HADIS TSAQALAIN.
Kita lihat dulu disini: http://id.wikishia.net/view/Hadis_Tsaqalain
_____________________________________
Hadis Tsaqalain
Hadis Tsaqalain (Bahasa Arab: حدیث ثقلین) adalah sebuah hadis yang sangat masyhur dan mutawatir dari Nabi Muhammad Saw yang bersabda, “Kutinggalkan dua pusaka bagi kalian, Kitab Allah (Al-Quran) dan itrahku (Ahlulbait). Keduanya tidak akan terpisah sampai hari kiamat.”
Hadis ini diterima oleh seluruh kaum Muslimin baik Syiah maupun Sunni, dan termaktub dalam kitab-kitab hadis dari kedua mazhab besar tersebut. Bagi muslim Syiah, hadis ini merupakan pegangan utama untuk menguatkan doktrin pentingnya keimamahan, menguatkan dalil kemaksuman para Imam As dan juga sebagai dalil yang menetapkan keharusan adanya imam di setiap zaman.
Matan Hadis Hadis ini meski diriwayatkan dengan jalur yang berbeda, dan dengan bunyi teks yang beragam namun tetap mengandung muatan pesan yang sama. Dalam Ushul Kāfi, yang merupakan salah satu dari empat kitab utama mazhab Syiah menyebutkan:
إِنِّی تَارِک فِیکمْ أَمْرَینِ إِنْ أَخَذْتُمْ بِهِمَا لَنْ تَضِلُّوا- کتَابَ اللَّهِ عَزَّ وَ جَلَّ وَ أَهْلَ بَیتِی عِتْرَتِی أَیهَا النَّاسُ اسْمَعُوا وَ قَدْ بَلَّغْتُ إِنَّکمْ سَتَرِدُونَ عَلَی الْحَوْضَ فَأَسْأَلُکمْ عَمَّا فَعَلْتُمْ فِی الثَّقَلَینِ وَ الثَّقَلَانِ کتَابُ اللَّهِ جَلَّ ذِکرُهُ وَ أَهْلُ بَیتِی
"Aku tinggalkan di tengah-tengah kalian dua pusaka yang jika kalian mengikuti keduanya maka kalian tidak akan tersesat selama-lamanya, (yaitu) Kitab Allah dan Itrahku dari Ahlulbaitku. Wahai manusia, dengarkanlah, aku sampaikan kepada kalian, kalian akan menemuiku di tepi telaga al-Haudh. Aku akan mempertanyakan kepada kalian, apa yang telah kalian perbuat terhadap dua pusaka berharga ini, yaitu Kitab Allah dan Ahlulbaitku.”[1]
Sunan Nasai, salah satu dari enam kitab sahih Ahlusunnah (kutub sittah), meriwayatkan:
کأنی قد دعیت فاجبت، انی قد ترکت فیکم الثقلین احدهما اکبر من الآخر، کتاب الله و عترتی اهل بیتی، فانظروا کیف تخلفونی فیهما، فانهما لن یفترقا حتی یردا علی الحوض
“Ajalku sudah mendekat. Aku tinggalkan di tengah-tengah kalian dua sesuatu yang sangat berharga, yang salah satu dari yang lainnya lebih besar, (yaitu) Kitab Allah dan Itrah Ahlulbaitku. Karenanya perhatikan bagaimana kalian memperlakukan keduanya. Keduanya tidak akan terpisah sampai kalian menemuiku di tepi telaga al-Haudh.”[2]
Sumber dan Sanad Hadis Hadis ini termasuk dalam riwayat yang diterima oleh semua ulama Islam baik dari kalangan Syiah maupun Sunni, yang dari sisi sanad tidak seorangpun yang mampu melemahkan dan mengkritiknya.
