Pesan Rahbar

Home » » Ahlu Sunnah dan sunah nabawi

Ahlu Sunnah dan sunah nabawi

Written By Unknown on Sunday, 15 February 2015 | 17:49:00


Oleh: Nurul Huda

Allah swt telah berfirman:

 (ما آتاكم الرّسول فخذوه وما نهاكم عنه فانتهوا) 

“yakni ambillah apa apa yang telah dibawa oleh Rasul saww, dan jahuilah apa apa yang telah dilarang oleh Rasul saww[1].”

Bergitu juga terdapat ayat-ayat lain yang menunjukkan akan kehujjahan sunnah nabawi, oleh karena itu kehujjahan sunnah Nabi adalah hal yang tidak ada keraguan padanya, dan adapun yang menjadi pembahasan antara pengikut pengikut mazhab yang ada hanyalah diharuskan dengan cara apa sunnah Nabi didapat.

1. Terdapat dalam riwayatnya Syi’ah dan sunni dimana Rasul saww bersabda, “saya tinggalkan dua hal yang berharga di tengah-tengah kalian, jika kalian berpegang teguh kepada keduanya, maka kalian tidak akan pernah tersesat untuk selama lamanya, dan kedua-duanya tidak akan berpisah.” Riwayat ini, baik menurut Syi’ah dan sunni, dari sisi sanad tidak ada keraguan padanya.

Dan saksi akan perkataan ini adalah perkataannya salah satu Ulama besar Ahlus sunnah yang bernama ibnu hajar dimana dia berkata riwayat ini

 (كتاب الله وعترتی) 

kurang lebih dari duapuluh orang sahabat telah meriwayatkannya, dan riwayat ini terdapat dalam Shahih Muslim, Sunan Darimi, Musnad Ahmad, dan berpuluh-puluh lagi kitab Ahlus sunnah lainnya. Disini berartikan bahwasanya Rasul saww telah menjelaskan bagaimana metode untuk mendapatkan sunnahnya, yaitu hanya dengan cara berpegang teguh kepada Ahlul bait as dan Itrahnya beliau yang suci. Akan tetapi pada kenyataannya kenapa Ulama Ahlus sunnah sedikit sekali mengungkapkan riwayat ini? Tidakkah riwayat ini sebagai itmamul hujjah?

2. Lantas kenapa mereka sudah merasa cukup dengan riwayat lainnya yang menjelaskan supaya berpegang teguh kepada al-Qur’an dan sunnah padahal disitu (riwayat tersebut) lemah dari sisi sanad dan dilalah dan mereka menekankan akan hal tersebut?
Anggaplah seandianya Rasul saww pun mengatakan riwayat ini, sesungguhnya antara riwayat ini (sunnah) dan riwayat itrah tidaklah saling kontradiksi, akan tetapi sebagaimana yang telah ditulis oleh Ibnu hajar masyarakat Islam butuh kepada al-Qur’an, sunnah dan Ulama-Ulama Ahlul bait[2].

Dengan memperhatikan hadis ini, bisa ditetapkan akan marjaiyyat ilmu, politik, dan keismatan Ahlul bait as, dan untuk mendapatkan hadis nabawi yang murni yang tanpa ada rekayasa hanya melalui mereka, karena selainnya adalah orang-orang yang memiliki kesalahan, dosa, dan perselisihan yang sangat sehingga tidak bisa menyampaikan hadis nabawi secara lengkap disetiap masa. Disamping ini, menurut pendapat Ahlus sunnah kurang lebih selama seratus tahun yakni dari masa khalifah kedua sampai masa khalifah Umar bin Abdul aziz sesungguhnya penulisan dan pengumpulan hadis dilarang. Dan banyak sekali hadis-hadis Nabi saww dibakar, khalifah pertama dalam satu malam telah membakar lima ratus hadis, dan kalifah kedua telah melenyapkan hadis lebih dari itu[3].

3. Apakah masih akan ada sisa ketika hadis Nabi saww selama seratus tahun dilarang untuk disusun? Jika seandainya, tinggal seberapa dan dalam bentuk seperti apa?
Seberapa besar sesuatu yang masih tersisa dengan utuh yang ada dibenaknya orang-orang yang masih hidup?
Apakah orang-orang yang mencari dan membikin hadis-hadis palsu tidak memanfaatkan momen dan kesempatan seperti ini?
apakah hadis-hadis yang ada dalam kitab-kitab Ahlus sunnah itu hasil dari para pemalsu hadis?
Kenapa Muslim diantara tigaratus ribu hadis hanya enam ribu hadis, begitu juga Bukhori dari enam ratus ribu hadis hanya empat ribu hadis yang dikumpulkan[4]?

Dan kenapa yang lainnya disingkirkan?
Jika hadis-hadis yang shahih yang mencerminkan akan sunnah Nabi itu banyak, kenapa masih membutuhkan ijtihad dengan ra’yu dan menggunakan qiyas serta dan istihsan? Tidakkah Abu Hanifah dan Ulama-Ulama lainnya menggunakan qiyas dan pendapat dirinya untuk mendapatkan hukum syar’i?
dengan menggunakan qiyas dan istihsan tidakkah ini berarti sunnah Rasul saww masih kurang, dan semua hukum tidak ada padanya?
Dan jika seandainya ada, dikarenakan lemahnya riwayat maka riwayat tersebut tidak dapat diamalkan?
Tidakkah para pembesar Ahlus sunnah tidak mengakui yakni Allamah Suyuthi dan Ibnu jauzi dalam kitab maudhuat juz : 1 berkenaan dengan fadhoil khulafa’ dimana kebanyakan riwayat-riwayat yang berkenaan dengan manaqib khulafa’ tidaklah benar dan buatan belaka.

