Mungkin tak banyak yang tahu di balik menjulangnya gedung-gedung pencakar langit di Jalan Profesor Satrio, terselip sebuah masjid tua. Masjid tersebut adalah Masjid Hidayatullah. Alamat lengkapnya berada di Jalan Karet Depan, Kelurahan Karet Semanggi, Setia Budi, Jakarta Selatan.
Cara paling mudah untuk menjangkau lokasi Masjid Hidayatullah adalah dengan melewati Jalan Profesor Satrio yang mengarah ke Karet. Tapi dari arah Casablanca kita tidak perlu naik melewati jalan layang Kuningan. Sebab nantinya akan ada belokan kecil ke kiri, yang tepat di depannya terpasang pelang yang menerangkan lokasi Masjid Hidayatullah. Letak masjid berada tepat di belakang gedung Sampoerna Strategic.
Hawa sejuk langsung terasa begitu kita menjejakan kaki Masjid Hidayatullah. Meskipun tak dilengkapi dengan alat pendingin ruangan, tak ada sama sekali terasa gerah, walaupun kita sedang berada di lokasi tersebut pada siang hari dengan kondisi sinar matahari yang sangat terik. Hal itu karena banyaknya pepohonan yang mengelilingi masjid yang terletak tak jauh dari aliran Kali Krukut ini.
Catatan yang dimiliki pengurus masjid menyebutkan, Masjid Hidayatullah berdiri sekitar tahun 1743. Masjid dibangun di atas tanah yang diwakafkan oleh seorang pengusaha batik bernama Muhammad Yusuf. Dengan demikian, saat ini Masjid Hidayatullah telah berusia lebih dari dua abad. "Beliau menyerahkan tanah wakaf, terus pergi. Enggak tahu ke mana," ujar salah seorang pengurus masjid, Rusli saat ditemui Kompas.com, Sabtu (20/6/2015).
Bangunan Masjid Hidayatullah terdiri atas dua bangunan utama. Satu bangunan asli dan satu bangunan tambahan. Menurut Rusli, bangunan tambahan diresmikan penggunaannya pada sekitar tahun 1999. Dua tahun lalu, di bangunan tambahan dibangun sebuah menara setinggi sekitar 15 meter. Sedangkan bangunan asli merupakan bangunan yang Rusli sebut belum mengalami perubahan bentuk sejak pertama kalinya berdiri.
Ia mengatakan pengurus masjid sedang mengajukan izin renovasi masjid ke Lembaga Cagar Budaya dan Dewan Masjid Indonesia. "Masih menunggu keputusan cagar budaya dan Dewan Masjid. Karena ini bangunan bersejarah. Mau ngecat aja tidak boleh sembarangan. Harus nunggu izin. Ada plafon yang rusak, kalau mau perbaiki harus nunggu dulu. Tidak boleh kita bergerak sendiri," ujar Rusli.
Rusli mengatakan bangunan Masjid Hidayatullah adalah bangunan yang memadukan ciri khas empat kebudayaan, yakni kebudayaan Tiongkok, Betawi, Jawa, dan Arab. Ciri khas kebudayaan Tiongkok dapat dilihat dari bentuk atap bersusun yang merupakan gaya arsitektur yang banyak dipakai pada bangunan kelenteng. Sedangkan kebudayaan Betawi diwakili dengan adanya bentuk pintu dan jendela yang memiliki lubang-lubang ventilasi.
Masuk ke bagian dalam masjid, kita akan menjumpai tiang-tiang dari kayu jati yang membuat kita seolah-olah sedang berada di masjid-masjid yang ada di daratan Jawa. Dan pada tiang-tiang tersebut, kita akan menjumpai tulisan-tulisan kaligrafi Arab. "Di mimbarnya ada ukiran kembang melatinya khas dari Cina tuh," kata Rusli.
Di halaman bangunan asli Masjid Hidayatullah terdapat puluhan makam para pendiri masjid dan para keluarganya. Rusli menyebut beberapa puluh tahun silam komplek makam masih melebar sampai di bibir kali. Namun sebagian dari makam-makam tersebut harus dipindah akibat adanya perluasan jalan. "Dulu tanah masjid luas, makam-malam sampai pinggir kali. Tapi karena kita butuh jalan jadinya sebagian makam dipindah. Dibawa oleh ahli warisnya," ucap Rusli.
(Shabestan/Kompas/ABNS)
Post a Comment
mohon gunakan email