Daerah Yaman yang lebih luas dikendalikan oleh kelompok pemberontak bersenjata daripada pemerintah pusat. (wikimedia).
Pada bulan Maret – April 2015, para pemimpin Zionis Israel sedang bersukacita. Penyebabnya tak lain dan tidak bukan adalah operasi militer koalisi sepuluh negara pimpinan Arab Saudi untuk menghantam milisi al Khauthi di Yaman. Operasi itu bernama “Operasi Badai Tegas” alias ‘Amaliyah ‘Ashifah al Hazm atau Operation Decisive Storm.
Dinamakan demikian, barangkali untuk menegaskan kepada dunia, terutama milisi al Khauthi, bahwa operasi kali ini tidak main-main. Bila milisi al Khauthi dan siapa pun yang mendukungnya berani macam-macam, misalnya mengancam keamanan negara-negara Teluk, maka mereka akan disikat dengan tegas oleh operasi yang bagaikan badai besar bergulung-gulung.
Israel Merasa Tak Khawatir
Sebagai catatan, daratan Yaman di Jazirah Arabia berbatasan langsung dengan Saudi di sebelah utara, dan Oman di sebelah timur.
Meskipun operasi ini bernama Badai Tegas, namun koalisi militer sepuluh negara ini justeru disambut Zionis Israel dengan tempik sorak-sorai. Ya, mereka bisa menyaksikan pesawat tempur koalisi menyerang sasaran-sasaran militer al Khauthi sambil minum kopi di pagi hari. Santai dan nyaman.
Marilah kita simak tulisan kolomnis Yahudi Zvi Bar’el di media Israel Haaretz edisi 30 Mei lalu. Katanya, sejumlah negara Arab sedang membentuk sebuah kekuatan (koalisi) militer yang besar nan kuat dan, untuk pertama kalinya, Israel tidak merasa khawatir. ‘‘Bukan hanya tidak khawatir, tapi sebenarnya Israel juga gembira,’’ tulis Bar’el.
Perang konflik antara Sunni vs. Syiah mirip ketika terjadi perang konflik Kristen antara Katolik dan Protestan di Irlandia Utara di era 80-90an. Semua agama diadu domba.
Menurut Zvi Bar’el, selama beberapa generasi strategi pertahanan Israel didasarkan pada satu fokus, yaitu untuk menangkal setiap koalisi militer Arab ketimbang militer negara-negara Arab secara individu.
Namun, lanjutnya, Israel justeru melihat koalisi yang sekarang sebagai elemen yang tak terpisahkan dari kebijakan pertahanan Israel sendiri. Bahkan meskipun tidak terlibat dalam koalisi itu, Israel telah mengambil keuntungan dari koalisi militer Arab itu.
Hal yang sama dinyatakan pengamat Israel lainnya, Prof Eyal Zisser. Dalam makalahnya di media Israel Hayom (Israel Today) pada awal April 2015 lalu, ia mengatakan koalisi militer pimpinan Saudi itu adalah ‘sesuatu yang menggembirakan’.
The Jewish Press yang terbit di Amerika Serikat pekan lalu menyebutkan alasan mengapa Israel menyambut dengan suka cita terhadap koalisi bentukan Arab Saudi tersebut.
Menurut media yang meyuarakan kepentingan Yahudi itu, koalisi militer Arab untuk menyerang Israel yang dulu pernah dibentuk sejak 65 tahun lalu, kini telah dihidupkan kembali.
Namun, kali ini bukan untuk menyerang Israel, tapi untuk membendung pengaruh Syiah di Jazirah Arabia.
‘‘Negara-negara Arab Sunni yang menentang Arab Spring adalah mereka yang kini memimpin perang melawan pengaruh Syiah di Timur Tengah,’’ tulis The Jewish Press.
The Arab Spring atau al Rabi’ al ‘Araby adalah revolusi rakyat Arab untuk menentang penguasa diktator otoriter yang berlangsung sejak empat tahun lalu.
Arab Berubah: Palestina bukan lagi prioritas utama bagi bangsa-bangsa Arab dan umat Islam
Kolomnis dan wartawan senior Mesir, Fahmi Huwaidi, sepakat dengan pandangan The Jewish Press. Dalam media Aljazeera.net pada 08/04/2015 lalu, ia menyatakan kawasan Timur Tengah kini memang sedang berubah.
Apalagi bila dibandingkan dengan tahun-tahun 1950-an hingga 1970-an. Tahun-tahun ketika Liga Arab atau Arab League dan Organisasi Konferensi Islam (OKI) didirikan.
Waktu itu salah satu tujuan utama dari pendirian kedua organisasi atau lembaga itu adalah membantu perjuangan bangsa Palestina memperoleh kemerdekaan dan kedaulatan di tanah airnya sendiri.
Tanah air yang telah dighasab oleh Zionis Israel. Namun, kini nasib bangsa Palestina bukan lagi prioritas utama bagi bangsa-bangsa Arab dan umat Islam.
Walau iya pun, sudah bukan prioritas, bahkan bisa jadi semuanya hanya sandiwara belaka.
Lihat video dibawah halaman ini, This is How Middle East Countries Support Israel to Destroying Gaza Palestine.
Mengutip Huwaidi, ada dua perubahan mendasar yang terjadi pada bangsa-bangsa Arab:
Pertama, para pemimpin Arab kurang atau bahkan tidak peduli lagi pada nasib bangsa Palestina. Suasana politik, keamanan, dan bahkan kebatinan bangsa-bangsa Arab sekarang ini bahwa musuh utama mereka adalah pengaruh Syiah dan bukan lagi Zionis Israel.
Kedua, kekhawatiran terhadap pengaruh Syiah telah mengakibatkan konflik yang tadinya bernuansa politik kini berubah menjadi konflik antarmazhab atau paham keagamaan. Tepatnya antara Sunni dan Syiah. Konflik yang demikian bisa saja melampaui batas-batas negara Arab dan merembet ke negara-negara Islam (mayoritas berpenduduk Muslim) seantero jagad dunia, dan dapat berlangsung selama bertahun-tahun.
‘‘Hal inilah yang menenangkan Zionis Israel dan memunculkan rasa suka cita,’’ ujar Huwaidi.
Contoh lain mengenai perubahan negara-negara Arab yang menguntungkan Zionis Israel adalah dalam kasus Mesir. Menurut Mohammad al Minsyawi, pakar politik tentang Amerika dan direktur di Lembaga al Shuruq di Washington, selama puluhan tahun ‘akidah’ atau doktrin militer Angkatan Bersenjata Mesir adalah ‘musuh utama mereka adalah Zionis Israel’.
Arabs dan Tzipi Livni, Menteri Urusan Luar Negeri Israel dan Wakil Perdana Menteri Israel.
Namun, lanjut al Minsyawi, doktrin tersebut kini sudah tidak banyak dibicarakan lagi di kalangan militer Mesir.
Hal ini bisa terjadi, katanya seperti dikutip Aljazeera.net, adalah bentuk dari pengaruh Gedung Putih dari satu presiden ke presiden lainnya.
Pengaruh yang acap kali dibungkus dalam bentuk bantuan militer Washington ke Kairo.
Mesir hingga kini dianggap sebagai salah satu negara paling berpengaruh di Timur Tengah. Baik dari segi jumlah penduduk, politik, sosial/agama maupun militernya. Bahkan militer Mesir kini merupakan yang paling kuat di antara negara-negara Arab lainnya.
Ada empat rambu yang selalu digariskan AS dalam memberikan bantuan persenjataan/militer ke Mesir, yaitu:
1. Untuk memerangi teroris,
2. Menjaga perbatasan,
3. Mengawal serta menjaga keamanan laut, dan terakhir
4. Memelihara keamanan Sinai.
Menurut al Minsyawi, senjata bantuan dari Amerika tidak mungkin dipergunakan untuk menghadapi lawan-lawan yang tidak didukung Gedung Putih. Artinya, peralatan militer AS, termasuk persenjataannya, tidak mungkin digunakan untuk membantu bangsa Palestina menyerang Israel.
Perubahan berikutnya yang juga disambut dengan suka cita oleh Zionis Israel adalah beralihnya peta kekuatan di negara-negara Arab. Terutama menyangkut kekuatan ekonomi, militer, dan kemudian politik.
Pada era 1980-1990-an, kekuatan dibagi banyak negara. Ada Irak, Suriah, Libya, Mesir, dan Aljazair.
Negara-negara Teluk pada saat itu bisa dikatakan hanyalah anak bawang. Kini negara-negara Teluk yang justru menjelma menjadi kekuatan utama Liga Arab, selain Mesir.
Salah satu contoh pengaruh negara-negara Teluk, terutama Arab Saudi, adalah pembentukan koalisi militer untuk menyerang milisi al Khauthi di Yaman. Dengan pengaruh politik dan ekonominya, Arab Saudi telah berhasil menjadikan isu keamanan negaranya menjadi masalah keamanan Teluk dan bahkan Liga Arab.
Mengutip pandangan Fahmi al Huwaidi, Liga Arab sekarang ini sebenarnya adalah Liga Teluk (Dewan Kerja Sama Teluk/Majelis at Ta’awun li Duali al Khalij al ‘Arabiyah). Pengaruh negara-negara Teluk yang kuat tentu akan menguntungkan Israel. Sebab, negara-negara yang tergabung dengan Dewan Kerja Sama Teluk selama ini dikenal dekat dengan Barat/AS, sementara Barat adalah pendukung utama eksistensi Zionis Israel.
Semua perubahan yang terjadi di negara-negara Arab itulah yang kemudian disambut Zionis Israel dengan suka cita. Sebaliknya, kasihan pada nasib bangsa Palestina.
Inikah Penyebab Arab Takut Lawan Israel?
Melihat serangan koalisi Arab Saudi terhadap pemberontak Houthi di Yaman, memunculkan beragam pertanyaan. Koalisi tersebut lebih memilih menyerang Houthi yang berafiliasi ke Syiah Iran, ketimbang membungihanguskan Israel penjajah sejati. Lantas, benarkah ketidakberanian Arab terhadap Israel itu dipicu trauma atas kekalahan mereka perang melawan Israel sepanjang sejarah?
Sejarah mencatat, Arab harus menelan kekalahan terus menerus melawan Israel. Dalam Perang Arab-Israel Pertama, menyusul pendirian negara Israel 14 Mei 1948 di bawah pimpinan David Ben Gurion, aliansi negara Arab takluk di hadapan Israel.
Dalam perang yang berlangsung selama hampir 10 bulan itu (sejak 15 Mei 1948 hingga 10 Maret 1949—Red), pasukan Yordania, Mesir, Suriah, Irak, Lebanon, dan Arab Saudi bergerak ke Palestina untuk menduduki daerah-daerah yang diklaim sebagai wilayah ‘negara Israel’. Ada sekitar 45 ribu tentara yang dikerahkan oleh negara-negara Arab tersebut pada waktu itu.
“Sementara, di pihak Israel sendiri awalnya hanya diperkuat oleh 30 ribu prajurit, namun pada Maret 1949 meningkat jumlahnya menjadi 117 ribu tentara,” ungkap Yoav Gelber dalam buku Palestine 1948: War, Escape and the Emergence of the Palestinian Refugee Problem.
Perang Arab-Israel Pertama berakhir dengan kekalahan di pihak negara-negara Arab. Menurut catatan, jumlah tentara Arab yang gugur mencapai 7.000 orang.
Perang itu juga menewaskan 13 ribu warga Palestina. Di samping itu, berdasarkan hasil penghitungan resmi PBB, ada 711 ribu orang Arab yang menjadi pengungsi selama pertempuran berlangsung.
Sebagai akibat dari kemenangan Israel tersebut, setiap orang Arab yang mengungsi selama Perang Arab-Israel Pertama, tidak diizinkan untuk pulang ke kampung halaman mereka yang kini sudah diklaim Zionis sebagai wilayah negara Israel.
“Oleh karenanya, para pengungsi Palestina yang kita jumpai hari ini adalah keturunan dari orang-orang Arab yang meninggalkan tanah air mereka ketika terjadinya perang 1948-1949,” tutur Erskine Childers lewat tulisannya, The Other Exodus The Spectator, yang dipublikasikan dalam buku The Israel-Arab Reader: A Documentary History of the Middle East Conflict,(1969).
Perang Arab-Israel kembali meletus ketika Mesir melakukan nasionalisasi terhadap Terusan Suez pada 1956. Kebijakan yang digawangi oleh Presiden Mesir Gamal Abdul Nasser itu mendorong Israel untuk menginvasi Semenanjung Sinai, sehingga menyebabkan peristiwa yang dikenlan sebagai ‘Krisis Suez’.
Tak lama berselang, pasukan Inggris dan Prancis juga mendarat di Pelabuhan Suez. Keikutsertaan dua negara Eropa itu dalam konflik tersebut seolah-olah untuk memisahkan pihak yang bertikai. Namun, motivasi mereka sebenarnya pada waktu itu hanya untuk melindungi kepentingan investor di negara-negara yang terkena dampak nasionalisasi Terusan Suez oleh Mesir.
Perang Arab-Israel yang kedua ini berakhir dengan kesepakatan damai. Mesir setuju untuk membayar jutaan dolar kepada Suez Canal Company—selaku pemegang otoritas Terusan Suez sebelum dinasionalisasi oleh Presiden Nasser.
Pada dekade berikutnya, hubungan Israel dengan negara-negara tetangga Arab tidak pernah sepenuhnya normal. Menjelang Juni 1967, ketegangan antara Mesir dan Israel kembali meningkat. Mesir memobilisasi pasukannya di sepanjang perbatasan Israel di Semenanjung Sinai.
Sementara, Israel meluncurkan serangkaian serangan udara terhadap lapangan udara Mesir pada 5 Juni. Peristiwa itu menimbulkan Perang Arab-Israel Ketiga yang berlangsung selama enam hari.
Dalam perang tersebut, Mesir juga dibantu oleh sejumlah negara Arab lainnya, yaitu Yordania dan Suriah. Di samping itu, Arab Saudi, Kuwait, Libya, Maroko, dan Pakistan juga ikut mendukung Mesir dalam pertempuran tersebut.
Hasilnya, Mesir dan koalisi negara-negara Arab kembali menelan kekalahan. Menurut catatan, ada sekitar 19 ribu tentara Arab yang hilang atau gugur di medan perang kala itu.
Meski berulangkali menderita kekalahan, upaya yang dilakukan Arab Saudi, Mesir, Yordania, Suriah, Irak, dan Lebanon untuk membela Palestina di masa lalu menunjukkan betapa tingginya rasa solidaritas mereka sebagai sesama bangsa Arab pada waktu itu. Catatan sejarah tersebut menjadi ironis, mengingat hari ini negara-negara Arab saling menuduh kafir dan memerangi saudara mereka sendiri di Yaman.
(sumber: republika.co.id, Ikhwanul Kiram Mashuri, Ahmad Islamy Jamil, Nasih Nasrullah / berbagai sumber lain / IndoCropCircles)
VIDEO:
Illuminati Satanic Behind Conflict Sunny vs. Syiah (Text Indonesia)
This is How Middle East Countries Support Israel to Destroying Gaza Palestine
Capitalism Make Radicalism and Terrorism
Akar Konflik Palestina vs Israel (Text Indonesia) (6 Part Auto) : Part-1, Part-2, Part-3, Part-4, Part-5
(Republika/Indocropcircles/ABNS)
Post a Comment
mohon gunakan email