Sumber dari Literatur Ahlusunnah Menurut kitab Hadits al-Tsaqalain wa Maqāmāt Ahl al-Bait [3], hadis Tsaqalain ini diriwayatkan lebih dari 25 orang perawi dari kalangan sahabat yang mendengarkan langsung dari Nabi Muhammad Saw. Berikut di antara nama-nama sahabat yang meriwayatkan hadis Tsaqalain:
Zaid bin Arqam. Darinya terdapat 6 jalur periwayatan sebagaimana yang tertulis dalam kitab Sunan Nasai [4], al-Mu’jam al-Kabir Thabrani [5], Sunan Tirmidzi [6], Mustadrak Hākim [7], Musnad Ahmad [8] dan sejumlah kitab yang lain.
Zaid bin Tsabit. Dimuat dalam Musnad Ahmad [9] dan al-Mu’jam al-Kabir Thabrani. [10]
Jabir bin Abdullah. Dimuat dalam kitab Sunan Tirmidzi [11], al-Mu’jam al-Kabir [12], dan al-Mu’jam al-Ausath [13] Thabrani.
Huzaifah bin Asid. Dalam kitab al-Mu’jam al Kabir Thabrani. [14]
Abu Sa’id Khudri. Dalam empat bab dari Musnad Ahmad [15] dan Dhua’fa al-Kabir al-Aqili. [16]
Imam Ali As, dengan dua jalur periwayatan yang terdapat dalam Dar al-Bahr al-Zakhār atau juga dikenal dengan kitab Musnad al-Bazzar [17] dan Kanz al-‘Ummāl. [18]
Abudzar Ghifari. Dalam kitab al-Mu’talaf wa al-Mukhtalaf Dāruqutni. [19]
Abu Huraira. Dalam kitab Kasyf al-Atsār ‘an Zawaid al-Bazār. [20]
Abdullah bin Hanthab. Dalam Usd al-Ghabah. [21]
Jubair bin Math’am. Dalam Dhalāl al-Jannah. [22] Dan sejumlah dari sahabat Anshar, di antaranya: Khuzaimah bin Tsabit, Sahl bin Sa’ad, ‘Adi bin Hatim, Uqbah bin ‘Amir, Abu Ayyub Anshari, Abu Sa’id al-Khudri, Abu Syarih al-Khaza’i, Abu Qadamah Anshari, Abu Laila, Abu al-Haitam bin al-Taihan, dan sebagian lagi dari Bani Qurays yang menghendaki Amirul Mukminin Ali bin Abi Thalib As untuk bangkit dengan menukilkan hadis Tsaqalain tersebut. [23]
Bahrani, penulis kitab Ghāyah al-Marām wa Hujjat al-Khishām juga menyebutkan bahwa hadis ini diriwayatkan melalui 39 jalur yang terdapat dalam banyak kitab Ahlusunnah.
Jadi sebagaimana yang telah disebutkan, hadis ini terdapat setidaknya dalam kitab Musnad Ahmad, Sahih Muslim, Manāqib ibn al-Maghāzali, Sunan Tirmidzi, al-‘Umdah Tsa’labi, Musnad Abi Ya’la, al-Mu’jam al-Ausath Thabrani, al-‘Umdah ibn al-Bathriq, Yanābih al-Mawaddah Qunduzi, al-Tharaif ibn al-Maghāzali, Faraid al-Simthain dan Syarah Nahj al-Balāgah Ibn Abi al-Hadid. [24]
Sumber dari Literatur Syiah Bahrani, penulis kitab Ghāyah al-Marām wa Hujjat al-Khishām menyebutkan dalam sumber periwayatan Syiah terdapat 82 hadis yang mengandung muatan sebagaimana hadis Tsaqalain, diantaranya terdapat dalam kitab al-Kāfi, Kamāl al-Din, Amāli Shaduq, Amāli Mufid, Amāli Thusi, ‘Uyun Akhbar al-Ridha, al-Ghaibat Nu’māni, Bashāir al-Darajāt dan banyak lagi dari kitab yang lain. [25] Ulama-ulama Syiah yang secara khusus membahas hadis Tsaqalain dalam karyanya diantaranya terdapat dalam kitab-kitab berikut:
1. Kitab berbahasa Persia: Hadits Tsaqalain, karya Qawam al-Din Muhammad Wasynawi Qumi,
2. Sa’ādat al-Dārin fi Syarah Hadits Tsaqalain buah karya Abdul Aziz Dahlawi.
3. Kitab berbahasa Arab: Hadits Tsaqalain karya Najm al-Din Askari, Hadits Tsaqalain karya Sayyid 4. Ali Milani dan Hadits Tsaqalain wa Maqāmāt Ahl al-Bait karya Ahmad al-Mahuzi.
