Salah satu kehebatan negara Saudi adalah
keberhasilannya dalam menipu kaum Muslim, seakan-akan negaranya
merupakan cerminan dari negara Islam yang menerapkan al-Quran dan
Sunnah. Keluarga Kerajaan juga menampilkan diri mereka sebagai pelayan
umat hanya karena di negeri mereka ada Makkah dan Madinah yang banyak
dikunjungi oleh kaum Muslim dari penjuru dunia.
Saudi juga terkesan banyak memberikan
bantuan kepada kelompok Islam maupun negeri-negeri Islam untuk
mencitrakan mereka sebagai pelayan umat dan penjaga dua masjid suci
(Khadim al-Haramain). Akan tetapi, citra seperti ini semakin pudar
mengingat sepak terjang keluarga Kerajaan selama ini, terutama
persahabatannya dengan AS yang mengorbankan (nyawa, harta dan negara)
kaum Muslim.
Orang-orang awam selama ini menjadi
korban dari berita-berita penipuan yang sengaja disebarkan oleh para
pemuja Kerajaan Arab Saudi. Kaum Muslimin lupa, bahwa yang menjadi
penguasa Makkah dan Madinah saat ini adalah Keluarga Kerajaan (Aly Saud) yang mengusung paham Khawarij dan Mujasim, bukan Ahlussunnah.
Karena paham Ahlussunnah wal jama’ah tidak pernah menghalalkan
pengkafiran, pembid’ahan, pemusyrikan dan penghalalan darah serta harta
kaum muslimin. Hal ini justru menjadi ciri khas kaum Wahabi Takfiri atau
yang di zaman ini sebagai perwujudan kaum Khawarij dan Mujasim modern.
Jargon mereka yang terkenal adalah “Kembali kepada Quran dan Sunnah“
maksudnya adalah kembali kepada pemahaman Quran dan Sunnah ala mereka,
bukan ala Nabi Saw, para sahabatnya yang mulia dan para ulama salafus
shalih.
Siapa pun yang menguasai Makkah dan
Madinah sudah pasti mereka akan memelihara dan menjaga dua kota suci
tersebut. Sudah sedari dulu, siapa pun penguasanya mereka pasti akan
selalu membantu negara-negara Muslim lainnya. Tetapi yang sangat aneh,
mengapa Kerajaan Arab Saudi tidak pernah memberi bantuan kepada
Palestina? Bahkan mereka malah bermanis-ria dengan Zionis dalam
pertemuan-pertemua rahasia, Apakah ini yang dikatakan negara Islam yang
menjalankan al-Quran dan as-Sunnah?
Setelah kekalahan telak yang dialami
pasukan Muhammad ibn Sa’ud oleh pasukan Islam dari kekhalifahan Turki
Utsmani pada tahun 1815. Muhammad ibn Sa’ud beserta beberapa anggota
kelurganya di tawan dan di bawa ke kota Kairo dan kemudian dipindahkan
ke Konstantinopel ibukota kekhalifahan Turki Utsmani. Muhammad ibn Sa’ud
dan anggota keluarganya di arak untuk dipertontonkan kepada kaum
muslimin bahwa ia adalah otak dari pemberontakan sekaligus Dajjal yang
telah membunuhi ribuan kaum muslimin yang tidak berdosa di jazirah Arab.
Kemudian kepalanya dipenggal dan tubuhnya dipertontonkan kepada
kerumunan kaum muslimin yang marah karena ulahnya. Sedangkan sisa-sisa
keluarganya di penjara di kota Kairo.
Kurang lebih 87 tahun kemudian, pada
tahun 1902 cucunya Muhammad ibn Sa’ud yang bernama Abdul Aziz bin
Abdurrahman ibn Sa’ud yang kabur ke Turki memulai kembali usaha untuk
mengembalikan kejayaan Klan Sa’ud yang pernah dirintis oleh kakeknya.
