorang mujtahid. Sedangkan arti taqlid itu sendiri beramal ibadah, bermu'amalah, bermasyarakat dan bertingkah laku sessuai dengan fatwa-fatwa seorang mujtahid atau marja'.

Muhtath ialah: orang yang juga belum mencapai peringkat ijtihad, akan tetapi lebih tinggi derajatnya dari muqallid karena ia telah mampu mengkaji dan membandingkan antara fatwa-fatwa seorang marja' dengan fatwa-fatwa marja' lainnya, sehingga ia dapat memilih fatwa yang lebih hati-hati dan lebih berat untuk diamalkan. Singkatnya definisi muhtath adalah orang yang berhati-hati dalam segala amal ibadah dan perbuatannya. Kelompok muhtath jumlahnya sangat sedikit, karena berihtiyath adalah termasuk pekerjaan yang berat. Oleh karena itu, kelompok ini pun dibolehkan bertaqlid kepada seorang marja'.


Kewajiban Bertaqlid Bagi Setiap Muslim
Apabila Anda ditanya orang; mengapa dalam agama Islam dan khususnya dalam Madzhab Syi'ah Imamiah (Ahlul Bait as) setiap muslim dilarang bertaqlid -dalam masalah akidah- kepada orang lain sekalipun kepada ulama dan para mujtahid, akan tetapi dalam masalah-masalah fiqih yang bukan "daruriyatuddin" setiap muslim yang awam diwajibkan bertaqlid kepada salah seorang mujtahid atau marja'?

Jawabnya adalah: karena setiap muslim yang berakal sehat pasti mampu untuk mencari atau memahami argument-argumen ushuluddin
4
kidah dengan menggunakan akal pikirannya itu, sehingga dalam masalah-masalah akidah ini tidak perlu dan tidak dibolehkan bertaqlid kepada orang lain. Akan tetapi dalam masalah-masalah fiqih/furu'uddin tidaklah demikian, artinya tidak semua orang -bahkan sedikit sekali- yang mampu menggali hukum dari sumbernya yang asli yaitu Al Qur'an dan hadits. Hanya para mujtahidlah yang mampu melakukan pekerjaan (ijtihad) ini. Oleh karena itu, dalam masalah fiqih ini orang awam (yang belum mencapai peringkat ijtihad) diwajibkan bertaqlid kepada seorang marja'.

Dalam masalah pengetahuan umum saja, kalau kita perhatikan kehidupan dan kemajuan zaman sekarang ini, diperlukan adanya spesialis-spesialis dalam bidang-bidang tertentu. Misalnya kedokteran, filsafat, ekonomi, politik, tehnik, dan lain-lain. Bahkan ilmu kedokteran saja bercabang-cabang lagi, nah apalagi dalam masalah agama dan hukum-hukum dalam Islam, sudah tentu sangat diperlukan adanya para mujtahid dan marja' agar orang-orang awam tidak tersesat dan tidak berani menyimpulkan dan mengeluarkan hukum sendiri.

Sebagaimana dalam masalah penyakit dan pengobatannya orang-orang awam diharuskan merujuk kepada dokter spesialis, maka begitu pula dalam masalah-masalah fiqih dan ahkam, yaitu orang-orang awam diharuskan merujuk para mujtahid dan marja' yang telah memenuhi syarat. Tentu saja taqlid semacam ini jauh berbeda dengan taqlid kepada orang-orang asing dalam masalah budaya dan adat istiadat, karena bertaqlid kepada mereka dalam masalah ini akan menyebabkan hancurnya aqidah, iman dan akhlak islami seorang muslim. Seorang muslim haruslah senantiasa menjaga akhlak, iman dan adapt istiadat atau budayanya yang sesuai dengan ajaran-ajaran Islam.


Dalil-dalil Keharusan Bertaqlid
Paling tidak ada lima argument yang bisa dijadikan sebagai dasar kebolehan dan keharusan bertaqlid bagi orang-orang awam -dalam masalah-masalah fiqih- kepada seorang mujtahid marja'. Lima buah argument itu ialah:


1. Sirah al 'Uqala (tingkah laku orang-orang yang berakal).
Argument terpenting sehubungan dengan masalah ini adalah argument perilaku 'uqala sepanjang sejarah kehidupan. Dalam kehidupan sehari-hari kita saksikan bahwa mayoritas masyarakat umum senantiasa mengikuti, bertaqlid dan merujuk kepada para ahli dibidangnya masing-masing. Misalnya mereka yang bukan ahli dalam bidang elektronik ketika TV mereka rusak, mereka akan merujuk tempat-tempat servis TV dimana tenaga ahli terdapat disitu dan bahwa mereka siap mengikuti dan mengamalkan petunjuk yang diberikan oleh para ahli itu.

Maka janganlah coba-coba apabila anda bukan ahli dibidangnya untuk memperbaiki TV, membongkar mesin mobil atau pun menyervis computer, karena pasti anda tidak akan berhasil dan masyarakat umum pun akan mencaci maki anda. Akan tetapi, rujuklah para ahli di bidangnya masing-masing. Kalau dalam urusan materi dan dunia saja harus demikian, apalagi dalam hal-hal yang berhubungan erat dengan kehidupan alam akhirat yang kekal dan abadi. Logiskah apabila anda menanyakan apa hukumnya bekerja di bank, bagaimana cara melakukan ibadah haji dan lain-lain kepada penjual sayuran di pasar? Atau kepada ahli bangunan?


2. Al Qur'an.
Artinya:"hendaklah ada sekelompok dari orang-orang yang beriman yang mendalami masalah-masalah agama untuk memberikan peringatan kepada kaumnya". (Qs. At Taubah: 122)


Penjelasan:
Ayat tersebut menunjukkan wajibnya melakukan "indzar" (memberikan dan menyampaikan peringatan kepada umat manusia akan adanya siksa Allah Swt ketika mereka tidak mentaati dan melanggar hukum-hukum-Nya). Sudah barang tentu tidak semua orang mampu untuk menentukan, menetapkan dan menjelaskan hukum-hukum Allah Swt tersebut selain para 'ulama dan mujtahid yang telah mengkaji masalah-masalah agama puluhan tahun. Dengan demikian, ayat tersebut secara tidak langsung mewajibkan orang-orang muslim yang awam untuk bertaqlid kepada para 'ulama, maraji' dan mujtahidin yang telah memenuhi syarat. Sehubungan dengan ayat tersebut sebagian ulama ahli sunnah berkata:"maka dengan demikian Allah Swt telah mewajibkan kaum muslimin untuk menerima "indzar" dan peringatan yang disampaikan oleh para ulama, dan hal itu berarti "taqlid" kepada mereka.


3. Al Qur'an.
Artinya:" maka hendaklah kalian bertanya kepada Ahli Dzikir (para ulama) jika memang kalian tidak tahu". (Qs. An Nahl: 43).


Penjelasan:
Sangat jelas, bahwa ayat tersebut menunjukkan kewajiban bertaqlid bagi orang-orang awam yang belum mencapai peringkat mujtahid. Nampaknya ayat ini lebih jelas tekanannya dibandingkan dengan ayat sebelumnya, karena ayat ini menjelaskan tugas si muqallid, hanya saja yang menjadi masalah adalah siapakah ahli dzikir yang dimaksud oleh ayat itu?

Sehubungan dengan pengertian "ahli dzikir" tersebut, ada beberapa jawaban dan pandangan yang perlu diperhatikan baik-baik:

a. Ahli ilmu dan ahli Al Qur'anul al Karim

b. Ibnu Qayyim al Jauzi berpendapat bahwa yang dimaksud dengan "ahli dzikir" ialah ahli tafsir dan ahli hadits.

c. Ibnu Hazm berkata: "ahli dzikir adalah para perawi hadits Nabi dan para 'ulama tentang hukum-hukum al Qur'an".

Dari beberapa jawaban dan pandangan tersebut dapat kita simpulkan bahwa seluruh umat Islam yang awam yaitu yang belum mencapai derajat ijtihad diwajibkan untuk bertanya, mengikuti dan bertaqlid kepada Ahli Dzikir, yaitu para Ulama yang betul-betul telah mendalam pengetahuannya tentang Al Qur'an dan hadits-hadits Nabi saw. Hal ini sesuai dengan penafsiran secara umum dan sesuai pula dengan kondisi sekarang ini, dimana kita hidup pada masa "ghaibah kubra" nya Imam Zaman Afs. Sedang Ahli Dzikir menurut pandangan yang lebih dalam, lebih luas dan khusus yang ditopang oleh ayat-ayat lainnya dan berbagai riwayat adalah: para Imam Ma'shum yang jumlahnya ada dua belas orang. Mohon ma'af, kami tidak dapat menyinggung masalah yang luas ini dalam risalah yang sederhana ini.


4. Al Qur'an.
Artinya: "katakanlah kepada mereka:"taatilah Allah Swt, Rasul-Nya dan Ulim Amri dari kalian". (Qs. An Nisa: 59)


Penjelasan:
Sebagian ulama Ahlu Sunnah menjadikan ayat ini sebagai dalil atas wajibnya bertaqlid, mereka mengatakan:"sesungguhnya Allah Swt telah memerintahkan hamba-Nya untuk mentaati-Nya, mentaati Rasul-Nya dan Ulil Amri yaitu para ulama dan umara. Dan taat kepada mereka berarti mentaqlidi mereka atas segala apa yang mereka fatwakan, karena sesungguhnya kalau tidak ada taqlid, maka tidak akan ada ketaatan yang khusus kepada mereka itu."

Para Ulama Syi'ah Imamiah -berdasarkan riwayat-riwayat yang juga bersumber dari kitab-kitab Ahlu Sunnah- mengatakan bahwa yang dimaksud dengan Ulil Amri dalam ayat tersebut adalah: "para Imam dua belas" setelah wafatnya Rasulullah saw dari mulai Imam Ali bin Abi Thalib As sampai kepada Imam Zaman Al Mahdi Afs. Dengan demikian ayat tersebut berarti: "hendaknya kalian senantiasa mentaati Allah Swt, Rasul-Nya, dan para Imam Ma'shum yang 12 orang".
Sedang pada masa ghaibah kubranya Imam yang ke 12 sekarang ini, kalian wajib mentaati wali faqih, yaitu Imam Ali Khamene'I Hf dan marja' kalian masing-masing yang telah memenuhi syarat-syarat.