Waktu dan Tempat Keluarnya Hadis Mengenai kapan dan dimana hadis Tsaqalain disampaikan oleh Rasulullah Saw, terdapat perbedaan pendapat. Misalnya, Ibnu Hajar Haitami [26] menyebutkan bahwa hadis Tsaqalain disebutkan Nabi Muhammad Saw sekembalinya dari Fathu Mekah di Thaif, namun yang lain menyebutkan waktu dan tempat yang berbeda dari pendapat tersebut.
Perbedaan pendapat yang terjadi tidak bisa ditinggalkan begitu saja, namun setidaknya bisa diambil kesimpulan bahwa terjadinya perbedaan pendapat tersebut disebabkan karena memang Nabi Muhammad Saw telah menyampaikan hadis tersebut diberbagai tempat dan waktu yang berbeda-beda. Terutama di waktu-waktu terakhir dari kehidupannya, ia sering mengingatkan kaum muslimin akan keutamaan Tsaqalain (dua pusaka berharga) yang ditinggalkannya, yaitu Al-Quran dan Ahlulbait. [27]
Berikut riwayat-riwayat yang menyebutkan tempat dan waktu keluarnya hadis ini:
1. Pada hari Arafah, disaat menunggangi unta [28] pada saat penyelenggaran haji wada’ [29]
2. Di persimpangan jalan, di sekitar wilayah Ghadir Khum, sebelum para jemaah haji terpisah satu sama lain, [30] dan setelahnya dilanjutkan dengan disampaikannya hadis Ghadir. [31]
3. Disampaikan saat khutbah di hari Jum’at bersamaan dengan disampaikannya hadis Ghadir. [32]
Sehabis shalat berjama’ah di masjid Khaif, dihari terakhir hari Tasyrik. [33]
4. Di atas mimbar. [34]
5. Di penghujung khutbah yang dibacakan untuk seluruh jama’ah. [35]
6. Di dalam khubah setiap selesai shalat berjamaah. [36]
7. Di ranjang, saat Nabi Saw terbujur sakit, sementara para sahabat berdiri mengelilinginya. [37]
Sunnah atau Itrah? Sebagian literatur Ahlusunnah menyebutkan “sunnati” sebagai pengganti “itrahti” dalam hadis Tsaqalain. [38] Namun teks tersebut jarang ditemukan, bahkan tidak terdapat sama sekali dalam kitab-kitab muktabar Ahlusunnah. Para ulama Ahlusunnah sendiri tidak memberikan perhatian yang cukup besar terhadap hadis yang memuat teks “sunnati” termasuk dari kalangan ahli kalam khususnya dalam pembahasan ikhtilaf antar mazhab.
Siapakah yang Dimaksud Itrah? Dalam banyak periwayatan, kata ‘Ahlulbait’ mucul sebagai penjelas dari ‘Itrahti’, namun sebagian riwayat hanya menyebutkan ‘Itrat’[39] dan sebagian lainnya hanya menyebut ‘Ahlulbait’ [40] yang kemudian terulang lagi ketika Nabi Saw menyampaikan pesannya. [41]
Pada sebagian periwayatan-periwayatan Syiah dari hadis Tsaqalain, mengenai penjelasan Ahlulbait Nabi Saw mengisyaratkan keberadaan 12 Imam maksum. [42]
Keutamaan Hadis Para ulama Syiah meriwayatkan hadis ini dalam banyak kitab-kitab mereka. Yang dengan keberadaan hadis tersebut, mereka menggunakannya sebagai dalil yang menguatkan aqidah Syiah mereka. Mirhamad Husain Kunturi Hindi (w. 1306 H) dalam kitab ‘Abaqāt al-Anwar, jilid 1 sampai 3 menukilkan hadis ini dengan menyandarkan pada periwayatan Ahlusunnah, dan menyebutkan betapa penting dan tingginya posisi hadis ini di sisi mereka. Dalam pembahasan mengenai imamah, hadis ini ia dahulukan sebagai hujjah dibandingkan hadis yang lain. Dari hadis ini, dapat diambil beberapa poin penting yang dapat menetapkan dan membuktikan kesahihan ajaran Syiah:
1. Kewajiban Mengikuti Ahlulbait Dalam riwayat ini, Ahlulbait diposisikan berdampingan dengan Al-Quran. Sebagaimana kaum muslimin diwajibkan untuk menataati Al-Quran, maka menaati Ahlulbait juga wajib hukumnya.
2. Kemaksuman Ahlulbait Ada dua poin yang terdapat dalam hadis Tsaqalain yang menguatkan bukti kemaksuman Ahlulbait:
a. Menegaskan jika Al-Quran dan Ahlulbait dijadikan pedoman dan petunjuk, maka tidak akan terjadi penyimpangan dan penyelewengan. Hal ini menunjukkan dalam bimbingan dan ajaran Ahlulbait tidak terdapat kesalahan sedikitpun.
b. Ketidakterpisahan Al-Quran dan Ahlulbait, Posisi keduanya sama sebagai pusaka Nabi Saw yang sangat berharga dan menjadi pedoman bagi umat manusia. Sebagimana telah menjadi kesepakatan seluruh kaum muslimin bahwa dalam kitab Al-Quran tidak terdapat kesalahan, maka tsaqal lainnya yaitu Ahlulbait, sudah tentu juga tidak terdapat kesalahan padanya. Sebagian dari muhakik/peneliti Ahlusunnah juga menjadikan hadis Tsaqalain sebagai dalil yang menunjukkan keutamaan besar yang dimiliki Ahlulbait dan hujjah atas kesucian mereka dari kotoran dan kesalahan. [43]
Keharusan Adanya Imam Pada matan hadis, juga terdapat poin penting yang menguatkan dalil akan keharusan adanya imam sampai akhir zaman.
Ketidakterpisahan Ahlulbait dengan Al-Quran menunjukan bukti akan keniscayaan imam dari kalangan Ahlulbait Nabi Saw yang akan terus bersama Al-Quran. Sebagaimana diyakini, al-Quran adalah sumber abadi pedoman dalam berislam, maka meniscayakan akan selalu ada dari kalangan Ahlulbait yang akan mendampingi Al-Quran untuk memberikan penjelasan dan sebagai sumber rujukan.
Nabi Saw menegaskan bahwa kedua pusaka berharga yang diwariskannya, tidak akan terpisah sampai Nabi Muhammad Saw ditemui di tepi telaga Kautsar.
Nabi Saw menjamin, barangsiapa mengikuti keduanya, tanpa memisahkannya, maka tidak akan tersesat selama-lamanya. Imam Zarqani Maliki, salah seorang ulama Ahlusunnah, dalam kitab Syarah a-Mawāhib [44] menukil Allamah Samhudi yang menyatakan, “Dari hadis ini dapat dipahami bahwa, sampai kiamat akan tetap ada dari kalangan Itrah Nabi Saw yang ia layak untuk dijadikan pegangan. Jadi sebagaimana yang tersurat, maka hadis ini menjadi dalil akan keberadaannya. Sebagaimana kitab (yaitu Al-Quran) tetap ada, maka mereka (yaitu Itrah) juga tetap ada di muka bumi. [45]
Ilmu Ahlulbait Sebagai Narasumber Sebagaimana diketahui bahwa Al-Quran adalah rujukan utama aqidah dan ahkam amali semua kaum muslimin, sementara hadis ini menyebutkan bahwa Ahlulbait tidak akan pernah terpisah dengan Al-Quran, maka kita dapat mengambil kesimpulan bahwa Ahlulbait adalah juga sumber rujukan keilmuan Islam yang tidak terdapat di dalamnya kesalahan. Sayid Abdul -Husain Syaraf al-Din dalam dialognya dengan Syaikh Salim Bisyri –sebagaimana dimuat dalam kitab al-Murāja’āt- menjelaskan dengan sangat baik mengenai kemarjaan ilmu para Aimmah As dan wajibnya untuk mengikuti petunjuk dan ajaran-ajaran mereka. [46]
Hadis Tsaqalain dan Pendekatan antar Mazhab Sebagaimana telah disebutkan bahwa hadis Tsaqalain adalah hadis mutawatir yang diakui kesahihannya oleh Syiah dan Sunni, maka sepatutnya keberadaan hadis ini menjadi penyebab dan pendorong upaya persatuan Islam dan upaya pendekatan antar mazhab. Sebagaimana misalnya, yang pernah diupayakan oleh Sayid Abdul Husain Syarafuddin, salah seorang ulama Syiah dengan Syaikh Salim Bisyri dari ulama Ahlusunnah. Dialog keduanya yang penuh semangat ukhuwah dan persaudaraan Islami dapat dirujuk dalam kitab al-Murājā’at. Atau sebagaimana upaya keras dan konsisten dari Ayatullah Burujerdi untuk menggalakkan aktivitas pendekatan antar mazhab yang tersinpirasi dari pesan hadis Tsaqalain ini. [47]
Catatan Kaki:
1. Kulaini, Kāfi, jld. 1, hlm. 294.
2. Nasai, al-Sunan al-Kubra, hadis 8148.
3. Atsar Ahmad Mahauzi.
4. Nasai, al-Sunan al-Kubra, hadis 8148.
5. Thabrani, al-Mu’jam al-Kabir, jld. 5, hlm. 186.
6. Tirmidzi, Sunan al-Tirmidzi, hadis 3876.
7. Hakim Naisyaburi, al-Mustadrak, jld. 3, hlm. 110.
8. Ahmad bin Hanbal, Musnad Ahmad, jld. 4, hlm. 371.
9. Ahmad bin Hanbal, Musnad Ahmad, jld. 5, hlm. 183, 189.
10. Thabrani, al-Mu’jam al-Kabir, jld. 5, hlm. 166.
11. Tirmidzi, Sunan al-Tirmidzi, jld. 5, hlm. 328.
12. Thabrani, al-Mu’jam al-Kabir, jld. 3, hlm. 66.
13. Thabrani, al-Mu’jam al-Ausath, jld. 5, hlm. 89.
14. Thabrani, al-Mu’jam al-Kabir, jld. 3, hlm. 180.
15. Ahmad bin Hanbal, Musnad Ahmad, jld. 3, hlm. 13, 17, 26, 59.
16. Al-‘Aqili, Dhu’afa al-Kabir, jld. 4, hlm. 362.
17. Al-Bazzar, al-Bahr al-Zakkhār, hlm. 88, hadis 864.
18. Mutqi Hindi, Kanz al-‘Ummāl, jld. 14, hlm. 77, hadis 37981.
19. Daruquthni, al-Mutalaf wal Mukhtalaf, jld. 2, hlm. 1046.
20. Al-Haitami, Kasyf al-Astār, jld. 3, hlm. 223, hadis 2617.
21. Ibnu Atsir, Usd al-Ghabah, jld. 3, hlm. 219, no. 2907.
22. Al-Bani, Dhalāl al-Jannah, hadis 1465.
23. Teks lengkap hadis ini terdapat dalam Istijlāb Irtiqā al-Ghraf karya Syams al-Din Sakhawi hlm. 23. Juga terdapat dalam kitab Yanābi’ al-Mawaddah Qunduzi, jld. 1, hlm. 106-107 dan al-Ishābah Ibnu Hajar ‘Asqalani, jld. 7, hlm. 284-245.
24. Bahrani, Ghāyat al-Marām wa Hujat al-Khishām, jld. 2, hlm. 304-320.
25. Bahrani, Ghāyat al-Marām wa Hujat al-Khishām, jld. 2, hlm. 320-367.
26. Al-Haitami, al-Shawāiq al-Muhriqah, hlm. 150.
27. Mufid, al-Irsyād, jld. 1, hlm. 180; Haitami, al-Shawāiq al-Muhriqah, hlm. 150; Syaraf al-Din, al-Murājā’at, hlm. 74.
28. Tirmidzi, Sunan al-Tirmidzi, jld. 5, hlm. 662, hadis 3786.
29. Ahmad bin Ali Tabarsi, al-Ihtijāj, jld. 1, hlm. 391.
30. Ahmad bin Hanbal, Musnad Ahmad, jld. 4, hlm. 371; Naisyaburi, Shahih Muslim, jld. 2, hlm. 1873.
31. Shaduq, Kamāl al-Din wa Tamām al-Ni’mah, jld. 1, hlm. 234, hadis 45 dan hlm. 268, hadis 55; Hakim Naisyaburi, al-Mustadrak, jld. 3, hlm. 109; Syamhudi, Jawāhir al-‘Aqidain, hlm. 236.
32. Ayyasyi, Kitāb al-Tafsir, jld. 1, hlm. 4, hadis 3.
33. Shafar Qumi, Bashāir al-Darajāt, hlm. 412-414.
34. Shaduq al-Amāli, hlm. 62; Juwaini Khurasani, Faraid al-Simthain, jld. 2, hlm. 268.
35. Ayyasyi, Kitāb al-Tafsir, jld. 1, hlm. 5, hadis 9; Ahmad bin Ali Thabarsi, al-Ihtijāj, jld. 1, hlm. 216.
36. Dailami, Irsyād al-Qulub, jld. 2, hlm. 340.
37. Al-Haitami, al-Shawāiq al-Muhriqah, hlm. 150.
38. Rujuk ke: Muttaqi Hindi, Kanz al-‘Ummāl, jld. 1, hlm. 187, hadis 948.
39. Rujuk ke: Shaduq, ‘Uyun Akhbār al-Ridhā, jld. 2, hlm. 92, hadis 259; Hakim Naisyaburi, al-Mustadrak, jld. 3, hlm. 109.
40. Rujuk ke: Juwaini Khurasani, Faraid al-Simthain, jld. 2, hlm. 268; Majlisi, Bihār al-Anwār, jld. 23, hlm. 131, hadis 64.
41. Rujuk ke: Ahmad bin Hanbal, Musnad Ahmad, jld. 4, hlm. 367; Darami, Sunan al-Darami, hlm. 828; Naisyaburi, Shahih Muslim, jld. 2, hlm. 1873, hadis 36; Jauni Khurasani, Faraid al-Simthain, jld. 2, hlm. 250, 268.
42. Rujuk ke: Shaduq, Kamāl al-Din, jld. 1, hlm. 278, hadis 25; Majlisi, Bihār al-Anwār, jld. 36, hlm. 317.
43. Manawi, Faidh al-Qadir, jld. 3, hlm. 18-19; Zarqani, Syarah al-Mawāhib al-Diniyah, jld. 8, hlm. 2; Sanadi, Dirāsāt al-Labaib, hlm. 233, sebagaimana dinukil oleh Husaini Milani dalam Nafahāt al-Azhār, jld. 2, hlm. 266-269.
44. Jilid 8, hlm. 7.
45. Sebagaimana yang dinukil oleh Amini dalam kitabnya al-Ghadir, jld. 3, hlm. 118.
46. Silahkan merujuk ke kitab al-Murājāt oleh Syaraf al-Din, hlm. 71-76.
47. Rujuk ke: Wa’idzhazadeh Khurasani, Hadits Tsaqalain, hlm. 39-40.
________________________________
“Aku tinggalkan kalian 2 perkara berat, yang mana jika kamu ikuti tidak akan sesat selamanya, iaitu Kitab Allah dan itrat Ahlulbait ku. Keduanya tidak akan terpisah sehingga menemuiku di Al Haudh. Aku mengingatkan kalian tentang Ahlulbaitku(Rasulullah sawa mengulang sebanyak 3 kali)
Baru-baru ini, kes laknat menjadi isu besar semula akibat perbuatan Syeikh Yasser Al Habib, yang membuat penghinaan bersifat peribadi ke atas simbol-simbol AhlulSunnah. Bagaimanapun keributan itu akhirnya dipadamkan atau berjaya diredakan dengan pengeluaran fatwa menghina peribadi-peribadi ini oleh Ayatollah Ali Khamenei.
Fatwa ini mendapat berbagai jenis reaksi, samada dari Sunni dan Syiah. Saya tidak mahu menyentuh lebih lanjut, cuma mahu menekankan isu ini dari segi melaknat.
Terdapat perbezaan besar antara menghina dan melaknat. Melaknat bukanlah semata-mata ajaran Syiah, malah ialah merupakan ajaran Islam, iaitu untuk melaknat orang-orang zalim. Begitu banyak sekali yang dapat kita temukan di dalam Al Quran dan Sunnah, Allah swt dan Rasulullah melaknat orang-orang yang zalim, yang menyakiti Rasulullah dan kaum Muslimin, penipu,pembunuh dan lain-lain.
Tidak perlu rasanya saya menyatakan kesemuanya disini kerana ia adalah satu pengetahuan umum. So, apakah laknat dari sudut pandang kaum Syiah?
Apa yang saya faham, laknat atau la’an bermakna, memohon kepada Allah swt agar menjauhkan seseorang itu dari rahmatNya. Bererti, apabila seseorang itu dilaknat, maka beliau jauh dari rahmat Allah swt. Pendek kata, laknat ialah satu permohonan doa kepada Allah swt. Laknat juga boleh dilihat sebagai satu tindakan berlepas diri dari sesuatu perkara. Jika saya melaknat seorang pembunuh, maka saya juga secara automatik, tidak meredhai tindakan beliau dan berjanji kepada diri sendiri untuk tidak mengikuti kesalahan beliau.
Perlu di ingat sekali lagi di sini, melaknat bukanlah ajaran Syiah, tetapi merupakan ajaran agama Islam. Apabila seseorang Syiah melaknat, maka ia dilakukan atas dasar individu, atas dasar cinta individu itu kepada Ahlulbait(as) dan benci mereka terhadap orang-orang yang menyakiti mereka, kerana menyakiti seorang Muslim sudah dianggap zalim, apatah lagi keluarga suci Rasulullah(sawa). Apa yang menjadi pegangan Syiah ialah Tawalla dan Tabbarra, iaitu mencintai Ahlulbait dan orang-orang yang mencintai mereka, serta menjauhi, memarahi, tidak meredhai dan berlepas tangan dari orang-orang yang menyakiti mereka.
Di sini saya bagi contoh. Sejarah membuktikan bahawa Khalifah Abu Bakr dan Umar menyakiti Fatimah(as) yang mana, keredhaan Fatimah telah disebutkan oleh Rasulullah(sawa) sebagai keredhaan baginda. Atas dasar Tawalla, maka saya akan berasa sedih kerana seseorang yang saya sayangi di sakiti, dan atas dasar Tabbarra, saya akan bertindak berlepas tangan dari tindakan pelakunya. Antara yang boleh saya lakukan:
1. Memohon Allah swt melaknat si pelaku.
2. Tidak meredhai si pelaku.
3. Tidak mencontohi si pelaku.
Mungkin terlampau jauh kalau kita ambil contoh di atas. Saya bagi contoh lagi. Bayangkan, jika ibu kita sendiri dibunuh, dihina dan diseksa. Dan kita mengetahui bahawa ibu kita ialah seorang yang baik dan beriman. Apakah perasaan kamu terhadap ibu kamu? Saya pasti kalau kamu sayangkan ibu kamu, maka kamu akan berasa sedih. Maka itulah Tawalla kamu kepada ibu kamu.
Bagaimana pula perasaan kamu kepada pembunuh itu? Marah?Benci? Masing-masing mengetahui. Jadi apakah yang boleh kamu lakukan kepada orang zalim ini? Jawapannya seperti di atas, samalah dalam konteks Ahlulbait(as) dan musuh-musuh mereka. Dan inilah pegangan Syiah. Kami tidak boleh dan tidak mampu untuk meletakkan orang yang dizalimi dan menzalimi di satu tempat yang sama, kerana kami sayangkan Ahlulbait. Sudah pasti kamu juga tidak akan meletakkan pembunuh ibu kamu dan ibu kamu di tempat yang sama, melainkan kamu ialah orang yang jahil lagi zalim, kerana jika begitu, itu bermakna kamu meredhai pembunuh itu. Bayangkanlah perasaan ibu kamu jika kamu berbuat begitu.
Imam Ali(as) pernah berkata: “Orang-orang yang menyamakan kami dengan musuh kami bukanlah dari kalangan kami.”
Itu sudah cukup menerangkan semuanya.
Tetapi melaknat juga perlu ada etikanya, dan etika inilah yang membezakan orang yang berilmu dengan yang jahil. Kami mengetahui bahawa kalian saudara dari Sunni tidak mengetahui atau tidak menerima kebenaran ini, samada kerana kejahilan atau kerana syaitan. Maka, atas dasar etika, maka tidak bolehlah untuk melaknat secara terbuka tambah-tambah di hadapan saudara Sunni yang pastinya akan tercengang mendengar perkara ini. Akhirnya, keburukan yang terhasil lebih banyak dari kebaikan yang didambakan.
Ini telah terjadi dan dapat kita lihat dari perbuatan Syeikh Yasser Al Habib. Beliau bukan sahaja tidak beretika, malah menghina peribadi tokoh-tokoh tertentu, dengan kata-kata cacian.
Islam dan Syiah tidak pernah membenarkan penghinaan kepada peribadi mana-mana manusia pun. Contohnya seperti Aisyah berada dalam neraka, Aisyah berzina(nauzubillah) dan lain-lain. Ini adalah satu perbuatan yang mendatangkan dosa walaupun kepada orang yang zalim, kerana akhirnya kita telah bersifat seperti mereka. Lalu dimanakah Tabbarra kita?
Yang dibenarkan oleh Islam dan Syiah hanyalah kritikan bersifat ilmiah dan akademik. Saya beri contoh di sini, dalam artikel saya tentang Riwayat Kontroversi Khalifah Umar, kita dapat lihat begitu banyak sekali tindakan Khalifah Umar yang bertentangan dengan dalil dan nas. Maka, setakat itu sahaja kritikan kita, iaitu terhadap kesalahan yang beliau lakukan, bukan kepada peribadi beliau. Dan inilah yang dilakukan oleh Syiah.
Seperti yang saya sebutkan di atas, laknat ialah doa, maka sewajarnya doa, biarlah ia kekal di antara kita dan Allah swt. Tidak perlu biar semua orang tahu isi doa kita.
Satu lagi yang perlu rasanya saya sebutkan, melaknat bukanlah isu utama sehari-hari dalam hidup kami. Ingatlah, biarpun jika sekalian para sahabat baik-baik belaka, maka kami masih dan akan sentiasa menjadi Syiah kepada Ahlulbait(as).
Setakat ini sahaja, salamalaikum
(Wiki-Shia/Syia-Ali/ABNS)
Post a Comment
mohon gunakan email