4. Tidakkah pelarangan akan penyusunan hadis menyebabkan musuh-musuh Ahlul bait as membuang hadis-hadis yang berkenaan dengan keutamaan-keutamaan mereka, dan membuat hadis-hadis palsu untuk selainnya?

5. Jika Ahlus sunnah mengklaim diharuskan mengikuti sunnah nabawi, kenapa mereka dalam kitab-kitabnya tidak meriwayatkan dari para Imam Ahlul bait terlebih-lebih Imam Shodiq as, malah mereka meriwayatkan hadis dari orang-orang Khawarij, Nawasib, dan Umawi? Seperti riwayatnya Bukhori dalam kitab Shahihnya dimana dia meriwayatkan dari salah satu khawarij yang bernama Imron bin khaton:

 (عمران بن خطان)[5]. 

6. Kenapa kebanyakan riwayat riwayatnya Ahlus sunnah diambil dari Abu hurairah dimana jumlah riwayat tersebut mencapai 5374 hadis, padahal Abu hurairah memeluk Islam diakhir akhir hidup Rasul saww, dia dalam waktu yang sangat lama tidak menjumpai Rasul saww, sementara Ali as dimana dari semenjak kecil sampai wafatnya beliau selalu bersama Rasul saww hanya meriwayatkan kurang lebih dari 537 hadis? Ali as selama masa hukumatnya limatahun telah berkhutbah dengan paling baiknya hutbah, beliau telah menjelaskan Islam, mentafsirkan sunnah- sunnah Rasul[6], akan tetapi kenapa dalam Shahih bukhari dan Muslim sama sekali tidak ada berkas-berkas penjelasan beliau?

7. Tidakkah Rasul saww bersabda, “saya adalah kotanya ilmu dan Ali (a.s) adalah pintunya”

 (انا مدينة العلم وعليّ بابها)[7] 

dan dalam kesempatan yang lain, Rasul saww bersabda,

 عليّ مع الحقّ والحقّ مع علي 

“Ali as bersama kebenaran dan kebenaran bersama Ali (a.s)”, tidakkah Ali as terdhzolimi?

8. Tidakkah Ali as termasuk salah satu manifestasi ayat tathir? Tidakkah AlHasan as. Al-Husain as, Fatimah Az-Zahra as merupakan manifestasi-manifestasi ayat tathir?[8]

9. Apa maksud dari kecintaan terhadap Ahlul bait Nabi saww? Kecintaan dapat ditetapkan melalui dengan dua, cara salah satunya yaitu menampakkannya dalam majelis-majelis ilmiah dan meyakini mereka, dan yang kedua adalah mengikuti dan berpegang teguh kepada mereka dalam ucapan dan perangai, sebagaimana dalam sabda Rasul saww:

 ان تمسِكتم بهما لن تضلّوا ابداً 

“yakni jika kalian berpegang teguh kepada keduanya, maka kalian tidak akan pernah tersesat untuk selama lamanya.”

Apakah kecintaan terhadap itrat dan Ahlul bait hanya sekedar dilisan saja, dan bukan secara hati? Atau makna tersebut adalah sebagaimana yang telah dituturkan dalam hadis tsaqolain yakni berpegang teguh kepada mereka dalam semua hal dikarenakan mereka tidak melakukan dosa, yakni meyakini akan pandangan mereka dan mengmalkannya?

10. Apakah dibenarkan menyeru masyarakat menuju orang-orang yang mana mempunyai permusuhan dan dendam kusumat kepada Ahlul bait dalam hati-hati mereka seperti Muawiyah? Tidakkah metode ini sama halnya dengan memerangi Ahlul bait? Allah swt dalam al-Qur’an menjadikan upah Rasul hanya dengan kecintaan terhadap keluarga dan Ahlul bait beliau:

 (الاّ المودّة فی القربی)

, apakah dibenarkan -dikarenakan hadis-hadis buatan- kita menyeru masyarakat menuju orang-orang yang tidak hanya sekedar tidak terjaga dari dosa dan kesalahan dll, bahkan memiliki banyak kesalahan dan dosa, dimana paling pentingnya hal tersebut adalah bangkit melawan Imam yang hak Ali bin Abi Thalib as?


Referensi:
[1]- QS. al-Hasyr: 7.
[2]- Sowaiq al-Muhriqoh, Ibnu Hajar hlm. 148.
[3]- Tazkirotul Huffadz Syamsuddin Dzahabi juz 1 hlm. 1, 5, dan 13, Tabaqot al-Kubro Muhammad Katib Waqidi juz 3 hlm. 206, Jamiul Bayan al-ilmi wafadzlihi Ibnu Abdil Bar juz 1 hlm. 64-65.
[4]- Maudhuat, Ibn Jauzi mukoddimah.
[5]- Shohih Bukhori kitab Allibas bab labsul harir iftirosuhu lirrijali.
[6]- Terkumpul dalam kitab Nahjul Balaghah.
[7]- Sunan Turmudzi kitab al-Manaqib bab manaqib, Mustadrak ala-shahihain juz 3 hlm. 126, Jamiul Usul Ibn Katsir juz 9 hlm. 437,/ juz 9 hlm. 473 Masabih al-Sunnah juz 4 hlm. 174.
[8]- Shohih Muslim bab fadhoil Ali as juz 7 hlm. 130, Dur al-mantsur juz 5 hlm. 199.

(Berbagai-Sumber-Lain/ABNS)
Share this post :

Post a Comment

mohon gunakan email

Terkait Berita: