Pesan Rahbar

Home » » Islam dan Syiah tidak pernah membenarkan penghinaan kepada peribadi mana-mana manusia pun…Yang dibenarkan oleh Islam dan Syiah hanyalah kritikan bersifat ilmiah dan akademik. Saya beri contoh di sini, dalam artikel saya tentang Riwayat Kontroversi Khalifah Umar, kita dapat lihat begitu banyak sekali tindakan Khalifah Umar yang bertentangan dengan dalil dan nas. Maka, setakat itu sahaja kritikan kita, iaitu terhadap kesalahan yang beliau lakukan, bukan kepada peribadi beliau. Dan inilah yang dilakukan oleh Syiah

Islam dan Syiah tidak pernah membenarkan penghinaan kepada peribadi mana-mana manusia pun…Yang dibenarkan oleh Islam dan Syiah hanyalah kritikan bersifat ilmiah dan akademik. Saya beri contoh di sini, dalam artikel saya tentang Riwayat Kontroversi Khalifah Umar, kita dapat lihat begitu banyak sekali tindakan Khalifah Umar yang bertentangan dengan dalil dan nas. Maka, setakat itu sahaja kritikan kita, iaitu terhadap kesalahan yang beliau lakukan, bukan kepada peribadi beliau. Dan inilah yang dilakukan oleh Syiah

Written By Unknown on Saturday 28 March 2015 | 03:57:00





AYAT AL MAWADDAH

_________________________________
Kita lihat dulu disini: http://id.wikishia.net/view/Ayat_Mawaddah


Ayat Mawaddah 

Ayat Mawaddah (Bahasa Arab: آیه مَوَدَّت ) adalah ayat ke 23 surah Al-Syura dari Al-Quran yang menjelaskan mengenai fadhilah dan keutamaan Ahlulbait Nabi Muhammad Saw dan upah yang didapat Nabi Saw dari risalah yang disampaikannya, yaitu kecintaan terhadap Ahlulbaitnya.


Matan Ayat

﴾ذَلِکَ الَّذِی یبَشِّرُ اللَّهُ عِبَادَهُ الَّذِینَ آمَنُوا وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ قُل لَّا أَسْأَلُکُمْ عَلَیهِ أَجْرًا إِلَّا الْمَوَدَّةَ فِی الْقُرْبَی وَمَن یقْتَرِفْ حَسَنَةً نَّزِدْ لَهُ فِیهَا حُسْنًا إِنَّ اللَّهَ غَفُورٌ شَکُورٌ﴿

"Itulah (karunia) yang (dengan itu) Allah memberikan berita gembira kepada hamba-hamba-Nya yang beriman dan mengerjakan amal saleh. Katakanlah, “Aku tidak meminta kepadamu suatu upah pun atas seruanku ini kecuali kecintaan kepada keluargaku.” Dan siapa yang mengerjakan kebaikan akan Kami tambahkan baginya kebaikan pada kebaikannya itu. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Mensyukuri." (QS Al-Syura [46]: 23)


Penjelasan Arti Lafaz

Mawaddah, artinya adalah kecintaan, kesukaan dan rasa kasih sayang, [1]sementara ‘qurba’ artinya kedekatan dan kekerabatan dalam nasab dan keluarga. [2]
Latar Belakang Turunnya Ayat

Semua ulama ahli tafsir dari kalangan Syiah termasuk juga di antaranya tidak sedikit dari kalangan Ahlusunnah seperti Ibnu Abbas menukilkan setelah Nabi Muhammad Saw melakukan hijrah/perjalanan ke Madinah, kaum Anshar melakukan pembicaraan mengenai rencana mendirikan sistem pemerintahan Islam. Di akhir pembicaraan tersebut mereka sepakat untuk menghadap kepada Rasulullah Saw. Kepada Rasulullah Saw perwakilan dari mereka berkata, “Untuk kemajuan Islam dan untuk mengatur urusan-urusan publik maka anda membutuhkan dana dan kemampuan ekonomi. Karenanya semua kekayaan yang kami miliki dan apapun yang bermanfaat dari kami berada di bawah pengelolaan Anda. Jika Anda memandang suatu maslahat maka gunakanlah untuk itu, dan ini akan menjadi kebanggaan kami.”