Dengan bantuan Klan As-Sabah di Kuwait dan campur tangan Inggris
akhirnya mereka mulai melakukan invasi berdarahnya kembali. Pada tahun
1953 Ibnu Sa’ud mati dan digantikan oleh Raja Sa’ud dan kemudian Raja
Faisal.
Rajutan cinta yang dahulu terputus dengan
kerajaan Inggris akhirnya bersemi kembali. Hal ini dibuktikan dengan
adanya beberapa perjanjian atau traktat dengan pihak kerajaan Inggris
melalui beberapa surat yang dikirimkan oleh pemimpin Salafi Wahabi pada
tanggal 13 Juni 1913 kepada wakil Inggris Percy Cox sebagai berikut :
وبالنظر إلى مشاعرى الودية تجاهكم أودّ أن
تكن علاقاتى معكم كالعلاقات الّتى كانت قائمة بينكم وبين اسلافى كما أودّ
أن تكون قائمة بينى وبينكم
“Dan dengan melihat perasaan cintaku kepada kalian, aku sangat berharap hubunganku dengan kalian seperti hubungan-hubungan yang telah lama terjalin antara kalian dengan para leluhurku, sebagaimana aku sangat berharap hubungan itu tetap terjalin (baik) antara aku dengan kalian “
Dalam Muktamar al-Aqir tahun 1927 M /
1341 H di distrik Ahsaa telah ditanda tangani sebuah perjanjian resmi
antara pihak Wahabi dengan pemerintah Inggris. Tertulis dalam
kesepakatan itu kalimat-kalimat yang ditorehkan oleh pimpinan Wahabi
yang berbunyi :
… أقرّ وأعترف ألف مرة للسّير برسى كوسى
مندوب بريطانيا العظمى لامانع عندى من إعطاء فلسطين لليهود أو غيرهم كما
تراه بريطانيا التى لا أخرج عن رأيها حتى تصيح الساعة
“ Aku berikrar dan mengakui 1000 kali kepada Sir Percy Cox wakil Britania Raya, tidak ada halangan bagiku (sama sekali) untuk memberikan Palestina kepada Yahudi atau yang lainnya sesuai dengan keinginan Inggris, yang mana aku tidak akan keluar dari keiginan Inggris sampai hari kiamat “
Bahkan ketika pecah perang yang
dilancarkan Israel pada bulan Juni 1967 kepada sebagian negara-negara
Arab dengan dukungan Amerika dan Eropa barat, pemimpin Wahabi baru
datang dari negara-negara Barat itu menyampaikan pidato pada tanggal 6
Juni sebagai berikut :
ايها الإ خوان لقد جئتكم من عند إخوان لكم فى أمريكا وبريطانيا وأو روبا تحبونهم ويحبوننا
“Wahai saudara-saudaraku, aku (baru saja) datang dari saudara-saudara kalian di Amerika, Britania, dan Eropa. Kalian mencintai mereka, dan mereka pun mencintai kalian “
Kemudian pada tahun 1969, saat
diwawancarai koran Washington Post, pimpinan Wahabi mengakui adanya
kedekatan khusus dengan kaum Zionis Israel, lalu berkata :
إننا واليهود إبناء عم خلص, ولن ترضى بقذفهم فى البحر كما يقول البعض, بل نريد التعايش معهم بسلام
“Sesungguhnya kami dengan bangsa Yahudi adalah sepupu. Kami tidak akan rela melemparkan mereka ke laut sebagaimana yang dikatakan oleh sebagian orang, melainkan kami ingin hidup bersama mereka dengan penuh kedamaian “
Para peneliti sejarah aliran Wahabiyah
telah membuktikan bahwa untuk memurnikan tauhid hanyalah sebuah slogan
yang dibentuk atas perintah langsung kementrian Urusan Penjajahan
Kerajaan Inggris. Setelah mendapatkan kaum muslimin yang dapat dijadikan
sebagai boneka-boneka bodohnya, kemudian konspirasi penjajah Eropa
Yahudi mengirimkan berbagai keperluan operasional, logistik, tentara
bayaran dan istruktur-instruktur tentara bayaran yang disupport
sepenuhnya oleh kekuatan sekutu untuk mendukung gerakan Wahabi yang
dimotori oleh Muhammad Ibnu Sa’ud dan Muhammad ibnu Abdil Wahhab dalam
melakukan pemberontakan terhadap kekhalifahan Turki Ottoman yang sah
dengan impian tingginya untuk mendirikan Haikal Sulaiman di tanah
al-Haramain.
Gilanya lagi, setelah tertangkap basah
dan terekam secara sah oleh sejarah dan zaman, mereka masih membela diri
dengan berkata : “Kami memberontak karena kekhalifahan Turki Ottoman
sudah korup, banyak kemaksiatan yang terjadi, negara sudah tidak stabil”
dan banyak ucapan lainnya yang mereka buat untuk menghalalkan sesuatu
yang diharamkan oleh Allah dan Rasul-Nya.
Dan logika sederhananya adalah, apabila
dikarenakan kekhalifahan Turki Ottoman sedemikian carut marutnya
sehingga halal memberontak, maka lebih halal pula memberontak di
kerajaan Saudi Arabia sekarang. Karena keadaan negara mereka yang
dipenuhi dengan sejarah pembunuhan, pembantaian, siksaan terhadap para
ulama, bayi dan ibunya disembelih ketika digendong, sebagaimana yang
terekam dengan baik dalam kitab-kitab sejarah Islam.
Gerakan Wahabi yang didanai oleh Inggris
dan Yahudi ini banyak memaksa kaum muslimin untuk menjadi tentara
mereka. Ada sebuah camp tempat pelatihan yang dinamakan dengan Hajar
al-Arkawiyah di mana para intruktur militer dari negara Inggris melatih
daya tempur mereka dan menancapkan doktrin pada para pengikutnya, bahwa
siapa pun orang Islam yang tidak bermazhab Wahabi adalah kafir dan halal
darahnya.
Padahal orang-orang Inggris ini pun tidak
semazhab dengan mereka, tidak se-tauhid dengan mereka, bahkan mereka
benar-benar kafir mutlak tetapi mana berani para Wahabi menganggapnya
kafir dan menghalalkan darah mereka? Mereka lebih mencintai orang-orang
Inggris yang memperbudak mereka, dan lebih membenci kaum musimin yang
berbeda dengan mereka. Padahal Iblis saja tidak pernah menaruh rasa
benci sebesar ini terhadap umatnya Nabi Saw.
Mereka yang sudah digembleng menjadi
tentara pembunuh menjadi hilang rasa kemanusiaannya, dan berubah total
menjadi mesin pembunuh yang sadis dan paling biadab, mirip dengan
tentara Hulagu Khan atau yang menghabisi kekhalifah Dinasti Abbasiyah
secara keji dan biadab atau mirip dengan tentara Serbia yang membantai
ratusan ribu warga muslim di Bosnia Herzegovina.
Untuk mengelabui kaum muslimin di masa
yang akan datang mereka memberikan identitas kepada para pembunuh dan
tentara bayarannya sebagai berikut :
- Mereka menamakan mesin perangnya dengan sebutan al-Ikhwan
- Mereka menamakan peperangannya dengan sebutan Jihad
- Mereka menamakan penyerbuannya dengan sebutan Ghazawat
- Mereka menamakan kemenangannya dengan sebutan Futuhat
- Mereka menamakan prajuritnya yang mati dengan sebutan Syuhada
- Menamakan musuhnya dari kaum muslimin dengan nama kaum kafir
Lihatlah pengelabuan dan pemutarbalikkan
fakta yang mereka lakukan terhadap syariat dan kaum muslimin saat ini.
Benar-benar sempurna kelicikan dan tipu daya mereka ini. Semoga laknat
Rasul-Nya abadi bagi mereka. Sekte terlicik di muka bumi ini kemudian
menutupi kebejatan serta kebiadaban mereka dengan menisbatkan mazhabnya
kepada Imam Ahmad bin Hanbal, sehingga sebagian para kyai dan ulama yang
tidak menyelami mazhab Imam Ahmad pun mengamini dan mengimaninya.
Terlebih masyarakat awam yang pengetahuannya sangat dangkal.
Padahal dakwah yang dijalankan oleh
Wahabi dan pengikutnya ini merupakan kedok untuk menutupi jaringan
konspirasi dan kerja sama busuk mereka dengan kaum penjajah Eropa yang
membawa sekalian dendam kesumat atas kekalahan mereka di perang Salib
lalu. Karena untuk membantai kaum muslimin secara langsung dengan tangan
mereka tidak mungkin, maka mereka menggunakan boneka-bonekanya yang
bodoh dan dungu ini dengan dalil “Ijtihad“, yang benar ijtihadnya
mendapatkan pahala dua, dan yang salah mendapatkan pahala satu. Jadi
bagi kaum Salafi Wahabi ini, membunuh kaum muslimin akan mendapatkan
pahala karena berdasarkan ijtihad ulama mereka katanya.
Lebih ekstremnya lagi, ketika mereka
sudah merasa kuat (dengan dukungan pemerintah dan sebagian partai
politik), maka propaganda mereka jalankan dengan terang-terangan, bahkan
tak jarang sampai pada perebutan atau penguasaan lahan dakwah seperti
mesjid, mushalla, majlis ta’lim di kantor-kantor, atau minimal merintis
kumpulan pengajian tandingan baik di tempat-tempat tersebut maupun di
rumah-rumah.
Akibatnya, tanpa disadari mereka sudah
menguasai berbagai sarana kegiatan dakwah di beberapa komplek perumahan,
dan telah merebut anggota jama’ah pengajian para ustad di wilayah
setempat, yang berbuntut pada terganggunya hubungan silaturrahmi antara
anggota jama’ah tersebut.
Tidak sampai di sana saja, bahkan mereka
pun membuat gerakan pengajian ibu-ibu yang dinamakan “ Liqa “. Yang
menurut sumber yang paling shahih berada dalam garis manajemen Partai
Keadilan Sosial (PKS). Mereka mendakwahkan kepada para ibu-ibu untuk
menjadikan Indonesia sebagai negara yang berbasis khilafah, bukan UUD
dan Pancasila. Kemudian lambat-laun mereka mulai memasuki ranah
khilafiyah seperti Yasinan, Tahlilan, Ziarah Kubur, Istighatsah,
Shalawatan, Maulid Nabi dan hal-hal yang selama ini mereka anggap
pelakunya adalah ahli neraka.
Jadi bagaimana kita bisa mengatakan
gerakan ini adalah gerakan pemersatu umat dan bangsa ? Mereka adalah
gerakan aktif yang akan melumatkan apa pun yang mereka anggap tidak
sejalan dengan batok kepala mereka. Mereka adalah pemecah belah umat
berdasarkan kajian historis dan analisis hadits.
Secara resmi negara Saudi ini
memperingati kemerdekaannya pada tanggal 23 September 1932. Pada saat
itulah, tahun 1932 Kerajaan Saudi Arabia (al-Mamlakah al’Arabiyah
as-Su’udiyah). Abdul Aziz pada saat itu berhasil menyatukan dinastinya,
menguasai Riyadh, Nejd, Hasa, Asir, dan Hijaz. Abdul Aziz juga berhasil
mempolitisasi pemahaman Wahabi untuk mendukung kekuatan politiknya.
Sejak awal, Dinasti Sa’ud secara terbuka
telah mengumumkan dukungannya dan mengadopsi penuh ide Wahabi yang
dicetuskan oleh Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab yang kemudian dikenal
dengan gerakan Wahabi. Dukungan ini kemudian menjadi kekuatan baru bagi
dinasti Sa’ud untuk melakukan perlawanan terhadap Khilafah Utsmaniyah.
(Jadi jelaslah, bahwa Kerajaan Saudi Arabia yang dirajai oleh Abdul Aziz
dan keturunannya sampai sekarang tidak pernah mengadopsi paham
Ahlussunah wal jama’ah yang dibawa oleh para imam mazhab, bahkan mereka
mengkafirkan seluruh imam mazhab dan penganutnya).
Hanya saja, keberhasilan Dinasti Sa’ud
ini tidak lepas dari bantuan Inggris. Mereka bekerjasama untuk memerangi
pemerintahan Khilafah Islamiyah. Sekitar tahun 1792-1810, dengan
bantuan Inggris mereka berhasil menguasai beberapa wilayah di Damaskus.
Hal ini membuat Khilafah Islamiyah harus mengirim pasukannya untuk
memadamkan pemberontakan ini.
Fase pertama, pemberontakan Dinasti Sa’ud
berhasil diredam setelah pasukan Khilafah Islamiyah berhasil merebut
kota ad-Diriyah. Pada tahun 1902, ketika kekuatan Khalifah Islamiyah
melemah, Abdul Aziz menyerang dan merebut kota Riyadh dengan bantuan
Inggris.
Pada tahun 1916, Abdul Aziz menerima 1300
senjata dan 20.000 keping emas dari Inggris. Mereka juga berunding
untuk menentukan perbatasan negerinya, yang ditentukan oleh Percy Cox,
utusan Inggris. Percy Cox mengambil pensil dan kertas kemudian
menentukan (baca : memecah belah) perbatasan negeri tersebut.
Tidak hanya itu, Inggris pun membantu
Ibnu Sa’ud saat terjadi perlawanan dari Duwaish (salah satu suku dari
Nejd). Suku ini menyalahkan Ibnu Sa’ud yang dianggap terlalu menerima
inovasi Barat. Sekitar tahun 1927-1928, angkatan Udara Inggris dan
pasukan Ibnu Sa’ud mengebom suku tersebut. Mengingat kerja sama mereka
yang sangat erat, Inggris memberi gelar kebangsawanaan “Sir“ untuk Abdul
Aziz bin Abdurrahman.
Adapun persahabatan Saudi dengan AS
diawali dengan ditemukannya ladang minyak di negara itu. Pada 29 Mei
1933, Standart Oil Company dari California memperoleh konsesi selama 60
tahun. Perusahaan ini kemudian berubah nama menjadi Arabian Oil Company
pada tahun 1934. Pada mulanya, pemerintah AS tidak begitu peduli dengan
Saudi. Namun, setelah melihat potensi besar minyak negara tersebut, AS
dengan agresif berusaha merangkul Saudi. Pada tahun 1944, Deplu AS
menggambarkan daerah tersebut sebagai “Sumber yang menakjubkan dari
kekuatan strategi dan hadiah yang terbesar dalam sejarah duni”.
Untuk kepentingan minyak, secara khusus
wakil perusahaan Aramco, James A. Moffet, menjumpai Presiden Roosevelt
(April 1941) untuk mendorong pemerintah AS memberikan pinjaman utang
kepada Saudi. Utang inilah yang kemudian semakin menjerat negara
tersebut menjadi “budak“ AS. Pada tahun 1946, Bank Ekspor-Impor AS
memberikan pinjaman kepada Saudi sebesar $100 juta dolar. Tidak hanya
itu, AS juga terlibat langsung dalam “membangun“ Saudi menjadi negara
modern, antara lain dengan memberikan pinjaman sebesar $100 juta dolar
untuk pembangunan jalan kereta api yang menghubungkan ibukota dengan
pantai timur dan barat. Tentu saja, utang ini kemudian semakin menjerat
Saudi sampai sekarang.
Konsesi lain dari persahabatan Saudi-AS
adalah penggunaan pangkalan udara selama tiga tahun oleh AS pada tahun
1943 yang hebatnya hingga saat ini terus dilanjutkan. Pangkalan Udara
Dhahran menjadi pangkalan militer AS yang paling besar dan lengkap di
Timur Tengah. Hingga saat ini, pangkalan ini menjadi basis strategi AS,
terutama saat menyerang negeri Muslim Irak dalam Perang Teluk II.
Penguasa Kerajaan Saudi dengan “ sukarela “ membiarkan wilayahnya
dijadikan basis AS untuk membunuhi sesama Muslim. AS pun kemudian sangat
senang dengan kondisi ini.
Kerajaan Arab Saudi sebagai trah Zionis
Yahudi menjadi pendukung penuh AS baik secara politis maupun ekonomis
dalam Perang Teluk II. Saudi juga mendukung serangan AS ke Afganistan
dan berada di sisi Amerika untuk memerangi teroris. Untuk membuktikan
kesetiaannya itu, Saudi pada tanggal 17 Juni 2002 mengumumkan bahwa
aparat keamanan- nya telah menahan enam orang warga negaranya dan
seorang warga Sudan yang di dakwa menjadi angota al-Qaeda. Tujuh orang
itu didakwa berencana untuk menyerang pangkalan militer Amerika dengan
rudal SAM-7.
Masih dalam rangka kampanye AS ini, Saudi
menghabiskan jutaan dolar untuk membuat opini umum, antara lain lewat
iklan bahwa Saudi adalah mitra AS dalam “perang anti terorisme “ (K.Com,
Newsweek, 03/05/2002). (Padahal seluruh dalang penjajahan dan teror di
tanah Arab seperti di Iraq, Libya, Mesir dan Suriah adalah Arab Saudi
dan AS).
Penguasa Saudi juga dikenal kejam
terhadap kelompok-kelompok Islam yang meng- kritisi kekuasaannya. Banyak
ulama berani dan salih yang dipenjarakan hanya karena mengkritik
keluarga Kerajaan dan pengurusannya terhadap umat. Tidak hanya itu,
tingkah polah keluarga kerajaan dengan gaya hidup kapitalisme sangat
menyakitkan hati umat. Mereka hidup bermewah-mewah, sementara pada saat
yang sama mereka membiarkan rakyat Irak dan Palestina hidup menderita
akibat tindakan AS yang terus menerus dijadikan Saudi sebagai mitra
dekat.
Benarkah Saudi merupakan negara Islam?
Jawabannya “Tidak sama sekali“ Apa yang dilakukan oleh negara ini justru
banyak yang menyimpang dari syariat Islam. Beberapa bukti antara lain :
Pertama, berkaitan
dengan sistem pemerintahan, dalam pasal 5.a Konstitusi Saudi ditulis :
Pemerintah yang berkuasa di Kerajaan Saudi adalah Kerajaan. Dalam sistem
Kerajaan berarti kedaulatan mutlak ada di tangan raja. Rajalah yang
berhak membuat hukum. Meskipun Saudi menyatakan bahwa negaranya
berdasarkan al-Quran dan as-Sunnah, dalam praktiknya, dekrit rajalah
yang paling berkuasa dalam hukum (bukan al-Quran dan as-Sunnah).
Sementara itu, dalam Islam bentuk negara adalah Khilafah Islamiyah,
dengan kedaulatan ada di tangan Allah Swt, rasul-Nya dan orang-orang
yang berilmu (para ulama).
Kedua, dalam sistem
Kerajaan, rajalah yang juga menentukan siapa penggantinya, biasanya
adalah anaknya atau dari keluarga dekat, sebagaimana tercantum dalam
pasal 5.c : Raja memilih penggantinya dan diberhentikan lewat dekrit
kerajaan. Siapa pun mengetahui, siapa yang menjadi raja di Saudi
haruslah orang yang sejalan dengan kibijakan AS. Sementara itu, dalam
Islam, Khalifah di pilih oleh rakyat secara sukarela dan penuh
keridhaan.
Ketiga, dalam bidang
ekonomi, dalam praktiknya, Arab Saudi menerapkan sistem ekonomi
kapitalis. Ini tampak nyata dari diperbolehkannya riba (bunga) dalam
transaksi nasional maupun internasional di negara itu. Hal ini tampak
dari beroperasinya banyak bank “ribawi“ di Saudi seperti “ The
British-Saudi Bank, American-Saudi Bank, dan Arab-National Bank. Hal ini
dibenarkan berdasarkan bagian b pasal 1 undang-undang Saudi yang
dikeluar- kan oleh Raja (no.M/5 1386 H).
Keempat, demi alasan
keamanan keluarga kerajaan, pihak kerajaan Saudi Arabia telah
menghabiskan 72 miliar dolar dalam kontrak kerjasama militer dengan AS.
Saat ini lebih dari 5000 personel militer AS tinggal di Saudi. Sungguh
sangat berakal dan beradab membiarkan musuh-musuh Islam berkonspirasi di
negaranya, sedangkan banyak hal yang dapat dilakukan untuk Palestina,
Irak, Suriah, Libya, Afganistan dengan 72 miliar dollar, hal ini
dilakukan oleh Kerajaan Saudi karena lebih mencintai Amerika dan
musuh-musuh Islam daripada mencintai negara muslim.
Apa yang terjadi di Saudi ini hanyalah
salah satu contoh di antara sekian banyak contoh para penguasa
Muslim-Yahudi yang melakukan pengkhianatan kepada umat. Tidak jarang
para pengkhianat umat ini menamakan rezim mereka dengan sebutan negara
Islam, negara yang berdasarkan al-Quran dan as-Sunnah, meskipun pada
praktiknya jauh dari Islam.
Begitu juga para partai pendukungnya akan
melakukan iklan agamis yang sama : partai yang bersih walaupun tidak
bersih, partai yang jujur walaupun isinya para penipu dan koruptor,
partai yang agamis walaupun sebenarnya tidak paham agama, dan banyak
lagi slogan-slogan yang mencitrakan kebaikan itu hanya berada pada
partai mereka. Kenalilah bahwa sesungguhnya partai-partai seperti ini
justru menjadi partai pembohong dan pendu- kung abadi musuh-musuh Islam.
Sesungguhnya kebenaran itu tidak datang
dalam seketika, tetapi ketika kebenaran itu datang sikapilah dengan
kesadaran, kedinamisan akal sehat anda, dan tanyalah kepada hati nurani
terdalam, apakah pantas partai yang mengatasnamakan Islam mendukung
musuh-musuh abadi Islam?
Tidaklah akal seseorang itu tercerahkan
setelah datangnya cahaya hidayah. Sedangkan penolakan terhadap cahaya
hidayah merupakan pengingkaran terhadap pemberi hidayah itu sendiri.
Tidak ada pilihan lain bagi kita, kecuali menghadapi dan menghancur-
kan musuh-musuh Islam, baik yang tersurat ataupun yang tersirat dengan
segala bentuk potensi yang diberikan Allah Swt kepada kita semua.
Jelas sekali bahwa gerakan Zionisme
Internasional mengerahkan segenap daya dan kekuatannya begitu juga
pendukungnya untuk menumpas umat Islam, pemilik bumi yang kaya dengan
sumber alam. Dengan segala cara, Zionisme berusaha mengeksploitasi
kekayaan alam negara Islam. Mereka menyebarkan pemikirannya yang dapat
memalingkan umat muslim dari pilar-pilar kekuatannya. Mereka pun
menimbulkan perpecahan dalam barisan umat Islam.
Musuh-musuh Islam melakukan berbagai
tindakan batil dalam seluruh aspek kehidupan. Telah beredar mata uang
Zionis yang dicetak dengan gambar menara Israel dan peta Israel Raya.
Peta itu meliputi Lebanon, Yordania, dua pertiga wilayah Suriah, tiga
perempat wilayah Irak, dan seperempat wilayah Saudi Arabia, bahkan
sampai ke Madinah dan Makkah. Kalaulah kita sedikit cermat
mengamatinya, bukankah daerah-daerah tersebut yang sekarang sedang
diperebutkan dan berusaha dikuasai oleh ISIS?
Semua dunia mengetahuinya, bahwa ISIS
adalah teroris yang berkedok agamis dengan akidah Wahabi dibelakangnya.
PBB pula yang menyerukan kepada kerajaan Saudi Arabia untuk menarik
mundur 20.000 tentara bayarannya dari Suriah dan Irak. Jadi jelaslah,
bahwa ISIS yang berakidah Wahabi adalah kaki tangan Zionis Israel yang
dibiayai oleh kerajaan Saudi Arabia.
Kaum Zionis harus menyadari bahwa mereka
sedang mengemis untuk mendapatkan bumi yang telah dijaga kaum muslimin
selama 14 abad. Kaum muslimin tidak akan pernah berhenti untuk
merebutnya kembali meskipun pihak yahudi melancarkan serangan demi
serangan dengan hebatnya.
Zionis menulis kalimat Lailaaha illallah
di celana dalam, menulis- kan lafdzul Jalalah di alas kaki, dan mencetak
surat awal Maryam di kertas pembungkus barang-barang belanjaan. Hal ini
bukanlah kebodohan baru yang dilakukan Yahudi sepanjang sejarahnya.
Semua itu karena dorongan dendam terhadap kaum muslimin dan bangsa Arab
yang dalam kurun waktu sejarah lalu justru telah melindungi mereka dan
memperlakukan mereka dengan baik.
Di Palestina dewasa ini orang-orang
Israel menghancurkan bangunan-bangunan bersejarah, berbagai peninggalan
kehidupan masa silam, dan warisan kebudayaan yang tidak ternilai.
Sebagaimana ISIS pun melakukan penghancuran terhadap kota-kota kuno,
bangunan dan artefak bersejarah yang berasal dari ribuan tahun yang lalu
atas perintah Yahudi. Mereka pun menghancurkan pusat-pusat informasi
dan membakar kepustakaan langka.
Hal yang sama pula dilakukan oleh
kerajaan Saudi Arabia pada tahun 1924 untuk membakar perpustakaan
terutama perpustakaan Maktabah Arabiyah di Makkah al-Mukarramah di mana
mereka membakar kurang lebih 60.000 kitab-kitab langka dan sekitar
40.000 yang masih berupa manuskrip yang sebagiannya merupakan hasil
diktean sahabat dari baginda Nabi Saw.
Di antara buku-buku itu masih ada yang
berupa kulit kijang, tulang belulang, pelepah kurma, pahatan dan
lempengan-lempengan tanah. Tidak berhenti sampai di situ, mereka pun
menyerang perpustakaan yang berada di Hadramaut Yaman dan mem- bakar
seluruh kitab yang berada di perpustakaan itu.
Tindakan ini dilakukan karena merasa
tersudut oleh sejarah dan tidak berkutik oleh fakta-fakta yang terdapat
di dalam buku-buku sejarah. Bangsa Yahudi terdorong melakukan semuanya
itu semata-mata karena kedengkian terhadap Islam, kemurkaan terhadap
segenap pemeluknya, dan berkeingnan melukai tubuh dan perasaan mereka. [Al-Bantani]
(Arrahmah-News/Berbagai-Sumber-Lain/ABNS)
Post a Comment
mohon gunakan email