5. Riwayat Imam Hasan al Askari As.
Artinya: "adapun terhadap seorang faqih yang senantiasa menjaga dirinya dari perbuatan dosa, selalu menjaga agamanya, melawan hawa nafsunya dan selalu mentaati perintah-perintah "maula" nya, maka diwajibkan bagi semua orang awam untuk bertaqlid kepadanya".


Penjelasan:
Telah jelas dan masyhur bahwa riwayat ini menunjukkan dan menjelaskan kewajiban bertaqlid bagi semua orang awam -pada masa sekarang- kepada seorang marja' dan mujtahid yang sebagian syarat-syaratnya telah disebutkan dalam riwayat tersebut.

Kalau kita perhatikan para pengikut madzhab Ahlu Sunnah di seluruh dunia pada masa kita sekarang ini -di dalam masalah fiqih- sebagian mereka bertaqlid kepada Imam Syafi'I, sebagian lainnya bertaqlid kepada Imam Malik, Hanafi dan Hanbali. Terlepas mereka itu paham atau pun tidak akan masalah taqlid ini, mereka sadari atau pun tidak, yang jelas mereka itu -dalam masalah furu'uddin- bertaqlid dan mengamalkan fatwa-fatwa salah seorang dari para mujtahid dan marja' tersebut.

Sedangkan para pengikut madzhab Syi'ah Imamiah diwajibkan untuk bertaqlid -dalam masalah furu'uddin yang bukan daruriyatuddin dan pada masa ghaibah kubra sekarang ini- kepada seorang mujtahid dan marja' yang telah memenuhi syarat. Dan mayoritas mujtahidin itu kini berada di Negara Republik Islam Iran, khususnya di kota Qum Al Muqaddasah.

Syarat-syarat yang harus dipenuhi oleh seorang mujtahid dan marja' yang bisa ditaqlidi, sebagaimana telah dijelaskan oleh para ulama di dalam kitab-kitab fiqih mereka ialah:

1. Telah mencapai peringkat mujtahid.

2. Adil.

3. Laki-laki.

4. Beriman (Syi'ah Imamiah).

5. Bukan anak hasil zina.

6. Wara'

7. Lebih alim dari mujtahid lainnya

8. Dll

Apabila terdapat beberapa orang yang telah memenuhi syarat-syarat tersebut, sebagaimana kenyataannya sekarang ini, maka si muqallid -untuk dapat memilih dan mentaqlidi salah seorang dari mereka- haruslah dengan bantuan dan perantara "ahli khibrah". "Ahli khibrah" ialah orang-orang yang telah lama (kira-kira lebih dari 20 tahun) mempelajari dan mengkaji ilmu-ilmu agama sehingga mereka telah mampu menilai, menentukan dan membedakan antara mujtahid dan antara a'lam dengan yang tidak.

Menurut Imam Khomeini Ra, Sayyid al Qaid Hf, dll. Minimalnya harus melalui perantara dua orang ahli khibrah untuk dapat memilih, menentukan dan mentaqlidi seorang mujtahid atau marja'. Dengan demikian si mukallaf atau muqallid yang awam tidak dibenarkan memilih dan menentukan marja'nya dengan penilaiannya sendiri, apalagi jika penilaian dan pemilihannya atas seorang marja' itu didasari oleh sifat rakus dan tamaknya terhadap materi dan dunia, seperti -misalnya- jika marja' yang ia pilih itu lebih dekat dan lebih banyak memberikan bantuan kepadanya dari pada marja' lainnya. Nah, dasar penilaian dan pemilihan seperti ini jelas kebatilannya, karena satu-satunya tolok ukur a'lamiah seorang marja' adalah: kelebih pandaiannya dalam beristinbath dan menetapkan suatu hukum dari sumber-sumbernya, dan sama sekali bukan yang lebih pandai dalam masalah-masalah social, politik apalagi materinya.



5
Amaliah Praktis

Pembagian Taqlid
Taqlid seseorang kepada orang lain -dalam hal apa pun- dapat dibagi menjadi empat bagian, yaitu:

1. taqlid seorang alim kepada alim lainnya.

2. taqlid seorang jahil kepada jahil lainnya.

3. taqlid seorang alim kepada seorang jahil.

4. taqlid seorang jahil kepada seorang alim.

Bagian pertama, yaitu taqlid seorang yang alim kepada orang alim lainnya, menurut penilaian akal sehat adalah suatu perbuatan yang jelek dan tidak terpuji, karena tidak ada alasan bagi orang yang telah mengetahui (alim) tentang suatu masalah bertaqlid kepada orang lain yang juga mengetahui permasalahan yang sama. Oleh karena itu, seorang mujtahid tidak dibenarkan dan tidak dibolehkan bertaqlid kepada mujtahid lainnya.

Bagian kedua, yaitu taqlidnya seorang jahil , bodoh dan tidak mempunyai ilmu pengetahuan kepada orang jahil yang sama. Sudah tentu akal sehat menilai perbuatan semacam ini sangat buruk dan tidak logis. Bagaimana mungkin orang yang bodoh bertaqlid kepada orang yang bodoh pula. Hal ini tidak ada bedanya dengan orang buta yang berkata kepada kawannya yang juga buta pula:"peganglah tanganku dan tuntunlah aku menuju kesuatu tempat di sana".

Bagian ketiga, yaitu taqlidnya seorang 'alim kepada orang jahil. Taqlid semacam ini adalah paling buruk dan hinanya perbuatan di mata masyarakat umum dan bahkan menurut penilaian anak kecil sekali pun. Mana mungkin orang yang dapat melihat dengan baik mohon bantuan untuk dituntun ke suatu tempat kepada orang yang buta matanya.

Bagian keempat adalah: taqlidnya seorang jahil kepada orang alim dan pandai (ahli ilmu). Hal ini sangatlah wajar dan logis. Bahkan menurut akal sehat memang begitulah seharusnya, yaitu orang yang awam dan bodoh diharuskan bertaqlid dan mengikuti saran-saran, nasihat-nasihat, fatwa-fatwa dan jejak langkah ahli ilmu. Dalam hal ini, agama pun -terutama madzhab Ahlul Bait As- sangat menekankan dan mewajibkannya. Taqlid semacam ini tidaklah dikategorikan sebagai taqlid buta yang memang sangat dicela oleh akal sehat dan Al Qur'an Al Karim. Contoh taqlid keempat ini tidak ada bedanya dengan seorang awam yang terkena penyakit tertentu berkonsultasi dan berobat kepada seorang dokter spesialis di bidangnya Itu.

"Taqlid Buta" adalah suatu sifat yang sangat buruk, rendah dan tercela, yaitu ketika seseorang mengikuti orang lain tanpa dalil dan argument yang jelas, kuat dan logis, baik dalam hal ibadat, maupun dalam hal adapt istiadat. Baik yang diikuti itu masih hidup, ataupun sudah mati. Baik kepada orang tua dan nenek moyang, maupun kepada bangsa lain. Sifat inilah yang disandang orang-orang kafir dan dungu, dari dahulu kala hingga pada zaman kita sekarang ini, dimana mereka menjalankan ibadah mereka sehari-hari berdasarkan taqlid buta dan mengikuti lampah dan perbuatan nenek-nenek moyang mereka yang tidak mempunyai dalil dan argument sama sekali. Allah Swt berfirman:"dan apabila dikatakan kepada mereka (orang-orang kafir dan yang menyekutukan Allah Swt): "ikutilah semua ajaran dan petunjuk yang telah Allah turunkan". Mereka menjawab:"kami hanya mengikutisegala apa yang telah dilakukan oleh nenek-nenek moyang kami". Padahal nenek-nenek moyang mereka itu tidak mengerti apa-apa dan tidak juga mendapat hidayah (dari Allah Swt)". (Qs. Al Baqarah: 170).

Dengan kata lain, bahwa nenek-nenek moyang mereka itu adalah orang-orang yang bodoh dan tersesat, akan tetapi walaupun demikian mereka tetap mengikuti dan mentaqlidinya. Mereka menolak bertaqlid kepada orang-orang yang telah mendapat hidayah dari Allah Swt, ma'shum (terjaga) dari segala kesalahan dan dosa dan ahli ilmu pengetahuan, yang sifat-sifatnya telah jelas disebutkan oleh Allah Swt di dalam Al Qur'an Al Karim, yaitu para Nabi, Rasul, Imam-Imam suci dan para ulama yang telah memenuhi syarat-syarat yang telah kami singgung diatas.

Para pembaca yang budiman, mengingat risalah ini sengaja dibuat seringkas mungkin, maka kami kira bukan pada tempatnya untuk menjelaskanmasalah taqlid yang lebih luas lagi, terutama yang berhubungan dengan masalah "marja'iyah" dan "a'lamiah".

Secara singkat kami katakana, bagi anda yang baru baligh atau baru masuk/pindah ke madzhab Syi'ah Imamiah pada masa sekaran ini, dimana tidak ada kata sepakat dari para ahli khibrah tentang a'lamiah seorang mujtahid atau marja', jika ingin bertaqlid kepada seorang mujtahid/marja', maka carilah dua orang ahli khibrah yang menyaksikan dan menyatakan a'lamiahnya. Disamping itu pula, tentunya anda dituntut untuk mengenal dan memperhatikan ahli khibrah itu, baik dari sisi akhlak, pengetahuan, zuhud, dll. Baik melalui cerita-cerita orang-orang yang mengenalnya, membaca biografi dan karangan-karangannya, atau dengan cara lainnya. Karena ahli khibrah itulah yang menyampaikan anda kepada seorang mujtahid atau marja' taqlid. Sedangkan marja' taqlid itu menyampaikan dan menyambungkan tali hubungan anda dengan Imam Zaman Afs. Dan Imam Zaman Afs adalah tali penghubung dan Al Urwah al Wutsqa kepada Allah Swt bagi setiap muqallid, bahkan secara umum bagi setiap insane dan jin yang berusaha mencari dan menelusuri jalan menuju Al Haq. Bahkan lebih dari itu, Imam Zaman Afs yang berperan sebagai "Al Hujjah" di muka bumi dunia fana ini, adalah sebagai tonggak dan poros utama bagi keteraturan alam semesta ini dengan segala aktivitasnya, "Lawlal Hujjah Lasaakhatil ardlu biahlihaa", tanpa adanya Al Hujjah (Imam Zaman Afs sebagai Imam Ma'shum yang ke 12), maka akan hancur luluhlah bumi ini dengan segenap penduduk dan isinya. Pembahasan tentang Imam Zaman afs sebagai Al Hujjah, wasilah dan Al Urwah al Wutsqa ini, berhubungan erat dengan pembahasan "hukum kausalitas", sebab akibat dan Sunnatullah di dalam pelajaran dan kajian filsafat. Hal ini tidak dapat kami bahas dalam risalah sederhana ini. Namun anda dapat menanyakannya kepada seorang ustadz yang telah mempelajari dan mengkaji aqidah Syi'ah Imamiah dengan baik dan mendalam.

Dengan ungkapan lain yang lebih jelas sehubungan dengan peran penting kehadiran seorang marja' dan Imam Zaman Afs dalam kehidupan kita sehari-hari, kami katakana bahwa kita tidak akan dapat mencapai maqam "Mardlatillah" yang murni dan sempurna tanpa mengenal Imam Zaman Afs dan menapaki jalan-jalan Syari'ah dan bimbingan beliau. Sebagaimana pula kita yang awam ini tidak mungkin akan dapat mentaati dan melaksanakan segala perintah, syari'at dan bimbingan beliau tanpa menjalankan berbagai aturan dan tata cara beribadah, bermua'amalah, bermasyarakat, dst yang telah dirangkum dalam "Risalah Amaliah" seorang mujtahid/marja'.

Dengan demikian, betapa urgen dan pentingnya kehadiran sebuah "Risalah Amaliah" Marja' Taqlid Anda disisi anda. Bila hal ini dapat anda pahami dengan baik dan benar, sehubungan dengan "Hablumminallah" dan "Hablumminannas", maka tidak ada alasan lagi bagi anda untuk mengabaikan dan membiarkan "Risalah Amaliah" jauh keberadaannya dari sisi anda, dan tidak mungkin pula anda akan lebih mengutamakan membaca Koran-koran, majalah-majalah dan media lainnya hanya sekedar untuk mengorek-ngorek informasi dan berita-berita dunia yang tidak ada hubungannya dengan peningkatan keimanan anda dan tidak ada kaitannya pula dengan nasib anda di alam akhirat yang kekal abadi.

Tidaklah mengherankan apabila terdengar adanya satu dua orang yang dengan sengaja mengabaikan dan tidak memperdulikan kehadiran sebuah "Risalah Amaliah" dalam praktek kehidupannya sehari-hari, dan mereka itu lebih mengutamakan sisi afkar (pemikiran) dan akidah global dalam madzhab Syi'ah Imamiah, lantaran mereka belum dapat memahami dengan baik bagaimana menggapai keridhaan Imam Zaman Afs sebagai langkah "wasilah" menuju titik sasaran utama dan terakhir "Mardlatillah Swt".

Harapan dan doa kami, semoga kini tidak terdengar lagi ungkapan-ungkapan seperti:" yang pentingkan pemikiran, fiqih itu tidak perlu", atau ungkapan :" untuk menjadi Syi'ah cukuplah dengan mempercayai dua belas Imam, dan tidak perlu mempraktekkan fiqih syi'ah sebelum aqidah kita mantap". Padahal sekedar mengkaji dan meyakini adanya dua belas Imam itu tidaklah ada artinya sama sekali, apabila dalam beramal ibadahnya masih meyakini dan mengikuti aturan-aturan yang datang dari selain mereka.

Demi untuk mempermudah para pecinta dan pengikut setia ajaran Ahlul Bait As di tanah air tercinta yang ingin bertaqlid kepada Imam Khamene'I Hf (Ayatullah Al 'Uzma Sayyid Ali Al Khamene'I Hf), maka kami tunjukkan dua orang ahli khibrah yang telah menyaksikan dan menyatakan a'lamiah beliau. Dua orang ahli khibrah itu ialah: 1. Ayatullah Syaikh Muhammad Yazdi Hf. 2. Ayatullah Sayyid Ja'far al Karimi Hf. Informasi tentang dua orang ahli khibrah ini kami peroleh langsung dari kantor Sayyid Al Qa'id Hf pada tanggal 21 Rabi'ul Awwal Th 1421 H. Isi surat yang kami ajukan dengan bahasa Arab tersebut kurang lebih demikian isinya:

Assalamu'alaikum Wr. Wb.

Bismihi Ta'ala

Dengan ini kami kabarkan kepada antum (petugas istiftaat) yang mulia -sesuai pengetahuan kami yang dangkal- bahwa mayoritas mutasyayyi'in di negeri kami (Indonesia) bertaqlid kepada yang mulia Ayatullah al 'Uzma Sayyid Ali Khamene'I Hf.. Hal itu demi menghimpun pada pribadi beliau yang mulia antara
Marja'iyah dan Qiyadah atau Wilayah, dan nyatanya memang maslahat menuntut demikian. Disamping itu pula bahwa beliau telah masyhur dengan predikat a'lam dari sisi politik, bahkan lebih dari itu, Imam Khomeini yang agung telah memberikan isyarat tentang kelayakan beliau dalam hal tersebut. Dan para mutasyayyi'in tersebut bertaqlid kepada beliau yang mulia tanpa muroja'ah terlebih dahulu kepada Ahli Khibrah. Dan apabila antum berpendapat bahwa taqlid semacam ini tidak dianggap sah, artinya: mereka itu harus muroja'ah terlebih dahulu kepada ahli khibrah untuk mengokohkan a'lamiah beliau, maka hal itu merupakan hal yang sulit buat mereka dan taklif yang tidak mampu untuk dipikul (Layukallifullahu nafsan illa wus'aha).

Oleh karena itu, kami sangat mengharapkan kepada antum yang terhormat agar kiranya dapat menunjukkan kami atau menyebutkan nama-nama Ahli Khibrah yang mendukung a'lamiah Ayatullah al 'Uzma Sayyid Ali Khamene'I Hf. Karena terus terang, kami sendiri tidak mampu untuk meneliti dan mohon penjelasan tentang a'lamiah beliau secara langsung dari Ahli Khibrah. Oleh karena itulah kami bertawasul kepada antum untuk dapat bertaqlid kepada beliau yang mulia. Semoga antum mendapatkan ganjaran yang besar dari sisi Allah Swt. Amin…

Wassalamu'alaikum Wr. Wb.

Qom al Muqaddasah,

17 Jumaditstsani 1420 H.

Abu Qurba


Assalamu'alaikum Wr. Wb.

Jawab:

Bismihi Ta'ala

Setelah Ahli Khibrah seperti "Himpunan Guru-guru Hawza" (jami'atul Mudarrisin) -semoga Allah Swt memberkahi mereka- membuat kesaksian atas bolehnya bertaqlid kepada yang mulia Ayatullah Sayyid Ali Khamene'i Hf bagi seluruh kaum muslimin dan bahwa bertaqlid kepada beliau dapat dipertanggungjawabkan dan juga setelah sekelompok dari mereka mengadakan kesaksian atas a'lamiah beliau seperti Ayatullah Sayyid Ja'far al Karimi dan Ayatullah Muhammad Yazdi dan ulama-ulama lainnya, maka setelah itu, tidak ada lagi peluang keraguan dan kesamaran atas sahnya taqlid mereka; seluruh ikhwan mu'minin di Indonesia, begitu pula kaum mu'minin di negara-negara lainnya.

Wassalamu'alaikum Wr. Wb.

Qom,

21 Rabi'ul Awwal 1421 H

Daftar Rahbar


P.S.

Insya Allah pada kesempatan lainnya akan kami lanjutkan penjelasan masalah taqlid ini. Do'a antum semua sangat kami harapkan, semoga Allah Swt memberikan taufiq dan panjang umur untuk kami demi melakukan ama tersebut. Amin...untuk itu, saran dan nasihat Antum kami tunggu selalu melalui E-mail: abu qurba@yahoo.com/hotmail.com

Qom al Muqaddasah

24 Rabiuts Tsani 1424 H.

Al Haqir: Abu Qurba

Wabillahittaufiq wal Hidayah.

Wassalamu'alaikum Wr. Wb.




6
Amaliah Praktis

Appendix:
Menimbang dan mengingat:

1. adanya hubungan erat antara pembayaran, penyerahan dan pengelolaan uang dan harta khumus dengan masalah taqlid.

2. banyaknya pertanyaan yang sampai di Daftar Rahbar (kantor Ayatullah Sayyid Ali Khamene'I Hf) tentang masalah penyerahan dan pengelolaan uang dan harta Khumus.

3. demi memberikan petunjuk, bimbingan dan saran syar'I kepada kaum mutasyayyi'in di seluruh tanah air tercinta dan dibelahan dunia lainnya agar menyerahkan uang khumus dan mengelolanya sesuai dengan aturan, ketentuan yang berlaku dan humum syar'i.

4. demi menghindari hal-hal yang tidak syar'I sehubungan dengan masalah khumus.

5. risalah 'amaliah tidak menjelaskan masalah ini dengan detail dan terkadang timbul salah paham dari pembaca atau pendengar tentang masalah yang bersangkutan.

Maka -menurut al haqir- alangkah baiknya apabila risalah taqlid singkat dan sederhana ini kami tambahkan (appendix) dengan menjelaskan beberapa masalah yang berhubungan dengan pembayaran dan pengelolaan khumus.


Masalah Pertama
Hukumnya wajib membayar atau menyerahkan khumus (seperlima dari keuntungan atau kelebihan bersih, yaitu setelah digunakan untuk biaya hidup sehari-hari setelah masa satu tahun) kepada "Wali Urusan Khumus" yaitu Marja' Taqlid anda masing-masing. Jelasnya adalah apabila anda bertaqlid kepada Ayatullah Sayyid Ali Khamene'I Hf, maka anda wajib menyerahkan khumus kepada beliau, apabila si Fulan bertaqlid kepada Ayatullah Bahjat Hf, maka ia wajib menyerahkan khumusnya kepada Ayatullah Bahjat Hf tersebut, dan begitulah seterusnya, sesuai dengan fatwa kebanyakan Maraji'.


Masalah Kedua
Saham (bagian) Imam Ma'shum dan saham Sadat sekalipun, wajib diserahkan kepada Wali Urusan Khumus, dan tidak boleh menggunakan atau mengelola harta khumus tersebut tanpa memperoleh izin terlebih dahulu dari Wali Urusan Khumus.


Masalah Ketiga
Apabila tidak memungkinkan bagi anda untuk membayar atau menyerahkan uang khumus secara langsung kepada Marja' Taqlid Anda, karena jauhnya tempat tinggal Anda misalnya, kaum mutasyayyi'in yang tinggal di Indonesia dll, maka Anda boleh dan wajib menyerahkannya kepada wakilnya yang resmi yaitu yang telah mendapatkan surat izin dari marja' yang bersangkutan untuk mengambil dan mengumpulkan khumus tersebut untuk nantinya diserahkan kepada marja' yang bersangkutan.


Masalah Keempat
Apabila anda merasa ragu; apakah seseorang yang akan anda serahkan uang khumus itu betul-betul telah menadapatkan surat izin resmi dari Marja' Taqlid Anda ataukah tidak, maka dalam hal ini hendaknya anda memohon padanya dengan penuh hormat dan sopan agar ia bersedia memperlihatkan pada anda surat izin tertulis dari Marja' yang bersangkutan. Sudah tentu, jika memang ia betul-betul sebagai wakil pengumpul khumus resmi Marja' Anda, pasti ia akan menerima anda dengan senyum penuh sopan dan senang hati untuk memperlihatkan surat izin tersebut pada anda. Dan apabila ia menolak untuk memperlihatkan surat izin resmi tertulis itu, maka anda bisa menghubungi Marja' Taqlid Anda via telpon atau E-mail. Dan sebaiknya Anda tidak/jangan membayar khumus kepadanya.


Masalah Kelima
Apabila anda telah atau sudah pernah menyerahkan khumus kepada seseorang, kemudian anda merasa ragu; jangan-jangan orang yang anda serahkan khumus itu tidak atau belum memperoleh surat izin resmi dari marja' anda, ataupun Anda tidak merasa yakin kalau uang khumus tersebut ia sampaikan dan ia serahkan kepada marja' anda, maka dalam hal ini hendaknya dengan penuh hormat dan sopan pula minta tanda bukti pemberian khumus yang telah distempel oleh Marja' Taqlid anda. Karena biasanya dan pada umumnya, setiap orang dan setiap wakil urusan khumus yang menyerahkan harta atau uang khumus mutasyayyi'in kepada Marja' Taqlid yang bersangkutan, akan dicatat dengan baik dan diberikan surat tanda bukti penyerahan khumus tersebut semacam kwitansi yang telah distempel atau ditanda tangani. Apabila ia dapat membuktikan atau memperlihatkan surat tanda bukti pembayaran khumus tersebut, maka secara syar'I khumus Anda dinilai sah.


Masalah Keenam
Apabila Anda merasa yakin (dengan indikasi-indikasi dan bukti-bukti yang anda lihat atau dengar) bahwa si Fulan bukanlah pengumpul khumus bagi Marja' Taqlid Anda, atau ia tidak menyerahkannya kepada Marja' Anda, atau ia menggunakan dan mengelola harta khumus itu tanpa memperoleh izin dari Marja' Anda, maka dalam hal ini janganlah anda menyerahkan khumus anda kepada orang tersebut. Kemudian apabila pada kondisi semacam itu Anda tetap ngeyel dan menyerahkan khumus kepadanya, apakah dalam hal ini khumus anda itu dianggap sah ataukah tidak? Kalau tidak dianggap sah, apakah anda wajib membayar ulang khumus tersebut ataukah tidak?. Nah, apabila hal semacam ini terjadi pada diri anda, kami persilahkan Anda menanyakan masalah tersebut kepada Marja' Taqlid Anda via E-mail: istiftaa@wilayah.org atau info@ahlu-bayt.org atau telp. 7742264 (kode lengkapnya: 00198251).


Masalah Ketujuh
Biasanya dan sudah menjadi maklum serta merupakan satu kemestian bahwa setiap Marja' Taqlid mempunyai wakil-wakil urusan/pengumpul khumus di Negara-negara yang terdapat kaum mutasyayyi'in yang bertaqlid pada Marja' yang bersangkutan, tanpa kecuali negara kita Indonesia. Di Indonesia terdapat beberapa orang (bukan hanya satu orang) wakil urusan khumus, zakat, hak tasarruf dan lain-lain yang biasa dikenal dengan Umur Hibiyah (Hal-hal yang berhubungan dengan masalah pengumulan khumus, kaffarah, zakat, pengelolaan dan penggunaannya fi sabilillah dan fi mardlatillah, dll sesuai dengan wewenang yang telah diberikan), yang memperoleh surat izin resmi dari Marja' Taqlid Ayatullah Sayyid Imam Ali Khamene'I Hf. Maka sebaiknya, sewajarnya dan sudah semestinya Anda mengenal dan mengetahui dengan baik siapakah mereka itu. Bila anda mendapatkan kesulitan dalam mengenal mereka, silahkan anda melayangkan surat ke alamat di atas.

Perlu juga kami tambahkan pada kesempatan ini bahwa di Negara kita Indonesia -sebagaimana telah kami jelaskan diatas- terdapat beberapa orang yang telah mendapatkan surat izin resmi untuk menangani "Umur Hibiyah". Lain halnya jika anda pergi ke Iran, khususnya kota suci Qom. Disana anda bisa menyerahkan khumus, zakat dan lain-lain serta dapat menanyakan hal-hal yang ada hubungannya dengan masalah-masalah hukum dan lain-lain kepada Marja' Taqlid Anda secara langsung atau kepada wakil-wakil mereka dalam masalah istiftaat.

Lebih dari itu, Ayatullah Sayyid Imam Ali Khamene'I Hf mempunyai wakil-wakil di setiap kota di Iran yang berperan melaksanakan khutbah Jum'at, menjawab masalah-masalah fiqih dan lain-lain.

Perlu Anda ketahui bahwa untuk menjadi wakil beliau Hf sebagai wali Faqih dan sekaligus Marja' Taqlid, paling tidak sudah mencapai peringkat Mujtahid. Bahkan ada beberapa orang wakil beliau yang telah mencapai maqam marja'iyah pula, seperti ayatollah Syeikh Husein Mazhahiri Hf wakil beliau di Ishfahan. Dan sementara ini belum ada satu pun pelajar Indonesia yang telah mencapai peringkat tinggi dan mulia tersebut. Bahkan sampai saat ini (saat kami menulis beberapa masalah ini) bisa dikatakan, belum ada pelajar kita yang duduk di tingkat Bahtsul Kharij. Sedangkan untuk dapat mencapai derajat mujtahid minimalnya harus duduk tekun di kelas Bahtsul Kharij itu selama 15 tahun sebagaimana telah kami singgung. Dan tidak sedikit syuyukh yang telah duduk di kelas dan tingkat Bahtsul Kharij lebih dari 20 tahun, akan tetapi masih belum juga mencapai Mujtahid Mutlak.

Bila anda dapat memahami dan mengetahui betapa sulitnya seseorang mencapai peringkat mujtahid, terlebih lagi peringkat Marja', maka anda akan memahami dan mengetahui pula betapa tinggi derajat dan mulia kedudukan orang-orang yang telah mencapai derajat tersebut. bila anda pun dapat mengerti dan mengetahui sulitnya seorang Marja' Taqlid dan wakil-wakilnya (termasuk Lajnah Istiftaat) dalam menjawab dab memecahkan berbagai persoalan dan problema masyarakat muqallidnya, maka anda pun akan mengerti dan mengetahui pula betapa tinggi, mulia, suci dan sakralnya orang-orang yang menduduki kursi marja'iyah dan juga orang-orang yang menduduki kursi wikalahnya.

Harapan dan doa kita, semoga pada 20 atau 30 tahun mendatang, kita sudah mempunyai seorang mujtahid yang mampu menjadi penyambung lisan Wali Faqih dan MArja' baik dalam tutur kata maupun dalam amal perbuatannya, sehingga dapat mengatasi dan menyelesaikan berbagai problema masyarakat kaum muslimin dan kaum mutasyayyi'in khususnya. Bukan seorang mujtahid yang malah membuat problema di tengah-tengah masyarakat Islam.

Akhi dan ukhti fillah, ketahuilah sesungguhnya orang-orang yang telah mencapai peringkat mujtahid dan marja' (dalam makna yang sebenarnya), adalah sebaik-baik manusia yang hidup di muka bumi ini (setelah Imam Ma'shum tentunya), dan jauh lebih mulia dan tinggi kedudukannya disbandingkan malaikat Allah Swt.

Sebagian dari masalah-masalah diatas, anda dapat merujuknya pada kitab Istiftaat jilid 1, hal 313 pada bab Wali Amril khumus wa al wukala'I wa maurid as sharf. Dengan kata lain, beberapa masalah tersebut kami tulis sesuai dengan fatwa Rahbar kita (semoga Allah Swt senantiasa menjaga beliau dan orang-orang yang loyal kepadanya serta mengamalkan fatwa-fatwanya dengan benar dan jujur sesuai dengan yang beliau inginkan).

Wabillahit taufiq wal Hidayah

Wassalamu'alaikum Wr. Wb.




7

Terkait Berita: