Siapakah Pembuat Ricuh Saat Nabi Sakit?
Tulisan ini berkaitan dengan isu tragedi kamis kelabu yang menimpa Rasulullah Sawaw. Dulu pada awal-awal semester kuliah, saya pernah menerbitkan sebuah buletin dakwah dan pernah memuat tulisan tentang tragedi kamis kelabu ini. Tanpa disangka buletin dengan penampilan seadanya, dapat memunculkan reaksi yang begitu hebat dari sebagian orang yang tidak sepakat dengan tulisan-tulisan di buletin yang saya buat tersebut.
Sebagai reaksi atas buletin saya, ada sebagian orang yang kemudian membuat buletin baru yang bernama Al-Hujjah yang pernah mengaku sebagai Ahlulsunnah dan tulisannya khusus untuk membantah setiap tulisan yang dimuat di buletin saya. Salah satunya ialah tulisan tentang Tragedi Kamis Kelabu.
Di blog ini, sudah pernah saya bahas, antara lain:
Kamis Kelabu I dan Kamis Kelabu II
____________________________________
OH…KAMIS KELABU
Oleh: Husaini
Bulan ini adalah Bulan Maulid. Biasanya
kaum Muslimin di seluruh dunia memperbanyak shalawat di bulan ini.
Mereka mengenang kembali sejarah-sejarah Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi
Wa Alihi Wassalam (Selanjutnya disingkat menjadi Sawaw), bagaimana
beliau beserta para sahabatnya berjuang menegakkan syariat Islam.
Di bulletin-bulletin dakwah biasanya para
penulis menceritakan bagaimana saat-saat kelahiran Rasulullah Sawaw
atau menceritakan betapa mulianya akhlak beliau, betapa cintanya beliau
kepada umatnya.
Tetapi pada kesempatan kali ini saya
tidak akan bercerita mengenai itu semua. Semua cerita-cerita itu sudah
sering di bawakan oleh para ustadz di mimbar-mimbar masjid, sudah sering
ditulis di bulletin-bulletin dakwah. Mungkin tulisan saya ini bukanlah
sebuah artikel ilmiah, tetapi hanya sebuah penceritaan ulang sejarah
Rasulullah Sawaw dan mungkin apa yang akan saya sampaikan ini jarang
sekali kita dengar. Seharusnya ketika anda membaca riwayat yang akan
saya tulis di bawah ini, anda tidak akan tersenyum bahagia, tetapi
sebaliknya anda mungkin akan terheran-heran bahkan meneteskan air mata.
Menurut riwayat -katanya- Rasulullah
lahir pada tanggal 12 Rabiul Awal dan meninggalpun pada tanggal 12
Rabiul Awal. Riwayat ini katanya shahih. Tetapi anehnya kaum Muslimin
jarang ada yang tahu bahwa tanggal dan bulan meninggalnya Rasulullah
Sawaw sama dengan kelahirannya. Bahkan yang lebih parah lagi banyak kaum
Muslimin yang tidak mengetahui bagaimana sejarah meninggalnya
Rasulullah Sawaw (Yang Shahih). Saya baru-baru ini mengetahui sejarah
meninggalnya Rasulullah tatkala saya membaca kitab-kitab hadits yang
terdapat dalam sebuah perpustakaan.
Jadi, ketika Rasulullah Sawaw sakit
keras, beliau meminta kertas dan tinta-sebagaimana yang diriwayatkan
Bukhari- untuk menuliskan wasiat yang mana jika kita berpegang teguh
kepada wasiat itu, kita tidak akan tersesat selama-lamanya. Namun
Sayyidina Umar bin Khattab ra menjawab, “Ya Rasulullah, cukuplah bagi
kami Kitabullah (Al-Qur’an)” Lalu terjadilah kericuhan. Ada sebagian
orang yang meminta agar permintaan Rasulullah itu dipenuhi dan ada
sebagian orang yang mengikuti pendapat Sayyidina Umar ra. Melihat
keadaan itu, Rasulullah Sawaw pun marah dan berkata, “Keluar kalian dari
sini, tidak pantas kalian bertengkar di hadapanku.” Ibnu Abbas menyebut
peristiwa ini sebagai “Kamis Kelabu”, dia pun berkata, “Bencana
terbesar adalah terhalangnya Nabi dari penulisan wasiat itu.”
Seperti inilah kisah tragis Sang Nabi
Besar yang permintaan terakhirnya ditolak oleh sahabatnya sendiri.
Padahal kepada orang yang divonis hukuman mati pun masih diberikan
kesempatan untuk mengajukan permintaan terakhirnya sebelum dieksekusi.
Lalu kenapa kepada Rasulullah, kekasih Allah SWT yang tentunya lebih
mulia dari orang yang divonis hukuman mati, kita berani menolak
permintaan terakhir beliau? Padahal jika kita mencermati riwayat di
atas, kita akan mengetahui bahwa wasiat yang akan disampaikan beliau itu
untuk keselamatan kita semua dari jalan kesesatan. Permintaan
Rasulullah itu untuk kebaikan kita semua, bukan untuk kebaikan
Rasulullah? Lalu mengapa masih saja ada orang yang menunjukkan
kesombongannya dengan menolak permintaan Rasulullah itu? Bahkan menurut
sebagian riwayat, Sayyidina Umar berkata, “Jangan, Rasulullah sedang
sakit keras, beliau sedang mengigau.” Kepada Rasulullah-pun ada di
antara kita yang berani mengatakan bahwa Rasulullah sedang mengigau.
Padahal Allah telah berfirman dalam al-Qur’an bahwa Ucapan Rasulullah
bukanlah menurut hawa nafsunya, melainkan wahyu semata.
Lalu apa wasiat Rasulullah itu? Kalau
kita mencermati riwayat di atas, Rasulullah berkata jika kita berpegang
teguh kepadanya maka kita tidak akan tersesat selama-lamanya. Riwayat
ini mirip dengan riwayat mengenai 2 pusaka sepeninggal Rasulullah Sawaw.
Rasulullah bersabda, “Aku tinggalkan pada
kalian dua pusaka yang berharga, Al-Qur’an dan Ithrah Ahli Baitku,
kalau kalian berpegang teguh pada keduanya kalian tidak akan sesat.”
Terdapat kesamaan antara riwayat wasiat
Rasulullah dengan riwayat 2 pusaka di atas, yaitu jika kita berpegang
teguh kepadanya kita tidak akan tersesat selama-lamanya. Apakah mungkin
wasiat yang hendak disampaikan oleh Rasulullah adalah Al-Qur’an dan
Ithrah Ahli Bait? Wallahu a’lam, yang jelas terdapat kesamaan tujuan
dari kedua riwayat tersebut, yaitu agar kita tidak tersesat
selama-lamanya.
Riwayat 2 pusaka di atas diriwayatkan
oleh Muslim, Kitab Fadhoilus Sohabah Bab Fadhail Ali; Turmudzy Juz 2,
ha. 308; Mustadrak al-Hakim Juz 4, ha. 48, 109; Musnad Ahmad Juz 3, hal.
17, Nasa’i Kitab Khosois Imam Ali. Riwayat ini dikenal dengan Hadits
Tsaqalain dan hadits ini pun derajatnya shahih. Hampir seluruh kitab
hadits meriwayatkan hadits ini, hanya Bukhari saja yang tidak
meriwayatkannya. Tetapi anehnya, mayoritas kaum Muslimin tidak mengenal
hadits ini, mereka lebih mengenal hadits:
“Aku tinggalkan pada kalian dua pusaka
yang berharga, Al-Qur’an dan Sunnahku, kalau kalian berpegang teguh
kepada keduanya kalian tidak akan tersesat.”
Hadits ini menurut sebagian ulama tidak
pantas kita ikuti, yang pantas kita ikuti adalah hadits yang mengatakan
bahwa 2 pusaka peninggalan Nabi adalah al-Qur’an dan al-Ithrah Ahli
Baitku. Wallahu a’lam bishawab. []
*Pernah juga dimuat Lembaran Dakwah Pintu Ilmu
*****
Oh…Kamis Kelabu II
(Bantahan atas artikel Riwayat Shahih Seputar Meninggalnya Rasulullah, Buletin Al-Hujjah)
(Bantahan atas artikel Riwayat Shahih Seputar Meninggalnya Rasulullah, Buletin Al-Hujjah)
Beberapa waktu lalu telah terbit sebuah tulisan yang
mengulas masalah TRAGEDI KAMIS KELABU yang dikeluarkan oleh buletin
al-Hujjah. Buletin tersebut menurunkan topik untuk menanggapi tulisan
“Oh…Kamis Kelabu” yang dikeluarkan oleh Lembaran Dakwah PINTU ILMU.
Namun, yang patut disayangkan bahwa buletin al-Hujjah telah melakukan
berbagai kesalahan yang fatal dalam laporannya. Pada kesempatan kali ini
kami akan menanggapi tulisan dalam bulletin al-Hujjah tersebut.
Apa itu Tragedi Kamis Kelabu?Tragedi kamis kelabu adalah peristiwa terhalangnya Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Aalihi wasallam (Sawaw) dari penulisan wasiat. Riwayat tragedi kamis kelabu ini banyak diriwayatkan di dalam kitab-kitab hadits terkenal. Keshahihan riwayat ini tidak diragukan lagi. Berikut beberapa riwayatnya:
al Bukhari, Sahih, Jilid IV vol 5, Hadis diatas juga dirawikan al Bukhari di kitab sahih Bab al Ilm Jilid 1 hal 2. melalui sanad ‘Ubaidillah bin Abdullah dari ibnu Abbas yang berkata: “Ketika ajal Rasulullah Sawaw telah hampir, dan dirumah beliau ada beberapa orang, diantara mereka, umar bin khatab, beliau (Saw) bersabda Mari kutuliskan bagi kamu sebuah surat (wasiat) agar sesudah itu kamu tidak akan pernah sesat. Namun Umar berkata: Nabi telah makin parah sakitnya, sedangkan al-Qur’an ada pada kalian. Cukuplah Kitab Allah bagi kita! MAKA TERJADILAH PERSELISIHAN DI ANTARA ORANG YANG HADIR DAN MEREKA BERTENGKAR. Sebagian berkata, sediakan apa yang diinta oleh Nabi Sawaw Agar beliau menuliskan bagi kamu sesuatu yang menghindarkan kamu dari kesesatan. Tetapi sebagian lainnya menguatkan ucapan Umar. Dan ketika keributan dan pertengkaran makin bertambah di hadapan Nabi Sawaw, beliau memerintahkan: Keluarlah kalian dari sini!
Pada riwayat yang lain di kitab shahih Bukhari, Kalimat “Namun Umar berkata” diganti dengan “Mereka berkata”. Berikut riwayatnya:
Bukhari hadis No. 2846 – Ditulis Oleh Said bin Jubair. Ibn Abbas berkata. “Kamis ! Apa (Hal yang besar/hebat) terjadi di hari kamis !” Kemudian dia mulai menangis sampai air matanya membasahi tanah. Kemudian dia berkata,”Pada hari kamis penyakit Rasulullah bertambah parah, kemudian beliau bersabda, “Berikan aku alat-alat tulis sehingga aku bisa menulis sesuatu kepadamu, agar kamu tidak pernah tersesat.” Orang-orang (yang ada di sana) berbeda dalam hal ini sedangkan tidak boleh berbeda di depan seorang rasul. Mereka berkata,”Rasul Allah sedang menderita sakit yang sangat parah.’ Sang nabi berkata, “Biarkan aku sendiri, dalam keadaan aku yang sekarang, lebih baik daripada apa yang kalian kira.” Sang rasul yang sedang berada dalam ranjang kematiannya memberi tiga perintah(nasihat). Usir para penyembah berhala dari tanah arab, hormati para perwakilan orang2 luar negeri sebagaimana kau pernah melihatnya aku melakukan hal itu. “Saya lupa perintah yang ketiga”(Ya’qub bin Muhammad said, “Aku bertanya kepada Al-Mughira bin’Abdur rahman tentang ‘tanah arab’ dan dia berkata,’tanah arab itu”Mekkah,Madinah, Al – Yama, dan yaman.”yaqub menambahkan,” dan Al- Arj,awal dari tihama.”)
Bahkan menurut riwayat lain yaitu Bukhari hadits no. 2951, Umar berkata: “Ada apa dengan beliau? Apakah beliau sedang mengigau?”Buletin al-Hujjah mencantumkan beberapa riwayat mengenai kamis kelabu yang redaksinya agak berbeda dengan riwayat-riwayat di atas. Berikut kutipannya:
Dari Ibnu Abbas ketika Rasulullah Sawaw menjelang wafat, sedang di rumah Rasulullah Sawaw saat itu ada beberapa orang laki-laki, salah satunya adalah Umar bin Khattab, Rasulullah bersabda, “Marilah aku tuliskan sebuah tulisan yang kalian tidak akan sesat jika kalian mengikuti tulisanku itu. Lalu Umar berkata: “Rasulullah sedang sakit parah sedangkan di tengah kalian ada al-Qur’an, maka cukuplah Kitab Allah sebagai pedoman.” AHLULBAIT PUN BERBEDA PENDAPAT dan mereka pun saling mendebat……………..”
Dari riwayat yang dicantumkan oleh penulis di buletin al-Hujjah ada 3 buah penafsiran mengenainya:
1. Penafsiran pertama, Kalimat “Ahlulbayt pun berbeda pendapat dan mereka pun saling mendebat…” berarti bahwa di antara Ahlulbayt terjadi perbedaan pendapat. Dan inilah penafsiran yang diyakini oleh penulis di buletin al-Hujjah tersebut bahwa yang membuat keributan adalah Ahlulbait yang di sini mereka artikan sebagai keluarga Nabi. Mereka menafsirkan bahwa di antara Ahlulbait (keluarga Nabi) terjadi perbedaan pendapat dan di antara mereka terjadi perdebatan yang mengakibatkan Nabi memerintahkan keluar.
2. Penafsiran yang kedua, kalimat “Ahlulbayt pun berbeda pendapat dan mereka pun saling medebat…” orang-orang yang ada di dalam rumah berbeda pendapat dan mereka pun saling mendebat.”
3. Penafsiran yang ketiga, bahwa kalimat “Ahlulbaytpun berbeda pendapat dan saling mendebat…” tidak dapat diartikan di antara Ahlulbayt terjadi perbedaan pendapat dan di antara mereka terjadi perdebatan. Kalimat “Ahlulbayt pun berbeda pendapat…” itu ada setelah kalimat “Umar berkata, ‘Rasulullah sedang sakit parah sedangkan di tengah kalian ada al-Qur’an, maka cukuplah Kitab Allah sebagai pedoman.” Jadi seolah-olah Ibnu Abbas itu ingin menunjukkan kepada kita semua bahwa ketika Rasulullah meminta kertas dan tinta, Umar menghalanginya karena menurut Umar Rasulullah sedang sakit parah bahkan mengigau. Lalu Ibnu Abbas juga ingin menunjukkan kepada kita bahwa ketika Umar berpendapat seperti itu, Ahlulbayt berbeda pendapat dengan Umar bin Khattab dan akhirnya di antara para sahabat terjadi perdebatan bahkan sampai berujung pada pertengkaran. Sebagian dari sahabat berpendapat seperti pendapat Ahlulbayt yang meminta dipenuhinya permintaan Rasulullah, sedangkan sebagian yang lainnya mengikuti pendapat Umar. Inilah penafsiran yang kami yakini. Apa dasarnya?
Hadits riwayat Ibnu Abbas ra: Dari Said bin Jubair ia berkata: Ibnu Abbas ra berkata: Hari kamis, apakah hari kamis itu? Kemudian ia menangis sehingga air matanya membasahi batu kerikil. Maka aku bertanya: Wahai Ibnu Abbas, ada apa dengan hari Kamis? Ia menjawab: Pada hari itu penyakit Rasulullah Sawaw bertambah parah kemudian beliau bersabda: Kemarilah, aku akan menuliskan untukmu suatu wasiat sehingga kamu tidak akan tersesat setelahku. LALU PARA SAHABAT BERTENGKAR, padahal tidak pantas terjadi pertengkaran di hadapan Nabi. Mereka berkata: Apa yang terjadi dengan beliau, apakah beliau sedang mengigau? Tanyakanlah maksudnya kepada beliau!……………… (Shahih Muslim, Hadits No. 3089)Hadits tersebut kami dapatkan dari : “http://hadits.al-islam.com/bayan/display.asp?Lang=ind&ID=941”
Kami yakin penulis di buletin al-Hujjah itu meyakini kebenaran website tersebut. Jadi bukan Ahlulbayt yang membuat keributan, tetapi sahabat Nabi-lah yang membuat keributan. Apa yang menyebabkan para sahabat Nabi membuat keributan? Jika dibaca dengan teliti, kekisruhan, perpecahan dan kegaduhan tersebut justru dipicu oleh pernyataan Umar bin Khattab ra yang menghalangi permintaan Rasulullah itu. Itulah penyebab pertamanya, coba seandainya Umar tidak menghalangi permintaan Rasulullah itu, maka tidak akan terjadi perbedaan pendapat yang berujung kepada kegaduhan. Jika buletin al-Hujjah menyebutkan bahwa Ahlulbayt sebagai sumber perpecahan dan kegaduhan, karena di satu pihak ahlulbayt mendukung pendapat Umar dan yang lain menolak, maka itu hanyalah opini dari buletin al-Hujjah yang tidak memiliki hujjah apapun.
Sepengetahuan kami, para ulama-ulama besar tidak ada satupun yang berpendapat seperti yang dituliskan oleh al-Hujjah yang menuduh Ahlulbayt sebagai sumber perpecahan. Justru para ulama berpolemik pada pernyataan Umar bin Khattab ra tentang mengapa Umar menolak, mengapa mengatakan meracau, berikut pernyataan dan kritik para ulama:
al Qadhi Iyadh al syafi’i dalam al Syifa. al kirmani dalam Syarhu Sahih al Bukhari dan al Nawawi dalam Syarhu Sahih Muslim, para ulama terebut merasa keheranan, mengapa Umar ibnu Khatab ra, yang pergaulanya dengan Nabi saw cukup lama, dan ia mengetahui posisi Nabi, kenapa sampai menisbahkan kepada Nabi kata-kata al hajara (mengigau). Ulama tersebut mengatakan menisbahkan mengigau (hajara) kepada Rasulullah saw sama artinya tidak tahu makna kenabian dan kerasulan. Karena seluruh Nabi yang agung, dalam masa penyampaian risalahnya, dan memberikan petunjuk kepada umatnya, mereka terjaga dari kesalahan dan kekeliruan. Mereka juga menerima perintah dari Allah dan berhubungan dengan alam ghaib, baik dalam kondisi sehat maupun sakit.
Syekh Muhammad Musawi menunjukan keheranan pula dengan ucapan sayidina umar bin khatab ra, beliau mengatakan “Para ahli bahasa mengatakan al hujru dengan dhommah bermakna sesuatu yang keji atau kotor, kalau di fathah “al hajru” artinya kacau atau ngigau. padahal posisi ini sangat jauh dari posisi dan kedudukan Nabi saw, sebagaimana jaminan Allah atas nabi saw ” Demi bintang ketika terbenam, Kawanmu (Muhammad) tidak sesat. dan tidak pula keliru, dan tiadalah yang diucapkanya itu (al Qur’an) menurut kemauan hawa nafsunya, ucapanya itu tiada lain hanyalah wahyu yang diwahyukan (kepadanya) (QS al Najm (53): 1-4). Beliau melanjutkan Bukankah kita diperintahkan untuk taat, sebagaimana perintah Allah, Apa yang datang dari Rasul, maka ambilah Dan apa yang dilarangnya, maka tinggalkanlah (QS al hasyr (59):7) taatlah kepada Allah dan taatlah kepada rasul-Nya (QS al Nisa (4):59) dari firman-Nya tersebut kita diperintahkan tanpa syarat, baik kondisi Rasul sehat maupun sakit, hal ini diperintahkan pula oleh Allah ” Dan tidaklah patut bagi laki-laki yang mukmin dan tidak pula bagi perempuan yang mukmin, apabila Allah dan rasul-Nya telah menetapkan sesuatu ketetapan akan ada bagi mereka pilihan (yang lain) tentang urusan mereka. Dan barangsiapa mendurhakai Allah dan Rasul-Nya maka sesungguhnya ia telah sesat, dalam kesesatan yang nyata (QS al Ahzab (33):36). Selain itu ungkapan keras melarang memberikan diwan dan kertas bertentangan dengan firman Allah “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu meninggikan suaramu lebih dari suara Nabi, dan janganlah kamu berkata kepadanya dengan suara keras, sebagaimana kerasnya suara sebagian kamu terhadap sebagian lainya. supaya tidak hapus (pahala) amalmu, sedangkan kamu tidak menyadari (QS al Hujurat (49):2). keheranan kami kepada Sayidina Umar ra mengapa ditahanya Rasul saw dalam membuat wasiat, bukankah Allah memerintahkan ” Diwajibkan atas kamu apabila seorang diantara kamu kedatangan (tanda-tanda) maut,jika ia meninggalkan harta yang banyak, berwasiay untuk ibu – bapa dan karib kerabatnya secara ma’ruf. Ini adalah kewajiban bagi orang-orang yang bertakwa (QS al baqarah (2):180)
Qathbu al din al Syirazi menuliskan keherananya terhadap sikap Umar bin Khathab ra ini, dalam Kasyfu al ghuyub ” Bagi setiap manusia pasti memiliki penunjuk jalan, yang menunjukkan mereka pada kebenaran dan jalan yang lurus. Maka saya heran dengan ucapan Umar bin Khatab, “Cukuplah Kitab Allah ” Dengan ucapan ini, ia menolak adanya penunjuk jalan dan pemberi petunjuk. Agar anda lebih mudah memahami keheranan al Syirazi ini kami berikan ilustrasi sederhana, taruhlah anda seorang mahasiswa kedokteran, yang mensyaratkan paham ilmu kedokteran dengan panduan buku – buku kedokteran yang dijelaskan oleh ahli kedokteran. Tetapi anda -mahasisawa kedokteran- mengatakan CUKUP BAGI KAMI BUKU-BUKU KEDOKTERAN KITA TIDAK BUTUH PENJELASAN APAPUN DARI AHLI KEDOKTERAN YANG MENGAJAR (DOSEN)”
Para ulama tidak satupun menyebut sumber perpecahan itu adalah Ahlulbayt, semuanya menyatakan keheranannya atas ucapan Umar bin Khattab yang berujung pada kekisruhan. Hanya buletin al-Hujjah saja yang menyebut Ahlulbayt sebagai sumber perpecahan. Al-Hujjah tengah berusaha menggiring opini publik (dengan fitnah) bahwa Ahlulbayt (keluarga Nabi) lah yang bertanggungjawab terhadap perpecahan, keributan dan kekisruhan, dengan opininya sendiri. Bahkan menggiring opini publik untuk membenci Ahlulbayt (keluarga Nabi) karena menyebabkan kekisruhan.
Kami hanya mengingatkan, Rasulullah telah memperingatkan kepada siapa saja yang membenci Ahlulbayt, Rasulullah sawaw bersabda: “wahai manusia, barang siapa yang membenci kami, Ahlulbayt, Allah akan mengumpulkannya pada hari kiamat sebagai Yahudi. Jabir bin Abdullah bertanya: “wahai rasulullah, walaupun ia mengerjakan puasa dan shalat?” beliau menjawab: “Sekalipun ia mengerjakan puasa, shalat, dan menyatakan dirinya sebagai muslim.” Diriwayatkan al-Haitsami, Kitab Majma’ al-Zawa’id; Ibn Asakir Kitab Tarikh seperti yang terdapat dalam Kitab Tahdzib Juz 6 hlm. 67 dari Jabir bin Abdullah.
Untuk mengakhiri tulisan ini, kami akan mencantumkan hadits riwayat turmudzi. Rasulullah berkata: “Cintailah Allah karena karunia-Nya yang melimpah. Cintailah aku karena-Nya. Dan Cintailah Ahlulbayt karenaku.”Rasulullah memerintahkan kita untuk mencintai Ahlulbayt karena kecintaan kita kepada Rasulullah. Jadi salah satu ukuran kita mencintai Rasulullah adalah kecintaan kita kepada keluarga Nabi. Lalu bagaimana dengan sikap al-Hujjah? Sungguh…mereka telah memfitnah keluarga Nabi dengan fitnah yang keji. Naudzubillahi min dzalik…kami berlindung dari sikap keji seperti itu. Wallahu a’lam bishawab. []
1. https://ressay.wordpress.com/2007/03/31/oh%E2%80%A6kamis-kelabu/
2. https://ressay.wordpress.com/2007/04/10/ohkamis-kelabu-ii/
____________________________________
Dalam salah satu tulisannya, buletin Al-Hujjah pernah menulis bahwa saat Nabi sedang sakit keras, beliau meminta dibawakan kertas dan tinta agar Nabi dapat menuliskan wasiatnya agar umat sepeninggal beliau tidak tersesat, Umar berkata: Nabi sedang sakit keras dan Al Qur’an ada di tengah kalian, cukup bagi kami kitab Allah. Setelah Umar berkata seperti itu, terjadilah perdebatan diantara orang-orang yang ada, yang kemudian menyebabkan Nabi mengusir mereka semua.Persoalannya ialah, siapakah yang berdebat dan membuat kericuhan itu? Menurut Buletin Al-Hujjah, mereka yang berbuat kericuhan dihadapan Nabi ialah Ahlulbayt. Mereka berangkat dari riwayat:
قال هلم أكتب لكم كتابا لن تضلوا بعده قال عمر إن النبي صلى الله عليه وسلم غلبه الوجع وعندكم القرآن فحسبنا كتاب الله واختلف أهل البيت اختصموا فمنهم من يقول قربوا يكتب لكم رسول الله صلى الله عليه وسلم كتابا لن تضلوا بعده ومنهم من يقول ما قال عمر فلما أكثروا اللغط والاختلاف عند النبي صلى الله عليه وسلم قال قوموا عني . قال عبيد الله فكان بن عباس يقول إن الرزية كل الرزية ما حال بين رسول الله صلى الله عليه وسلم وبين أن يكتب لهم ذلك الكتاب من اختلافهم ولغطهم ) . البخاري حديث رقم : 6932 كتاب الاعتصام بالكتاب والسنة / باب كراهية الاختلاف
Nabi bersabda: mari aku tuliskan bagi kalian tulisan yang kalian tidak akan sesat jika mengamalkannya, Umar berkata: Nabi sedang sakit keras dan Al Qur’an ada di tengah kalian, cukup bagi kami kitab Allah, lalu Ahlul Bait berselisih dan bertengkar, sebagian dari mereka mengatakan: dekatkan pena pada Nabi agar Nabi menulis wasiat yang kalian tidak akan sesat selamanya, sebagian lagi mengatakan seperti ucapan Umar. ketika mereka ribut dan berselisih di depan Nabi, Nabi bersabda: pergi kalian dari sini. Ubaidillah berkata: Ibnu Abbas mengatakan benar-benar musibah, yaitu perselisihan dan keributan mereka hingga menghalangi Nabi dari menulis wasiat. Shahih Bukhari Kitab I’tisham bil Kitab Was Sunnah, Bab Karahiyatil Ikhtilaf
Kalimat yang saya cetak tebal, baik yang bahasa arab maupun bahasa indonesia, mereka tafsirkan bahwa yang membuat kericuhan ialah Ahlulbayt Nabi dalam pengertian orang-orang syi’ah.
Seperti kita ketahui bersama bahwa orang-orang syi’ah berkeyakinan bahwa Ahlulbayt Nabi adalah orang-orang yang telah disucikan oleh Allah dalam surat 33 ayat 33 dan ketaatan kepada Ahlulbayt Nabi merupakan manifestasi dari ketaatan terhadap Allah dan Rasul-Nya.
Menurut Al-Hujjah, aneh betul Ahlulbayt yang katanya sudah disucikan dan diwajibkan taat kepada mereka, kok malah membuat Nabi marah dan mengusir mereka. Ahlulbayt berdebat di depan Nabi sedangkan tidak boleh berdebat dihadapan Nabi.
Pendapat Al-Hujjah ini ternyata diamini oleh pemilik website hakekat.com. yang juga pernah mengaku sebagai Ahlulsunnah. Dalam salah satu tulisannya, website hakekat.com menulis:
__________________________________
Siapa Yang Ribut Saat Nabi Sakit? |
Nabi tidak jadi berwasiat karena perselisihan dan keributan mereka, kata Ibnu Abbas dengan penuh penyesalan. Siapa mereka yang berani membuat keributan di depan Nabi yang sedang sakit?
Setelah melihat riwayat Ibnu Abbas pada makalah sebelumnya, yang menyatakan sebab mengapa Nabi tidak jadi menuliskan wasiat pada saat itu, penjelasan ini tidak lengkap rasanya jika tidak membahas siapa mereka yang menghalangi Nabi menuliskan wasiat.
Jawabannya ada dalam riwayat-riwayat berikut:
قال النبي صلى الله عليه وسلم هلم أكتب لكم كتابا لا تضلوا بعده فقال عمر إن النبي صلى الله عليه وسلم قد غلب عليه الوجع وعندكم القرآن حسبنا كتاب الله فاختلف أهل البيت فاختصموا منهم من يقول قربوا يكتب لكم النبي صلى الله عليه وسلم كتابا لن تضلوا بعده ومنهم من يقول ما قال عمر فلما أكثروا اللغو والاختلاف عند النبي صلى الله عليه وسلم قال رسول الله صلى الله عليه وسلم قوموا قال عبيد الله فكان بن عباس يقول إن الرزية كل الرزية ما حال بين رسول الله صلى الله عليه وسلم وبين أن يكتب لهم ذلك الكتاب من اختلافهم ولغطهم ). البخاري حديث رقم : 5345 كتاب المرضى / باب قول المريض قوموا عني
Nabi bersabda: mari aku tuliskan bagi kalian tulisan yang kalian tidak akan sesat jika mengamalkannya, Umar berkata: Nabi sedang sakit keras dan Al Qur’an ada di tengah kalian, cukup bagi kami kitab Allah, lalu Ahlul Bait berselisih dan bertengkar, sebagian dari mereka mengatakan: dekatkan pena pada Nabi agar Nabi menulis wasiat yang kalian tidak akan sesat selamanya, sebagian lagi mengatakan seperti ucapan Umar. ketika mereka ribut dan berselisih di depan Nabi, Nabi bersabda: pergi kalian dari sini. Ubaidillah berkata: Ibnu Abbas mengatakan benar-benar musibah, yaitu perselisihan dan keributan mereka hingga menghalangi Nabi dari menulis wasiat. Shahih Bukhari, Kitabul Mardha, Bab Qaulil Maridh Qumu Anni
قال هلم أكتب لكم كتابا لن تضلوا بعده قال عمر إن النبي صلى الله عليه وسلم غلبه الوجع وعندكم القرآن فحسبنا كتاب الله واختلف أهل البيت اختصموا فمنهم من يقول قربوا يكتب لكم رسول الله صلى الله عليه وسلم كتابا لن تضلوا بعده ومنهم من يقول ما قال عمر فلما أكثروا اللغط والاختلاف عند النبي صلى الله عليه وسلم قال قوموا عني . قال عبيد الله فكان بن عباس يقول إن الرزية كل الرزية ما حال بين رسول الله صلى الله عليه وسلم وبين أن يكتب لهم ذلك الكتاب من اختلافهم ولغطهم ) . البخاري حديث رقم : 6932 كتاب الاعتصام بالكتاب والسنة / باب كراهية الاختلاف
Nabi bersabda: mari aku tuliskan bagi kalian tulisan yang kalian tidak akan sesat jika mengamalkannya, Umar berkata: Nabi sedang sakit keras dan Al Qur’an ada di tengah kalian, cukup bagi kami kitab Allah, lalu Ahlul Bait berselisih dan bertengkar, sebagian dari mereka mengatakan: dekatkan pena pada Nabi agar Nabi menulis wasiat yang kalian tidak akan sesat selamanya, sebagian lagi mengatakan seperti ucapan Umar. ketika mereka ribut dan berselisih di depan Nabi, Nabi bersabda: pergi kalian dari sini. Ubaidillah berkata: Ibnu Abbas mengatakan benar-benar musibah, yaitu perselisihan dan keributan mereka hingga menghalangi Nabi dari menulis wasiat. Shahih Bukhari Kitab I’tisham bil Kitab Was Sunnah, Bab Karahiyatil Ikhtilaf
فقال النبي صلى الله عليه وسلم هلم أكتب لكم كتابا لا تضلون بعده فقال عمر إن رسول الله صلى الله عليه وسلم قد غلب عليه الوجع وعندكم القرآن حسبنا كتاب الله فاختلف أهل البيت فاختصموا فمنهم من يقول قربوا يكتب لكم رسول الله صلى الله عليه وسلم كتابا لن تضلوا بعده ومنهم من يقول ما قال عمر فلما أكثروا اللغو والاختلاف عند رسول الله صلى الله عليه وسلم قال رسول الله صلى الله عليه وسلم قوموا قال عبيد الله فكان بن عباس يقول إن الرزية كل الرزية ما حال بين رسول الله صلى الله عليه وسلم وبين أن يكتب لهم ذلك الكتاب من اختلافهم ولغطهم ). رواه مسلم حديث رقم ( 1637) كتاب الوصية / باب ترك الوصية لمن ليس له شيء يوصى فيه .
Nabi bersabda: mari aku tuliskan bagi kalian tulisan yang kalian tidak akan sesat jika mengamalkannya, Umar berkata: Nabi sedang sakit keras dan Al Qur’an ada di tengah kalian, cukup bagi kami kitab Allah, lalu Ahlul Bait berselisih dan bertengkar, sebagian dari mereka mengatakan: dekatkan pena pada Nabi agar Nabi menulis wasiat yang kalian tidak akan sesat selamanya, sebagian lagi mengatakan seperti ucapan Umar. ketika mereka ribut dan berselisih di depan Nabi, Nabi bersabda: pergi kalian dari sini. Ubaidillah berkata: Ibnu Abbas mengatakan benar-benar musibah, yaitu perselisihan dan keributan mereka hingga menghalangi Nabi dari menulis wasiat. Shahih Muslim, kitab Al Washiyah, Bab Tarkul Washiyyati liman laisa lahu syai’ yushi fiihi.
Akhirnya kita tahu siapa sebenarnya yang menghalangi Nabi menuliskan wasiat. Seperti selalu diklaim oleh kawan-kawan syiah, ahlulbait adalah maksum, artinya terpelihara dari dosa. Tetapi ahlulbait yang maksum di sini malah ribut sendiri, Nabi pun marah dan terhalang dari menuliskan wasiat.
Sesampai di sini, muncul satu pertanyaan di benak kita, ke mana Ali saat Nabi saat peristiwa “tragedi hari kamis” (kata Abdul Husein Syarafudin Musawi dalam dialog sunnah syiah-nya) atau peristiwa “kamis kelabu” (kata kawan kita yang satu itu)?
Mengapa Ali tidak langsung mengambilkan pena dan kertas? Ada apa di balik semua ini?
Syiah menuduh sahabat Nabi berkomplot untuk menggagalkan wasiat Nabi ini, apakah Ali ikut terlibat?
http://hakekat.com/content/view/61/1/
____________________________________
Akhirnya kita tahu siapa sebenarnya yang menghalangi Nabi menuliskan wasiat. Seperti selalu diklaim oleh kawan-kawan syiah, ahlulbait adalah maksum, artinya terpelihara dari dosa. Tetapi ahlulbait yang maksum di sini malah ribut sendiri, Nabi pun marah dan terhalang dari menuliskan wasiat.
Saya tertarik untuk menanggapi, benarkah Ahlulbayt (dalam pengertian syiah) yang membuat kericuhan pada saat Nabi sakit dan membuat Nabi marah kepada mereka?
Sebelumnya, saya harus menyampaikan bahwa riwayat-riwayat yang dijadikan argumen oleh al-hujjah maupun hakekat, memang benar-benar ada di shahih bukhari. Jadi tidak ada alasan lagi bagi kita untuk meragukan kejujuran al-hujjah dan hakekat dalam menyampaikan argumen mereka.
Tetapi ada satu hal yang menarik yang kita dituntut untuk kritis, yaitu persoalan siapa yang membuat kericuhan itu. Jelas bahwa al-hujjah dan hakekat menganggap bahwa Ahlulbayt (dalam pengertian syiah) lah yang membuat kericuhan itu. Tetapi apakah benar? Ada baiknya kita menyimak pemahaman kawan-kawan kita dari Ahlulsunnah mengenai riwayat tersebut.
Riwayat berikut, saya kutipkan dari The Translation of the Meanings Shahih Bukhari, Arabic-English Vol. I, oleh Dr. Muhammad Muhsin Khan, Islamic University, Al-Medina Al-Munawwara: (Tentunya Ahlulsunnah)
Narated ‘Ubaidullah bin ‘Abdullah: Ibnu ‘Abbas said, “When the ailment of the Prophet became worse, he said, ‘Bring for me (writing) paper and I will write for you a statement after which you will not go astray.’ But ‘Umar said, ‘The Prophet is seriously ill, and we have got Allah’s Book with us and that is sufficient for us.’ But the companions of the Prophet differed about this and there was a hue and cry. On that the Prophet said to them, ‘Go away (and leave me alone). It is not right that you should quarrel in front of me.’
Ibnu Abbas came out saying, ” It was most unfortunate (a great disaster) that Allah’s Apostle was prevented from writing that statement for them because of their disagreement and noise.
Kalimat yang saya cetak tebal, menunjukkan bahwa the companions of the Prophet atau sahabat Nabi lah yang berbeda pendapat dan berbuat kericuhan.
Saya juga pernah membaca tulisan seseorang yang memiliki blog ALFANARKU yang juga mengaku dirinya sebagai seorang yang bermazhab Ahlulsunnah. Dalam salah satu tulisannya yang juga membahas soal tragedi kamis kelabu, dia menulis:
________________________________
TRAGEDI KAMIS KELABU? bagian 1
December 23, 2009 by alfanarku
Kaum Syi’ah meributkan tentang apa
yang disebut oleh mereka dengan “Insiden Kertas dan Tinta” atau apa yang
mereka menyebutnya sebagai “Kamis Kelabu”. Syi’ah begitu berlebihan
dengan hadits ini, dan menggunakannya sebagai bukti untuk menyerang
Umar bin Khattab radhiyallahu ‘anhu. Namun, kebenaran pada kejadian
tersebut menunjukkan bahwa klaim mereka tidak ada artinya dan hanya
sekedar sensasi yang berlebihan, kita akan menguji kejadian tersebut
dengan cara yang obyektif dan masuk akal, dan setelahnya kita akan
tanggapi tuduhan-tuduhan Syi’ah.
Sebuah Tinjauan atas Insiden Kertas dan Tinta
Sakit yang dialami Nabi shalallahu
‘alaihi wa sallam sebelum beliau berangkat dari dunia ini terjadi selama
dua minggu, selama masa-masa itu, kondisi beliau perlahan-lahan
memburuk dan menjadikan beliau hanya bisa terbaring di tempat tidur.
Beliau mengalami demam yang tinggi, sakit kepala, dan bahkan pingsan,
kadang sadar kadang tidak sadar kembali. Kejadian yang disebut sebagai
“insiden kertas dan tinta” terjadi empat hari sebelum beliau meninggal,
yaitu pada hari Kamis.
Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam meminta
kertas dan tinta untuk menuliskan (mendiktekan) beberapa nasehat agama
bagi kaum muslimin. Tetapi, tiba-tiba setelah meminta kertas dan tinta,
Nabi pingsan dan tidak sadarkan diri. Ketika Nabi terbaring tidak sadar,
seseorang bangkit mengambil kertas dan tinta, tetapi Umar bin Khattab
memanggil kembali orang tersebut. Umar merasa bahwa mereka seharusnya
tidak mengganggu Nabi dengan meminta beliau untuk menuliskan nasehat,
tetapi mereka seharusnya membiarkan beliau untuk mendapatkan kesadaran
beliau kembali, beristirahat, dan menjadi pulih kembali. Oleh karena
itu, Umar berkata kepada kaum Muslimin yang lain : “Nabi sedang sakit
parah dan kalian mempunyai Al-Qur’an, Kitabullah sudah cukup buat kita”.
Umar bin Khattab berpikir – dan ini
adalah benar – bahwa permintaan akan kertas dan tinta tidak berlaku
lagi sekarang karena Nabi sedang pingsan. Umar merasa mereka seharusnya
membiarkan Nabi beristirahat. Tetapi walau begitu, beberapa sahabat
merasa mereka seharusnya mendapatkan kertas dan alat tulis bagaimanapun
juga dan bahwa mereka seharusnya memohon Nabi untuk menulis untuk
mereka, orang-orang ini berkata : “bawakan untuk beliau (alat untuk
menulis) maka Rasulullah akan menulis sesuatu untuk kalian dan kalian
tidak akan sesat setelahnya”.
Beberapa sahabat merasa bahwa mereka
seharusnya membiarkan Nabi beristirahat dan menanyakan kepada beliau
mengenai nasehat ruhani nanti, yang lain merasa mereka seharusnya segera
mendapatkan tulisan Nabi sesudah beliau kembali sadar. Hal ini membawa
pertengkaran diantara sahabat, mereka mulai berbantah-bantahan dengan
suara keras. Saat itu Nabi bangun dari pingsannya, ditengah-tengah
kegaduhan dan suara yang keras . Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam
merasakan sakit kepala, sehingga kegaduhan membuat beliau sangat kesal.
Sehubungan dengan pertengkaran dengan suara yang keras inilah sehingga
beliau memerintahkan mereka yang ada di ruangan untuk pergi dan
meninggalkan beliau sendiri.
Penjelasan Sederhana
Hal yang sangat menakjubkan berapa banyak
drama yang Syi’ah bisa ciptakan, dan betapa mudahnya mereka menyesatkan
orang. Penjelasan untuk kejadian tersebut begitu sederhana dan langsung
ke sasaran bahwa hal yang sangat aneh bahwa Syi’ah tidak memahami hal
ini! Coba kita minta mereka untuk menghubungkan kejadian ini pada
kehidupan mereka sendiri.
Mari kita pertimbangkan scenario berikut
ini : seorang guru sedang memberikan pelajaran kepada muridnya, dan dia
meminta kepada muridnya untuk membawakan sebuah kapur tulis untuk
menulis di papan tulis. Tetapi kemudian tiba-tiba sang guru terjatuh dan
pingsan. Sekarang, ceritakan kepada kami, apakah murid tersebut tetap
meneruskan untuk pergi keluar ruangan untuk mencari kapur tulis? Adakah
orang waras yang akan melakukan hal itu? melainkan, murid tersebut akan
bergerak dengan cepat berada di sisi guru tersebut, berusaha menyadarkan
kembali gurunya, mengambilkannya bantal, mengangkat kakinya dan
lain-lain. Kemudian, ketika sang guru siuman, akankah sang murid
langsung menyodorkan kapur tulis ke tangan sang Guru? Dan berkata “ajari
kami lagi!” sungguh tidak! Tetapi, perawat sekolah akan segera
dipanggil masuk ke ruangan, sang Guru segera dipindahkan ke unit medis,
dan sang Guru akan mendapatkan cuti untuk beristirahat. Bahkan jika
seandainya sang Guru bersikeras bahwa ia merasa lebih baik dan dia
sanggup meneruskan pelajaran, yang lain akan membujuk sang Guru bahwa
dia seharusnya mengambil cuti dan beristirahat.
Sekarang misalnya, salah seorang murid di
ruang kelas ini khawatir mengenai ujian hari berikutnya, sehingga dia
mencoba menyodorkan kapur tulis ke tangan sang Guru sesaat setelah sang
Guru siuman, apa yang akan dikatakan murid yang lain kepada murid macam
ini, mereka akan marah terhadap murid tersebut dan meminta dia untuk
berhenti khawatir soal dirinya sendiri tetapi khawatir kepada keadaan
sang Guru? Murid-murid yang lain akan berkata kepada murid tersebut
untuk tidak khawatir mengenai pelajaran dan bahwa “ buku diktat sudah
cukup bagi kita untuk dipelajari dalam menghadapi ujian”
Dapatkah seseorang membayangkan seorang
guru jatuh pingsan, kemudian sadar dari pingsannya dan dengan segera
menulis di papan tulis dengan sebuah kapur tulis? Para thalabul ilmi
tidak akan berani mendekati syaikh-syaikh mereka ketika para syaikh
tersebut sedang keletihan atau sedang mengantuk, sebagaimana itu
merupakan hal yang tidak sopan mengganggu mereka di saat seperti itu.
Bahkan jika seandainya syaikh bersikeras untuk mengajar, para pelajar
akan berkata dengan sopan “Anda seharusnya istirahat Syaikh, dan kita
dapat melanjutkan pelajaran besok.” Ini adalah tata karma: sekarang
bayangkan situasi ketika seorang syaikh sedang berbaring di tempat
tidurdalam keadaan tidak sadar; akankah ada pelajar yang meminta
pelajaran agama darisyaikh tersebut dalam situasi seperti itu?.
Sesudah Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam
meminta kertas dan tinta, beliau pingsan dengan tiba-tiba dan itulah
sebabnya Umar ra meminta kepada orang-orang untuk tidak jadi mengambil
kertas dan tinta karena Nabi sedang dalam keadaan sakit berat. Itu
adalah merupakan pendapat Umar ra (dan tentunya kami sependapat dengan
beliau), adalah merupakan sebuah kejahatan mengganggu Nabi dalam keadaan
seperti itu. Orang-orang mendesak Nabi untuk memberikan nasehat padahal
beliau sedang dalam keadaan setengah sadar, para dokter masa kini akan
mengatakan bahwa jika seorang pasien sedang dalam keadaan tidak
setabil, sadar kemudian tidak sadar lagi, maka pasien seperti itu
seharusnya distabilkan terlebih dahulu dan tidak membuat dia dalam
situasi dituntut untuk berbicara, menyusahkan dirinya, atau hal-hal yang
membuat dia tegang; seharusnya pasien dibiarkan untuk istirahat.
Sakit terakhir “Ayatullah” Khomeini
terjadi sebelas hari selama dia ada rumah sakit. Para pengikut syi’ah
nya berada di luar ruangannya dan tidak mengganggunya dengan urusan
negara. Tak seorangpun diperbolehkan untuk mengganggunya, walaupun
situasi politik saat itu sangat membutuhkan input dari pemimpin Negara.
Bagaimana bisa Syi’ah memperlakukan ayatollah Khomeini mereka lebih
sopan daripada perlakuan kepada Nabi Allah? Sungguh para Nabi lebih
utama dari jenis ayatollah apapun, dan jika ayatollah tidak seharusnya
diganggu selama dalam keadaan sakitnya yang terakhir, maka pasti kita
lebih hati-hati dengan Nabi Allah.
Untuk memberikan contoh yang simple dalam
keseharian, jika seorang laki-laki meminta anaknya mengambilkan remote
TV, tetapi kemudian tiba-tiba dia mendapatkan serangan jantung sesudah
mengatakan hal itu, maka sang anak akan berfikir bahwa serangan jantung
lah yang harus diambil tindakan terlebih dahulu dan membatalkan
permintaan remote TV. Sebagai ganti memberikan remote, sang anak akan
segera berada di sisi ayahnya. Secara akal sehat, permintaan Nabi akan
kertas dan tinta tidak relevan lagi, sebagai mana faktanya
ketidaksadaran beliau harus diambil tindakan terlebih dahulu daripada
permintaan beliau tersebut. Jika Nabi dalam keadaan sehat, dan meminta
diambilkan kertas dan tinta, tetapi orang-orang menolaknya, maka situasi
akan berbeda. Tetapi di sini, Nabi tidak sadarkan diri setelah
permintaan tersebut dan itu merubah situasi seluruhnya.
Hal ini adalah seperti perkara yang mudah
bahwa hal ini kadang mengejutkan akal kita betapa Syi’ah dapat membuat
hal seperti ini menjadi begitu menghebohkan sehingga menyebutnya dengan
“Insiden” kertas dan tinta. Seseorang dalam posisi Umar bin Khattab, dia
akan melakukan hal yang sama, sebagaimana dilakukan Umar, terbukti
banyaknya kejadian yang bisa kita jadikan contoh di atas.
Umar Prihatin terhadap Kondisi Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam.
Selama masa akhir sakit beliau, Nabi
shalallahu ‘alaihi wa sallam menderita berbagai rasa sakit yang sangat,
demam yang hebat, sakit kepala yang parah dan tidak sadarkan diri.
Meskipun dalam kondisi kesehatan yang seperti itu, Nabiyullah shalallahu
‘alaihi wa sallam seorang yang mengutamakan orang lain dan tidak
memperdulikan keadaan diri beliau sendiri, tetapi perhatian beliau masih
fokus dalam membimbing kaum muslimin.
Dari sudut pandang medis, Nabi
direkomendasikan harus istirahat tidur yang ketat dan bebas dari
lingkungan yang tegang. Jangankan mengikuti hal ini, Nabi justru tetap
teguh membantu kaum muslimin, bahkan pada saat kondisi beliau sedang
sangat memburuk. Kita baca:
Meskipun beliau sedang sakit, tidak mencegah Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam dari menjalankan perintah Allah dan membela agama-Nya.(Tarikh at-Tabari, Jilid 9 hal 7)
Dalam kitab yang sama, at-Tabari menulis
bagaimana Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam meng-organisir ekspedisi
militer dari tempat tidur beliau. Ada saat-saat di beberapa hari
terakhir Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam hampir tidak dapat berbicara,
tetapi beliau tetap menginstruksikan kepada para komandannya,
memerintahkan mereka untuk melakukan kampanye militer melawan Nabi Palsu
(Tulaihah dan Musailamah dan lain-lain) dan kaum murtad di Yamamah,
Yaman dan lain-lain. Bukan hanya melakukan instruksi militer saja,
tetapi beliau juga memberi kan nasehat-nasehat keagamaan. Kaum muslimin
datang di sisi tempat tidur Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam, meminta
beliau untuk memberikan nasehat-nasehat, dimana Nabi akan memberikannya
meskipun beliau dalam keadaan sakit parah.
Umar bin Khattab radhiyallahu ‘anhu
adalah mertua Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam, dengan hal yang
demikian, dia begitu sangat khawatir mengenai kesehatan dan kondisi Nabi
shalallahu ‘alaihi wa sallam, lebih daripada rasa khawatir Nabi
terhadap diri beliau sendiri. Pada hari-hari terakhir, Nabi shalallahu
‘alaihi wa sallam mengalami kesulitan untuk bicara, karena rasa sakit
yang timbul untuk melakukan hal itu. Mari kita baca :
Ketika sakit rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam bertambah parah, dia (sahabat) dan orang-orang datang ke Madinah dan dia menuju ke rumah Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam yang sedang tidak dapat berkata-kata. Beliau mulai mengangkat tangan beliau ke arah langit dan menurunkan ke atasnya (sahabat tersebut), dimana dia mengetahui bahwa Nabi sedang memberkatinya.(Ibnu Ishak, Sirah Rasulullah, hal 680).
Hal yang serupa diriwayatkan di Tarikh
at-Tabari (jilid 9, hal 178-179), dimana Nabi shalallahu ‘laihi wa
sallam tidak dapat berbicara sehubungan dengan sakit yang tak
tertahankan. Ini adalah konteks yang hilang dari cerita Syi’ah. Hal ini
seharusnya dicatat bahwa kejadian ini terjadi pada hari Kamis ketika
kondisi Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam sangat memburuk sedemikian
rupa sehingga orang-orang mengatakan tanda-tanda kematian terlihat nyata
di wajah beliau yang mulia. Ketika sekelompok sahabat sedang berkumpul
di sekitar Nabi meminta beliau untuk memberikan nasehat mengenai
masalah-masalah yang ada, Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam meminta
dibawakan kertas dan tinta sehingga beliau bisa mendiktekan sedikit
nasehat untuk mereka.
Pembaca yang tanggap seharusnya
mempertimbangkan bahwa pada hari Kamis Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam
mengalami sakit yang lebih parah daripada sebelumnya, dan mungkin hal
ini sebabnya sehingga beliau meminta untuk dibawakan kertas dan tinta
karena beliau sedang mengalami kesulitan bicara dengan keras dan beliau
menghendaki untuk mendikte dengan pelan apa yang mesti ditulis oleh
orang yang paling dekat dengan beliau sehingga mereka dapat
menyampaikannya kepada yang lain. Kita melihat bahwa saat itu Nabi
shalallahu ‘alaihi wa sallam sedang mengalami sakit yang tak tertahankan
dan tidak dapat berbicara melainkan dengan rasa sakit dan tidak nyaman;
itulah alasan mengapa Umar bin Khattab ra berharap Nabi shalallahu
‘alaihi wa sallam tidak berbicara seperti itu agar beliau tidak perlu
merasakan sakit. Ini adalah tanda cinta dan sayang, bukan pembangkangan
atau perlawanan. Mari kita baca Shahih Muslim 3/1257 No. 1637:
22 – ( 1637 ) وحدثني محمد بن رافع وعبد بن حميد ( قال عبد أخبرنا وقال ابن رافع حدثنا عبدالرزاق ) أخبرنا معمر عن الزهري عن عبيدالله بن عبدالله بن عتبة عن ابن عباس قال
Y لما حضر رسول الله صلى الله عليه و سلم وفي البيت رجال فيهم عمر ابن الخطاب فقال النبي صلى الله عليه و سلم ( هلم أكتب لكم كتابا لا تضلون بعده ) فقال عمر إن رسول الله صلى الله عليه و سلم قد غلب عليه الوجع وعندكم القرآن حسبنا كتاب الله فاختلف أهل البيت فاختصموا فمنهم من يقول قربوا يكتب لكم رسول الله صلى الله عليه و سلم كتابا لن تضلوا بعده ومنهم من يقول ما قال عمر فلما أكثروا اللغو والاختلاف عند رسول الله صلى الله عليه و سلم قال رسول الله صلى الله عليه و سلم ( قوموا )
قال عبيدالله فكان ابن عباس يقول إن الرزية كل الرزية ما حال بين رسول الله صلى الله عليه و سلم وبين أن يكتب لهم ذلك الكتاب من اختلافهم ولغطهم
[ ش ( لما حضر ) أي حضره الموت ]
(3/1257)Ibnu Abbas menceritakan : Ketika ajal Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam sudah hampir tiba dan di dalam rumah beliau ada beberapa orang dan salah satunya adalah Umar bin Khattab ra. Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam bersabda : “kemari, aku akan menuliskan (mendiktekan) untuk kalian wasiat, agar kalian tidak sesat setelahnya”. Kemudian Umar berkata : “sesungguhnya Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam dalam keadaan sakit parah dan di sisi kalian ada Al-Qur’an, cukuplah Kitabullah untuk kita” kemudian orang-orang yang ada dalam rumah tersebut saling berselisih pendapat. Sebagian berkata, sediakan apa yang diinta oleh Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam Agar beliau menuliskan bagi kamu sesuatu yang menghindarkan kamu dari kesesatan. Tetapi sebagian lainnya mengatakan sama sebagaimana ucapan Umar. Dan ketika keributan dan pertengkaran makin bertambah di hadapan Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam, beliau memerintahkan: “Keluarlah kalian dari sini!” Ubaidullah berkata : Ibnu Abbas selalu berkata : “Itu adalah musibah yang besar, sungguh sebuah musibah yang besar, disebabkan pertengkaran dan kegaduhan, Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam tidak menuliskan (mendiktekan) wasiat untuk mereka”.
Umar bin Khattab menginginkan orang-orang
meninggalkan Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam sendiri karena beliau
sedang sakit parah dan berkata-kata akan menimbulkan rasa sakit pada
beliau.
Umar tidak berdebat dengan Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam
Ketika Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam
meminta Ali ra untuk menghapus sesuatu selama perjanjian Hudaibiyah, Ali
ra menolak melakukannya dan berdebat dengan Nabi mengenai hal itu. Di
lain pihak, Umar tidak berdebat dengan Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam
: saat Umar mengatakan apa yang dia katakan, Nabi shalallahu ‘alaihi wa
sallam sedang dalam keadaan pingsan atau tidak sadarkan diri. Umar
berkata kepada sahabat yang lain ketika ia berkata : “sesungguhnya
Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam dalam keadaan sakit parah dan di
sisi kalian ada Al-Qur’an, cukuplah Kitabullah untuk kita”.
Umar merasa – dan kami setuju dengannya –
bahwa permintaan Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam tidak dapat
dilakukan lagi sehubungan dengan kenyataan Nabi shalallahu ‘alaihi wa
sallam sedang tak sadarkan diri. Ini bukan masalah ketidaktaatan tetapi
merupakan ijtihad sederhana Umar bahwa permintaan Nabi shalallahu
‘alaihi wa sallam tidak lagi dapat dilakukan dalam situasi seperti itu
(Nabi sedang tidak sadarkan diri). Lebih jauh, posisi Umar adalah
berdasarkan cintanya yang dalam kepada Nabi shalallahu ‘alaihi wa
sallam, sebagaimana dia tidak suka melihat beliau dalam keadaan
kesakitan dan menderita.
Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam tidak sadarkan diri berdasarkan sumber Syi’ah
Poin yang sebagian besar da’i Syi’ah
tidak pernah menghendaki untuk menyebutkan adalah kenyataannya Nabi
shalallahu ‘alaihi wa sallam tak sadarkan diri secara tiba-tiba setelah
meminta kertas dan tinta. Mungkin beberapa dari mereka mencoba untuk
menolak hal ini, tetapi kami menemukan bahwa hal ini tertulis pada
kitab-kitab mereka sendiri. Syaikh Mufid, ulama klasik Syi’ah dari abad
10 menulis :
Beliau (Nabi) tak sadarkan diri karena kelelahan yang menimpa beliau dan kesedihan yang dirasakan oleh beliau.Beliau tidak sadar dalam waktu yang singkat sementara kaum muslimin menangis dan istri-istri beliau serta para wanita, anak-anak kaum muslimin dan semua yang hadir berteriak meratap. Rasulullah kembali sadar dan melihat mereka. Kemudian beliau bersabda : “Ambilkan tinta dan kertas (dari kulit) sehingga aku dapat menulis untuk kalian, dan setelah itu kalian tidak akan tersesat”.Kembali beliau tidak sadarkan diri dan satu dari mereka yang hadir bangkit mencari tinta dan kertas.“Kembalilah”, Umar memerintahnya (orang tersebut)…(Kitab Al-Irsyad, oleh Syaikh Mufid, hal 130)
Dari cerita ini sangat jelas betapa parah
kondisi Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam saat itu. Nabi mengalami
pingsan dan beliau sadar kemudian tidak sadar kembali. Sesaat setelah
beliau meminta tinta dan kertas, beliau pingsan. Ini adalah poin kunci
yang da’i Syi’ah tidak menyebutkannya! Hanya sesaat setelah Nabi pingsan
Umar bin Khattab berkata kepada orang-orang (bukan kepada Nabi) bahwa
membawakan tinta dan kertas tidak lagi relevan dengan keadaan Nabi yang
sedang pingsan. Propagandis Syi’ah menggambarkan kejadian tersebut
seolah-olah Nabi mengatakan sesuatu dan kemudian Umar menolak Nabi
dihadapan beliau. Jauh dari seperti itu! Nabi meminta kertas dan tinta,
tetapi kemudian beliau pingsan; sesaat setelah Nabi pingsan, Umar merasa
permintaan Nabi tersebut tidak lagi perlu dilakukan dalam situasi yang
berubah seperti itu.
Dari cerita syaikh Mufid tentang kejadian
tinta dan kertas tersebut, satu hal yang sangat jelas: Nabi shalallahu
‘alaihi wa sallam pingsan dengan tiba-tiba setelah beliau meminta
dibawakan kertas dan tinta. Ketika Nabi mendapatkan kesadarannya
kembali, beliau terbangun dalam keadaan ruangan penuh dengan suara-suara
orang yang sedang bertengkar. Saat Umar memerintahkan kepada orang
tersebut untuk tidak jadi mengambil tinta dan kertas, hal ini terjadi
saat Nabi sedang dalam keadaan tidak sadarkan diri. Oleh karena itu,
Umar tidak sedang berbicara kepada Nabi atau hal yang seperti itu. Nabi
sedang dalam keadaan tidak sadarkan diri saat itu dan orang-orang sama
sekali tidak menolak perintah Nabi dihadapan beliau. Nabi terbangun
dengan kegaduhan dan kekacauan dari perselisihan pendapat diantara
mereka, dan inilah yang membuat Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam
menjadi marah. Saat Nabi meminta tinta dan kertas, beliau dalam keadaan
sadar, tetapi situasi –menurut Umar bin Khattab – telah berubah saat
Nabi pingsan dan tidak sadarkan diri.
Fitnah Syi’ah terhadap Umar bin Khattab radhiyallahu ‘anhu
Kaum Syi’ah mengklaim bahwa Umar
mengatakan bahwa Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam berbicara meracau
atau yang mereka klaim bahwa dia bertanya apakah Nabi mengigau. Namun,
ini adalah dusta terang-terangan yang nyata! Dalam hadits-hadits sama
sekali tidak ada disebutkan Umar mengucapkan kata-kata seperti itu.
Kejadian tersebut diriwayatkan dalam berbagai hadits, termasuk dalam
shahih Bukhari dan shahih Muslim. Namun, tak ada satu kata pun, baik
dalam shahihain maupun kumpulan hadits-hadits untuk kejadian itu adalah
kata-kata itu dinisbahkan kepada Umar bin Khattab. Hanya Syi’ah yang
membuat klaim bahwa Umar yang mengucapkan kata-kata itu, tetapi kita
menuntut mereka untuk menunjukkan kepada kita bukti , dan mereka tidak
akan pernah bisa melakukannya, yaitu karena Umar tidak pernah
mengucapkan hal seperti itu dan tidak juga pernah sesuatu yang seperti
itu dinisbahkan kepada dirinya (selain dari kitab-kitab Syi’ah).
Satu-satunya penjelasan atas penolakan Umar terhadap permintaan Nabi
adalah bahwa Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam sedang dalam keadaan
sakit yang sangat parah dan Umar berharap untuk meringankan rasa sakit
dan beban Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam.
Apakah yang dimaksud dengan “Mengigau” ?
Ini adalah kalimat “dia sedang mengigau”
yang Syi’ah gunakan untuk menyerang Ahlus Sunnah. Sebelum kita
memutuskan siapa yang mengucapkan kata-kata ini, mari kita jelaskan apa
maksud dari kata-kata “apakah dia mengigau?” beberapa orang Syi’ah
terkesan terlalu emosional dengan kata “mengigau”; dalam kenyataannya,
arti kata “igauan” (English : delirium) hanyalah berarti “gangguan kesadaran” (English : disturbance of consciousness).
Di Amerika, psikiater mendasarkan pada skema klasifikasi DSM-IV-TR;
kami menemukan, – menurut kriteria DSM-IV-TR – “gangguan kesadaran”
adalah ciri khas inti dari igauan. Igauan dapat –dan seringkali –
bersamaan dengan gejala yang lain seperti halusinasi; namun, ini tidak
selalu terjadi bahkan sering tidak terjadi. Gejala-gejala lain seperti
halusinasi hanyalah ikutan, tetapi bukan cirri khas inti dari igauan.
Pada kenyataannya, igauan tidak
dimasukkan dalam ilmu penyakit kejiwaan, tetapi lebih diklasifikasikan
sebagai kondisi fisiologis atau organic. Salah satu penyebab yang paling
umum gangguan kesadaran adalah demam yang tinggi. Pasien yang menderita
demam yang tinggi akan seringkali kabur kesadarannya, dan inilah yang
dikenal dengan istilah igauan (delirium), terlepas dari gejala lain yang
mungkin mengikut atau mungkin tidak. Dengan kata lain, orang yang
sedang dalam keadaan mengigau tidak dianggap sebagai orang gila atau
penyakit kejiwaan, melainkan seorang pasien yang sedang menderita
kondisi medis biologis yang parah –bukan berasal dari kejiwaan- .
Jika kita melihat definisi dari kata yang digunakan dalam hadits, kita menemukan :
hajara; yahjuru; hajran; hijranan; ahjara : To desert, forsake, leave, renounce, abandon ( meninggalkan, meninggalkan, pergi, meninggalkan, meninggalkan)tahajara; ihtajara :- To depart from one another, separate, or forsake one another; become alienated (berangkat meninggalkan sesamanya, terpisah, atau mengabaikan satu sama lain; menjadi terasing)(Sumber : Wortabet’s Arabic – English Dictionary )
dalam konteks hadits, kata tersebut
digunakan dalam memaknai seseorang yang pergi atau berangkat dari
keadaan pikirannya yang asli; lebih spesifik, istilah ini dikenakan
kepada orang yang memisahkan diri dari manusia dan dunia, seperti dalam
keadaan kehilangan kesadaran. Dengan kata lain, orang yang bertanya
“apakah Nabi mengigau” tidak berarti bahwa Nabi berbicara tanpa akal
sehat atau beliau telah gila. Tetapi, lelaki tersebut hanya bertanya
apakah Nabi dalam keadaan sadar atau tidak, dan kita tahu dari cerita
syaikh Mufid mengenai kejadian tersebut bahwa Nabi dalam keadaan tidak
sadar.
Kata “apakah beliau mengigau” tampak dalam shahih Bukhari, berikut ini :
Sakit Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam menjadi lebih buruk (pada hari Kamis) dan beliau berkata, “Ambilkan aku sesuatu sehingga aku dapat menuliskan sesuatu untuk kalian dan setelah itu kalian tidak akan tersesat selamanya.” Orang-orang (yang hadir di sana) saling berbantah-bantahan dalam kejadian ini, dan adalah sesuatu yang tidak pantas mereka saling berbantahan di depan seorang Nabi. Sebagian mereka berkata, “ada apa dengan beliau? (apa kalian mengira) beliau mengigau (sakit yang serius)? Tanyalah kepada beliau (untuk memahami keadaan beliau).”(Shahih Bukhari, 6/9, No. 4431)
Pada riwayat di atas, seseorang bertanya
“apakah beliau mengigau?” dengan ini, dia ingin mengatakan “apakah
beliau sedang mengalami perubahan kesadaran?” dalam shahih Muslim, kita
baca:
Sakit Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam semakin serius (pada hari Kamis), dan beliau bersabda : “kemarilah, sehingga aku dapat menuliskan untuk kalian sesuatu tulisan yang kalian tidak akan sesat sesudahku.” Mereka (sahabat yang mengelilingi beliau) berdebat, dan itu adalah hal yang tidak pantas berdebat di hadapan Nabi. Mereka berkata : “bagaimana (keadaan Rasulullah)? Apakah beliau telah kehilangan kesadaran? Coba pelajari dari beliau (hal ini).”(Shahih Muslim, 3/1257 No. 1637-20 atau baca terjemahan Shahih Muslim dalam Bahasa Inggris buku 013, No. 4014 oleh Abdul Hamid Siddiqui)
Dan sekali lagi:
… dia (periwayat) berkata bahwa Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “bawakan aku tulang belikat dan tinta, sehingga aku dapat menuliskan untuk kalian sebuah tulisan kalian tidak akan sesat.” Mereka berkata : “Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam sedang dalam keadaan tidak sadarkan diri”(Shahih Muslim, , 3/1257 No. 1637-21 atau baca terjemahan Shahih Muslim dalam Bahasa Inggris buku 013, No. 4015 oleh Abdul Hamid Siddiqui)
Orang yang menanyakan pertanyaan ini
hanya bertanya-tanya apakah Nabi dalam keadaan sadar atau tidak. Dia
tidak bermaksud mengungkapkan hal yang tidak hormat. Dan oleh karenanya
orang itu berkata “Tanyalah kepada beliau (untuk memahami keadaan
kesadaran beliau) dan coba pelajari dari beliau (hal ini)”. Ini adalah
sebuah bukti jelas bahwa orang tersebut tidak bermaksud bahwa Nabi
berbicara meracau, karena jika itu terjadi, maka tidak ada gunanya dia
minta untuk bertanya kepada Nabi seperti itu. Praktisi medis dan
psikiater mengatakan bahwa mereka yang menderita psychosis (yaitu yang
keluar dari kenyataan, halusinasi dan lain-lain) tidak memiliki
“pemahaman” dalam sakit mereka: mereka sendiri tidak mau mengakui bahwa
mereka “gila”. Ini hal yang masuk akal : seseorang tidak akan bertanya
kepada seseorang yang sedang bicara meracau jika memang dia menganggap
orang itu benar-benar sedang bicara meracau.
Orang tersebut berkata “Tanya kepada
beliau” dan “coba belajar dari beliau” dimana artinya bahwa dia berharap
kepada mereka untuk melihat apakah Nabi sedang dalam keadaan sadar.
Dalam dunia medis, dokter secara rutin menggunakan “Glasgow Coma Scale”
(GCS Exam) untuk mengetes tingkat kesadaran pasien. Tes GCS dilakukan
dengan menanyai pasien dengan berbagai pertanyaan untuk melihat respon
si pasien, dan respon dari pasien menunjukkan tingkat kesadaran pasien
tersebut. Dalam bahasa Inggris yang artinya untuk mengecek apakah
seseorang dalam keadaan sadar atau tidak, hal terbaik yang dilakukan
adalah bertanya kepadanya apakah dia baik-baik saja. Pada kenyataannya,
ini adalah langkah pertama dari CPR: untuk mengecek apakah pasien dalam
keadaan sadar atau tidak, hal pertama yang dilakukan adalah dia akan
bertanya “are you OK?” (kamu baik-baik saja?) jika dia menjawab
baik-baik saja, maka tidak ada masalah, tetapi jika tidak, tindakan CPR
segera dilakukan.
Untuk menyimpulkan kejadian tersebut,
Syi’ah tidak seharusnya terlalu emosi dengan istilah “mengigau”, karena
semua yang dimaksud dengan itu adalah “kesadaran” atau “tidak sadarkan
diri”. Dan syaikh Mufid sendiri yang mengatakan bahwa Nabi sedang tidak
sadarkan diri saat itu. Dia menulis dalam kitabnya (kami tekankan
kembali) :
Beliau (Nabi) tak sadarkan diri (pingsan) karena kelelahan yang menimpa beliau dan kesedihan yang dirasakan oleh beliau. Beliau tidak sadar dalam waktu yang singkat sementara kaum muslimin menangis dan istri-istri beliau serta para wanita, anak-anak kaum muslimin dan semua yang hadir berteriak meratap. Rasulullah kembali sadar dan melihat mereka. Kemudian beliau bersabda : “Ambilkan tinta dan kertas (dari kulit) sehingga aku dapat menulis untuk kalian, dan setelah itu kalian tidak akan tersesat”.Kembali beliau tidak sadarkan diri dan satu dari mereka yang hadir bangkit mencari tinta dan kertas.“Kembalilah”, Umar memerintahnya (orang tersebut). “beliau mengigau.”Orang tersebut kembali. Orang-orang yang hadir menyesalkan kelalaian (yang telah mereka tunjukkan)dalam mengambil tinta dan kertas dan bertengkar satu sama lain. Mereka selalu mengatakan: “Kami adalah milik Allah dan kepada-Nya kami akan kembali, tetapi kita menjadi cemas akan kedurhakaan kita kepada Rasulullah, semoga Allah memberkati beliau dan keluarga beliau”Ketika beliau (Nabi) shalallahu ‘alaihi wa sallam kembali sadar…(Kitab Al-Irsyad, oleh Syaikh Mufid, hal 130)
Riwayat ini ditemukan dalam satu dari
sekian kitab-kitab syi’ah yang paling diandalkan, ini adalah akhir dari
perdebatan dengan mereka. Berdasarkan riwayat di atas, kita temukan
urutan kejadiannya adalah sebagai berikut :
- Nabi meminta tinta dan kertas
- Berikutnya, Nabi pingsan
- Setelah itu, seorang lelaki bangkit untuk mendapatkan tinta dan kertas
- Umar memerintahkan lelaki tersebut untuk kembali. (Kitab syi’ah melekatkan kata “mengigau” kepada Umar tetapi kita tahu bagian ini adalah keliru, bahwa orang lain yang berkata seperti itu)
- Perkataan “beliau mengigau” diucapkan
- Orang-orang bertengkar
- Sesaat kemudian Nabi kembali sadar
Dari cerita ini menjadi jelas bahwa
kata-kata “apakah beliau mengigau” diucapkan ketika Nabi sedang tidak
sadarkan diri (sebelum beliau kembali sadar)! Apakah seorang yang sedang
tidak sadar (pingsan) dapat bicara? tentu tidak! Ini adalah pukulan
telak atas argument Syi’ah, dan dimanapun syi’ah membuat kehebohan
tentang kata-kata “apakah beliau mengigau”, maka kita akan langsung ke
bagian ini. Jika kata-kata “apakah beliau mengigau” diucapkan ketika
Nabi sedang dalam keadaan tidak sadarkan diri, maka tidak ada yang
namanya “bicara meracau” sebagaimana seorang yang sedang tidak sadarkan
diri (pingsan) tidak dapat berbicara, apalagi berbicara meracau. Dengan
kata lain, yang dimaksud dari kata “mengigau” sebenarnya adalah sebuah
gangguan kesadaran. Jadi pengertiannya adalah; seseorang yang sedang
tidur dalam ketidaksadaran dikatakan sebagai “berangkat” (hajara) dari
manusia dan dunia ini.
Untuk menyimpulkan hal ini, orang yang
bertanya : “apakah beliau mengigau” bermakna menanyakan tentang tingkat
kesadaran sang Nabi dan tidak lebih. Dia tidak mengatakan hal itu dengan
nada sinis atau merendahkan, melainkan dia mengajukan pertanyaan dengan
tulus. Orang ini tidak dapat disalahkan atas hal itu lagi sebagaimana
telah diceritakan oleh syaikh Mufid sendiri bahwa Nabi telah tak
sadarkan diri.
Siapakah yang bertanya apakah Nabi sedang mengigau
Walau bagaimanapun juga, bukan Umar yang
mengajukan pertanyaan itu, ahli ilmu mengatakan bahwa orang yang
bertanya tersebut adalah orang yang baru masuk Islam. Syi’ah akan
menuntut bukti tekstual untuk klaim ini, dan untuk ini, kita mengakui
bahwa tidak ada bukti seperti itu yang kita dapat sediakan. Alasannya
karena hadits-hadits tersebut tidak menyebutkan sama sekali siapa yang
mengucapkan kata-kata itu! Melainkan, hanya dikatakan “sebagian
mengatakan” tanpa menyebutkan siapa orang-orang itu. Namun, ini adalah
bukti untuk melawan klaim Syi’ah : tidak ada jalan untuk mereka dapat
mengklaim bahwa Umar yang mengucapkan hal itu; jika mereka mengatakan
itu, maka mana buktinya? Ada begitu banyak orang di ruangan saat itu,
dan tidak fair menuduh Umar yang mengucapkan itu.
Nyatanya, yang benar adalah jika Umar
yang mengucapkan hal seperti itu, maka tentunya periwayat akan
menyebutkan hal ini. Dimanapun periwayat menyebutkan sesuatu yang Umar
katakan, ia melakukannya dengan menyebut nama. Kita baca:
Umar berkata, “Nabi sedang dalam keadaan sakit parah dan kalian mempunyai Al-Qur’an; cukuplah kitabullah buat kita”.
Namun, ketika perawi menyebutkan Nabi sedang mengigau, dia menyebutkan “sebagian mengatakan”
Sebagian mengatakan, “Ada apa dengan beliau? (kamu pikir) dia mengigau?”
Jika Umar yang mengucapkan itu, maka
perawi akan telah menyebutkannya. Hal yang tidak masuk akal perawi
mengatakan “Umar berkata ini, dan kemudian seseorang mengatakan ini”
jika dia memang berbicara tentang orang yang sama. Jika itu diucapkan
oleh Umar, maka akan disebutkan dengan jelas bahwa dia (Umar) adalah
orang yang mengucapkan hal itu. Metodologi perawi dan penyusun hadits
adalah mereka akan mencatat pribadi yang penting (sahabat-sahabat
senior) sedangkan mereka akan menggunakan istilah umum (contoh :
“mereka”, “sebagian”)untuk menggambarkan figure yang kurang penting.
Oleh karena itu, jika itu diucapkan oleh Umar -atau sahabat utama yang
lain- maka akan disebutkan namanya.
Yang benar adalah bacaan yang tidak bias
menunjukkan bahwa sama sekali bukan Umar yang bertanya apakah Nabi
sedang mengigau, dan tidak ada dimanapun kecuali ada dalam imajinasi
Syiah yang telah mengaitkan kata-kata ini padanya. Umar menolak untuk
membawakan Nabi tinta dan kertas tidak ada alasan lain selain fakta
bahwa ia merasa sang Nabi sedang sakit keras dan akan menimbulkan sakit
jika beliau berbicara; ini adalah kasih kepada Nabi, dan sama sekali
bukan sebagai sebuah bentuk penghinaan sebagaimana klaim Syi’ah.
Ali radhiyallahu ‘anhu telah kehilangan akal sehatnya menurut sumber Syi’ah?
Syi’ah memprotes keras kata-kata “apakah
beliau mengigau?”. Mari kita analisa apakah kemarahan mereka tersebut
ditujukan kepada kata-kata itu ataukah kepada orang yang mengucapkannya.
Dalam kitab Syarah Nahjul Balaghah yang terkenal, kita membaca sebuah
riwayat Syi’ah dimana Ali bin Abi Thalib ra sedang terluka dan berdarah;
Ali memerintahkan putranya Abdullah, untuk menggosokan pipinya di tanah
(untuk menghentikan pendarahan). Menurut Syi’ah, ketika Abdullah
mendengar permintaan ini, ia mengira ayahnya telah hilang akal sehatnya
dan ia menolak permintaan tersebut. Kita baca riwayat Syi’ah berikut ini
:
Ketika Amirul Mukminin (Ali) sedang terluka, orang-orang berada di sisi beliau. Sekujur tubuh beliau (Ali) bersimbah darah dan dia belum melakukan shalat shubuh. beliau diberitahu “Shalat, ya Amirul Mukminin!”.Beliau mengangkat kepalanya dan berkata : “seseorang yang meninggalkan shalat tidak mempunyai saham dalam Islam!” kemudian beliau berdiri tersentak dan darah menyembur keluar dari luka beliau. Beliau berkata: “berikan saya selembar pakaian.” Beliau membalut lukanya, mulai mengerjakan shalat dan menyebut nama Allah; kemudian dia berkata kepada putranya Abdullah: “ya Abdullah, gosokkan pipiku ke atas tanah.”Abdullah berkata :“Aku tidak melakukannya, aku pikir dia telah kehilangan akal sehatnya! Dia (Ali) mengulangi hal yang sama: “Anakku, gosokkan pipiku ke atas tanah.” Aku tidak melakukannya lagi. Ia (Ali) mengulanginya lagi untuk ketiga kalinya, (berkata): “mengapa kamu tidak menggosokkan pipiku ke atas tanah?” sekarang aku dapat melihat dia dengan pikiran sehatnya. Dia tidak dapat melakukannya sendiri karena begitu sakit dan lemah. Aku menyentuhkan pipinya ke tanah. Aku melihat rambut luar janggutnya; tertutup oleh debu. Dia menangis sampai debu melekat pada matanya.(Syarah Nahjul Balaghah, Ibnu Abil Hadid)
Bukankah Syi’ah begitu marah dengan kata
“mengigau” dengan sedikit sombong ketika kami menemukan bahwa keturunan
Ali ra, satu dari ahlul bait, mengatakan bahwa Imam Ma’shum pertama
mereka “telah hilang akal sehatnya?” ini sangat jelas dari riwayat ini
bahwa Abdullah telah mengira ayahnya telah menjadi gila; Abdullah
mengira bahwa Ali sedang membuat permintaan yang tidak masuk akal.
Syi’ah meyakini bahwa Ali bin Abi Thalib
ra adalah ma’shum sebagaimana Nabi; bukankah seharusnya mereka memprotes
atas pertanyaan putra Ali sendiri jika “dia telah hilang akal
sehatnya?”. Mengapa Syi’ah memaafkan putra Ali, Abdullah tetapi mereka
mengeluarkan ludah beracun mereka kepada Umar bin Khattab yang diduga
mengucapkan hal yang mirip? Kenyataannya, kata-kata “apakah beliau
mengigau” lebih ringan daripada “dia telah kehilangan akal sehatnya”.
Perlu diingat bahwa Syi’ah mempunyai opini yang tinggi terhadap Abdullah
yang merupakan putra Imam ma’shum mereka; oleh karena itu, apapun akan
mereka ma’afkan untuk apa yang Abdullah katakana, maka pastinya pemaafan
yang sama dapat diberikan kepada orang yang mengira Nabi sedang
mengigau.
Pembaca yang cerdas seharusnya mencatat
bahwa kaum Sunni tidak pernah mengemukakan hadis Syiah ini untuk
memfitnah Abdullah (radhiyallahu ‘anhu). Ini bukan sifat Ahlus Sunnah
untuk memfitnah dan menghina, apalagi kepada pahlawan besar Islam. Namun
jika dalam riwayat tersebut yang mengucapkan kata-kata tersebut adalah
Umar bukan Abdullah misalnya, hampir bisa dipastikan Syi’ah akan
menggunakan ini sebagai semacam “bukti” untuk menyerang Umar! Kita akan
temukan da’i Syi’ah menyembul diantara kita dengan membawa tongkat dan
bertanya kebingungan : ”Apa yang Umar maksudkan dengan mengucapkan bahwa
“Ia telah kehilangan akal sehatnya?” yang demikian ini adalah standar
ganda kaum Syi’ah. Ini adalah sifat bermuka dua Syi’ah yang tidak jujur.
Sekumpulan orang yang mengkhususkan diri dengan menyempal dan menyukai
hal-hal yang bias.
Insya Allah bersambung …
1. https://alfanarku.wordpress.com/2009/12/23/tragedi-kamis-kelabu-bagian-1/2. https://alfanarku.wordpress.com/2009/12/23/2010/01/11/tragedi-kamis-kelabu-bagian-2/
_____________________________________
Mari kita baca Shahih Muslim 3/1257 No. 1637:
22 – ( 1637 ) وحدثني محمد بن رافع وعبد بن حميد ( قال عبد أخبرنا وقال ابن رافع حدثنا عبدالرزاق ) أخبرنا معمر عن الزهري عن عبيدالله بن عبدالله بن عتبة عن ابن عباس قال
Y لما حضر رسول الله صلى الله عليه و سلم وفي البيت رجال فيهم عمر ابن الخطاب فقال النبي صلى الله عليه و سلم ( هلم أكتب لكم كتابا لا تضلون بعده ) فقال عمر إن رسول الله صلى الله عليه و سلم قد غلب عليه الوجع وعندكم القرآن حسبنا كتاب الله فاختلف أهل البيت فاختصموا فمنهم من يقول قربوا يكتب لكم رسول الله صلى الله عليه و سلم كتابا لن تضلوا بعده ومنهم من يقول ما قال عمر فلما أكثروا اللغو والاختلاف عند رسول الله صلى الله عليه و سلم قال رسول الله صلى الله عليه و سلم ( قوموا )
قال عبيدالله فكان ابن عباس يقول إن الرزية كل الرزية ما حال بين رسول الله صلى الله عليه و سلم وبين أن يكتب لهم ذلك الكتاب من اختلافهم ولغطهم
[ ش ( لما حضر ) أي حضره الموت ]
(3/1257)
Ibnu Abbas menceritakan : Ketika ajal Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam sudah hampir tiba dan di dalam rumah beliau ada beberapa orang dan salah satunya adalah Umar bin Khattab ra. Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam bersabda : “kemari, aku akan menuliskan (mendiktekan) untuk kalian wasiat, agar kalian tidak sesat setelahnya”. Kemudian Umar berkata : “sesungguhnya Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam dalam keadaan sakit parah dan di sisi kalian ada Al-Qur’an, cukuplah Kitabullah untuk kita” kemudian orang-orang yang ada dalam rumah tersebut saling berselisih pendapat. Sebagian berkata, sediakan apa yang diinta oleh Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam Agar beliau menuliskan bagi kamu sesuatu yang menghindarkan kamu dari kesesatan. Tetapi sebagian lainnya mengatakan sama sebagaimana ucapan Umar. Dan ketika keributan dan pertengkaran makin bertambah di hadapan Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam, beliau memerintahkan: “Keluarlah kalian dari sini!” Ubaidullah berkata : Ibnu Abbas selalu berkata : “Itu adalah musibah yang besar, sungguh sebuah musibah yang besar, disebabkan pertengkaran dan kegaduhan, Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam tidak menuliskan (mendiktekan) wasiat untuk mereka”.
Dia menerjemahkan kalimat ” فاختلف أهل البيت “ diterjemahkan menjadi “orang-orang yang ada dalam rumah tersebut saling berselisih pendapat”.
Jadi ada saudara-saudara kita dari Islam Ahlulsunnah yang tetap berpandangan bahwa yang berbuat kericuhan ialah orang-orang yang ada di dalam rumah Nabi saat itu, dalam hal ini adalah Sahabat Nabi.
Tetapi di sisi lain, ada orang yang mengaku sebagai Ahlulsunnah berpendapat bahwa Ahlulbayt-lah yang berbuat kericuhan dan membuat Nabi marah. Ada baiknya antara Ahlulsunnah berbincang dulu deh soal siapa yang berbuat kericuhan dan membuat Nabi marah. hehehe…
Menurut saya, pendapat pertamalah yang benar, yaitu orang-orang yang ada di dalam rumah Nabi-lah yang berseteru dan membuat kegaduhan di hadapan Nabi sehingga membuat Nabi marah, atau dalam hal ini ialah sahabat Nabi.
Setidaknya ada dua alasan bagi saya untuk melakukan verifikasi:
Pertama, Seperti kita ketahui bersama, banyak hadits shahih yang mengabarkan kepada kita bahwa Ahlulbayt Nabi telah disucikan oleh Allah SWT dalam surat Al-Ahzab ayat 33. Dan ini sudah pernah saya bahas pada tulisan yang berjudul “Siapakah Ahlulbayt dalam Surat Al-Ahzab ayat 33″.
____________________________________
Siapakah Ahlulbayt Dalam Surat Al-Ahzab ayat 33?
Perbedaan penafsiran terhadap Al-Qur’an
nampaknya menjadi sebuah keniscayaan di zaman ini. Antara mufassir yang
satu dengan mufassir yang lain, sering kali terjadi perbedaan penafsiran
atas suatu ayat Al-Qur’an tertentu. Termasuk perbedaan penafsiran
terhadap surat Al-Ahzab ayat 33 tentang siapakah Ahlulbayt yang dimaksud
dalam ayat tersebut.
وَقَرْنَ فِي بُيُوتِكُنَّ وَلَا تَبَرَّجْنَ تَبَرُّجَ الْجَاهِلِيَّةِ الْأُولَى وَأَقِمْنَ الصَّلَاةَ وَآتِينَ الزَّكَاةَ وَأَطِعْنَ اللَّهَ وَرَسُولَهُ إِنَّمَا يُرِيدُ اللَّهُ لِيُذْهِبَ عَنكُمُ الرِّجْسَ أَهْلَ الْبَيْتِ وَيُطَهِّرَكُمْ تَطْهِيراًdan hendaklah kamu tetap di rumahmu dan janganlah kamu berhias dan bertingkah laku seperti orang-orang Jahiliyah yang dahulu dan dirikanlah shalat, tunaikanlah zakat dan ta’atilah Allah dan Rasul-Nya. Sesungguhnya Allah bermaksud hendak menghilangkan dosa dari kamu, hai ahlul bait dan membersihkan kamu sebersih-bersihnya. (QS. Al-Ahzab ayat 33)
Masing-masing orang menafsirkannya dengan
cara pandang yang berbeda dan dengan metode yang berbeda. Perbedaan
cara pandang dan metode yang digunakan itu biasanya menghasilkan
kesimpulan yang berbeda.
Adapun beberapa metode penafsirannya
ialah tafsir ayat dengan ayat, tafsir ayat dengan hadits, tafsir ayat
dengan asbabun nuzul, tafsir ayat dengan ra’yu, dll.
Ada seorang kawan saya yang memiliki gaya
diskusi yang sangat aneh, menafsirkan surat Al-Ahzab ayat 33 tersebut
dengan metode tafsir ayat dengan ayat.
Mengapa saya katakan gaya diskusinya
aneh? Karena saat dia berdiskusi dan kehabisan argumen, sering kali dia
menyerang pribadi lawan diskusinya. Tentu segala cara pun ia tempuh
untuk menyerang pribadi lawan diskusinya. Biasanya sih banyak orang yang
tak tahan berdiskusi dengan dia. Bukan persoalan kalah argumen, tetapi
karena tak tahan dirinya dijelek-jelekin.
Kembali ke pendapat kawan saya diatas.
Dia berpendapat bahwa kata Ahlulbayt dalam surat Al-Ahzab ayat 33
tersebut berkenaan dengan istri-istri Nabi saja. Pendapat dia ini
berdasarkan ayat Al-Qur’an yang lain yang juga berbicara tentang
Ahlulbayt, dan kata ahlulbayt disitu berbicara tentang perempuan.
Ambil contoh dalam surat Hud ayat 72-73, Allah berfirman:قَالَتْ يَا وَيْلَتَى أَأَلِدُ وَأَنَاْ عَجُوزٌ وَهَـذَا بَعْلِي شَيْخاً إِنَّ هَـذَا لَشَيْءٌ عَجِيبٌقَالُواْ أَتَعْجَبِينَ مِنْ أَمْرِ اللّهِ رَحْمَتُ اللّهِ وَبَرَكَاتُهُ عَلَيْكُمْ أَهْلَ الْبَيْتِ إِنَّهُ حَمِيدٌ مَّجِيدٌIsterinya berkata: “Sungguh mengherankan, apakah aku akan melahirkan anak padahal aku adalah seorang perempuan tua, dan ini suamikupun dalam keadaan yang sudah tua pula?. Sesungguhnya ini benar-benar suatu yang sangat aneh.”
Para malaikat itu berkata: “Apakah kamu merasa heran tentang ketetapan Allah? (Itu adalah) rahmat Allah dan keberkatan-Nya, dicurahkan atas kamu, hai ahlulbait! Sesungguhnya Allah Maha Terpuji lagi Maha Pemurah.”
Kata Ahlulbayt dalam ayat diatas, menurutnya, berbicara soal istri dari Ibrahim.
Demikian pula dalam surat Al-Qashash ayat 12:وَحَرَّمْنَا عَلَيْهِ الْمَرَاضِعَ مِن قَبْلُ فَقَالَتْ هَلْ أَدُلُّكُمْ عَلَى أَهْلِ بَيْتٍ يَكْفُلُونَهُ لَكُمْ وَهُمْ لَهُ نَاصِحُونَdan Kami cegah Musa dari menyusu kepada perempuan-perempuan yang mau menyusui(nya) sebelum itu; maka berkatalah saudara Musa: “Maukah kamu aku tunjukkan kepadamu ahlul bait yang akan memeliharanya untukmu dan mereka dapat berlaku baik kepadanya?”.
Setelah ia hadapkan surat Al-Ahzab ayat 33 dengan kedua ayat diatas, kemudian dia mengambil sebuah kesimpulan bahwa Ahlulbayt yang terdapat dalam surat Al-Ahzab ayat 33 tersebut ditujukan ke perempuan dalam hal ini ialah istri-istri Nabi.
Sebuah Tanggapan
Saya tergerak untuk sekedar menanggapi
pendapat kawan saya tadi. Semoga tanggapan ini tidak dimaknai sebagai
sikap merasa diri paling benar sendiri. Apa yang saya lakukan ini
hanyalah sebuah usaha untuk memahami dan memaknai ayat-ayat Al-Qur’an.
Metode yang digunakan oleh beliau
tidaklah salah. Tetapi, menurut saya, proses penafsirannya yang masih
cacat. Ada hal yang sama sekali tidak ia singgung, salah satunya ialah
persoalan penggunaan kata ganti.
Mari kita simak Surat Al-Ahzab tersebut dari ayat 30-34.
Mulai dari Surat-Ahzab ayat 30-34 memang
Allah berbicara soal istri-istri Nabi. Tetapi jika kita jeli, dalam
surat Al-Ahzab ayat 33 itu sebetulnya terdiri dari dua kalimat:
1. dan hendaklah kamu tetap di rumahmu dan janganlah kamu
berhias dan bertingkah laku seperti orang-orang Jahiliyah yang
dahuludan dirikanlah shalat, tunaikanlah zakat dan ta’atilah Allah dan
Rasul-Nya.
2. Sesungguhnya Allah bermaksud hendak menghilangkan dosa dari kamu, hai ahlul bait dan membersihkan kamu sebersih-bersihnya.
Pada kalimat yang pertama, Allah berbicara dengan menggunakan kata ganti jamak perempuan.
وَقَرْنَ فِي بُيُوتِكُنَّwa qarna fii buyutikunna. Dan hendaknya kamu (perempuan) tetap dirumahmu (perempuan).
Tetapi pada kalimat yang kedua, Allah berbicara dengan menggunakan kata ganti jamak laki-laki perempuan:
إِنَّمَا يُرِيدُ اللَّهُ لِيُذْهِبَ عَنكُمُ الرِّجْسَ أَهْلَ الْبَيْتِ وَيُطَهِّرَكُمْ تَطْهِيراInnamaa Yuriidullaahu Liyudzhiba ’Ankumurrijsa Ahlalbayti Wayuthahhirakum Tathhiiraa. Sesungguhnya Allah bermaksud hendak menghilangkan dosa dari kamu, hai ahlul bait dan membersihkan kamu sebersih-bersihnya.
Antara kalimat pertama dan kedua, terdapat perbedaan penggunakan kata ganti. Kalimat pertama menggunakan kata ganti “kunna” sedangkan kalimat kedua menggunakan kata ganti “kum”.
Jika kita hadapkan ini pada pendapat
kawan saya diatas bahwa surat Al-Ahzab ayat 33 itu turun kepada
perempuan, maka tidak sepenuhnya benar. Karena dalam surat Al-Ahzab ayat
33 tersebut ada kalimat yang menggunakan kata ganti laki-laki
perempuan.
JADI
ANGGAPAN BAHWA SURAT AL-AHZAB AYAT 33 YANG BERBICARA TENTANG AHLULBAYT
ITU TURUN KEPADA PEREMPUAN ATAU ISTRI-ISTRI NABI, MAKA SUDAH DAPAT
DIPASTIKAN ITU MENGADA-NGADA…ALIAS NGAWUR…
Saya menggunakan pendekatan bahasa
terlebih dahulu untuk menafsirkan surat Al-Ahzab ayat 33 tersebut.
Selain itu, saya juga menggunakan metode lain untuk mengetahuai siapakah
Ahlulbayt yang dimaksud dalam ayat tersebut.
Bagi saya, ayat “Innamaa
Yuriidullaahu Liyudzhiba ’Ankumurrijsa Ahlalbayti Wayuthahhirakum
Tathhiiraa.” (QS Al Ahzab 33) adalah ayat yang turun sendiri terpisah
dari ayat sebelum maupun sesudahnya. Apa alasannya?
Saya menggunakan metode penafsiran ayat dengan asbabun nuzul yang itu ada dalam kitab-kitab hadits standar Ahlulsunnah.
Dalam Sunan Tirmidzi hadis no 3205 dalam Shahih Sunan Tirmidzi Syaikh Al Albaniعن عمر بن أبي سلمة ربيب النبي صلى الله عليه و سلم قال لما نزلت هذه الآية على النبي صلى الله عليه و سلم { إنما يريد الله ليذهب عنكم الرجس أهل البيت ويطهركم تطهيرا } في بيت أم سلمة فدعا فاطمة و حسنا و حسينا فجللهم بكساء و علي خلف ظهره فجللهم بكساء ثم قال اللهم هؤلاء أهل بيتي فأذهب عنهم الرجس وطهرهم تطهيرا قالت أم سلمة وأنا معهم يا نبي الله ؟ قال أنت على مكانك وأنت على خير
Dari Umar bin Abi Salamah, anak tiri Nabi SAW yang berkata “Ayat ini turun kepada Nabi SAW {Sesungguhnya Allah berkehendak menghilangkan dosa dari kamu wahai Ahlul Bait dan menyucikanmu sesuci-sucinya.} di rumah Ummu Salamah, kemudian Nabi SAW memanggil Fatimah, Hasan dan Husain dan menutup Mereka dengan kain dan Ali berada di belakang Nabi SAW, Beliau juga menutupinya dengan kain. Kemudian Beliau SAW berkata “ Ya Allah Merekalah Ahlul BaitKu maka hilangkanlah dosa dari mereka dan sucikanlah Mereka sesuci-sucinya. Ummu Salamah berkata “Apakah Aku bersama Mereka, Ya Nabi Allah?. Beliau berkata “Kamu tetap pada kedudukanmu sendiri dan kamu dalam kebaikan”.
Jadi jelaslah sudah bahwa kata Ahlulbayt dalam surat Al-Ahzab ayat 33 itu merujuk kepada Ali, Fathimah, Hasan, dan Husain. Anggapan bahwa Ahlulbayt dalam ayat tersebut itu turun kepada perempuan atau istri-istri Nabi, maka itu adalah anggapan yang teramat sangat ngawurnya.
Semoga Allah menjauhkan diri kita dari berbagai macam kengawuran seperti itu.
Wallahu a’lam.
__________________________________
وَقَرْنَ فِي بُيُوتِكُنَّ وَلَا تَبَرَّجْنَ تَبَرُّجَ الْجَاهِلِيَّةِ الْأُولَى وَأَقِمْنَ الصَّلَاةَ وَآتِينَ الزَّكَاةَ وَأَطِعْنَ اللَّهَ وَرَسُولَهُ إِنَّمَا يُرِيدُ اللَّهُ لِيُذْهِبَ عَنكُمُ الرِّجْسَ أَهْلَ الْبَيْتِ وَيُطَهِّرَكُمْ تَطْهِيراً
dan hendaklah kamu tetap di rumahmu dan janganlah kamu berhias dan bertingkah laku seperti orang-orang Jahiliyah yang dahulu dan dirikanlah shalat, tunaikanlah zakat dan ta’atilah Allah dan Rasul-Nya. Sesungguhnya Allah bermaksud hendak menghilangkan dosa dari kamu, hai ahlul bait dan membersihkan kamu sebersih-bersihnya. (QS. Al-Ahzab ayat 33)
Dalam Sunan Tirmidzi hadis no 3205 dalam Shahih Sunan Tirmidzi, Syaikh Al Albani;
عن عمر بن أبي سلمة ربيب النبي صلى الله عليه و سلم قال لما نزلت هذه الآية على النبي صلى الله عليه و سلم { إنما يريد الله ليذهب عنكم الرجس أهل البيت ويطهركم تطهيرا } في بيت أم سلمة فدعا فاطمة و حسنا و حسينا فجللهم بكساء و علي خلف ظهره فجللهم بكساء ثم قال اللهم هؤلاء أهل بيتي فأذهب عنهم الرجس وطهرهم تطهيرا قالت أم سلمة وأنا معهم يا نبي الله ؟ قال أنت على مكانك وأنت على خير
Dari Umar bin Abi Salamah, anak tiri Nabi SAW yang berkata “Ayat ini turun kepada Nabi SAW {Sesungguhnya Allah berkehendak menghilangkan dosa dari kamu wahai Ahlul Bait dan menyucikanmu sesuci-sucinya.} di rumah Ummu Salamah, kemudian Nabi SAW memanggil Fatimah, Hasan dan Husain dan menutup Mereka dengan kain dan Ali berada di belakang Nabi SAW, Beliau juga menutupinya dengan kain. Kemudian Beliau SAW berkata “ Ya Allah Merekalah Ahlul BaitKu maka hilangkanlah dosa dari mereka dan sucikanlah Mereka sesuci-sucinya. Ummu Salamah berkata “Apakah Aku bersama Mereka, Ya Nabi Allah?. Beliau berkata “Kamu tetap pada kedudukanmu sendiri dan kamu dalam kebaikan”.
Perihal ini, seorang blogger pernah menulis dengan sangat apik:
_____________________________
Al Quran Dan Hadis Menyatakan Ahlul Bait Selalu Dalam Kebenaran
Posted on November 25, 2007 by secondprince
Ahlul Bait adalah Pribadi-pribadi yang selalu berada dalam kebenaran
Mereka mendapat kemuliaan yang begitu
besar yang telah ditetapkan dalam Al Quran dan Hadis. Banyak sekali
isu-isu seputar masalah ini yang membuat orang enggan membahasnya. Yang
saya maksud itu adalah Bagaimana sebenarnya kedudukan Ahlul Bait Rasulullah SAW dalam Islam.
Ada sebagian kelompok yang sangat memuliakan Ahlul Bait, berpedoman
kepada Mereka dan Mengambil Ilmu dari Mereka. Ada juga kelompok yang
lain yang juga memuliakan Ahlul Bait dan mendudukkan mereka layaknya
seperti Sahabat Nabi SAW yang juga memiliki keutamaan yang besar. Ada
perbedaan yang besar diantara kedua kelompok ini.
- Kelompok yang pertama memiliki pandangan bahwa Ahlul Bait adalah pedoman bagi umat islam agar tidak sesat sehingga Mereka adalah Pribadi-pribadi yang ma’sum dan terbebas dari kesalahan. Kelompok yang pertama ini adalah Islam Syiah
- Kelompok yang kedua memiliki pandangan bahwa Ahlul Bait tidak ma’sum walaupun memiliki banyak keutamaan sehingga Mereka juga tidak terbebas dari kesalahan. Kelompok yang kedua ini adalah Islam Sunni.
Tulisan ini adalah Analisis tentang bagaimana sebenarnya kedudukan Ahlul Bait dalam Islam.
Sumber-sumber yang saya pakai sepenuhnya adalah hadis-hadis dalam Kitab
Hadis Sunni. Sebelumnya perlu ditekankan bahwa tulisan ini berusaha
untuk menelaah pandangan manakah yang benar dan sesuai dengan dalil
perihal kedudukan Ahlul Bait Rasulullah SAW. Sebaiknya perlu juga
dijelaskan bahwa pembahasan seputar kemuliaan Ahlul Bait ini tidak perlu
selalu dikaitkan dengan Sunni atau Syiah. Maksudnya bagaimanapun
nantinya pandangan saya tidak perlu dikaitkan dengan apakah saya Sunni atau Syiah karena memang bukan itu inti masalahnya. Cukup lihat dalil atau argumen yang dipakai dan nilailah sendiri benar atau tidak.
.
.
Kemuliaan Ahlul Bait Dalam Al Quran
Al Quran dalam Surah Al Ahzab 33 telah menyatakan kedudukan Ahlul Bait bahwa Mereka adalah Pribadi-pribadi yang disucikan oleh Allah SWT.
Mari kita lihat Al Ahzab ayat 33 yang berbunyi
Dan hendaklah kamu tetap di rumahmu dan janganlah kamu berhias dan bertingkah laku seperti orang-orang Jahiliyah yang dahulu dan dirikanlah shalat, tunaikanlah zakat dan ta’atilah Allah dan Rasul-Nya. Sesungguhnya Allah bermaksud hendak menghilangkan dosa dari kamu, wahai Ahlul Bait dan mensucikanmu sesuci-sucinya.
Jika kita melihat ayat sebelum dan sesudah ayat ini maka dengan sekilas kita dapat menyimpulkan bahwa Ahlul Bait yang dimaksud itu adalah istri-istri Nabi SAW
karena memang ayat sebelumnya ditujukan pada istri-istri Nabi SAW.
Pemahaman seperti ini dapat dibenarkan jika tidak ada dalil shahih yang
menjelaskan tentang ayat ini. Mari kita bahas.
Kita sepakat bahwa Al Quran diturunkan
secara berangsur-angsur, artinya tidak diturunkan sekaligus dalam bentuk
kitab yang utuh melainkan diturunkan sebagian-sebagian. Untuk
mengetahui kapan ayat-ayat Al Quran diturunkan kita harus merujuk kepada
Asbabun Nuzulnya. Tapi sayangnya tidak semua ayat Al Quran
terdapat asbabun nuzul yang shahih menjelaskan sebab turunnya.
Berdasarkan hal ini maka ayat-ayat dalam al Quran dibagi menjadi
- Ayat Al Quran yang memiliki Asbabun Nuzul atau sebab turunnya. Maksudnya ayat ini turun berkaitan dengan peristiwa atau tujuan tertentu. Hal ini diketahui dengan hadis asbabun nuzul yang shahih.
- Ayat Al Quran yang tidak memiliki Asbabun Nuzul atau sebab turunnya karena memang tidak ada asbabun nuzul yang shahih yang menjelaskan sebab turunnya
Lalu apa kaitannya dengan pembahasan
ini?. Ternyata terdapat asbabun nuzul yang shahih yang menjelaskan
turunnya penggalan terakhir surah Al Ahzab 33 yang lebih dikenal dengan sebutan Ayat Tathhir(ayat penyucian) yaitu penggalan
Innamaa Yuriidullaahu Liyudzhiba ’Ankumurrijsa Ahlalbayti Wayuthahhirakum Tathhiiraa.(QS Al Ahzab 33)
Yang arti atau terjemahannya adalah
Sesungguhnya Allah bermaksud hendak menghilangkan dosa dari kamu, wahai Ahlul Bait dan mensucikanmu sesuci-sucinya.
Ternyata banyak Hadis-hadis shahih dan jelas yang menyatakan bahwa ayat Innamaa Yuriidullaahu Liyudzhiba ’Ankumurrijsa Ahlalbayti Wayuthahhirakum Tathhiiraa.(QS Al Ahzab 33) turun sendiri terpisah dari ayat sebelum dan sesudahnya. Artinya ayat tersebut tidak terkait dengan ayat sebelum dan sesudahnya yang ditujukan untuk istri-istri Nabi SAW. Ayat tersebut justru ditujukan untuk Pribadi-pribadi yang lain dan bukan istri-istri Nabi SAW. Mungkin ada yang akan berpendapat bahwa yang seperti ini sama halnya dengan Mutilasi ayat, hal ini jelas tidak benar karena ayat yang dimaksud memang ditujukan untuk pribadi tertentu sesuai dengan asbabun nuzulnya.
Sebenarnya Ada dua cara untuk mengetahui siapa yang dituju oleh suatu Ayat dalam Al Quran.- Cara yang pertama adalah dengan melihat ayat sebelum dan ayat sesudah dari ayat yang dimaksud, memahaminya secara keseluruhan dan baru kemudian menarik kesimpulan.
- Cara kedua adalah dengan melihat Asbabun Nuzul dari Ayat tersebut yang terdapat dalam hadis yang shahih tentang turunnya ayat tersebut.
Cara pertama yaitu dengan melihat urutan
ayat, jelas memiliki syarat bahwa ayat-ayat tersebut diturunkan secara
bersamaan atau diturunkan berkaitan dengan individu-individu yang sama.
Dan untuk mengetahui hal ini jelas dengan melihat Asbabun Nuzul ayat
tersebut. Jadi sebenarnya baik cara pertama atau kedua sama-sama
memerlukan asbabun nuzul ayat tersebut. Seandainya terdapat dalil yang
shahih dari asbabun nuzul suatu ayat tentang siapa yang dituju dalam ayat tersebut maka hal ini jelas lebih diutamakan ketimbang melihat urutan ayat baik sebelum maupun sesudahnya. Alasannya adalah ayat-ayat Al Quran tidaklah diturunkan secara bersamaan melainkan diturunkan berangsur-angsur. Oleh karenanya dalil shahih dari Asbabun Nuzul jelas lebih tepat menunjukkan siapa yang dituju dalam ayat tersebut.
Berbeda halnya apabila tidak ditemukan dalil shahih yang menjelaskan Asbabun Nuzul ayat tersebut. Maka dalam hal ini jelas lebih tepat dengan melihat urutan ayat baik sebelum maupun sesudahnya untuk menangkap maksud kepada siapa ayat tersebut ditujukan.
Jadi ini bukan mutilasi ayat tapi memang ayatnya turun sendiri terpisah dari ayat sebelum maupun sesudahnya dan
ditujukan untuk pribadi-pribadi tertentu. Hal ini berdasarkan
hadis-hadis yang menjelaskan Asbabun Nuzul Ayat Tathir, Hadis ini
memiliki derajat yang sahih dan dikeluarkan oleh Ibn Abi Syaibah,
Ahmad, Al Tirmidzi, Al Bazzar, Ibnu Jarir Ath Thabari, Ibnu Hibban, Ibnu
Abi Hatim, Al Hakim, Ath Thabrani, Al Baihaqi dan Al Hafiz Al Hiskani. Berikut adalah hadis riwayat Tirmidzi dalam Sunan Tirmidzi.
Diriwayatkan dari Umar bin Abu Salamah yang berkata, “Ayat berikut ini turun kepada Nabi Muhammad SAW, Sesungguhnya Allah bermaksud hendak menghilangkan dosa dari kamu wahai Ahlul Bait dan menyucikanmu sesuci-sucinya.(QS Al Ahzab 33). Ayat tersebut turun di rumah Ummu Salamah , lalu Nabi Muhammad SAW memanggil Fathimah, Hasan dan Husain, lalu Rasulullah SAW menutupi mereka dengan kain sedang Ali bin Abi Thalib ada di belakang punggung Nabi SAW .Beliau SAW pun menutupinya dengan kain Kemudian Beliau bersabda” Allahumma( ya Allah ) mereka itu Ahlul BaitKu maka hilangkanlah dosa dari mereka dan sucikanlah mereka sesuci-sucinya. Ummu Salamah berkata,” Dan apakah aku beserta mereka wahai Rasulullah SAW? . Beliau bersabda “ engkau mempunyai tempat sendiri dan engkau menuju kebaikan”. (Hadis Sunan Tirmidzi no 3205 dan no 3871 dinyatakan shahih oleh Syaikh Nashiruddin Al Albani dalam Shahih Sunan Tirmidzi).
Dari hadis ini dapat diketahui beberapa hal sebagai berikut
- Bahwa ayat ini turun di rumah Ummu Salamah ra, dan terpisah dari ayat sebelum maupun sesudahnya. Hadis itu menjelaskan bahwa yang turun itu hanya penggalan ayat Sesungguhnya Allah bermaksud hendak menghilangkan dosa dari kamu wahai Ahlul Bait dan menyucikanmu sesuci-sucinya.
- Ahlul Bait yang dimaksud dijelaskan sendiri oleh Nabi SAW melalui kata-kata Beliau SAW “Ya Allah, mereka adalah Ahlul BaitKu” Pernyataan ini ditujukan pada mereka yang diselimuti kain oleh Rasulullah SAW yaitu Sayyidah Fatimah as, Imam Ali as, Imam Hasan as dan Imam Husain as.
- Ayat ini tidak ditujukan untuk istri-istri Nabi SAW. Buktinya adalah Pertanyaan Ummu Salamah. Pertanyaan Ummu Salamah mengisyaratkan bahwa ayat itu tidak ditujukan untuk istri-istri Nabi SAW, karena jika Ayat yang dimaksud memang turun untuk istri-istri Nabi SAW maka seyogyanya Ummu Salamah tidak perlu bertanya Dan apakah aku beserta mereka wahai Rasulullah SAW?. Bukankah jika ayat tersebut turun mengikuti ayat sebelum maupun sesudahnya maka adalah jelas bagi Ummu Salamah bahwa Beliau ra selaku istri Nabi SAW juga dituju dalam ayat tersebut dan Beliau ra tidak akan bertanya kepada Rasulullah SAW. Adanya pertanyaan dari Ummu Salamah ra menyiratkan bahwa ayat ini benar-benar terpisah dari ayat yang khusus untuk Istri-istri Nabi SAW. Sekali lagi ditekankan kalau memang ayat itu jelas untuk istri-istri Nabi SAW maka Ummu Salamah ra tidak perlu bertanya lagi “Dan apakah aku bersama mereka wahai Nabi Allah?”.
- Penolakan Rasulullah SAW terhadap pertanyaan Ummu Salamah, Beliau SAW bersabda “ engkau mempunyai tempat sendiri dan engkau menuju kebaikan”. Hal ini menunjukkan Ummu Salamah selaku salah satu Istri Nabi SAW tidaklah bersama mereka Ahlul Bait yang dituju oleh ayat ini. Beliau Ummu Salamah ra mempunyai kedudukan tersendiri dan bukanlah Ahlul Bait yang dimaksud dalam ayat ini.
Kesimpulan dari hadis-hadis Asbabun nuzul ayat tathhir adalah Ahlul Bait dalam Al Ahzab 33 itu adalah
- Rasulullah SAW sendiri karena ayat itu turun untuk Beliau berdasarkan kata-kata Ayat berikut ini turun kepada Nabi Muhammad SAW
- Mereka yang diselimuti kain oleh Rasulullah SAW dan dinyatakan bahwa mereka adalah Ahlul Bait Rasulullah SAW yang dimaksud yaitu Sayyidah Fatimah as, Imam Ali as, Imam Hasan as dan Imam Husain as.
Terdapat beberapa ulama ahlus sunnah yang menyatakan bahwa ayat tathiir adalah khusus untuk Ahlul Kisa’ (Rasulullah SAW, Sayyidah Fatimah as, Imam Ali as, Imam Hasan as dan Imam Husain as) yaitu
- Ibnu Jarir Ath Thabari dalam kitab Tafsir Ath Thabary juz I hal 50 ketika menafsirkan ayat ini beliau membatasi cakupan Ahlul Bait itu hanya pada diri Nabi SAW, Ali, Fathimah, Hasan dan Husain dan menyatakan bahwa ayat tersebut hanya untuk Mereka berlima (merujuk pada berbagai riwayat yang dikutip Thabari).
- Abu Ja’far Ath Thahawi dalam kitab Musykil Al Atsar juz I hal 332-339 setelah meriwayatkan berbagai hadis tentang ayat ini beliau menyatakan bahwa ayat tathiir ditujukan untuk Rasulullah SAW, Ali, Fathimah, Hasan dan Husain dan tidak ada lagi orang selain Mereka. Beliau juga menolak anggapan bahwa Ahlul Bait yang dituju oleh ayat ini adalah istri-istri Nabi SAW. Beliau menulis Maka kita mengerti bahwa pernyataan Allah dalam Sesungguhnya Allah berkehendak menghilangkan dosa dari kamu wahai Ahlul Bait dan menyucikanmu sesuci-sucinya. (Al-Ahzab :33) ditujukan pada orang-orang yang khusus dituju olehNya untuk mengingatkan akan derajat Mereka yang tinggi dan para istri Rasulullah SAW hanyalah yang dituju pada bagian yang sebelumnya dari ayat itu yaitu sebelum ditujukan pada orang-orang tersebut”.
Mungkin
terdapat keraguan sehubungan dengan urutan ayat Al Ahzab 33, kalau
memang ayat tersebut hanya ditujukan untuk Ahlul Kisa’ kenapa ayat ini
terletak diantara ayat-ayat yang membicarakan tentang istri-istri Nabi.
Perlu ditekankan bahwa peletakan susunan ayat-ayat dalam Al Quran adalah
dari Nabi SAW dan juga diketahui bahwa ayat ayat Al Quran diturunkan
berangsur-angsur, pada dasarnya kita tidak akan menyelisihi urutan ayat
kecuali terdapat dalil yang shahih yang menunjukkan bahwa ayat tersebut
turun sendiri dan tidak berkaitan dengan ayat sebelum maupun sesudahnya.
Berikut akan diberikan contoh lain tentang ini, yaitu penggalan Al
Maidah ayat 3
“Pada pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah Ku-cukupkan kepadamu ni’mat-Ku, dan telah Ku-ridhai Islam itu jadi agama bagimu”.
Ayat di atas adalah penggalan Al Maidah ayat 3 yang turun sendiri di arafah berdasarkan Hadis shahih yang diriwayatkan oleh Bukhari dalam Shahih Bukhari no 4606 , Muslim dalam Shahih Muslim, no 3017 tidak terkait dengan ayat sebelum maupun sesudahnya yang berbicara tentang makanan yang halal dan haram.
Dari Thariq bin Syihab, ia berkata, ‘Orang Yahudi berkata kepada Umar, ‘Sesungguhnya kamu membaca ayat yang jika berhubungan kepada kami, maka kami jadikan hari itu sebagai hari besar’. Maka Umar berkata, ‘Sesungguhnya saya lebih mengetahui dimana ayat tersebut turun dan dimanakah Rasulullah SAW ketika ayat tersebut diturunkan kepadanya, yaitu diturunkan pada hari Arafah (9 Dzulhijjah) dan Rasulullah SAW berada di Arafah. Sufyan berkata: “Saya ragu, apakah hari tsb hari Jum’at atau bukan (dan ayat yang dimaksud tersebut) adalah “Pada pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah Ku-cukupkan kepadamu ni’mat-Ku, dan telah Ku-ridhai Islam itu jadi agama bagimu” (H.R.Muslim, kitab At-Tafsir)
.
.
Makna Ayat Tathir
Innamaa Yuriidullaahu Liyudzhiba ’Ankumurrijsa Ahlalbayti Wayuthahhirakum Tathhiiraa.(QS Al Ahzab 33)
Innama
Setelah mengetahui bahwa ayat ini ditujukan untuk ahlul kisa’(Rasulullah SAW, Sayyidah Fathimah AS, Imam Ali AS, Imam Hasan AS dan Imam Husain AS) sekarang akan dibahas makna dari ayat tersebut. Ayat ini diawali dengan kata Innama, dalam bahasa arab kata ini memiliki makna al hashr atau pembatasan. Dengan demikian lafal ini menunjukkan bahwa kehendak Allah itu hanya untuk menghilangkan ar rijs dari Ahlul Bait as dan menyucikan Mereka sesuci-sucinya. Allah SWT tidak menghendaki hal itu dari selain Ahlul Bait as dan tidak juga menghendaki hal yang lain untuk Ahlul Bait as.
Setelah mengetahui bahwa ayat ini ditujukan untuk ahlul kisa’(Rasulullah SAW, Sayyidah Fathimah AS, Imam Ali AS, Imam Hasan AS dan Imam Husain AS) sekarang akan dibahas makna dari ayat tersebut. Ayat ini diawali dengan kata Innama, dalam bahasa arab kata ini memiliki makna al hashr atau pembatasan. Dengan demikian lafal ini menunjukkan bahwa kehendak Allah itu hanya untuk menghilangkan ar rijs dari Ahlul Bait as dan menyucikan Mereka sesuci-sucinya. Allah SWT tidak menghendaki hal itu dari selain Ahlul Bait as dan tidak juga menghendaki hal yang lain untuk Ahlul Bait as.
Yuridullah
Setelah kata Innama diikuti kata yuridullah yang berarti Allah berkehendak, perlu dijelaskan terlebih dahulu bahwa iradah Allah SWT terbagi dua yaitu iradah takwiniyyah dan iradah tasyri’iyyah. Iradah takwiniyyah adalah iradah Allah yang bersifat pasti atau niscaya terjadi, hal ini dapat dilihat dari ayat berikut
Setelah kata Innama diikuti kata yuridullah yang berarti Allah berkehendak, perlu dijelaskan terlebih dahulu bahwa iradah Allah SWT terbagi dua yaitu iradah takwiniyyah dan iradah tasyri’iyyah. Iradah takwiniyyah adalah iradah Allah yang bersifat pasti atau niscaya terjadi, hal ini dapat dilihat dari ayat berikut
“Sesungguhnya perintahNya apabila Dia menghendaki sesuatu hanyalah berkata kepadaNya ‘Jadilah ‘maka terjadilah ia”(QS Yasin :82)
“Sesungguhnya perkataan Kami terhadap sesuatu apanila Kami menghendakinya,Kami hanya berkata kepadanya ‘Jadilah’maka jadilah ia”(QS An Nahl :40)
“Sesungguhnya Tuhanmu Maha Pelaksana terhadap apa yang Dia kehendaki”(QS Hud:107)
Sedangkan yang dimaksud Iradah tasyri’iyah adalah
Iradah Allah SWT yang terkait dengan penetapan hukum syariat bagi
hamba-hambanya agar melaksanakannya dengan ikhtiar mereka sendiri. Dalam
hal ini iradah Allah SWT adalah penetapan syariat adapun pelaksanaannya
oleh hamba adalah salah satu tujuan penetapan syariat itu, oleh
karenanya terkadang tujuan itu terealisasi dan terkadang tidak sesuai
dengan pilihan hamba itu sendiri apakah mematuhi syariat yang telah
ditetapkan Allah SWT atau melanggarnya. Contoh iradah ini dapat dilihat
pada ayat berikut
“(Beberapa hari yang ditentukan itu ialah)bulan ramadhan,bulan yang didalamnya diturunkan Al Quran sebagai petunjuk bagi manusia dan penjelasan-penjelasan mengenai petunjuk itu dan pembeda(antara yang haq dan yang bathil).Karena itu barangsiapa diantara kamu hadir di bulan itu maka hendaklah ia berpuasa pada bulan itu dan barang siapa sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka) maka(wajiblah baginya berpuasa) sebanyak hari yang ditinggalkannya itu,pada hari-hari yang lain. Allah menghendaki kemudahan bagimu dan tidak menghendaki kesukaran bagimu.Dan hendaklah kamu mencukupkan bilangannya dan hendaklah kamu mengagungkan Allah atas petunjukNya yang diberikan kepadamu supaya kamu bersyukur”.(QS Al Baqarah :185).
“Hai orang-orang beriman apabila kamu hendak mengerjakan sholat,maka basuhlah muka dan tanganmu sampai ke siku dan sapulah kepalamu dan kakimusampai dengan kedua mata kaki dan jika kamu junub maka mandilah dan jika kamu sakit atau dalam perjalanan atau kembali dari tempat buang air atau menyentuh perempuan lalu kamu tidak memperoleh air,maka bertanyamumlah dengan tanah yang baik(bersih) sapulah muka dan tanganmu dengan tanah itu. Allah tidak hendak menyulitkan kamu, tetapi Dia hendak membersihkan kamu dan menyempurnakan nikmatnya bagimu supaya kamu bersyukur”.(QS Al Maidah : 6)
Iradah dalam Al Baqarah 185 adalah berkaitan dengan syariat Allah tentang puasa dimana aturan-aturan yang ditetapkan Allah itu adalah untuk memudahkan manusia dalam melaksanakannya,sehingga iradah ini akan terwujud pada orang yang berpuasa. Sedangkan yang tidak mau berpuasa jelas tidak ada hubungannya dengan iradah ini. Begitu juga Iradah dalam Al Maidah ayat 6 dimana Allah hendak membersihkan manusia dan menyempurnakan nikmatnya bagi manusia supaya manusia bersyukur, iradah ini jelas terkait dengan syariat wudhu dan tanyamum yang Allah tetapkan oleh karenanya iradah ini akan terwujud bagi orang yang bersuci sebelum sholat dengan wudhu dan tanyamum dan ini tidak berlaku bagi orang yang tidak bersuci baik dengan wudhu atau tanyamum. Dan perlu ditekankan bahwa iradah tasyri’iyah ini ditujukan pada semua umat muslim yang melaksanakan syariat Allah SWT tersebut termasuk dalam hal ini Ahlul Bait as.
Iradah dalam Ayat tathhiir adalah iradah takwiniyah dan bukan iradah tasyri’iyah
artinya tidak terkait dengan syariat tertentu yang Allah tetapkan,
tetapi iradah ini bersifat niscya atau pasti terjadi. Hal ini
berdasarkan alasan-alasan berikut
- Penggunaan lafal Innama yang bermakna hashr atau pembatasan menunjukkan arti bahwa Allah tidak berkehendak untuk menghilangkan rijs dengan bentuk seperti itu kecuali dari Ahlul Bait, atau dengan kata lain kehendak penyucian ini terbatas hanya pada pribadi yang disebut Ahlul Bait dalam ayat ini.
- Berdasarkan asbabun nuzulnya ayat ini seperti dalam hadis riwayat Turmudzi di atas tidak ada penjelasan bahwa iradah ini berkaitan dengan syariat tertentu yang Allah tetapkan.
- Allah memberi penekanan khusus setelah kata kerja liyudzhiba(menghilangkan) dengan firmannya wa yuthahhirakum tathiira. Dan kata kerja kedua ini wa yuthahhirakum(menyucikanmu) dikuatkan dengan mashdar tathiira(sesuci-sucinya)yang mengakhiri ayat tersebut. Penekanan khusus ini merupakan salah satu petunjuk bahwa iradah Allah ini adalah iradah takwiniyah.
Li yudzhiba ‘An kumurrijsa Ahlal bait
Kemudian kalimat selanjutnya adalah li yudzhiba ‘an kumurrijsa ahlal bait . Kalimat tersebut menggunakan kata ‘an bukan min. Dalam bahasa Arab, kata ’an digunakan untuk sesuatu yang belum mengenai, sementara kata min digunakan untuk sesuatu yang telah mengenai. Oleh karena itu, kalimat tersebut memiliki arti untuk menghilangkan rijs dari Ahlul Bait (sebelum rijs tersebut mengenai Ahlul Bait), atau dengan kata lain untuk menghindarkan Ahlul Bait dari rijs. Sehingga jelas sekali, dari kalimat ini terlihat makna kesucian Ahlul Bait dari rijs. Lagipula adalah tidak tepat menisbatkan bahwa sebelumnya mereka Ahlul bait memiliki rijs kemudian baru Allah menyucikannya karena Ahlul Bait yang disucikan dalam ayat ini meliputi Imam Hasan dan Imam Husain yang waktu itu masih kecil dan belum memiliki rijs.
Kemudian kalimat selanjutnya adalah li yudzhiba ‘an kumurrijsa ahlal bait . Kalimat tersebut menggunakan kata ‘an bukan min. Dalam bahasa Arab, kata ’an digunakan untuk sesuatu yang belum mengenai, sementara kata min digunakan untuk sesuatu yang telah mengenai. Oleh karena itu, kalimat tersebut memiliki arti untuk menghilangkan rijs dari Ahlul Bait (sebelum rijs tersebut mengenai Ahlul Bait), atau dengan kata lain untuk menghindarkan Ahlul Bait dari rijs. Sehingga jelas sekali, dari kalimat ini terlihat makna kesucian Ahlul Bait dari rijs. Lagipula adalah tidak tepat menisbatkan bahwa sebelumnya mereka Ahlul bait memiliki rijs kemudian baru Allah menyucikannya karena Ahlul Bait yang disucikan dalam ayat ini meliputi Imam Hasan dan Imam Husain yang waktu itu masih kecil dan belum memiliki rijs.
Ar Rijs
Dalam Al Quran terdapat cukup banyak ayat yang menggunakan kata rijs, diantaranya adalah sebagai berikut.
Dalam Al Quran terdapat cukup banyak ayat yang menggunakan kata rijs, diantaranya adalah sebagai berikut.
“Sesungguhny,a (meminum) khamar, berjudi, (berkorban untuk) berhala, mengundi nasib dengan panah, adalah perbuatan keji (rijs) termasuk perbuatan setan” (QS Al Maidah: 90).
“Maka jauhilah olehmu berhala-berhala yang najis (rijs) dan jauhilah perkataan-perkataan dusta” (QS Al Hajj: 30).
“Dan adapun orang orang yang di dalam hati mereka ada penyakit, maka dengan surat ini bertambah kekafiran (rijs) mereka, di samping kekafirannya (yang telah ada) dan mereka mati dalam keadaan kafir” (QS At Taubah: 125).
“Maka berpalinglah dari mereka, karena sesungguhnya mereka itu adalah najis (rijs)” (QS At Taubah: 95).
“Dan Allah menimpakan kemurkaan (rijs) kepada orang-orang yang tidak mempergunakan akalnya” (QS Yunus: 100).
Dari semua ayat-ayat ini dapat ditarik kesimpulan bahwa rijs
adalah segala hal bisa dalam bentuk keyakinan atau perbuatan yang keji,
najis yang tidak diridhai dan menyebabkan kemurkaan Allah SWT.
Asy Syaukani dalam tafsir Fathul Qadir jilid 4 hal 278 menulis,
“… yang dimaksud dengan rijs ialah dosa yang dapat menodai jiwa jiwa yang disebabkan oleh meninggalkan apa-apa yang diperintahkan oleh Allah dan melakukan apa-apa yang dilarang oleh-Nya. Maka maksud dari kata tersebut ialah seluruh hal yang di dalamnya tidak ada keridhaan Allah SWT”.
Kemudian ia melanjutkan,
“Firman `… dan menyucikan kalian… ‘ maksudnya adalah: `Dan menyucikan kalian dari dosa dan karat (akibat bekas dosa) dengan penyucian yang sempurna.’ Dan dalam peminjaman kata rijs untuk arti dosa, serta penyebutan kata thuhr setelahnya, terdapat isyarat adanya keharusan menjauhinya dan kecaman atas pelakunya”.
Lalu ia menyebutkan sebuah riwayat dari
Ibnu Abbas sebagaimana yang diriwayatkan oleh Al Hakim, At Turmudzi, Ath
Thabarani, Ibnu Mardawaih, dan Al Baihaqi dalam kitab Ad Dalail jilid 4 hal 280, bahwa Nabi saw. bersabda dengan sabda yang panjang, dan pada akhirnya beliau mengatakan “Aku dan Ahlul BaitKu tersucikan dari dosa-dosa”. (kami telah membahas secara khusus hadis ini di bagaian yang lain)
Ibnu Hajar Al Haitami Al Makki dalam kitab Ash Shawaiq hal 144-145 berkata,
“Ayat ini adalah sumber keutamaan Ahlul Bait, karena ia memuat mutiara keutamaan dan perhatian atas mereka. Allah mengawalinya dengan innama yang berfungsi sebagai pengkhususan kehendakNya untuk menghilangkan hanya dari mereka rijs yang berarti dosa dan keraguan terhadap apa yang seharusnya diimani dan menyucikan mereka dari seluruh akhlak dan keadaan tercela.”
Jalaluddin As Suyuthi dalam kitab Al lklil hal 178 menyebutkan bahwa
kesalahan adalah rijs, oleh karena itu kesalahan tidak mungkin ada pada Ahlul Bait.
Semua penjelasan diatas menyimpulkan
bahwa Ayat tathiir ini memiliki makna bahwa Allah SWT hanya berkehendak
untuk menyucikan Ahlul Bait dari semua bentuk keraguan dan perbuatan
yang tercela termasuk kesalahan yang dapat menyebabkan dosa dan kehendak
ini bersifat takwiniyah atau pasti terjadi. Selain itu penyucian ini
tidak berarti bahwa sebelumnya terdapat rijs tetapi penyucian ini
sebelum semua rijs itu mengenai Ahlul Bait atau dengan kata lain Ahlul
Bait dalam ayat ini adalah pribadi-pribadi yang dijaga dan dihindarkan
oleh Allah SWT dari semua bentuk rijs. Jadi tampak jelas sekali bahwa
ayat ini telah menjelaskan tentang kedudukan yang mulia dari Ahlul Bait
yaitu Rasulullah SAW, Imam Ali as, Sayyidah Fathimah Az Zahra as, Imam
Hasan as dan Imam Husain as. Penyucian ini menetapkan bahwa Mereka
Ahlul Bait senantiasa menjauhkan diri dari dosa-dosa dan senantiasa
berada dalam kebenaran. Oleh karenanya tepat sekali kalau mereka adalah
salah satu dari Tsaqalain selain Al Quran yang dijelaskan Rasulullah SAW
sebagai tempat berpegang dan berpedoman umat islam agar tidak tersesat.
.
.
Kemuliaan Ahlul Bait Dalam Hadis Rasulullah SAW
Rasulullah SAW bersabda. “Kutinggalkan kepadamu dua peninggalan (Ats Tsaqalain), kitab Allah dan Ahlul BaitKu. Sesungguhnya keduanya tak akan berpisah, sampai keduanya kembali kepadaKu di Al Haudh“ (Mustadrak As Shahihain Al Hakim juz III hal 148 Al Hakim menyatakan dalam Al Mustadrak As Shahihain bahwa sanad hadis ini shahih berdasarkan syarat Bukhari dan Muslim).
Hadis-hadis Shahih dari Rasulullah SAW
menjelaskan bahwa mereka Ahlul Bait AS adalah pedoman bagi umat Islam
selain Al Quranul Karim. Mereka Ahlul Bait senantiasa bersama Al Quran
dan senantiasa bersama kebenaran.
Bahwa Rasulullah SAW bersabda “Wahai manusia sesungguhnya Aku meninggalkan untuk kalian apa yang jika kalian berpegang kepadanya niscaya kalian tidak akan sesat ,Kitab Allah dan Itrati Ahlul BaitKu”.(Hadis riwayat Tirmidzi,Ahmad,Thabrani,Thahawi dan dishahihkan oleh Syaikh Nashiruddin Al Albany dalam kitabnya Silsilah Al Hadits Al Shahihah no 1761)
Hadis ini menjelaskan bahwa manusia termasuk sahabat Nabi diharuskan berpegang teguh kepada Al Quran dan Ahlul Bait. Ahlul
Bait yang dimaksud dijelaskan sendiri dalam Hadis Sunan Tirmidzi di
atas atau Hadis Kisa’ yaitu Sayyidah Fathimah AS, Imam Ali AS, Imam
Hasan AS dan Imam Husain AS.
Selain itu ada juga hadis
Hanash Kanani meriwayatkan “aku melihat Abu Dzar memegang pintu ka’bah (baitullah)dan berkata”wahai manusia jika engkau mengenalku aku adalah yang engkau kenal,jika tidak maka aku adalah Abu Dzar.Aku mendengar Rasulullah SAW bersabda “Ahlul BaitKu seperti perahu Nabi Nuh, barangsiapa menaikinya mereka akan selamat dan barangsiapa yang tidak mengikutinya maka mereka akan tenggelam”.(Hadis riwayat Hakim dalam Mustadrak Ash Shahihain jilid 2 hal 343 dan Al Hakim menyatakan bahwa hadis ini shahih).
Hadis ini menjelaskan bahwa Ahlul Bait
seperti bahtera Nuh dimana yang menaikinya akan selamat dan yang tidak
mengikutinya akan tenggelam. Mereka Ahlul Bait Rasulullah SAW adalah
pemberi petunjuk keselamatan dari perpecahan.
Ibnu Abbas berkata bahwa Rasulullah SAW bersabda”Bintang-bintang adalah petunjuk keselamatan penghuni bumi dari bahaya tenggelam di tengah lautan.Adapun Ahlul BaitKu adalah petunjuk keselamatan bagi umatKu dari perpecahan.Maka apabila ada kabilah arab yang berlawanan jalan dengan Mereka niscaya akan berpecah belah dan menjadi partai iblis”.
(Hadis riwayat Al Hakim dalam Mustadrak Ash Shahihain jilid 3 hal 149, Al Hakim menyatakan bahwa hadis ini shahih sesuai persyaratan Bukhari Muslim).
Begitu besarnya kemuliaan Ahlul Bait
Rasulullah SAW ini membuat mereka jelas tidak bisa dibandingkan dengan
sahabat-sahabat Nabi ra. Tidak benar jika dikatakan bahwa Ahlul Bait
sama halnya sahabat-sahabat Nabi ra sama-sama memiliki keutamaan yang besar karena jelas sekali berdasarkan dalil shahih di atas bahwa Ahlul Bait kedudukannya lebih tinggi karena Mereka adalah tempat rujukan bagi para sahabat Nabi setelah Rasulullah SAW meninggal. Jadi
tidak tepat kalau dikatakan Ahlul Bait juga bisa salah, atau sahabat
Nabi bisa mengajari Ahlul Bait atau Menyalahkan Ahlul Bait. Sekali lagi,
Al Quran dan Hadis di atas sangat jelas menunjukkan bahwa mereka Ahlul
Bait akan selalu bersama kebenaran oleh karenanya Rasulullah SAW
memerintahkan umatnya(termasuk sahabat-sahabat Beliau SAW) untuk
berpegang teguh dengan Mereka Ahlul Bait.
_______________________________
InnamaSetelah mengetahui bahwa ayat ini ditujukan untuk ahlul kisa’(Rasulullah SAW, Sayyidah Fathimah AS, Imam Ali AS, Imam Hasan AS dan Imam Husain AS) sekarang akan dibahas makna dari ayat tersebut. Ayat ini diawali dengan kata Innama, dalam bahasa arab kata ini memiliki makna al hashr atau pembatasan. Dengan demikian lafal ini menunjukkan bahwa kehendak Allah itu hanya untuk menghilangkan ar rijs dari Ahlul Bait as dan menyucikan Mereka sesuci-sucinya. Allah SWT tidak menghendaki hal itu dari selain Ahlul Bait as dan tidak juga menghendaki hal yang lain untuk Ahlul Bait as.
Yuridullah
Setelah kata Innama diikuti kata yuridullah yang berarti Allah berkehendak, perlu dijelaskan terlebih dahulu bahwa iradah Allah SWT terbagi dua yaitu iradah takwiniyyah dan iradah tasyri’iyyah. Iradah takwiniyyah adalah iradah Allah yang bersifat pasti atau niscaya terjadi, hal ini dapat dilihat dari ayat berikut
1. “Sesungguhnya perintahNya apabila Dia menghendaki sesuatu hanyalah berkata kepadaNya ‘Jadilah ‘maka terjadilah ia”(QS Yasin :82).
2. “Sesungguhnya perkataan Kami terhadap sesuatu apanila Kami menghendakinya,Kami hanya berkata kepadanya ‘Jadilah’maka jadilah ia”(QS An Nahl :40).
3. “Sesungguhnya Tuhanmu Maha Pelaksana terhadap apa yang Dia kehendaki”(QS Hud:107).
Sedangkan yang dimaksud Iradah tasyri’iyah adalah Iradah Allah SWT yang terkait dengan penetapan hukum syariat bagi hamba-hambanya agar melaksanakannya dengan ikhtiar mereka sendiri. Dalam hal ini iradah Allah SWT adalah penetapan syariat adapun pelaksanaannya oleh hamba adalah salah satu tujuan penetapan syariat itu, oleh karenanya terkadang tujuan itu terealisasi dan terkadang tidak sesuai dengan pilihan hamba itu sendiri apakah mematuhi syariat yang telah ditetapkan Allah SWT atau melanggarnya. Contoh iradah ini dapat dilihat pada ayat berikut:
1. “(Beberapa hari yang ditentukan itu ialah)bulan ramadhan,bulan yang didalamnya diturunkan Al Quran sebagai petunjuk bagi manusia dan penjelasan-penjelasan mengenai petunjuk itu dan pembeda(antara yang haq dan yang bathil).Karena itu barangsiapa diantara kamu hadir di bulan itu maka hendaklah ia berpuasa pada bulan itu dan barang siapa sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka) maka(wajiblah baginya berpuasa) sebanyak hari yang ditinggalkannya itu,pada hari-hari yang lain. Allah menghendaki kemudahan bagimu dan tidak menghendaki kesukaran bagimu.Dan hendaklah kamu mencukupkan bilangannya dan hendaklah kamu mengagungkan Allah atas petunjukNya yang diberikan kepadamu supaya kamu bersyukur”.(QS Al Baqarah :185).
2. “Hai orang-orang beriman apabila kamu hendak mengerjakan sholat,maka basuhlah muka dan tanganmu sampai ke siku dan sapulah kepalamu dan kakimusampai dengan kedua mata kaki dan jika kamu junub maka mandilah dan jika kamu sakit atau dalam perjalanan atau kembali dari tempat buang air atau menyentuh perempuan lalu kamu tidak memperoleh air,maka bertanyamumlah dengan tanah yang baik(bersih) sapulah muka dan tanganmu dengan tanah itu. Allah tidak hendak menyulitkan kamu, tetapi Dia hendak membersihkan kamu dan menyempurnakan nikmatnya bagimu supaya kamu bersyukur”.(QS Al Maidah : 6).
Iradah dalam Al Baqarah 185 adalah berkaitan dengan syariat Allah tentang puasa dimana aturan-aturan yang ditetapkan Allah itu adalah untuk memudahkan manusia dalam melaksanakannya, sehingga iradah ini akan terwujud pada orang yang berpuasa. Sedangkan yang tidak mau berpuasa jelas tidak ada hubungannya dengan iradah ini. Begitu juga Iradah dalam Al Maidah ayat 6 dimana Allah hendak membersihkan manusia dan menyempurnakan nikmatnya bagi manusia supaya manusia bersyukur, iradah ini jelas terkait dengan syariat wudhu dan tanyamum yang Allah tetapkan oleh karenanya iradah ini akan terwujud bagi orang yang bersuci sebelum sholat dengan wudhu dan tanyamum dan ini tidak berlaku bagi orang yang tidak bersuci baik dengan wudhu atau tanyamum. Dan perlu ditekankan bahwa iradah tasyri’iyah ini ditujukan pada semua umat muslim yang melaksanakan syariat Allah SWT tersebut termasuk dalam hal ini Ahlul Bait as.
Iradah dalam Ayat tathhiir adalah iradah takwiniyah dan bukan iradah tasyri’iyah artinya tidak terkait dengan syariat tertentu yang Allah tetapkan, tetapi iradah ini bersifat niscya atau pasti terjadi. Hal ini berdasarkan alasan-alasan berikut:
1. Penggunaan lafal Innama yang bermakna hashr atau pembatasan menunjukkan arti bahwa Allah tidak berkehendak untuk menghilangkan rijs dengan bentuk seperti itu kecuali dari Ahlul Bait, atau dengan kata lain kehendak penyucian ini terbatas hanya pada pribadi yang disebut Ahlul Bait dalam ayat ini.
2. Berdasarkan asbabun nuzulnya ayat ini seperti dalam hadis riwayat Turmudzi di atas tidak ada penjelasan bahwa iradah ini berkaitan dengan syariat tertentu yang Allah tetapkan.
3. Allah memberi penekanan khusus setelah kata kerja liyudzhiba(menghilangkan) dengan firmannya wa yuthahhirakum tathiira. Dan kata kerja kedua ini wa yuthahhirakum(menyucikanmu) dikuatkan dengan mashdar tathiira(sesuci-sucinya)yang mengakhiri ayat tersebut. Penekanan khusus ini merupakan salah satu petunjuk bahwa iradah Allah ini adalah iradah takwiniyah.
Li yudzhiba ‘An kumurrijsa Ahlal bait
Kemudian kalimat selanjutnya adalah li yudzhiba ‘an kumurrijsa ahlal bait . Kalimat tersebut menggunakan kata ‘an bukan min. Dalam bahasa Arab, kata ’an digunakan untuk sesuatu yang belum mengenai, sementara kata min digunakan untuk sesuatu yang telah mengenai. Oleh karena itu, kalimat tersebut memiliki arti untuk menghilangkan rijs dari Ahlul Bait (sebelum rijs tersebut mengenai Ahlul Bait), atau dengan kata lain untuk menghindarkan Ahlul Bait dari rijs. Sehingga jelas sekali, dari kalimat ini terlihat makna kesucian Ahlul Bait dari rijs. Lagipula adalah tidak tepat menisbatkan bahwa sebelumnya mereka Ahlul bait memiliki rijs kemudian baru Allah menyucikannya karena Ahlul Bait yang disucikan dalam ayat ini meliputi Imam Hasan dan Imam Husain yang waktu itu masih kecil dan belum memiliki rijs.
Ar Rijs
Dalam Al Quran terdapat cukup banyak ayat yang menggunakan kata rijs, diantaranya adalah sebagai berikut:
1. “Sesungguhny,a (meminum) khamar, berjudi, (berkorban untuk) berhala, mengundi nasib dengan panah, adalah perbuatan keji (rijs) termasuk perbuatan setan” (QS Al Maidah: 90).
2. “Maka jauhilah olehmu berhala-berhala yang najis (rijs) dan jauhilah perkataan-perkataan dusta” (QS Al Hajj: 30).
3. “Dan adapun orang orang yang di dalam hati mereka ada penyakit, maka dengan surat ini bertambah kekafiran (rijs) mereka, di samping kekafirannya (yang telah ada) dan mereka mati dalam keadaan kafir” (QS At Taubah: 125).
4. “Maka berpalinglah dari mereka, karena sesungguhnya mereka itu adalah najis (rijs)” (QS At Taubah: 95).
5. “Dan Allah menimpakan kemurkaan (rijs) kepada orang-orang yang tidak mempergunakan akalnya” (QS Yunus: 100).
Dari semua ayat-ayat ini dapat ditarik kesimpulan bahwa rijs adalah segala hal bisa dalam bentuk keyakinan atau perbuatan yang keji, najis yang tidak diridhai dan menyebabkan kemurkaan Allah SWT.
Asy Syaukani dalam tafsir Fathul Qadir jilid 4 hal 278 menulis:
“… yang dimaksud dengan rijs ialah dosa yang dapat menodai jiwa jiwa yang disebabkan oleh meninggalkan apa-apa yang diperintahkan oleh Allah dan melakukan apa-apa yang dilarang oleh-Nya. Maka maksud dari kata tersebut ialah seluruh hal yang di dalamnya tidak ada keridhaan Allah SWT”.
Kemudian ia melanjutkan:
“Firman `… dan menyucikan kalian… ‘ maksudnya adalah: `Dan menyucikan kalian dari dosa dan karat (akibat bekas dosa) dengan penyucian yang sempurna.’ Dan dalam peminjaman kata rijs untuk arti dosa, serta penyebutan kata thuhr setelahnya, terdapat isyarat adanya keharusan menjauhinya dan kecaman atas pelakunya”.
Lalu ia menyebutkan sebuah riwayat dari Ibnu Abbas sebagaimana yang diriwayatkan oleh Al Hakim, At Turmudzi, Ath Thabarani, Ibnu Mardawaih, dan Al Baihaqi dalam kitab Ad Dalail jilid 4 hal 280, bahwa Nabi saw. bersabda dengan sabda yang panjang, dan pada akhirnya beliau mengatakan “Aku dan Ahlul BaitKu tersucikan dari dosa-dosa”. (kami telah membahas secara khusus hadis ini di bagaian yang lain).
Ibnu Hajar Al Haitami Al Makki dalam kitab Ash Shawaiq hal 144-145 berkata:
“Ayat ini adalah sumber keutamaan Ahlul Bait, karena ia memuat mutiara keutamaan dan perhatian atas mereka. Allah mengawalinya dengan innama yang berfungsi sebagai pengkhususan kehendakNya untuk menghilangkan hanya dari mereka rijs yang berarti dosa dan keraguan terhadap apa yang seharusnya diimani dan menyucikan mereka dari seluruh akhlak dan keadaan tercela.”
Jalaluddin As Suyuthi dalam kitab Al lklil hal 178 menyebutkan bahwa:
kesalahan adalah rijs, oleh karena itu kesalahan tidak mungkin ada pada Ahlul Bait.
Semua penjelasan diatas menyimpulkan bahwa Ayat tathiir ini memiliki makna bahwa Allah SWT hanya berkehendak untuk menyucikan Ahlul Bait dari semua bentuk keraguan dan perbuatan yang tercela termasuk kesalahan yang dapat menyebabkan dosa dan kehendak ini bersifat takwiniyah atau pasti terjadi. Selain itu penyucian ini tidak berarti bahwa sebelumnya terdapat rijs tetapi penyucian ini sebelum semua rijs itu mengenai Ahlul Bait atau dengan kata lain Ahlul Bait dalam ayat ini adalah pribadi-pribadi yang dijaga dan dihindarkan oleh Allah SWT dari semua bentuk rijs. Jadi tampak jelas sekali bahwa ayat ini telah menjelaskan tentang kedudukan yang mulia dari Ahlul Bait yaitu Rasulullah SAW, Imam Ali as, Sayyidah Fathimah Az Zahra as, Imam Hasan as dan Imam Husain as. Penyucian ini menetapkan bahwa Mereka Ahlul Bait senantiasa menjauhkan diri dari dosa-dosa dan senantiasa berada dalam kebenaran. Oleh karenanya tepat sekali kalau mereka adalah salah satu dari Tsaqalain selain Al Quran yang dijelaskan Rasulullah SAW sebagai tempat berpegang dan berpedoman umat islam agar tidak tersesat.
Selain itu, ada juga hadits-hadits Nabi yang berkaitan dengan Ahlulbayt:
Rasulullah SAW bersabda. “Kutinggalkan kepadamu dua peninggalan (Ats Tsaqalain), kitab Allah dan Ahlul BaitKu. Sesungguhnya keduanya tak akan berpisah, sampai keduanya kembali kepadaKu di Al Haudh“ (Mustadrak As Shahihain Al Hakim juz III hal 148 Al Hakim menyatakan dalam Al Mustadrak As Shahihain bahwa sanad hadis ini shahih berdasarkan syarat Bukhari dan Muslim).
Jadi, Ahlulbayt Nabi, dalam artian orang-orang yang sudah disucikan oleh Allah dari segala kenistaan dan dosa, tidak mungkin berdebat dihadapan Nabi sehingga membuat Nabi marah. Suatu hal yang mustahil Ahlulbayt Nabi berdebat di hadapan Nabi sehingga membuat Nabi marah kepada mereka. Karen Ahlulbayt Nabi telah dijauhkan oleh Allah dari segala perbuatan nista dan dosa serta diperintahkan oleh Nabi untuk diikuti setelah Al-Qur’an.
Kedua, mari kita lihat kalimat awal dari riwayat tragedi kamis kelabu diatas.
لما حضر رسول الله صلى الله عليه و سلم وفي البيت رجال فيهم عمر ابن الخطاب
Ketika ajal Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam sudah hampir tiba dan di dalam rumah beliau ada beberapa orang…
Jadi ada kata البيت pada kalimat awal dari riwayat tragedi kamis kelabu tersebut, yang mana itu mengisahkan bahwa saat Nabi sakit, ada beberapa orang di dalam rumah Nabi. Dan tentunya, orang-orang yang ada di dalam rumah Nabi disebut أهل البيت. Jadi, kata أهل البيت dalam kalimat فاختلف أهل البيت merujuk pada orang-orang yang ada di rumah Nabi tersebut, bukan kepada Ahlulbayt dalam pengertian orang-orang yang telah disucikan oleh Allah dalam surat Al-Ahzab ayat 33.
Jadi apa yang jadi pendapat Al-Hujjah dan Hakekat.com hanyalah mengada-ada saja. Jangan kita terkecoh dengan hal-hal yang terkesan ilmiah. Padahal jika kita ingin sedikit saja kritis, kita akan mendapati kejanggalan-kejanggalan di dalamnya.
Tragedi Kamis Kelabu : Mengungkap Kekeliruan Salafy
Salah satu situs salafy telah berpanjang lebar membahas tentang “Tragedi Kamis Kelabu”. Setelah kami baca maka kami dapati bahwa apa yang ia tulis adalah pembahasan liar yang tidak objektif dan hanya bertujuan membantah setiap apa yang dikatakan Syiah. Begitu bersemangatnya situs itu menulis bantahan terhadap Syiah sehingga ia terjerumus ke dalam kedustaan [yang mungkin ia sadari atau mungkin juga tidak]. Pembahasan yang kami tulis ini tidak dalam rangka membela apa yang menjadi hujjah Syiah melainkan untuk meluruskan kedustaan [yang selanjutnya akan kami sebut dengan kekeliruan] atau talbis yang terdapat dalam pembahasan situs salafy tersebut.
Kekeliruan pertama situs tersebut adalah perkataannya bahwa Nabi SAW pingsan atau tidak sadarkan diri dalam “tragedi kamis kelabu”. Berikut perkataan keliru yang ia tulis:
Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam meminta kertas dan tinta untuk menuliskan (mendiktekan) beberapa nasehat agama bagi kaum muslimin. Tetapi, tiba-tiba setelah meminta kertas dan tinta, Nabi pingsan dan tidak sadarkan diri. Ketika Nabi terbaring tidak sadar, seseorang bangkit mengambil kertas dan tinta, tetapi Umar bin Khattab memanggil kembali orang tersebut. Umar merasa bahwa mereka seharusnya tidak mengganggu Nabi dengan meminta beliau untuk menuliskan nasehat, tetapi mereka seharusnya membiarkan beliau untuk mendapatkan kesadaran beliau kembali, beristirahat, dan menjadi pulih kembali. Oleh karena itu, Umar berkata kepada kaum Muslimin yang lain : “Nabi sedang sakit parah dan kalian mempunyai Al-Qur’an, Kitabullah sudah cukup buat kita”.
Bukti kekeliruan perkataan ini adalah tidak ada satupun riwayat shahih yang menunjukkan bahwa Nabi SAW tidak sadarkan diri atau pingsan seperti yang dikatakan penulis tersebut. Bahkan riwayat-riwayat shahih menunjukkan kalau Nabi SAW benar-benar dalam keadaan sadar.
عن ابن عباس قال لما حضر رسول الله صلى الله عليه و سلم وفي البيت رجال فيهم عمر ابن الخطاب فقال النبي صلى الله عليه و سلم ( هلم أكتب لكم كتابا لا تضلون بعده ) فقال عمر إن رسول الله صلى الله عليه و سلم قد غلب عليه الوجع وعندكم القرآن حسبنا كتاب الله فاختلف أهل البيت فاختصموا فمنهم من يقول قربوا يكتب لكم رسول الله صلى الله عليه و سلم كتابا لن تضلوا بعده ومنهم من يقول ما قال عمر فلما أكثروا اللغو والاختلاف عند رسول الله صلى الله عليه و سلم قال رسول الله صلى الله عليه و سلم ( قوموا ) قال عبيدالله فكان ابن عباس يقول إن الرزية كل الرزية ما حال بين رسول الله صلى الله عليه و سلم وبين أن يكتب لهم ذلك الكتاب من اختلافهم ولغطهم
Dari Ibnu Abbas yang berkata “Ketika ajal Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam sudah hampir tiba dan di dalam rumah beliau ada beberapa orang diantara mereka adalah Umar bin Khattab. Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam bersabda “berikan kepadaku, aku akan menuliskan untuk kalian wasiat, agar kalian tidak sesat setelahnya”. Kemudian Umar berkata “sesungguhnya Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam dikuasai sakitnya dan di sisi kalian ada Al-Qur’an, cukuplah untuk kita Kitabullah” kemudian orang-orang di dalam rumah berselisih pendapat. Sebagian dari mereka berkata, “berikan apa yang dipinta Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam Agar beliau menuliskan bagi kamu sesuatu yang menghindarkan kamu dari kesesatan”. Sebagian lainnya mengatakan sama seperti ucapan Umar. Dan ketika keributan dan pertengkaran makin bertambah di hadapan Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam, Beliau berkata “menyingkirlah kalian” Ubaidillah berkata Ibnu Abbas selalu berkata “musibah yang sebenar-benar musibah adalah penghalangan antara Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam dan penulisan wasiat untuk mereka disebabkan keributan dan perselisihan mereka” [Shahih Muslim no 1637].
ابن عباس رضي الله عنهما يقول يوم الخميس وما يوم الخميس، ثم بكى حتى بل دمعه الحصى، قلت يا أبا عباس ما يوم الخميس؟ قال اشتد برسول الله صلى الله عليه وسلم وجعه، فقال (ائتوني بكتف أكتب لكم كتابا لا تضلوا بعده أبدا). فتنازعوا، ولا ينبغي عند نبي تنازع، فقالوا ما له أهجر استفهموه؟ فقال (ذروني، فالذي أنا فيه خير مما تدعونني إليه)
Ibnu Abbas RA berkata “hari kamis, tahukah kamu ada apa hari kamis itu?. Ibnu Abbas menangis hingga air matanya mengalir seperti butiran kerikil. Kami berkata “hai Abul Abbas ada apa hari kamis?. Ia menjawab “Hari itu sakit Rasulullah SAW semakin berat, kemudian Beliau SAW bersabda “Berikan kepadaku kertas, aku akan menuliskan sesuatu untuk kalian agar kalian tidak akan tersesat setelahnya selama-lamanya. Kemudian mereka berselisih, padahal tidak sepantasnya terjadi perselisihan di sisi Nabi. Mereka berkata “beliau sedang menggigau, tanyakan kembali tentang ucapan beliau tersebut?. Namun Rasulullah SAW bersabda “Tinggalkanlah aku. Sebab keadaanku lebih baik daripada apa yang kalian ajak” [Shahih Bukhari no 2997].
Kedua hadis di atas dan hadis-hadis lainnya membuktikan bahwa Nabi SAW benar-benar dalam keadaan sadar ketika terjadi peristiwa tersebut. Setelah Nabi SAW meminta kertas dan terjadi perselisihan diantara sahabat Nabi, Rasulullah SAW saat itu masih sadar sehingga beliau SAW menyuruh mereka keluar karena tidak pantas terjadi perselisihan di sisi Nabi SAW. Begitu pula ketika sebagian sahabat mengatakan Nabi SAW menggigau dan meminta untuk menanyakan kembali kepada Nabi SAW. Nabi SAW malah menjawab mereka agar mereka menyingkir dan mengatakan bahwa keadaan Beliau lebih baik dari apa yang mereka serukan. [Memang perkataan “menggigau” sangat tidak pantas dalam peristiwa ini].
Penulis yang “aneh” itu malah menghiasi kekeliruannya dengan basa-basi untuk mengecoh kaum awam. Ia membuat analogi untuk kisah ini yaitu seorang guru yang tiba-tiba pingsan setelah meminta muridnya agar membawa kapur tulis. Menurutnya tidak masuk akal ketika guru siuman, sang murid menyodorkan kapur tulis. Kami katakan bahwa argumen ini jelas argumen yang skizofrenik. Membuat asumsi sendiri kemudian mencari-cari analogi untuk asumsi yang ia buat sendiri. Rasulullah SAW memang dalam kondisi sakit tetapi Beliau SAW dalam kondisi sadar, Beliau mengetahui dengan jelas bahwa para sahabat beliau sedang berkumpul di sisi Beliau. Beliau dalam kondisi sadar saat mengatakan “aku akan menuliskan sesuatu untuk kalian agar kalian tidak akan tersesat setelahnya”. Beliau dalam kondisi sadar sehingga dengan jelas mengetahui perselisihan yang terjadi sehingga menyuruh mereka keluar. Beliau SAW dalam kondisi sadar untuk menjawab mereka yang mengira beliau menggigau dan dengan jelas beliau mengatakan keadaan beliau lebih baik dari apa yang mereka katakan. Maka kita lihat betapa batilnya analogi yang diserupakan penulis tersebut. Penulis itu juga berkata:
Sesudah Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam meminta kertas dan tinta, beliau pingsan dengan tiba-tiba dan itulah sebabnya Umar ra meminta kepada orang-orang untuk tidak jadi mengambil kertas dan tinta karena Nabi sedang dalam keadaan sakit berat. Itu adalah merupakan pendapat Umar ra (dan tentunya kami sependapat dengan beliau), adalah merupakan sebuah kejahatan mengganggu Nabi dalam keadaan seperti itu.
Penulis ini terlalu bersemangat mensucikan kesalahan Umar sehingga ia tidak menyadari betapa perkataannya telah menuduh para sahabat lain. Jika ia beranggapan merupakan sebuah kejahatah mengganggu Nabi dalam keadaan seperti itu, maka bagaimana dengan sebagian sahabat yang memang ingin memenuhi permintaan Nabi. Apakah perbuatan sebagian sahabat itu bisa disebut “kejahatan”. Ditambah lagi orang lain pun bisa berbasa-basi, Kalau memang kondisi Nabi SAW sakit berat sehingga beliau tidak sadar dan pingsan atau membutuhkan banyak istirahat maka mengapa mereka para sahabat berkumpul di rumah Nabi SAW. Bukankah kalau menuruti gaya berbasa-basi penulis, orang yang sakit membutuhkan istirahat yang tenang, lihat saja di rumah sakit jumlah pengunjung yang membesuk saja dibatasi dan tidak boleh membuat keributan. Jadi bukankah seharusnya para sahabat membiarkan Nabi SAW beristirahat dengan tenang bukannya berkerumun sampai akhirnya maaf terjadi keributan.
Sudah jelas pemicu keributan itu adalah perkataan Umar. Seandainya Umar diam dan para sahabat memenuhi permintaan Nabi maka tidak akan ada keributan. Memenuhi permintaan Nabi SAW itu jelas tidak membuat kesusahan bagi Nabi SAW. Saat itu Nabi SAW dalam kondisi sadar sehingga beliau bisa berbicara dengan jelas, jadi jika para sahabat membawakan kertas dan tinta maka mungkin beliau akan mendiktekan sesuatu dan meminta salah seorang sahabat menuliskannya. Mendiktekan sesuatu sama halnya dengan berbicara, jika Nabi SAW bisa berbicara “meminta kertas dan tinta” atau “mengusir para sahabat keluar” atau “membantah mereka yang mengatakan beliau menggigau” maka Nabi SAW jelas bisa berbicara untuk mendiktekan wasiat Beliau SAW.
Dan yang paling lucu adalah analogi yang dibuatnya yaitu ketika seorang ayah mendapat serangan jantung setelah meminta anaknya membawakan remote TV. Ya ampun betapa lucunya talbis yang ia buat. Dari analogi ini ia menginginkan perkataan
Secara akal sehat, permintaan Nabi akan kertas dan tinta tidak relevan lagi, sebagai mana faktanya ketidaksadaran beliau harus diambil tindakan terlebih dahulu daripada permintaan beliau tersebut. Jika Nabi dalam keadaan sehat, dan meminta diambilkan kertas dan tinta, tetapi orang-orang menolaknya, maka situasi akan berbeda. Tetapi di sini, Nabi tidak sadarkan diri setelah permintaan tersebut dan itu merubah situasi seluruhnya.
Kita telah tunjukkan bahwa perkataannya soal Nabi SAW tidak sadarkan diri hanyalah perkataan yang dibuat-buat. Menurut akal sehatnya permintaan Nabi SAW itu sudah tidak relevan dan dengan ini yang ia inginkan adalah menunjukkan bahwa apa yang dilakukan Umar adalah perbuatan yang terbaik saat itu. Salafy memang terlalu bersemangat dalam membela sahabat bahkan demi membela sahabat mereka tidak segan-segan mengatakan “permintaan Nabi SAW sudah tidak relevan lagi”. Alhamdulillah akal sehat kami tidaklah seperti akal sehat penulis tersebut, bagi kami perkataan Nabi SAW itu adalah bentuk kecintaan Beliau kepada umatnya dan perkataan Umar adalah perkataan yang keliru dan tidak pantas karena pada akhirnya perkataan Umar malah menyulut terjadinya perselisihan dan keributan. Kami tidaklah ghuluw dalam membela sahabat Umar, kami tidaklah membenci sahabat Umar tetapi kami menyikapi sahabat secara objektif. Jika sahabat menyelisihi Rasul SAW maka kami memilih Rasulullah SAW.
Pembaca yang tanggap seharusnya mempertimbangkan bahwa pada hari Kamis Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam mengalami sakit yang lebih parah daripada sebelumnya, dan mungkin hal ini sebabnya sehingga beliau meminta untuk dibawakan kertas dan tinta karena beliau sedang mengalami kesulitan bicara dengan keras dan beliau menghendaki untuk mendikte dengan pelan apa yang mesti ditulis oleh orang yang paling dekat dengan beliau sehingga mereka dapat menyampaikannya kepada yang lain. Kita melihat bahwa saat itu Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam sedang mengalami sakit yang tak tertahankan dan tidak dapat berbicara melainkan dengan rasa sakit dan tidak nyaman; itulah alasan mengapa Umar bin Khattab ra berharap Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam tidak berbicara seperti itu agar beliau tidak perlu merasakan sakit.
Pembaca yang tanggap akan melihat bahwa baru sebentar saja penulis itu sudah mengalami tanaqudh. Sekarang ia mengatakan bahwa Nabi SAW mengalami sakit tak tertahankan dan tidak dapat berbicara melainkan dengan rasa sakit dan tidak nyaman sehingga ini menjadi alasan bagi Umar untuk menolak permintaan Nabi SAW. Padahal sebelumnya dengan lugas sekali, penulis berkata:
Umar bin Khattab berpikir – dan ini adalah benar – bahwa permintaan akan kertas dan tinta tidak berlaku lagi sekarang karena Nabi sedang pingsan. Umar merasa mereka seharusnya membiarkan Nabi beristirahat.
Sungguh mengagumkan betapa penulis ini benar-benar mengetahui baik apa yang dipikirkan Umar atau apa yang benar-benar dirasakan Nabi SAW. Semua perkataan penulis hanya bertujuan untuk membela Umar, ia tidak sedikitpun memikirkan apakah perkataannya saling bertentangan satu sama lain.
Umar merasa – dan kami setuju dengannya – bahwa permintaan Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam tidak dapat dilakukan lagi sehubungan dengan kenyataan Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam sedang tak sadarkan diri. Ini bukan masalah ketidaktaatan tetapi merupakan ijtihad sederhana Umar bahwa permintaan Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam tidak lagi dapat dilakukan dalam situasi seperti itu (Nabi sedang tidak sadarkan diri). Lebih jauh, posisi Umar adalah berdasarkan cintanya yang dalam kepada Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam, sebagaimana dia tidak suka melihat beliau dalam keadaan kesakitan dan menderita.
Perkataan ini hanyalah basa-basi yang tidak sedikitpun bernilai hujjah. Kita yakin bahwa para sahabat mencintai Nabi SAW tidak hanya Umar. Kalau kita berbicara soal benar atau tidak maka tidak cukup hanya mengandalkan “cinta yang dalam”. Apakah para sahabat yang ingin memenuhi permintaan Nabi SAW tidak memiliki “cinta yang dalam” kepada Nabi SAW?. Kami yakin mereka juga punya dan karena kecintaan mereka yang begitu besarlah mereka ingin memenuhi permintaan Nabi SAW. Tidak sedikitpun mereka ingin menyusahkan Nabi, mereka akan berusaha agar permintaan Nabi SAW dipenuhi tanpa menyusahkan Beliau SAW.
Untuk menguatkan hujjahnya bahwa Nabi SAW pingsan atau tidak sadarkan diri, dengan terpaksa penulis itu berhujjah atau memanfaatkan kitab Syiah yang biasa ia dustakan. Sungguh betapa mengagumkan. Kenapa? Tentu saja karena ia tidak bisa menemukan bukti dalam kitab yang menjadi rujukannya. Kami perhatikan, penulis ini sangat lemah sekali dalam metodologi tetapi benar-benar bersemangat dalam berbasa-basi. Kami lihat ia dengan mudahnya mengutip riwayat tanpa membuktikan apakah riwayat yang ia kutip shahih atau tidak. Diantaranya ia mengutip kitab Tarikh At Tabari, Sirah Ibnu Ishaq dan kitab Al Irsyad. Apakah semua riwayat dalam kitab tersebut shahih? Apalagi nukilannya dari kitab Syiah? Kami heran bagaimana menyikapinya. Kalau sekedar asal menukil maka siapapun bisa, bahkan cukup banyak nukilan yang akan membatalkan semua hujjahnya diantaranya:
عن عمر بن الخطاب قال كنا عند النبي صلى الله عليه وسلم وبيننا وبين النساء حجاب فقال رسول الله صلى الله عليه وسلم اغسلوني بسبع قرب وأتوني بصحيفة ودواة أكتب لكم كتابا لن تضلوا بعده أبدا فقال النسوة ائتوا رسول الله صلى الله عليه وسلم بحاجته قال عمر فقلت اسكتهن فإنكن صواحبه إذا مرض عصرتن أعينكن وإذا صح أخذتن بعنقه فقال رسول الله صلى الله عليه وسلم هن خير منكم
Dari Umar bin Khattab yang berkata “kami berada di sisi Nabi shallalahu ‘alaihi wassalam dan terdapat hijab diantara kami dan para wanita. Rasulullah shallalahu ‘alaihi wassalam bersabda “basuhlah aku dengan tujuh kantung air dan bawakan kepadaku kertas dan tinta, aku akan tuliskan sesuatu untuk kalian agar kalian tidak tersesat setelahnya selama-lamanya. Para wanita berkata “penuhilah permintaan Rasulullah shallalahu ‘alaihi wassalam. Umar berkata “diamlah kamu seperti wanita Yusuf, jika Beliau sakit kamu menangisinya, dan jika Beliau sehat kamu membebaninya. Rasulullah shallalahu ‘alaihi wassalam bersabda “mereka [para wanita] lebih baik dari kamu” [Thabaqat Ibnu Sa’ad 2/371].
Adakah dari nukilan diatas Nabi SAW pingsan atau tidak sadar?..Bahkan Nabi SAW membela para wanita dan mengatakan kalau mereka lebih baik dari Umar dan sahabat yang sependapat dengan Umar. Kenapa? Karena para wanita tersebut mengatakan “penuhilah permintaan Nabi SAW”. Kalau cuma sekedar kutip-mengutip riwayat maka kami katakan akan ada banyak sekali kutipan yang membatalkan semua hujjah penulis tersebut..Keanehan lain dari penulis salafy itu adalah pembahasan kata “menggigau”. Kami melihat apa yang ia katakan soal “menggigau” hanyalah basa-basi yang tidak sedikitpun bernilai hujjah.
dalam konteks hadits, kata tersebut digunakan dalam memaknai seseorang yang pergi atau berangkat dari keadaan pikirannya yang asli; lebih spesifik, istilah ini dikenakan kepada orang yang memisahkan diri dari manusia dan dunia, seperti dalam keadaan kehilangan kesadaran. Dengan kata lain, orang yang bertanya “apakah Nabi mengigau” tidak berarti bahwa Nabi berbicara tanpa akal sehat atau beliau telah gila. Tetapi, lelaki tersebut hanya bertanya apakah Nabi dalam keadaan sadar atau tidak, dan kita tahu dari cerita syaikh Mufid mengenai kejadian tersebut bahwa Nabi dalam keadaan tidak sadar.
Telah disebutkan dalam riwayat shahih bahwa Nabi SAW dalam kondisi sadar ketika mengucapkan permintaan Beliau “Berikan kepadaku kertas, aku akan menuliskan sesuatu untuk kalian agar kalian tidak akan tersesat setelahnya selama-lamanya”. Setelah Nabi SAW berkata seperti ini maka diantara sahabat muncul berbagai respon diantaranya Mereka yang ingin memenuhi permintaan Nabi SAW dan mereka yang terpengaruh dengan perkataan Umar bahwa Nabi SAW dikuasai sakitnya dan cukuplah Kitab Allah. Diantara mereka yang terpengaruh ucapan Umar itu ada yang mengatakan Nabi SAW menggigau dan mau menanyakan kembali kepada Nabi SAW:
عن سعيد بن جبير عن ابن عباس أنه قال يوم الخميس وما يوم الخميس ثم جعل تسيل دموعه حتى رأيت على خديه كأنها نظام اللؤلؤ قال قال رسول الله صلى الله عليه و سلم ( ائتوني بالكتف والدواة ( أو اللوح والدواة ) أكتب لكم كتابا لن تضلوا بعده أبدا ) فقالوا إن رسول الله صلى الله عليه و سلم يهجر
Dari Sa’id bin Jubair dari Ibnu Abbas RA berkata “hari kamis, tahukah kamu ada apa hari kamis itu kemudian Ibnu Abbas menangis hingga aku melihat air matanya mengalir seperti butiran mutiara. Ibnu Abbas berkata Rasulullah SAW bersabda “Berikan kepadaku tulang belikat dan tinta aku akan menuliskan sesuatu untuk kalian agar kalian tidak akan tersesat setelahnya selama-lamanya. Kemudian mereka berkata Rasulullah SAW sedang menggigau [Shahih Muslim 3/1257 no 1637].
Riwayat di atas menunjukkan dengan jelas bahwa diantara para sahabat memang ada yang mengatakan “Rasulullah SAW menggigau” oleh karena itu sebagian sahabat lain menjadi terpengaruh dan berkata “tanyakan kembali kepada Rasul SAW”. Mendengar perkataan ini Rasulullah SAW berkata “Tinggalkanlah aku. Sebab keadaanku lebih baik daripada apa yang kalian ajak”. Perkataan Rasul SAW ini menjadi bukti bahwa Beliau dalam kondisi sadar dan Beliau tidak sedang menggigau.
Orang tersebut berkata “Tanya kepada beliau” dan “coba belajar dari beliau” dimana artinya bahwa dia berharap kepada mereka untuk melihat apakah Nabi sedang dalam keadaan sadar. Dalam dunia medis, dokter secara rutin menggunakan “Glasgow Coma Scale” (GCS Exam) untuk mengetes tingkat kesadaran pasien. Tes GCS dilakukan dengan menanyai pasien dengan berbagai pertanyaan untuk melihat respon si pasien, dan respon dari pasien menunjukkan tingkat kesadaran pasien tersebut. Dalam bahasa Inggris yang artinya untuk mengecek apakah seseorang dalam keadaan sadar atau tidak, hal terbaik yang dilakukan adalah bertanya kepadanya apakah dia baik-baik saja. Pada kenyataannya, ini adalah langkah pertama dari CPR: untuk mengecek apakah pasien dalam keadaan sadar atau tidak, hal pertama yang dilakukan adalah dia akan bertanya “are you OK?” (kamu baik-baik saja?) jika dia menjawab baik-baik saja, maka tidak ada masalah, tetapi jika tidak, tindakan CPR segera dilakukan.
Ucapan ini sungguh membuat kami tersenyum geli. Memang benar GCS digunakan untuk menilai kesadaran pasien dan memang benar bertanya “are you OK?” adalah langkah pertama CPR tetapi semua ini benar-benar tidak nyambung dengan keadaan Rasulullah SAW saat itu. GCS dilakukan jika memang keadaan pasien mengalami penurunan kesadaran. Jika pasien tersebut masih sadar dalam arti ia mengenal siapa dirinya, dimana dirinya dan mengenal lingkungan sekitarnya maka tidak ada gunanya memakai GCS walaupun orang tersebut sakit berat. Sakit yang berat tidak selalu diiringi penurunan kesadaran. Apalagi saat itu Rasulullah SAW mengatakan sesuatu dengan jelas “aku akan menuliskan sesuatu untuk kalian agar kalian tidak akan tersesat setelahnya selama-lamanya”. Perkataan ini memiliki struktur kalimat yang jelas dengan makna yang jelas pula, dan ini menunjukkan bahwa Rasulullah SAW dalam keadaan sadar akan dirinya dan orang-orang sekitarnya serta menyadari apa yang Beliau SAW katakan.
Apalagi jika dianalogikan dengan CPR betapa jauhnya pengandaian itu. Misalnya nih ada si A tiba-tiba terjatuh atau mengalami kecelakaan di tengah jalan, nah kemudian ada si B yang lewat menolong A. A itu masih sadar dan berkata “tolong pindahkan aku dari tengah jalan dan tolong telepon ambulans”. Perkataan si A ini menunjukkan bahwa ia dalam kondisi sadar dan jelas tidak ada gunanya jika si B mau melakukan CPR. Lha CPR itu dilakukan kalau orang tersebut tidak sadar mengalami henti napas atau henti jantung, orang yang bisa berkata-katadengan struktur kalimat yang jelas dan makna yang jelas maka napas dan jantung orang tersebut bisa dibilang belum ada masalah [setidaknya gak perlu CPR]. Atau contoh lain si A pengusaha kaya yang sedang sakit keras, tiba-tiba ketika anak-anaknya berkumpul disisinya, ia berkata “tolong ambilkan kertas, aku mau menuliskan wasiat soal warisan sehingga nanti kalian tidak akan ribut sepeninggalku”. Tentu saja anak-anak yang mendengar ini akan memenuhi permintaan ayahnya. Justru terasa ganjil jika mendengar perkataan ayahnya ini, ada anak yang berkata “apakah ayah menggigau” atau dengan konyolnya si anak siap-siap melakukan CPR. Kami sungguh heran dengan ulasan penulis tersebut yang makin tidak karuan.
Kemudian penulis tersebut membawakan riwayat dari Syaikh Mufid untuk mendukung pandangannya. Anehnya kami justru melihat ada yang aneh dalam caranya memahami riwayat tersebut. Inilah riwayat Syaikh Mufid yang kami ambil dari tulisannya [kami tidak berhujjah dengan riwayat ini kecuali hanya menunjukkan kekeliruan pemahaman salafy tersebut].
Beliau [Nabi] tak sadarkan diri [pingsan] karena kelelahan yang menimpa beliau dan kesedihan yang dirasakan oleh beliau. Beliau tidak sadar dalam waktu yang singkat sementara kaum muslimin menangis dan istri-istri beliau serta para wanita, anak-anak kaum muslimin dan semua yang hadir berteriak meratap. Rasulullah kembali sadar dan melihat mereka. Kemudian beliau bersabda : “Ambilkan tinta dan kertas (dari kulit) sehingga aku dapat menulis untuk kalian, dan setelah itu kalian tidak akan tersesat”. Kembali beliau tidak sadarkan diri dan satu dari mereka yang hadir bangkit mencari tinta dan kertas. “Kembalilah”, Umar memerintahnya [orang tersebut]. “beliau mengigau.” Orang tersebut kembali. Orang-orang yang hadir menyesalkan kelalaian [yang telah mereka tunjukkan] dalam mengambil tinta dan kertas dan bertengkar satu sama lain. Mereka selalu mengatakan: “Kami adalah milik Allah dan kepada-Nya kami akan kembali, tetapi kita menjadi cemas akan kedurhakaan kita kepada Rasulullah, semoga Allah memberkati beliau dan keluarga beliau” Ketika beliau (Nabi) shalallahu ‘alaihi wa sallam kembali sadar… [Kitab Al-Irsyad, oleh Syaikh Mufid, hal 130].
Setelah membawakan atsar ini, penulis yang aneh itu berkata:
Dari cerita ini menjadi jelas bahwa kata-kata “apakah beliau mengigau” diucapkan ketika Nabi sedang tidak sadarkan diri (sebelum beliau kembali sadar)! Apakah seorang yang sedang tidak sadar (pingsan) dapat bicara? tentu tidak! Ini adalah pukulan telak atas argument Syi’ah, dan dimanapun syi’ah membuat kehebohan tentang kata-kata “apakah beliau mengigau”, maka kita akan langsung ke bagian ini.
Silakan perhatikan kata-kata dalam riwayat Syaikh Mufid “Rasulullah kembali sadar dan melihat mereka. Kemudian beliau bersabda : “Ambilkan tinta dan kertas (dari kulit) sehingga aku dapat menulis untuk kalian, dan setelah itu kalian tidak akan tersesat”. Kembali beliau tidak sadarkan diri dan satu dari mereka yang hadir bangkit mencari tinta dan kertas. “Kembalilah”, Umar memerintahnya [orang tersebut]. “beliau mengigau.”. Dari kalimat ini dapat dipahami bahwa Rasulullah SAW dalam keadaan sadar ketika meminta kertas dan pena, kemudian setelah itu beliau tidak sadarkan diri. Salah seorang sahabat ingin mengambilkan kertas dan tinta tetapi Umar mencegahnya dan mengatakan beliau menggigau. Siapapun yang punya sedikit akal pikiran akan mengerti kalau ucapan Umar “menggigau” itu ditujukan terhadap perkataan Rasulullah SAW “ambilkan kertas dan tinta” oleh karena itulah Umar mencegah sahabat yang mau mengambil kertas dan tinta. Seolah-olah Umar mengatakan tidak perlu mengambil kertas dan tinta karena Rasulullah SAW sedang menggigau. Dan kita tahu dari riwayat Syaikh Mufid bahwa ucapan “ambilkan kertas dan tinta” diucapkan Rasulullah SAW dalam keadaan sadar. Jadi sungguh aneh sekali jalan pikiran penulis itu, apalagi dengan ngawurnya malah berkata:
Jika kata-kata “apakah beliau mengigau” diucapkan ketika Nabi sedang dalam keadaan tidak sadarkan diri, maka tidak ada yang namanya “bicara meracau” sebagaimana seorang yang sedang tidak sadarkan diri (pingsan) tidak dapat berbicara, apalagi berbicara meracau. Dengan kata lain, yang dimaksud dari kata “mengigau” sebenarnya adalah sebuah gangguan kesadaran. Jadi pengertiannya adalah; seseorang yang sedang tidur dalam ketidaksadaran dikatakan sebagai “berangkat” (hajara) dari manusia dan dunia ini.
Sudah jelas yang dimaksudkan “menggigau” oleh Umar adalah perkataan “ambilkan kertas dan tinta” oleh karena itu Umar mencegah sahabat yang mau membawakan kertas dan tinta dengan mengatakan kalau Rasulullah SAW menggigau jadi tidak perlu mengambil kertas dan tinta. Silakan pembaca memahaminya dan kami yakin tidak perlu akal yang brilian untuk memahaminya. Siapapun yang punya sedikit akal pikiran akan mampu memahami bahasa mudah yang seperti ini. Penulis itu sudah terjebak oleh nafsu pembelaannya yang terkesan mengkultuskan Umar sehingga ia membuat semua “pembelaan bergaya pengacara” untuk melindungi image sahabat Umar. Kami hanya ingin menunjukkan kepada pembaca sekalian jika penulis itu tidak memiliki kemampuan untuk memahami bahasa yang mudah seperti ini maka apa jadinya untuk bahasa yang lebih rumit dari ini.
Secara metodologi, penulis salafy itu sungguh tidak memiliki nilai sama sekali. Inti pembelaan dalam tulisannya adalah hujjahnya bahwa Nabi SAW tidak sadar dalam situasi tersebut dan satu-satunya bukti bagi hujjahnya ini adalah riwayat Syaikh Mufid yang tidak diketahui apakah shahih atau tidak. Anehnya ini adalah sumber syiah yang biasanya ia dustakan lantas mengapa sekarang ia berhujjah dengannya. Mana perkataan basa-basinya “mengambil hadis sunni yang mu’tabar”. Kita lihat wajah aslinya, ketika ia tidak menemukan hujjah untuk pembelaannya dari sumber sunni yang ia sebut mu’tabar [bahkan sumber mu’tabar justru mengancam image idolanya] maka tidak segan-segan ia mengambil dari sumber yang ia dustakan sendiri.
Yang membuat metodenya lebih lucu lagi adalah ia menolak kalau orang yang berkata menggigau itu adalah Umar padahal kalau ia berhujjah dengan riwayat Syaikh Mufid maka sungguh jelas yang berkata “menggigau” adalah Umar. Dan sebenarnya tidak hanya syiah yang menyatakan kalau yang berkata “menggigau” adalah Umar, Ibnu Taimiyyah syaikhnya salafiyyun ternyata juga mengatakan kalau yang berkata “menggigau” adalah Umar [Minhaj As Sunnah 6/202]. Sepertinya penulis salafy itu memang tidak berniat “berpegang pada dalil”, yang ia inginkan hanyalah mencari-cari pembelaan apapun caranya. Mau tanaqudh atau bertentangan atau berbasa-basi itu tidak menjadi masalah, karena mungkin sekali ia tidak mengerti bagaimana cara berhujjah dengan benar.
Kekeliruan kedua kedua situs tersebut adalah perkataannya bahwa yang dimaksud dengan tragedi dalam perkataan Ibnu Abbas itu adalah perselisihan para sahabat di hadapan Nabi. Berdasarkan riwayat-riwayat shahih justru yang dimaksud Ibnu Abbas dengan tragedi adalah penghalangan antara Nabi SAW dan wasiat yang akan Beliau SAW tulis. Hal ini tampak jelas dalam riwayat berikut:
عن ابن عباس قال لما اشتد بالنبي صلى الله عليه وسلم وجعه قال (اتئوني بكتاب أكتب لكم كتابا لا تضلوا من بعده). قال عمر إن النبي صلى الله عليه وسلم غلبه الوجع، وعندنا كتاب الله حسبنا. فاختلفوا وكثر اللغط، قال (قوموا عني، ولا ينبغي عندي التنازع). فخرج ابن عباس يقول: إن الرزية كل الرزية ما حال بين رسول الله صلى الله عليه وسلم وبين كتابه
Dari Ibnu Abbas yang berkata ketika sakit Nabi SAW semakin parah, Beliau bersabda “Berikan kepadaku kertas, aku akan tuliskan untuk kalian tulisan yang kalian tidak akan sesat setelahnya”. Umar berkata”Sesungguhnya Nabi SAW telah dikalahkan oleh sakitnya dan kita sudah memiliki Kitabullah dan cukuplah itu bagi kita. Lalu mereka berselisih dan terjadi keributan. Nabi SAW pun berkata”Menyingkirlah kalian dari-Ku, tidak sepantasnya terjadi perselisihan di hadapan-Ku”. Maka Ibnu Abbas berkata “Sesungguhnya bencana yang sebenar-benar bencana adalah penghalangan antara Rasulullah SAW dan penulisan wasiatnya” [Shahih Bukhari no 114].
Dari riwayat Ibnu Abbas tersebut diketahui dengan jelas bahwa yang dimaksud bencana oleh Ibnu Abbas itu adalah “penghalangan antara Rasulullah SAW dan penulisan wasiatnya”. Nabi SAW tidak jadi menuliskan wasiatnya itulah yang disesalkan oleh Ibnu Abbas. Dan memang yang menyebabkan Rasulullah SAW tidak jadi menuliskan wasiatnya adalah disebabkan perselisihan dan keributan dihadapan Nabi.
فكان ابن عباس يقول إن الرزية كل الرزية ما حال بين رسول الله صلى الله عليه و سلم وبين أن يكتب لهم ذلك الكتاب من اختلافهم ولغطهم
Ibnu Abbas selalu berkata “musibah yang sebenar-benar musibah adalah penghalangan antara Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam dan penulisan wasiat untuk mereka disebabkan keributan dan perselisihan mereka” [Shahih Muslim no 1637].
Dan disebutkan dalam riwayat shahih bahwa penyebab terjadi perselisihan karena sebagian sahabat ingin memenuhi permintaan Nabi SAW dan sebagian yang lain menginginkan seperti apa yang dikatakan Umar RA. Jadi pemicu terjadinya keributan adalah perkataan Umar RA. Seandainya Umar diam atau memenuhi permintaan Nabi SAW untuk mengambilkan kertas dan tinta maka insya Allah tidak akan terjadi pertengkaran dan keributan sampai akhirnya wasiat tersebut dituliskan.
فمنهم من يقول قربوا يكتب لكم رسول الله صلى الله عليه و سلم كتابا لن تضلوا بعده ومنهم من يقول ما قال عمر فلما أكثروا اللغو والاختلاف عند رسول الله صلى الله عليه و سلم قال رسول الله صلى الله عليه و سلم ( قوموا )
Sebagian dari mereka berkata, “berikan apa yang dipinta Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam Agar beliau menuliskan bagi kamu sesuatu yang menghindarkan kamu dari kesesatan”. Sebagian lainnya mengatakan sama seperti ucapan Umar. Dan ketika keributan dan pertengkaran makin bertambah di hadapan Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam, Beliau berkata “menyingkirlah kalian” [Shahih Muslim no 1637].
Ringkasnya adalah sebagai berikut:
1. Umar berkata “Nabi SAW dikuasai oleh sakitnya dan cukuplah kitab Allah bagi kita”. Sebagian sahabat mengikuti perkataan Umar dan sebagian lain ingin memenuhi permintaan Nabi SAW.
2. Terjadi perselisihan dan keributan di hadapan Nabi SAW.
3. Nabi SAW tidak jadi menuliskan wasiatnya [dan inilah yang dimaksud bencana oleh Ibnu Abbas].
Jadi perkataan penulis salafy tersebut.
Apa yang kami temukan adalah bahwa Ibnu Abbas menyebut kejadian tersebut sebagai musibah tidak berkaitan dengan penolakan Umar, melainkan berkaitan dengan kenyataan bahwa sahabat saling berselisih pendapat di hadapan Nabi.
Adalah keliru, bagaimana mungkin dikatakan itu tidak ada kaitannya dengan penolakan Umar. Justru penolakan Umarlah yang memicu terjadinya perselisihan sahabat di hadapan Nabi karena yang berselisih itu adalah sebagian sahabat yang mengikuti ucapan Umar dan sebagian sahabat yang ingin memenuhi permintaan Nabi SAW. Posisi yang benar dalam hal ini adalah sahabat yang ingin memenuhi permintaan Nabi SAW. Karena sebagai umat islam, para sahabat diharuskan untuk mentaati perintah Nabi SAW terutama yang berkaitan dengan syariat apalagi apa yang ingin disampaikan Nabi SAW adalah sesuatu yang sangat penting dimana Beliau SAW berkata “berikan kepadaku, aku akan menuliskan untuk kalian wasiat, agar kalian tidak sesat setelahnya”.
Perkataan Ibnu Abbas yang menganggap penghalangan antara Nabi SAW dan wasiat Beliau SAW sebagai bencana justru mengisyaratkan bahwa Ibnu Abbas sangat mengharapkan agar wasiat tersebut dituliskan. Dan kami yakin Ibnu Abbas adalah sahabat yang sangat mencintai Nabi SAW, disinipun sebenarnya sangat jelas bahwa Nabi SAW itu dalam keadaan mampu menuliskan wasiat tersebut dalam arti Beliau SAW dalam kondisi sadar. Menurut Ibnu Abbas, Nabi SAW tidak jadi menuliskan wasiat tersebut karena penghalangan antara Nabi SAW dan kertas yang dipinta oleh Nabi SAW. Tidak hanya Ibnu Abbas RA, sahabat lain seperti Jabir RA menyatakan dengan jelas kalau Umar-lah yang menyelisihi perintah Nabi SAW dan menolak permintaan Nabi SAW:
عن جابر أن النبي صلى الله عليه و سلم دعا عند موته بصحيفة ليكتب فيها كتابا لا يضلون بعده قال فخالف عليها عمر بن الخطاب حتى رفضها
Dari Jabir bahwa Nabi SAW menjelang wafatnya meminta lembaran dimana Beliau akan menuliskan tulisan agar tidak ada yang tersesat setelahnya kemudian Umar menyelisihi-nya dan akhirnya menolak Rasulullah SAW [Musnad Ahmad 3/346 no 14768].
Atsar di atas dikatakan oleh Syaikh Syu’aib Al Arnauth “shahih lighairihi” karena di dalam sanadnya terdapat Ibnu Lahi’ah yang dhaif pada dhabitnya tetapi riwayat Ibnu Lahi’ah memiliki mutaba’ah sebagaimana yang disebutkan dalam Musnad Abu Ya’la 3/394 no 1871 dan berkata Syaikh Husain Salim Asad [pentahqiq kitab Musnad Abu Ya’la] “para perawinya perawi shahih”.
Dari atsar di atas diketahui bahwa Jabir RA justru menyatakan bahwa yang menyelisihi dan menolak Nabi SAW ketika beliau SAW wafat adalah Umar bin Khattab. Pernyataan ini menggugurkan logika basa-basi penulis salafy soal . Kami tidak menafikan kalau Umar mencintai Nabi SAW dan begitu pula sahabat Nabi yang lain yaitu Ibnu Abbas dan Jabir tetapi hal itu tidak berarti apa yang dikatakan Umar menjadi benar. Penolakan Umar adalah keliru apapun alasan yang mendasarinya baik itu karena kecintaan ataupun alasan lainnya. Perkataan Jabir ini menjadi bukti bahwa perkataan salafy soal Nabi SAW yang tidak sadar memang hanyalah bualan belaka. Jika memang Nabi SAW dalam keadaan tidak sadar maka mengapa Jabir RA mengatakan kalau Umar menyelisihi dan menolak Nabi SAW. Kalau memang Nabi SAW tidak sadar tentu para sahabat juga akan memaklumi sikap Umar dan tidak akan mengatakan “Umar menolak Nabi SAW”.
Permainan kata-kata lainnya dari penulis salafy itu yang maaf saja menentang perkatannya sendiri adalah:
Logikanya, jika Nabi ingin menyampaikan pesan, maka beliau seharusnya mengatakan “pergi” hanya untuk orang-orang yang mencegah beliau dari hal itu, dan beliau seharusnya mengatakan “tetap tinggal” kepada mereka yang berharap memenuhi permintaan beliau. Apa yang mencegah Nabi untuk mengatakan hal yang mudah “Umar pergi” atau “pergi” ditujukan kepada kelompok yang menolak permintaan beliau?
Memang benar Rasulullah SAW mengatakan “pergi” dikarenakan para sahabat berselisih dan bertengkar di hadapan Nabi SAW. Perselisihan dan keributan di sisi Nabi SAW itu memang sungguh tidak pantas dan seharusnya yang dilakukan oleh para sahabat Nabi SAW adalah bersama-sama memenuhi permintaan Nabi SAW dengan mengambilkan kertas dan tinta agar Nabi SAW bisa mendiktekan wasiatnya. Sayangnya Umar dan sahabat lain menolak permintaan Nabi sehingga terjadi perselisihan. Sekarang perhatikanlah perkataan penulis salafy “Apa yang mencegah Nabi untuk mengatakan hal yang mudah “Umar pergi” atau “pergi” ditujukan kepada kelompok yang menolak permintaan beliau?” dan bandingkan dengan perkataannya sebelumnya “Kita melihat bahwa saat itu Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam sedang mengalami sakit yang tak tertahankan dan tidak dapat berbicara melainkan dengan rasa sakit dan tidak nyaman; itulah alasan mengapa Umar bin Khattab ra berharap Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam tidak berbicara seperti itu agar beliau tidak perlu merasakan sakit”. Bagaimana bisa sekarang untuk membela Umar ia berkata “apa yang mencegah Nabi mengatakan hal yang mudah?”. Padahal sebelumnya ia berkata untuk membela Umar “Nabi SAW tidak dapat berbicara melainkan dengan rasa sakit dan tidak nyaman”. Sungguh betapa anehnya:
فتنازعوا، ولا ينبغي عند نبي تنازع، فقالوا ما له أهجر استفهموه؟ فقال (ذروني، فالذي أنا فيه خير مما تدعونني إليه
Kemudian mereka berselisih, padahal tidak sepantasnya terjadi perselisihan di sisi Nabi. Mereka berkata “beliau sedang menggigau, tanyakan kembali tentang ucapan beliau tersebut?. Namun Rasulullah SAW bersabda “Tinggalkanlah aku. Sebab keadaanku lebih baik daripada apa yang kalian ajak” [Shahih Bukhari no 2997].
Jika kita memperhatikan riwayat ini, maka sebab lain yang membuat Rasululullah SAW menyuruh mereka pergi adalah perkataan sebagian sahabatnya soal “menggigau”. Dan yang mengatakan ini hanyalah para sahabat dari kelompok Umar dan yang sependapat dengannya. Hal ini sangat jelas menunjukkan bahwa Rasulullah SAW tidak menyukai perkataan kelompok Umar dan para sahabat yang mengikuti Umar.
Betapa banyaknya perkataan basa-basi yang diucapkan oleh penulis salafy yang membuat dirinya sendiri tidak menyadari kalau perkataannya telah merendahkan salah seorang sahabat. Perhatikan perkataannya:
Jika Nabi telah menunjuk Abu Bakar sebagai khalifah atas kaum muslimin, maka masyarakat luas akan merasa bahwa itu adalah tindakan seorang Tirani. Kebiasaan bangsa Arab saat itu dalam memilih pemimpin mereka sendiri adalah melalui musyawarah dan kedaulatan rakyat. Oleh karena itu, pendapat beberapa ulama, penarikan pengetahuan mengenai penunjukkan Abu Bakar ditarik kembali untuk kepentingan umat, sehingga mereka dapat memilih pemimpin mereka sendiri yang hal tersebut terlihat lebih adil.
Fakta sejarah menunjukkan kalau Abu Bakar malah menunjuk Umar sebagai khalifah atas kaum muslimin. Tentu dengan logika salafy itu maka masyarakat luas [yaitu para sahabat] akan merasa bahwa tindakan Abu Bakar itu adalah tindakan seorang tirani karena kebiasaan bangsa Arab dalam memilih pemimpin mereka adalah melalui musyawarah. Perkataan salafy itu menunjukkan kalau para sahabat menganggap Abu Bakar melakukan tindakan tirani, naudzubillah.
Apa yang dikatakan Umar sebenarnya hanyalah sebatas rasa kasihan dia terhadap kondisi nabi yang parah saat itu dan tidak lebih, Umar merasa orang-orang mengganggu Nabi yang sedang sakit parah dan susah untuk mengucapkan kata-kata, apalagi digambarkan juga oleh sumber Syi’ah bahwa saat itu Nabi dalam keadaan sebentar pingsan sebentar kemudian sadar lagi, hal ini sangat jelas dari perkataan tulus Umar tanpa ada tendensi apapun “sesungguhnya Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam dalam keadaan sakit parah dan di sisi kalian ada Al-Qur’an, cukuplah Kitabullah untuk kita”.
Perkataannya kalau Umar merasa orang-orang mengganggu Nabi yang sedang sakit parah adalah perkataan yang aneh. Kalau memang Nabi SAW sedang sakit parah dan merasa terganggu oleh orang-orang maka untuk apa para sahabat termasuk Umar berduyun-duyun datang kepada Nabi SAW. Dimana perasaan Umar, bukankah bisa saja dikatakan Nabi SAW sedang sakit dan membutuhkan istirahat yang tenang. Kami tidak menafikan Nabi SAW sedang sakit dan silakan saja kalau ada orang yang mau mengatakan Umar sangat mencintai Nabi, tidak ada masalah karena sahabat lain pun tidak kalah kecintaannya kepada Nabi. Yang dipermasalahkan disini adalah tidak pada tempatnya Umar menolak perkataan atau permintaan Nabi SAW apalagi dengan alasan “cukuplah Kitab Allah”. Bukankah kitab Allah memerintahkan agar kita mentaati perintah Rasulullah SAW, jadi sungguh aneh sekali orang yang mengatakan “cukuplah Kitab Allah” untuk menyelisihi Nabi SAW.
Begitu pula dengan alasan “Nabi SAW dikuasai sakitnya”. Justru Nabi SAW yang sakit harus diperlakukan dengan hati-hati dan dipenuhi permintaannya. Apalagi permintaan Nabi SAW tersebut disebabkan kecintaan Beliau SAW yang sangat besar kepada umatnya. Bukankah justru dengan perkataan Umar malah memicu terjadinya keributan yang benar-benar mengganggu Nabi SAW. Telah kami katakan sebelumnya Nabi SAW dalam keadaan sadar dan mampu berbicara, saat itu Beliau SAW menginginkan untuk mewasiatkan sesuatu agar umat tidak tersesat setelahnya. Coba bayangkan betapa besarnya keinginan Nabi SAW tersebut mengalahkan sakit yang Beliau derita. Sangat wajar jika Nabi SAW mengharapkan agar para sahabat memenuhi permintaan Beliau SAW. Tetapi faktanya muncul penolakan, perselisihan dan keributan. Dapatkah para pembaca merasakan apa yang dirasakan oleh Nabi SAW? Yang kami dapati Nabi SAW begitu tidak menyukai perselisihan itu sehingga menyuruh mereka pergi.
Apa salahnya jika para sahabat termasuk Umar bersepakat mengambilkan kertas dan tinta?. Nabi SAW memang sakit parah tetapi Beliau SAW masih mampu untuk berbicara dengan jelas. Bagi kami yang diinginkan Nabi SAW saat itu adalah Beliau akan mendiktekan wasiatnya dan meminta salah seorang sahabat untuk menuliskannya di hadapan para sahabat lain. Nabi SAW memang sedang sakit tetapi saat itu Beliau SAW bisa berbicara dengan jelas. Jika memang sakitnya Nabi SAW dipermasalahkan maka para sahabat bisa meminta Beliau SAW untuk berbicara dengan pelan. Riwayat yang shahih justru menunjukkan kalau Nabi SAW dalam keadaan sadar dan bisa berbicara dengan jelas. Beliau SAW mampu berbicara “meminta kertas dan tinta” bahkan Beliau pun bisa berbicara menyuruh para sahabat pergi ketika mereka berselisih atau ketika Beliau SAW menjawab sebagian sahabat yang bicara soal “menggigau”. Jadi tidak diragukan lagi kalau kondisi Nabi SAW saat itu adalah dalam kondisi mampu untuk menyampaikan wasiat. Oleh karena itulah Ibnu Abbas menyayangkan penghalangan antara Nabi SAW dan wasiatnya dan begitu pula sahabat Jabir RA yang menyatakan kalau Umar telah menyelisihi dan menolak Nabi SAW.
Bukan berarti Umar menyepelekan Nabi atau menganggap apa yang akan dituliskan/didiktekan Nabi itu tidak penting, tetapi karena keadaan Nabi saat itulah yang membuat Umar berkata seperti itu, hal itu dia lakukan karena rasa sayangnya kepada Sang Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam. Mungkin anda sekalian mengetahui kisah bagaimana Umar seperti orang yang “kehilangan akal sehatnya” karena kesedihan yang begitu dalam ketika Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam dikhabarkan telah wafat, yang akhirnya disadarkan oleh Abu Bakar dengan dibacakan Al-Qur’an.
Kami tidak ada masalah untuk menerima kalau Umar mencintai Nabi SAW. Tetapi hal itu tidak mencegah kami untuk mengatakan kalau Umar RA keliru. Penolakannya disini tidak pada tempatnya apalagi terjadi ketika Nabi SAW sedang sakit berat. Kami juga merasa aneh dengan perkataan salafy “Umar seperti kehilangan akal karena kesedihan yang mendalam atas wafatnya Nabi SAW”. Para pembaca pasti akan tahu jika seseorang sangat mencintai kekasihnya dan merasakan kesedihan yang mendalam atas wafatnya kekasih yang ia cintai maka orang tersebut pasti akan berada di sisi kekasihnya untuk melepaskan jasad kekasihnya sampai ke liang kubur. Orang tersebut tidak akan terpalingkan oleh hal-hal lain karena akan terasa berat baginya berpisah dengan kekasih yang dicintai. Silakan pembaca memperhatikan apa yang terjadi pada Abu Bakar dan Umar ataupun sahabat Anshar lainnya, jasad Nabi SAW belumlah dikuburkan mereka telah berselisih di saqifah soal kepemimpinan. Apakah mereka tidak bisa bersabar sampai pemakaman Nabi SAW selesai?. Yang kami dapati pihak yang sangat besar kecintaannya kepada Nabi SAW adalah Ahlul Bait Beliau SAW yang dengan setia tetap mengurus pemakaman Nabi SAW sampai selesai.
Apa tepatnya wasiat Nabi SAW tersebut?. Kami katakan tidak ada yang mengetahuinya dengan pasti. Yang bisa dilakukan adalah mengira-ngira apa tepatnya yang akan disampaikan Nabi SAW. Ada dua kemungkinan,
1. Pertama yang akan disampaikan Nabi SAW adalah sesuatu yang baru atau
2. Kedua sesuatu yang pernah disampaikan Nabi SAW sebelumnya, sehingga penekanan untuk dituliskan memiliki arti penting bahwa hal itu benar-benar sangat berat.
Kami memilih yang kedua karena bagi kami tidak mungkin Nabi SAW tidak jadi memberitahukan sesuatu yang baru jika memang itu dapat mencegah kesesatan bagi umatnya. Jadi wasiat Nabi SAW kemungkinan sudah pernah beliau sampaikan sebelumnya dan melihat redaksinya “tidak akan tersesat setelahnya” maka kami berpandangan bahwa wasiat tersebut adalah hadis Tsaqalain yaitu perintah agar umat berpegang teguh pada Kitabullah dan Itrah Ahlul Bait Rasul SAW.
يا أيها الناس ! إني قد تركت فيكم ما إن أخذتم به لن تضلوا , كتاب الله وعترتي أهل بيتي
Wahai manusia, sungguh aku tinggalkan bagi kalian apa yang jika kalian berpegang teguh dengannya maka kalian tidak akan tersesat yaitu Kitab Allah dan Itrah-ku Ahlul Bait-ku [Silsilah Ahadits Ash Shahihah no 1761].
Begitu beratnya wasiat ini hingga sekarang kita melihat ada orang-orang yang mengaku umatnya Rasulullah SAW tetapi menolak Ahlul Bait sebagai pedoman bagi umat islam. Kami menyebut mereka ini sebagai orang-orang yang terpengaruh dengan virus nashibi. Kami melihat mereka mengaku-ngaku mencintai Ahlul Bait tetapi aneh bin ajaib mereka menolak keutamaan Ahlul Bait sebagai pedoman umat islam, mereka membela bahkan menyanjung orang-orang yang menyakiti Ahlul bait dan mereka menuduh dusta kepada pengikut Syiah yang sangat mencintai Ahlul Bait. Tidak hanya itu mereka bahkan dengan mudah menuduh orang yang mencintai Ahlul Bait sebagai Syiah Rafidhah. Anehnya dengan sikap-sikap seperti itu mereka mengklaim [dengan tidak tahu malu] kalau merekalah yang benar-benar mencintai Ahlul Bait. Sungguh cinta yang aneh kalau tidak mau dikatakan penuh kepalsuan.
(Scondprince/Syiah-Ali/Sumber-Lain/ABNS)
Post a Comment
mohon gunakan email