Setelah mereka menyampaikan hal tersebut, maka turunlah ayat ini. [3]Bahwa upah dan balasan dari risalah yang disampaikan Nabi Muhammad Saw adalah kecintaan kepada keluarganya, bukan upah berupa kekayaan materi dan hal-hal yang bersifat duniawi lainnya.
Perbedaan Pendapat mengenai Makna Qurba

Sejumlah pendapat ahli tafsir mengenai makna al-Qurba dapat dikemukakan secara singkat sebagai contoh sebagaimana berikut:
Sebagian dari mufasir bahkan dikatakan mayoritas dari kalangan mereka berpendapat bahwa mukhatab/lawan bicara yang dituju oleh ayat ini adalah kaum Quraisy. Karena disebabkan Nabi Muhammad Saw dianggap melecehkan sembahan-sembahan Quraisy, maka mereka membenci dan memusuhinya. Allah Swt pun memerintahkan kepada Nabi Muhammad Saw untuk menyampaikan kepada kaum Quraisy bahwa kalau sekiranya mereka menolak dakwah dan ajakan Nabi Saw untuk mengeesakan Allah Swt setidaknya mereka tidak memusuhi Nabi Saw, karena mau tidak mau Nabi Saw adalah juga bagian dari keluarga besar mereka. Makna qurba adalah karib kerabat dan keluarga terdekat dan huruf (فی) bermakna sababiyat (hubungan pernikahan)
Sebagian lain berkata, “Mengenai mawaddah yang dikaitkan dengan qurba bukanlah ditujukan kepada kaum Quraisy melainkan kepada kaum Anshar. Kaum Anshar membawa harta kekayaan mereka kepada Nabi Muhammad Saw sehingga dapat memenuhi kebutuhan ekonominya. Namun atas perintah Allah Swt, Nabi Saw menolak pemberian tersebut. Ayat yang turunpun ditujukan kepada kaum Anshar dengan menyebutkan bahwa Nabi Saw tidak menghendaki upah dari mereka berupa harta kekayaan melainkan upah berupa kecintaan kepada keluarganya yang berada di tengah-tengah mereka.
Pendapat lain menyebutkan, mengenai mawaddah fil qurba, adalah kecintaan kepada keluarga sendiri. Dan mukhatab dari ayat ini adalah kaum Quraisy dan seluruh masyarakat secara umum. Yang maknanya dapat disebutkan adalah, “Saya tidak menghendaki dari kalian sesuatupun kecuali kecintaan terhadap keluarga kalian sendiri, yaitu dengan memperbanyak silaturahim".
Pendapat lainnya, makna qurba adalah taqarrub (melakukan pendekatan) kepada Allah Swt dan mawaddah fi qurba dimaksudkan adalah melakukan taqarrub kepada Allah Swt dengan menjalankan ketaatan kepada-Nya. Keempat pendapat ini ditolak oleh Mufassir Syiah. [4]
Pendapat selanjutnya adalah yang menyatakan, mawaddah fi qurba adalah kecintaan kepada keluarga Nabi Saw yaitu Ahlulbait dan keturunannya. Pendapat ini dikuatkan oleh adanya sejumlah riwayat sahih, yang juga bahkan terdapat dalam literatur Ahlusunnah terlebih lagi dalam kumpulan riwayat dalam kitab-kitab Syiah yang memberikan penafsiran mawaddah fil qurba adalah kecintaan kepada itrah Nabi Saw dan memberikan loyalitas kepada mereka. Terdapatnya riwayat-riwayat mutawatir dari kedua mazhab besar ini yang menyebutkan wajibnya memberikan kecintaan kepada Ahlulbait, mempertegas kuatnya pendapat ini. [5]

Lebih detail lagi, ulama Syiah dengan berdasar pada sejumlah dalil yang kuat meyakini bahwa yang dimaksud al-qurba adalah Ali As, Fatimah Sa, Hasan As, Husain As dan 9 Imam lainnya setelah Imam Husain As yang berasal dari keturunannya. [6] Demikian pula dengan Allamah Hilli yang menjadikan ayat Mawaddah sebagai ayat keempat dari Al-Quran yang menegaskan akan keimamahan Imam Ali As. Dari Ibnu Abbas meriwayatkan sewaktu ayat Mawaddah diturunkan, ia berkata, “Wahai Rasulullah Saw, siapa dari keluargamu yang wajib bagi kami untuk mencintainya?” Nabi Saw menjawab, “Ali, Fatimah, Hadan dan Husain.” [7]
Riwayat seputar Ayat Mawaddah

Dari Imam Sajjad As ketika ditanya mengenai ayat Mawaddah, ia menjawab, “Mengenai ayat Mawaddah adalah berikanlah kecintaan kepada kami Ahlulbait Nabi Muhammad Saw.” [8] Diriwayatkan dari Imam Baqir As bahwa misdaq yang dimaksudkan dari ayat Mawaddah adalah para Imam Maksumin As. [9] Imam Shadiq As juga bersabda, “Ayat Mawaddah diturunkan untuk menceritakan mengenai kami Ahlulbait dan Ashabul Kisa.” [10] Hakim Huskani dari ulama Ahlusunnah, menukil 7 riwayat yang menceritakan mengenai ayat ini yang menegaskan bahwa yang dimaksud al-Qurba adalah Ali, Fatimah, Hasan dan Husain. [11]

Demikian pula Ahmad bin Hanbal menukilkan riwayat yang berbunyi, “Ketika ayat قل لاّ اسئلکم turun, sejumlah sahabat Nabi bertanya, ‘Wahai Rasulullah Saw, siapakah keluarga yang dimaksudkan yang kami diperintahkan untuk mencintainya?’ Nabi Saw menjawab, ‘Ali, Fatimah, dan dua putranya.” Dan perkataan ini diulang-ulangi Nabi sebanyak tiga kali. [12]

Sayid Syahabuddin Mara’asyi Najafi dalam kitab Syarah Ihqāq al-Haq, sekitar 50 orang dari ulama besar Ahlusunnah yang ia sebutkan namanya meriwayatkan hadis-hadis mengenai ayat Mawaddah dengan sanad-sanad yang berbeda-beda dalam kitab-kitab mereka. [13] Demikian pula dalam kitab Ghāyat al-Marām, terdapat 17 riwayat dari Ahlusunnah dan 22 riwayat dari Syiah yang menceritakan mengenai ayat ini. [14]

 
Kewajiban Mencintai Ahlulbait

Jika hadis dari Rasulullah Saw yang memerintahkan kepada kaum Muslimin untuk merujuk kepada Ahlulbait As sepeninggalnya dalam persoalan-persoalan agama khususnya berkenaan dengan Al-Quran, ushul, furu’ agama dan hakikat-hakikatnya seperti hadis Tsaqalain, hadis Safinah, dan yang lainnya terdapat dalam literatur Sunni dan Syiah, maka tidak ada keraguan sedikitpun bahwa perintah untuk mencintai Ahlulbait menjadi wajib hukumnya. Karena dalam ayat disebutkan bahwa mencintai Ahlulbait adalah upah atas perjuangan Nabi Saw menyampaikan risalah Islam kepada umat maka perwujudan kecintaan tersebut adalah dengan mendukung, memberikan loyalitas dan menjadikan mereka pemimpin umat yang menjadi rujukan dalam segala hal. Jadi kecintaan yang dimaksudkan tidak hanya terbatas pada rasa suka atau sekedar menjalin keakraban dan persahabatan kepada Ahlulbait. Meskipun istilah yang digunakan adalah upah untuk Nabi Saw, namun pada hakekatnya keuntungan dari pemberian upah tersebut adalah kembali kepada sipemberinya, bukan kepada Nabi Saw ataupun Ahlulbait. [15]


Catatan Kaki:
1. Ibnu Mandzur, lihat klausul "ود"
2. Ibnu Manzhur, lihat klausul "قرب"
3. Ibnu Hajar ‘Asqalani, jld. 4, hlm. 434.
4. Syakri Alusi, 1405:25/30-32.
5. Thabarsi, 1425:9/48.
6. Thusi, jld. 9, hlm. 157; Thabarsi, jld. 9, hlm. 48.
7. Hilli, hlm. 175.
8. Kufi, hlm. 392.
9. Kulaini, jld. 1, hlm. 413.
10. Hakim Huskani, jld. 2, hlm. 213.
11. Hakim Huskani, jld. 2, hlm. 189-196.
12. Qurthubi, jld. 3, hlm. 2.
13. Husaini Mar’asyi Tustari, jld. 3, hlm. 2-18.
14. Bahrani, Thaqdim, jld. 3, hlm. 23-244.
15. Allamah Thabathabai, al-Mizān, jld. 18, hlm. 66.

___________________________________

“Aku tidak meminta kepada kamu sebarang upah tentang ajaran Islam yang aku sampaikan itu, hanyalah kasih mesra terhadap keluarga ku.” Quran [42:23].

Baru-baru ini, kes laknat menjadi isu besar semula akibat perbuatan Syeikh Yasser Al Habib, yang membuat penghinaan bersifat peribadi ke atas simbol-simbol AhlulSunnah. Bagaimanapun keributan itu akhirnya dipadamkan atau berjaya diredakan dengan pengeluaran fatwa menghina peribadi-peribadi ini oleh Ayatollah Ali Khamenei.

Fatwa ini mendapat berbagai jenis reaksi, samada dari Sunni dan Syiah. Saya tidak mahu menyentuh lebih lanjut, cuma mahu menekankan isu ini dari segi melaknat.

Terdapat perbezaan besar antara menghina dan melaknat. Melaknat bukanlah semata-mata ajaran Syiah, malah ialah merupakan ajaran Islam, iaitu untuk melaknat orang-orang zalim. Begitu banyak sekali yang dapat kita temukan di dalam Al Quran dan Sunnah, Allah swt dan Rasulullah melaknat orang-orang yang zalim, yang menyakiti Rasulullah dan kaum Muslimin, penipu,pembunuh dan lain-lain.

Tidak perlu rasanya saya menyatakan kesemuanya disini kerana ia adalah satu pengetahuan umum. So, apakah laknat dari sudut pandang kaum Syiah?

Apa yang saya faham, laknat atau la’an bermakna, memohon kepada Allah swt agar menjauhkan seseorang itu dari rahmatNya. Bererti, apabila seseorang itu dilaknat, maka beliau jauh dari rahmat Allah swt. Pendek kata, laknat ialah satu permohonan doa kepada Allah swt. Laknat juga boleh dilihat sebagai satu tindakan berlepas diri dari sesuatu perkara. Jika saya melaknat seorang pembunuh, maka saya juga secara automatik, tidak meredhai tindakan beliau dan berjanji kepada diri sendiri untuk tidak mengikuti kesalahan beliau.

Perlu di ingat sekali lagi di sini, melaknat bukanlah ajaran Syiah, tetapi merupakan ajaran agama Islam. Apabila seseorang Syiah melaknat, maka ia dilakukan atas dasar individu, atas dasar cinta individu itu kepada Ahlulbait(as) dan benci mereka terhadap orang-orang yang menyakiti mereka, kerana menyakiti seorang Muslim sudah dianggap zalim, apatah lagi keluarga suci Rasulullah(sawa). Apa yang menjadi pegangan Syiah ialah Tawalla dan Tabbarra, iaitu mencintai Ahlulbait dan orang-orang yang mencintai mereka, serta menjauhi, memarahi, tidak meredhai dan berlepas tangan dari orang-orang yang menyakiti mereka.

Di sini saya bagi contoh. Sejarah membuktikan bahawa Khalifah Abu Bakr dan Umar menyakiti Fatimah(as) yang mana, keredhaan Fatimah telah disebutkan oleh Rasulullah(sawa) sebagai keredhaan baginda. Atas dasar Tawalla, maka saya akan berasa sedih kerana seseorang yang saya sayangi di sakiti, dan atas dasar Tabbarra, saya akan bertindak berlepas tangan dari tindakan pelakunya. Antara yang boleh saya lakukan:
1. Memohon Allah swt melaknat si pelaku.
2. Tidak meredhai si pelaku.
3. Tidak mencontohi si pelaku.

Mungkin terlampau jauh kalau kita ambil contoh di atas. Saya bagi contoh lagi. Bayangkan, jika ibu kita sendiri dibunuh, dihina dan diseksa. Dan kita mengetahui bahawa ibu kita ialah seorang yang baik dan beriman. Apakah perasaan kamu terhadap ibu kamu? Saya pasti kalau kamu sayangkan ibu kamu, maka kamu akan berasa sedih. Maka itulah Tawalla kamu kepada ibu kamu.

Bagaimana pula perasaan kamu kepada pembunuh itu? Marah?Benci? Masing-masing mengetahui. Jadi apakah yang boleh kamu lakukan kepada orang zalim ini? Jawapannya seperti di atas, samalah dalam konteks Ahlulbait(as) dan musuh-musuh mereka. Dan inilah pegangan Syiah. Kami tidak boleh dan tidak mampu untuk meletakkan orang yang dizalimi dan menzalimi di satu tempat yang sama, kerana kami sayangkan Ahlulbait. Sudah pasti kamu juga tidak akan meletakkan pembunuh ibu kamu dan ibu kamu di tempat yang sama, melainkan kamu ialah orang yang jahil lagi zalim, kerana jika begitu, itu bermakna kamu meredhai pembunuh itu. Bayangkanlah perasaan ibu kamu jika kamu berbuat begitu.

Imam Ali(as) pernah berkata: “Orang-orang yang menyamakan kami dengan musuh kami bukanlah dari kalangan kami.”

Itu sudah cukup menerangkan semuanya.

Tetapi melaknat juga perlu ada etikanya, dan etika inilah yang membezakan orang yang berilmu dengan yang jahil. Kami mengetahui bahawa kalian saudara dari Sunni tidak mengetahui atau tidak menerima kebenaran ini, samada kerana kejahilan atau kerana syaitan. Maka, atas dasar etika, maka tidak bolehlah untuk melaknat secara terbuka tambah-tambah di hadapan saudara Sunni yang pastinya akan tercengang mendengar perkara ini. Akhirnya, keburukan yang terhasil lebih banyak dari kebaikan yang didambakan.

Ini telah terjadi dan dapat kita lihat dari perbuatan Syeikh Yasser Al Habib. Beliau bukan sahaja tidak beretika, malah menghina peribadi tokoh-tokoh tertentu, dengan kata-kata cacian.

Islam dan Syiah tidak pernah membenarkan penghinaan kepada peribadi mana-mana manusia pun. Contohnya seperti Aisyah berada dalam neraka, Aisyah berzina(nauzubillah) dan lain-lain. Ini adalah satu perbuatan yang mendatangkan dosa walaupun kepada orang yang zalim, kerana akhirnya kita telah bersifat seperti mereka. Lalu dimanakah Tabbarra kita?

Yang dibenarkan oleh Islam dan Syiah hanyalah kritikan bersifat ilmiah dan akademik. Saya beri contoh di sini, dalam artikel saya tentang Riwayat Kontroversi Khalifah Umar, kita dapat lihat begitu banyak sekali tindakan Khalifah Umar yang bertentangan dengan dalil dan nas. Maka, setakat itu sahaja kritikan kita, iaitu terhadap kesalahan yang beliau lakukan, bukan kepada peribadi beliau. Dan inilah yang dilakukan oleh Syiah.

Seperti yang saya sebutkan di atas, laknat ialah doa, maka sewajarnya doa, biarlah ia kekal di antara kita dan Allah swt. Tidak perlu biar semua orang tahu isi doa kita.

Satu lagi yang perlu rasanya saya sebutkan, melaknat bukanlah isu utama sehari-hari dalam hidup kami. Ingatlah, biarpun jika sekalian para sahabat baik-baik belaka, maka kami masih dan akan sentiasa menjadi Syiah kepada Ahlulbait(as).


Setakat ini sahaja, salamalaikum

(Wiki-Shia/Syiah-Ali/ABNS)
Share this post :

Post a Comment

mohon gunakan email

Terkait Berita: