Pesan Rahbar

Home » » KEKEJAMAN UMAYYAH ABBASIYAH MENYEBABKAN NAMA IMAM ALI (AS) HANYA DIMASUKKAN SEBAGAI KHALIFAH YANG ADIL DI ZAMAN IMAM AHMAD BIN HANBAL

KEKEJAMAN UMAYYAH ABBASIYAH MENYEBABKAN NAMA IMAM ALI (AS) HANYA DIMASUKKAN SEBAGAI KHALIFAH YANG ADIL DI ZAMAN IMAM AHMAD BIN HANBAL

Written By Unknown on Monday, 8 June 2015 | 05:25:00


Makam Sayidina Husein dan masjid Karbala .Aliran Syi’ah memang dikenal sebagai aliran politik dalam Islam yang berhadapan dengan paham Ahlussunnah. Antara keduanya sering terjadi konflik yang kadang-kadang juga melibatkan penguasa. Perpecahan internal dalam Islam yang meruncing dari waktu ke waktuBerkenaan dengan konflik keagamaan itu, Syed Ameer Ali mengatakan:
“Agama Muhammad SAW seperti juga agama Isa as., terkeping-keping oleh perpecahan dan perselisihan dari dalam. Perbedaan pendapat mengenai soal-soal abstrak yang tidak mungkin ada kepastiannya dalam suatu kehidupan yang mempunyai akhir, selalu menimbulkan kepahitan yang lebih besar dan permusuhan yang lebih sengit dari perbedaan-perbedaan mengenai hal-hal yang masih dalam lingkungan pengetahuan manusia. Soal kehendak bebas manusia… telah menyebabkan kekacauan yang rumit dalam Islam …Pendapat bahwa rakyat dan kepala agama mustahil berbuat salah … menjadi sebab binasanya jiwa-jiwa berharga”. .

sejarah dan hadis tentang Nabi Muhammad saw yang sampai kepada umat Islam Sunni sekarang ada yang sudah tidak shahih karena ditulis sesuai dengan kepentingan penguasa. .

Setelah Rasulullah saw wafat dan sejak berkuasanya Dinasti Umayyah dan Abbasiyah, banyak hadits yang dibuat-buat oleh orang-orang yang tidak bertanggungjawab untuk memuliakan dan mengagungkan penguasa serta mengunggulkan mazhabnya. Karena itu, untuk memperoleh sejarah Nabi saw yang benar (shahih) harus memisahkan fakta dari fiksi dan memilah kebenaran dari berbagai dusta yang dinisbatkan kepada Muhammad saw.

Metode Studi Kritis Dalam upaya menguji kebenaran sejarah Nabi Muhammad saw, saya menggunakan tiga tahap (yang saya sebut metode studi kritis ).

Pertama, mengujinya dengan doktrin al-Quran bahwa Muhammad saw adalah teladan yang baik dan berakhlak mulia. Karena itu, saya menolak hadits atau fakta sejarah yang menggambarkan Nabi Muhammad saw pernah keliru dan tidak mengetahui bahwa dirinya seorang Nabi.

Begitu pun tentang peristiwa mendapatkan wahyu yang sampai membuat Muhammad saw ketakutan dan lari kemudian berlindung kepada istrinya (Khadijah) atau bertelanjang dada, bermesraan di depan umum, hendak bunuh diri dan lainnya, ditolak kebenarannya karena telah merendahkan derajat Nabi Muhammad saw. Sangat tidak mungkin manusia yang disebut berakhlak al-quran melakuk perilaku tidak terpuji dan seperti orang bodoh.

Kedua, mempertemukan riwayat Nabi Muhammad saw dengan pesan Allah dalam al-Quran. Jika hadits atau sunah itu sesuai dengan al-Quran maka bisa diterima. Apabila tidak, wajib ditolak. .

Ketiga, mengujinya dengan kritik sanad (orang yang mengabarkan) dan matan hadits (isi/materi) dengan tambahan analisa aliran politik dari periwayat hadits.


Tahapan studi kritis yang mantap.

saya tidak menerima hadits yang menjadi salah satu dasar pengangkatan salah seorang sahabat Nabi, yaitu Abu Bakar sebagai Khalifah karena syiah tidak mengakui kekhalifahan tiga sahabat Nabi, yaitu Abu Bakar, Umar dan Utsman .

Hadits yang tertulis dalam Shahih Bukhari tersebut, menjelaskan tentang ditunjuknya Abu Bakar oleh Nabi Muhammad Saw sebagai imam shalat, saat Nabi sedang sakit. Ini menjadi isyarat, bahwa Nabi menunjuk Abu Bakar sebagai khalifah. Syi’ah menganggap hadits tersebut meragukan, meskipun diriwayatkan oleh imam Bukhari, dan hadits tersebut termasuk sahih (kuat)

Dalam perkembangan sejarah ada beberapa skandal tentang pemberangusan kebebasan berpendapat seperti perlakuan terhadap aliran Mu’tazilah maupun kasus inkuisisi yang dilakukan Khalifah al-Makmun. Bagaimana menjelaskan ini?

Ya, saya kira pemberangusan atau pembatasan kebebasan berpendapat bahkan dimulai sejak zaman kekhalifahan Abu Bakar yang memuncak pada zaman Umar bin Khattab

Lalu, mulai bebas lagi pada masa Ali bin Abi Thalib. Pada zaman Abu Bakar, dimulai larangan periwayatan hadits. Padahal, seperti yang kita ketahui, hadits merupakan upaya para sahabat yang sezaman dengan Nabi untuk menangkap makna dari ucapan dan perilaku Nabi. Yang disebut Sunnah, menurut Fazlurrahman, adalah opini yang dikembangkan para sahabat berkaitan dengan perilaku Nabi. Mereka memberikan makna pada perilaku Nabi, dan kemudian menuliskannya. Pada zaman khalifah Abu Bakar terjadi larangan pengumpulan dan periwayatan hadits itu

Pada mulanya perpecahan Islam itu terjadi disebabkan pemikiran politik, namun lambat laun diikuti oleh perbedaan paham keagamaan. Pertikaian internal ini antara lain disebabkan:

Pertama, masalah kedudukan khalifah sebagai pengganti Nabi, apakah mesti didasarkan atas pemilihan secara demokratis (musyawarah, syura) atau berdasar tingkat kearifan yang dimiliki (melalui bai’at).Agama Muhammad SAW terkeping-keping oleh perpecahan dan perselisihan yang diawali oleh kudeta Abubakar dan Umar di Saqifah

Kedua, masalah kedudukan orang beriman, termasuk khalifah dilihat dari sudut hukum Islam. Atau tentang bagaimana cara menetapkan ukuran orang beriman. Khalifah Bani Umayyah memerintahkan pada setiap khotib jum’at harus ada kata-kata mencela Ali & keluarga.

A. Banyak pemimpin syiah yang dibunuh (seperti: Hasan, Husen ) .
B. Bani Umayyah melanggar perjanjian Madain (perjanjian antara Muawiyah dengan Husen bin Ali bin Abi Thalib). Yang isinya : “apabila Muawiyyah wafat, kekholifahan dikembalikan pada umat islam”

Ketiga, sistem pemerintahan Umayyah yang meniru gaya pemerintahan Byzantium yang sekular, menimbulkan kontra. Masyarakat pada saat itu, ingin punya pemimpin yang adil, karena mayoritas khalifa2 Bani Umayyah tidak adil.

Kelima, keinginan menafsirkan al-Qur`an yang berbeda-beda yang dilanjutkan dengan upaya merumuskan doktrin keagamaan (kalam, teologi). Pada zaman khalifah Usman bin Affan sampai zaman Umayyah terdapat beberapa golongan Muslim, yang saling berbeda pendapat mengenai berbagai masalah keagamaan.

Di antara golongan-golongan itu ialah:
(1) Golongan orang-orang Zuhud atau ahli Sunnah yang merupakan sayap ortodoksi Islam.
(2) Khawarij, yang disebut golongan puritan dan radikal, pembela teokrasi.
(3) Syi`ah, partai Ali atau kaum `Aliyun.
(4) Mawali atau Maula, orang-orang Muslim non-Arab yang berpikiran sederhana. Pada umumnya mereka adalah para tuan tanah dan pedagang. Kelak kemudian hari golongan ini merapat dengan golongan Zuhudiyah atau ahli ibadah, yang merupakan cikal bakal Ahlu Sunnah wal Jamaah (Sunni).

Pada masa selanjutnya muncul pula golongan Murji`ah, Jabariyah dan Qadariyah. Dari kalangan Qadariyah lahir golongan Mu`tazila. Apabila empat golongan yang disebut pertama muncul dari gerakan politik, baru kemudian mengembangkan pemikiran keagamaan tersendiri, maka golongan yang disebut terakhir muncul dari gerakan keagamaan, baru kemudian mendapat nuansa sebagai gerakan sosial atau politik.


Golongan Syiah. Disebut juga pengikut Ali. Syiah artinya Partai, maksudnya Partai Ali. Saingannya ialah Partai Mu`awiyah.

Hanya partai Ali yang disebut Syiah. Golongan Syiah tidak mengakui klaim Bani Umayyah sebagai pewaris kekhalifatan Islam. Bagi mereka hanya Ali dan keturunannya yang merupakan khalifah yang syah. Ali orang yang dekat dengan Nabi, dan memiliki tingkat pengetahuan agama dan kerohanian paling tinggi di antara sekalian sahabat Nabi. Menurut golongan Syiah hanya Ahli Bait (keturunan langsung Nabi) mempunyai hak ilahiyah sebagai pemimpin umat Islam.

Manakala Bani Umayyah berhasil mengokohkan kekuasaan mereka, dan pertentangan politik kian parah di antara golongan yang berlainan paham itu, dan penguasa Umayyah dianggap pembantai pengikut ahlulbait Murji`ah versus Syiah.

Pertentangan orang-orang Murji`ah dengan orang-orang Syiah terjadi oleh karena Murji`ah menyerahkan persoalan khalifah atau pengganti Nabi kepada Tuhan. Mereka tidak mendukung gagasan Syiah tentang negara teokratis Ali, yang didasarkan atas keadilan agama dan juga tidak meyakini klaim Ahli Bait sebagai pewaris kepemimpinan Nabi atas umat Islam.

Pada masa Muawiyah bin Abu Sufyan inilah suksesi kekuasaan bersifat monarchiheridetis (kepemimpinan secara turun temurun) mulai diperkenalkan, dimana ketika dia mewajibkan seluruh rakyatnya untuk menyatakan setia terhadap anaknya, yaitu Yazid bin Muawiyah. Muawiyah bin Abu Sufyan dipengaruhi oleh sistem monarki yang ada di Persia dan Bizantium, istilah khalifah tetap digunakan, namun Muawiyah bin Abu Sufyan memberikan interprestasi sendiri dari kata-kata tersebut dimana khalifah Allah dalam pengertian penguasa yang diangkat oleh Allah.

Dan kemudian Muawiyah bin Abu Sufyan dianggap tidak mentaati isi perjanjiannya dengan Hasan bin Ali ketika dia naik tahta, yang menyebutkan bahwa persoalan penggantian kepemimpinan diserahkan kepada pemilihan umat Islam. Deklarasi pengangkatan anaknya Yazid bin Muawiyah sebagai putera mahkota menyebabkan munculnya gerakan-gerakan oposisi di kalangan rakyat yang mengakibatkan terjadinya perang saudara beberapa kali dan berkelanjutan.

Ketika Yazid bin Muawiyah naik tahta, sejumlah tokoh terkemuka di Madinah tidak mau menyatakan setia kepadanya. Yazid bin Muawiyah kemudian mengirim surat kepada gubernur Madinah, memintanya untuk memaksa penduduk mengambil sumpah setia kepadanya. Dengan cara ini, semua orang terpaksa tunduk, kecuali Husain bin Ali Ibnul Abu Thalib dan Abdullah bin Zubair Ibnul Awwam. Bersamaan dengan itu, kaum Syi’ah (pengikut Ali) melakukan konsolidasi (penggabungan) kekuatan kembali, dan mengajak Husain bin Ali melakukan perlawanan.

Husain bin Ali sendiri juga dibait sebagai khalifah di Madinah, Pada tahun 680 M, Yazid bin Muawiyah mengirim pasukan untuk memaksa Husain bin Ali untuk menyatakan setia. Dalam sebuah perjalanan terjadi pertempuran yang tidak seimbang yang kemudian hari dikenal dengan Pertempuran Karbala, Husain bin Ali terbunuh, kepalanya dipenggal dan dikirim ke Damaskus, sedang tubuhnya dikubur di Karbala sebuah daerah di dekat Kufah.

Kelompok Syi’ah sendiri bahkan terus melakukan perlawanan dengan lebih gigih dan diantaranya adalah yang dipimpin oleh Al-Mukhtar di Kufah pada 685-687 M. Al-Mukhtar (yang pada akhirnya mengaku sebagai nabi) mendapat banyak pengikut dari kalangan kaum Mawali (yaitu umat Islam bukan Arab, berasal dari Persia, Armenia dan lain-lain) yang pada masa Bani Umayyah dianggap sebagai warga negara kelas dua. Namun perlawanan Al-Mukhtar sendiri ditumpas oleh Abdullah bin Zubair yang menyatakan dirinya secara terbuka sebagai khalifah setelah Husain bin Ali terbunuh. Walaupun dia juga tidak berhasil menghentikan gerakan Syi’ah secara keseluruhan.

Abdullah bin Zubair membina kekuatannya di Mekkah setelah dia menolak sumpah setia terhadap Yazid bin Muawiyah. Tentara Yazid bin Muawiyah kembali mengepung Madinah dan Mekkah. Dua pasukan bertemu dan pertempuran pun tak terhindarkan. Namun, peperangan ini terhenti karena taklama kemudian Yazid bin Muawiyah wafat dan tentara Bani Umayyah kembali ke Damaskus.

Perlawanan Abdullah bin Zubair baru dapat dihancurkan pada masa kekhalifahan Abdul Malik bin Marwan, yang kemudian kembali mengirimkan pasukan Bani Umayyah yang dipimpin oleh Al-Hajjaj bin Yusuf ats-Tsaqafi dan berhasil membunuh Abdullah bin Zubair pada tahun 73 H/692 M. Setelah itu gerakan-gerakan lain yang dilancarkan oleh kelompok Khawarij dan Syi’ah juga dapat diredakan.

pemerintahan Yazid bin Abdul-Malik cendrung kepada kemewahan dan kurang memperhatikan kehidupan rakyat. Kerusuhan terus berlanjut hingga masa pemerintahan khalifah berikutnya, Hisyam bin Abdul-Malik (724-743 M). Bahkan pada masa ini muncul satu kekuatan baru dikemudian hari menjadi tantangan berat bagi pemerintahan Bani Umayyah. Kekuatan itu berasal dari kalangan Bani Hasyimyang didukung oleh golongan mawali. Walaupun sebenarnya Hisyam bin Abdul-Malik adalah seorang khalifah yang kuat dan terampil. Akan tetapi, karena gerakan oposisi ini semakin kuat, sehingga tidak berhasil dipadamkannya.

Setelah Hisyam bin Abdul-Malik wafat, khalifah-khalifah Bani Umayyah yang tampil berikutnya bukan hanya lemah tetapi juga bermoral buruk. Hal ini semakin memperkuat golongan oposisi. Dan akhirnya, pada tahun 750 M, Daulah Umayyah digulingkan oleh Bani Abbasiyah yang merupakan bahagian dari Bani Hasyim itu sendiri, dimana Marwan bin Muhammad, khalifah terakhir Bani Umayyah, walaupun berhasil melarikan diri ke Mesir, namun kemudian berhasil ditangkap dan terbunuh di sana. Kematian Marwan bin Muhammad menandai berakhirnya kekuasaan Bani Umayyah di timur (Damaskus) yang digantikan oleh Daulah Abbasiyah, dan dimulailah era baru Bani Umayyah di Al-Andalus


Sistem Pemerintahan Thaghut Umayyah :

1. Sistem Suksesi (penggantian khalifah) Permintaan Hasan Bin Ali kepada Mu’awiyah untuk tidak menunjuk pengganti khalifah dan menyerahkan penggantinya kepada umat Islam melalui pemilihan tidak dilaksanakan oleh Mu’awiyah. Ia menunjuk anaknya Yazid sebagai putra mahkota. Penunjukan ini dilaksanakan oleh Mu’awiyah atas saran Al Mughirah bin Syu’bah. Ia berpendapat bahwa penunjukan putra Mahkota dapat menghindarkan konflik politik intern umat Islam, seperti yang terjadi pada masa sebelumnya. Cara ini terus berlanjut untuk semua khalifah, mereka selalu menunjuk putra mahkota. Dan untuk mendapatkan pengesahannya para khalifah memerintahkan para pemuka agama untuk melakukan bai’at di hadapan khalifah.Selain Bani Umaiyah tidak mempunyai kesempatan menjadi pejabat kerajaan.

2. Lembaga Syura Dewan Penasihat khalifah tidak berfungsi secara baik, mereka diangkat hanya dari kerabat khalifah sendiri sehingga lebih banyak mendukung kebijakan khalifah, dan tidak lagi memperhatikan usulan, pendapat dan kepentingan rakyat. Hal ini terjadi karena penguasa bani Umaiyah benar-benar menganggap dirinya sebagai raja yang tidak dipilih dan diangkat oleh rakyat. Mereka menjadi penguasa karena berjuang untuk merebutnya, sehinga negara adalah miliknya .

pada masa Bani Umaiyah para khalifah dan keluarganya hidup dalam kemewahan dan selalu mendapatkan penjagaan yang ketat dari para pengawalnya. Mereka berdalih, bahwa khalifah adalah pemimpin umat yang harus dijaga kewibawaannya, dan juga keamanannya, wibawa khalifah adalah wibawa umat, dan keselamatan khalifah adalah keselamatan negara.

3. Sistem Organisasi Pemerintahan Organisasi pemerintahan yang dikembangkan oleh Daulah Bani Umaiyah lebih modern dan lebih rapi. Dauah bani Umaiyah menetapkan Damaskus sebagai ibu kota pemerintahan. Dan urusan pemerintahan pusat dijalankan oleh lima dewan (departemen), yaitu :

Diwanul Jundi yang menangani urusan kemiliteran. Diwanur Rasail yang menngani urusan admnistrasi pemerintah dan surat-menyurat Diwanul Barid yang menangani urusan pos Diwanul Kharraj yang menangani urusan keuangan. Diwanul Khatam yang menangani urusan dokumentasi.

Sedangkan secara administatif wilayah kekuasaan dibagi menjadi lima kelompok wilayah propinsi, yaitu :
A. Kelompok wilayah propinsi Hijaz dan Yaman.
B. Kelompok wilayah Mesir bagian utara dan selatan.
C. Kelompok wilayah propinsi Irak Arab meliputi wilayah Babilonia dan Kaldea, dan Irak Ajam meliputi Yaman dan Persia.
D. Kelompok wilayah Armenia, Mesopotamia, dan Azerbaijan.
E. Kelompok wilayah propinsi Afrika Utara, meliputi Spanyol, Perancis bagian Selatan, serta Sicilia.

4. Angkatan Perang Angkatan Perang yang diubangun oleh Daulah Bani Umaiyah lebih banyak mencontoh model Romawi dan Persia. Yaitu membangun tentara khusus yang dibayar oleh negara. Selain itu mereka juga mengembangkan angkatan laut. Dalam rekrutmen tentara Daulah Bani Umaiayah lebih mengutamakan orang-orang Arab dari pada orang-orang Mawali atau Non Arab. Kesemuanya ini sangat mendukung kebijakan Bani Umaiaya yang mengutamakan perluasan wilayah.


Muawiyah bin Abu Sufyan MUAWIYAH I
- Memerintah: 661680
- Dinobatkan: 661
- Dilantik: 661
- Nama lengkap: Muawiyah bin Abu Sufyan
- Lahir: 602
- Meninggal 6 Mei 680
- Pendahulu: Ali
- Pewaris: Yazid I
- Pengganti: Yazid I
- Anak: Yazid I
- Wangsa: Bani Abdus Syams
- Dinasti: Bani Umayyah
- Ayah: Abu Sufyan
- Ibu: Hindun binti Utbah

Muawiyah bin Abu Sufyan (602 – 680; umur 77–78 tahun; bahasa Arab: معاوية بن أبي سفيان) bergelar Muawiyah I adalah khalifah pertama dari Bani Umayyah.

Muawiyah diakui oleh kalangan Sunni sebagai salah seorang Sahabat Nabi, walaupun keislamannya baru dilakukan setelah Mekkah ditaklukkan. Kalangan Syi’ah sampai saat ini tidak mengakui Muawiyah sebagai khalifah dan Sahabat Nabi, karena dianggap telah menyimpang setelah meninggalnya Rasulullah SAW. Ia diakui sebagai khalifah sejak Hasan bin Ali, yang selama beberapa bulan menggantikan ayahnya sebagai khalifah, dipaksa berbai’at padanya. Dia menjabat sebagai khalifah mulai tahun 661 (umur 58–59 tahun) sampai dengan 680.

Terjadinya Perang Shiffin makin memperkokoh posisi Muawiyah dan melemahkan kekhalifahan Ali bin Abu Thalib, walaupun secara militer ia dapat dikalahkan. Hal ini adalah karena keunggulan saat berdiplomasi antara Amru bin Ash (kubu Muawiyah) dengan Abu Musa Al Asy’ari (kubu Ali) yang terjadi di akhir peperangan tersebut. Seperti halnya Amru bin Ash, Muawiyah adalah seorang administrator dan negarawan biadab.

Kekhalifahan Utama di Damaskus:
1. Muawiyah I bin Abu Sufyan, 41-61 H / 661-680 M
2. Yazid I bin Muawiyah, 61-64 H / 680-683 M
3. Muawiyah II bin Yazid, 64-65 H / 683-684 M
4. Marwan I bin al-Hakam, 65-66 H / 684-685 M
5. Abdullah bin Zubair bin Awwam, (peralihan pemerintahan, bukan Bani Umayyah).
6. Abdul-Malik bin Marwan, 66-86 H / 685-705 M
7. Al-Walid I bin Abdul-Malik, 86-97 H / 705-715 M
8. Sulaiman bin Abdul-Malik, 97-99 H / 715-717 M
9. Umar II bin Abdul-Aziz, 99-102 H / 717-720 M
10. Yazid II bin Abdul-Malik, 102-106 H / 720-724 M
11. Hisyam bin Abdul-Malik, 106-126 H / 724-743 M
12. Al-Walid II bin Yazid II, 126-127 H / 743-744 M
13. Yazid III bin al-Walid, 127 H / 744 M
14. Ibrahim bin al-Walid, 127 H / 744 M
15. Marwan II bin Muhammad (memerintah di Harran, Jazira), 127-133 H / 744-750 M


Inilah Tahun Lahir dan wafat Khulafaur rasyidin Syi’ah Imamiyah Itsna Asyariah (kecuali Imam Mahdi):

1.KHALiFAH Ali bin Abi Thalib : 600–661 M atau 23–40 H Imam pertama dan pengganti yang berhak atas kekuasaan Nabi Muhammad saw. ..Dibunuh oleh Abdurrahman bin Muljam, seorang Khawarij di Kufah, Irak. Imam Ali ra. ditusuk dengan pisau beracun..

Pembunuhan beliau akibat politik adu domba (devide it impera) yang dilakukan Mu’awiyah bin Abu Sofyan untuk memecah belah pendukung Imam Ali…

Padahal meninggal kan itrah ahlul bait = meninggal kan QURAN, itrah ahlul bait dan Quran adalah satu tak terpisahkan ! Aswaja Sunni meninggalkan hadis 12 imam lalu berpedoman pada sahabat yang cuma sebentar kenal Nabi seperti Abu hurairah dan ibnu Umar .

Menurut ajaran sunni : - Imam Ali berijtihad – Mu’awiyah berijtihad – Jadi keduanya benar ! Pihak yang salah dapat satu pahala !

Pihak yang benar ijtihad dapat dua pahala Ajaran sunni tersebut PALSU !! Ijtihad yang salah lalu si mujtahid berpahala hanya pada PERKARA/MASALAH yang belum ada nash yang terang, misal :Apa hukum melakukan bayi tabung pada pasangan suami isteri yang baru setahun nikah dan belum punya anak ??

Mu’awiyah membunuh orang tak berdosa, Aisyah membunuh orang yang tak berdosa !! Dalam hukum Allah SWT : “”hukum membunuh orang yang tak berdosa adalah haram”” ( nash/dalil nya sudah terang dan jelas tanpa khilafiyah apapun yaitu QS.An Nisa ayat 93 dan Qs. Al hujurat ayat 9 ) … Membunuh sudah jelas haram, jika saya membunuh ayah ibu anda yang tidak berdosa lalu saya katakan bahwa saya salah ijtihad, apakah murid TK tidak akan tertawa ???????

Nabi SAW saja pernah bersabda : “” Seandainya Fatimah binti Muhammad mencuri, niscaya aku sendiri yang akan memotong tangan nya”” … Tidak ada istilah kebal hukum didepan Nabi SAW


Saudaraku….
Tanggapan syi’ah tentang bai’at Imam Ali : Imam Ali r.a dan Syiah membai’at Abubakar sebagai sahabat besar dan pemimpin Negara secara the facto, seperti hal nya anda mengakui SBY sebagai Presiden R.I…


Saudaraku..

- Imam Ali terpaksa membai’at Abubakar karena ingin memelihara umat agar tidak mati sia sia dalam perang saudara melawan Pasukan Abubakar dibawah pimpinan Khalid Bin Walid yang haus darah - Dengan mengalah Imam Ali telah menyelamatkan umat Islam dari kehancuran..Kalau perang saudara terjadi dan imam Ali tidak membai’at Abubakar maka tidak ada lagi Islam seperti yang sekarang ini Akan tetapi…..syi’ah dan Imam Ali tidak mengakui tiga khalifah sebagai pemimpin keagamaan dan pemimpin negara secara yuridis ( imamah ) seperti halnya anda menginginkan Presiden R.I mestinya adalah orang yang berhukum dengan hukum Allah.
Karena keimamam itu bukanlah berdasarkan pemilihan sahabat Nabi SAW, tapi berdasarkan Nash dari Rasulullah SAW… Apa bukti Ahlul bait sampai matipun menolak Abubakar sebagai pemimpin keagamaan dan pemimpin negara secara yuridis ??? Ya, buktinya Sayyidah FAtimah sampai mati pun tidak mau memaafkan Abubakar dan Umar cs.
2.KHALiFAH Hasan bin Ali : 624–680 M atau 3–50 H Diracuni oleh istrinya di Madinah atas perintah dari Muawiyah I Hasan bin Ali adalah cucu tertua Nabi Muhammad lewat Fatimah az-Zahra. Hasan menggantikan kekuasaan ayahnya sebagai khalifah di Kufah. Berdasarkan perjanjian dengan Muawiyah I, Hasan kemudian melepaskan kekuasaannya atas Irak.
3.KHALiFAH Husain bin Ali : 626–680 M atau 4–61 H Husain adalah cucu dari Nabi Muhammad saw. yang dibunuh ketika dalam perjalanan ke Kufah di Karbala. Husain dibunuh karena menentang Yazid bin Muawiyah..Dibunuh dan dipenggal kepalanya di Karbala.


4.KHALiFAH Ali bin Husain : 658-712 M atau 38-95 H Pengarang buku Shahifah as-Sajadiyyah yang merupakan buku penting dalam ajaran Syi’ah…wafat karena diracuni oleh orang suruhan Khalifah al-Walid di Madinah.
5.KHALiFAH Muhammad al-Baqir : 677–732 M atau 57–114 H Muhammad al-Baqir diracuni oleh Ibrahim bin Walid di Madinah, Arab Saudi, atas perintah Khalifah Hisyam bin Abdul Malik.
6. KHALiFAH Ja’far ash-Shadiq : 702–765 M atau 83–148 H beliau diracuni atas perintah Khalifah al-Mansur di Madinah..Beliau mendirikan ajaran Ja’fariyyah dan mengembangkan ajaran Syi’ah. Ia mengajari banyak murid dalam berbagai bidang, diantaranya Imam Abu Hanifah dalam fiqih, dan Jabar Ibnu Hayyan dalam alkimia.
7.KHALiFAH Musa al-Kadzim : 744–799 M –atau 128–183 H Dipenjara dan diracuni oleh Harun ar-Rashid di Baghdad.
8.KHALiFAH Ali ar-Ridha : 765–817 atau 148–203 H beliau diracuni oleh Khalifah al-Ma’mun di Mashhad, Iran.
9.KHALiFAH Muhammad al-Jawad : 810–835 M atau 195–220 H Diracuni oleh istrinya, anak dari al-Ma’mun di Baghdad, Irak atas perintah Khalifah al-Mu’tashim.
10.KHALiFAH Ali al-Hadi : 827–868 M atau 212–254 H beliau diracuni di Samarra atas perintah Khalifah al-Mu’tazz.
11.KHALiFAH Hasan al-Asykari : 846–874 M atau 232–260 H beliau diracuni di Samarra, Irak atas perintah Khalifah al-Mu’tamid. Pada masanya, umat Syi’ah ditekan dan dibatasi luar biasa oleh Kekhalifahan Abbasiyah dibawah tangan al-Mu’tamid.
12.KHALiFAH Mahdi : Lahir tahun 868 M atau 255 H beliau adalah imam saat ini dan dialah Imam Mahdi yang dijanjikan yang akan muncul menjelang akhir zaman.. Sebelum beliau muncul, Iran menyiapkan “Fakih yang adil” sebagai pengganti sementara, misal : Ayatullah Khomeini dan Ayatullah Ali Khamenei

_________________________________

CARA SiSTEMATiS UMAYYAH ABBASiYAH MEMALSU AGAMA

Doktrin Aswaja ikut dibentuk oleh Bani Umayyah dan Bani Abbasiyah dengan cara:
(1) Melaknati dan memerintah kaum Muslim untuk mentradisikan pelaknatan Imam Ali as., seperti apaa yang ditradisikan oleh Mu’awiyah dan para raja bani Umayyah tekutuk!
(2) Mengejar-ngejar dan membantai para pecinta Imam Ali as. seperti apaa yang ditradisikan oleh Mu’awiyah dan para raja bani Umayyah tekutuk serta sebagian raja bani Abbas!
(3) Mengintimidasi dan menghukum siapa saja yang dituduh mencintai Imam Ali dan Ahlulbait as.


(4) Menuduh siapa saja yang mencintai Imam Ali dan Ahlulbait dengan berbagai tuduhan kejam, seperti Syi’ah atau Rafidhah!
(5) Mencacat siapa saja yang meriwayatkan hadis-hadis Nabi saw. tentang keutamaan Imam Ali dan Ahlulbait dengan berbagai pencacatan tidak berdasar dan palsudan sekaligus menuduhnya sebagai Syi’ah atau Rafidhah!
(6) Memusnahkan atau merahasiakan sebisa mungkin hadis-hadis Nabi saw. tentang keutamaan Imam Ali dan Ahlulbait as. agar tidak menyebar dan mengguga kesadaran umat Islam akan kemuliaan keistimewaan Ahlulbait as.
(7) Menyebarkan hadis-hadis palsu keutamaan musuh-musuh Imam Ali dan Ahlulbait as. sebagai usaha menandingi keisitimewaan Imam Ali dan Ahlulbait as.
(8) Menyetir perawi perawi hadis agar membuang hadis yang merugikan mereka dan membuat hadis hadis palsu untuk kepentingan mereka
(9) Membungkam perawi perawi yang tidak memihak mereka dengan segala cara
(10) Mereka secara turun temurun membantai anak cucu Nabi SAW , menteror dan menyiksa pengikut/pendukung mereka (syi’ah)
(11)Mereka mempropagandakan dan menanamkan dalam benak umat bahwa syi’ah itu rafidhah sesat berbahaya dan agar umat menjauhi anak cucu ahlul bait
(12) sebuah institusi sangat penting dalam sejarah perkembangan sekte Sunni, yakni Universitas Nizamiyya, lembaga pendidikan yang didirikan oleh Perdana Menteri Nizam al-Mulk yang berkuasa tahun 1063 M/465 H.

Inilah universitas yang didirikan oleh perdana menteri dinasti Saljuk yang sangat cinta ilmu itu untuk menyebarkan doktrin Sunni, terutama Ash’ariyyah dan Syafi’i . Di universitas itu, beberapa ulama besar yang sudah kita kenal namanya sempat melewatkan waktu untuk mengajar, seperti Imam Ghazali dan gurunya, Imam al-Juwayni. Karena faktor DUKUNGAN PENGUASA mazhab sunni bisa cepat tersebar


Beda utama Syi’ah – Sunni:

Sunni :
1. Nabi SAW tidak menunjuk siapa penggantinya
2. Fokus pedoman : Sahabat
3. Semua sahabat adil

Mu’awiyah di dalam khutbahnya dishalat Jum’at telah mengutuk ’Ali, Hasan dan Hussein. Mu’awiyah juga mengintruksikan didalam semua forum jamaah ketika dia berkuasa supaya mengutuk manusia yang suci itu (baca keluarga Rasul) Justru itu siapapun yang bersatupadu dengan manusia yang terkutuk itu (baca Mu’awiyah) dan merasa senang dengan tindakan mereka (baca komunitas Mu’awiyah) tidak pantaskah untuk dikutuk? Dan ketika dia sedang bersekutu dengan manusia seperti itu, jika dia membantu mereka dalam memalsukan Hadist dari Ahlulbayt (keluarga/keturunan Rasul) dan memaksakan manusia untuk melakukan kutukannya kepada manusia suci ini (baca ’Ali, Fatimah, Hasan dan Husen), Pengaruh fitnah mereka ini sangat besar sekali, sehingga tanpa disadari telah menyelinap ke kalangan sebagia Ahlusunnah dan mempengaruhi alur berpikir sebagian mereka.

Dalam makalah ini saya akan sajikan bebarapa kasus kekejaman para tiran dan para ulama Nawâshib (yang mengaku Ahlusunnah, tapi saya yakin mereka bukan Ahlusunnah) dalam memerangi Sunnah Nabi saw. tentang keutamaan Imam Ali as.

_________________________________

MASALAH KHALiFAH

Lalu Zaid berkata ”pada suatu hari Rasulullah SAW berdiri di hadapan kami di sebuah tempat yang bernama Ghadir Khum seraya berpidato, maka Beliau SAW memanjatkan puja dan puji atas Allah SWT, menyampaikan nasehat dan peringatan. Kemudian Beliau SAW bersabda “Ketahuilah wahai manusia sesungguhnya aku hanya seorang manusia. Aku merasa bahwa utusan Tuhanku (malaikat maut) akan segera datang dan Aku akan memenuhi panggilan itu. Dan Aku tinggalkan padamu dua pusaka (Ats-Tsaqalain).

Yang pertama Kitabullah (Al-Quran) di dalamnya terdapat petunjuk dan cahaya,maka berpegang teguhlah dengan Kitabullah”. Kemudian Beliau melanjutkan, “dan Ahlul Bait-Ku, kuperingatkan kalian kepada Allah akan Ahlul Bait-Ku, kuperingatkan kalian kepada Allah akan Ahlul Bait-Ku, kuperingatkan kalian kepada Allah akan Ahlul Bait-Ku”

Hadis di atas terdapat dalam Shahih Muslim, perlu dinyatakan bahwa yang menjadi pesan Rasulullah itu adalah sampai perkataan “kuperingatkan kalian kepada Allah akan Ahlul Bait-Ku”

Hanya karna dukungan politik dari ulama ulama Bani Umayyah dan ulama ulama Bani Abbasiah keempat mazhab aswaja sunni dapat berkembang ditengah masyarakat ( Silahkan lihat dikitab Ahlu Sunnah, Al Intifa’Ibnu Abdul Bar, Dhahral Al Islam Ahmad Amin dan manakib Abu Hanifah Al Muwafiq )


Saudaraku….

banyak cara ditempuh untuk mengubur hasil perjuangan Imam Husain as. di padang Karbala’ demi menegakkan agama datuknya; Rasulullah saw. dan membongkar kedok kepalsuan, kemunafikan dan kekafiran rezim Bani Umayyah yang dilakonkan oleh sosok Yazid yang bejat lagi munafik…

Banyak cara licik ditempuh, mulai dari menutup-nutupi kejahatan Yazid dan menampilkannnya sebagai seorang Khalifah yang adil dan bertanggung jawab akan perjalanan Risalah Allah, atau mencarikan uzur dan pembelaan atas apa yang dilakukannnya terhadap Imam Husain dan keluarga suci Nabi saw., terhadap penduduk kota suci Madinah yang ia perintahkan pasukannya agar menebar kekejaman yang tak tertandingi dalam sejarah Islam, membantai penduduknya, dan memperkosa gadis dan wanita; putri-putri para sahabat Anshar -khususnya- dll. hingga membuat-buat kepalsuan atas nama agama tentang keagungan hari Asyûrâ’ dan keutamaan berpuasa di dalamnya.

Pada hari Asyura tahun 61 hijriah, padang Karbala saat itu menyaksikan peristiwa heroik yang ditampilkan oleh cucu kesayangan Rasulullah Saw, Imam Husein as dan para sahabatnya yang setia. Pada saat yang sama, Imam Ali Zainal Abidin as, putra Imam Husein as, tergeletak sakit di kemah. Kondisi itu membuat Imam Ali Zainal Abidin as tidak dapat bangkit membantu ayahnya dan para pejuang Karbala. Akan tetapi jiwa Imam Ali Zainal Abidin as yang juga dikenal al-Sajjad atau orang yang banyak bersujud, tak dapat ditahan untuk membantu ayahnya, tapi raga sama sekali tak mengizinkan.

Kondisi sakit Imam Ali Zainal Abidin pada hari Asyura mengandung hikmah ilahi dan rahasia Tuhan. Setelah peristiwa Asyura, Imam al-Sajjad mengemban tanggung jawab kepemimpinan demi menjaga risalah kenabian Rasulullah Saw.

Sejarah mencatat, tatkala pertempuran di padang Karbala bergolak, Imam Sajjad as mendengar suara ayahnya, Imam Husein as yang berkata: “Siapakah yang menolongku?”, dalam keadaan lemah beliau pun berusaha bangkit hendak memenuhi panggilan ayahnya. Namun melihat hal itu, Ummi Kultsum, bibi beliau pun berusaha menahannya pergi lantaran masih lemahnya kondisi kesehatan Imam Sajjad as.

Dengan penuh harapan, beliau berkata, “Bibi, ijinkan aku pergi berjihad bersama putra Rasulullah Saw”. Akan tetapi, karena lemahnya kondisi jasmani beliau, Imam pun tak mampu mengantarkan dirinya ke garis pertempuran. Hingga akhirnya takdir pun menyelamatkan beliau dan cita-cita kebangkitan Imam Husein dapat terus diperjuangkan.

Imam al-Sajjad menerima tanggung jawab kepemimpinan atau imamah pada umur 23 tahun. Tanggung jawab itu diterima saat kondisi sangat pelik. Pada masa itu, Dinasti Bani Umayyah berkuasa. Masyarakat saat itu jauh dari ajaran murni agama Islam. Akan tetapi penguasa saat itu berpenampilan religius, tapi pada dasarnya bertujuan membabat habis nilai-nilai agama.

Dinasti Umayyah di masa itu juga berusaha mengesankan kebangkitan Imam Husein sebagai langkah ekstrim yang keluar dari ajaran agama. Bani Umayyah berupaya menghapuskan pesan Imam Husein di padang Karbala supaya tidak sampai ke masyarakat. Di tengah kondisi seperti itu, Imam Ali Zainal Abidin as berusaha menjelaskan tujuan-tujuan penting kebangkitan Imam Husein as sehingga konspirasi musuh yang berupaya memojokkan posisi Ahlul Bait as dihadapkan pada kegagalan total.

Imam Ali Zainal Abidin as bersama Sayidah Zainab as memegang peran penting dalam menyampaikan pesan-pesan gerakan Imam Husein as kepada masyarakat. Salah satu lembaran penting dalam sejarah pasca Peristiwa Karbala adalah pidato tegas Imam al-Sajjad di masjid Bani Umayyah, Syam.

Dengan pidatonya, Imam al-Sajjad mampu menyampaikan pesan revolusionernya dengan landasan argumentasi kuat dan logis. Saat Imam as digelandang bersama para tawanan Karbala dan sampai di kota Kufah, beliau melontarkan orasi yang sangat memukau dan menyentuh, sampai-sampai seluruh warga kota Kufah seakan tersihir oleh orasi beliau. Setelah memaparkan tentang keutamaan Ahlul Bait Nabi dan Imam Husein as, beliau berbicara kepada warga Kufah, “Wahai umat manusia, demi Allah aku bersumpah dengan kalian, apakah kalian ingat, kalian sendiri yang telah menulis surat kepada ayahku, namun setelah itu kalian menipunya? Kalian menjalin janji dan berbaiat kepadanya, namun kalian juga yang memeranginya? Lantas dengan mata yang mana lagi kalian akan melihat saat Rasulullah Saw di hari Kiamat kelak berkata, “Kalian telah bunuh Ahlul Baitku dan mematahkan kehormatanku!”

Puncak orasi Imam Sajjad as saat beliau berpidato di hadapan khalifah zalim, Yazid bin Muawiyah di Syam. Seluruh kejahatan dan kebobrokan penguasa zalim itupun diungkap secara jelas oleh Imam as hingga Yazid kehilangan muka. Dalam salah satu bagian pidatonya, Imam Sajjad as menuturkan, “Wahai umat manusia, Allah Swt menganugerahkan keutamaan-keutamaan seperti keilmuan, kesabaran, kedermawanan, kelugasan dan keberanian kepada Ahlul Bait Rasulullah Saw. Allah juga menganugerahkan kecintaan kepada Ahlul Bait pada hati orang-orang mukmin.”

Beliau menambahkan, “Wahai umat manusia, barangsiapa yang tidak mengenal aku, maka aku akan mengenalkan diriku.” Dikatakannya, “Akulah putra Fatimah, akulah putra seorang yang syahid saat bibirnya kering kehausan”.

Imam pun terus menegaskan keutamaan diri dan keluarganya hingga masyarakat Syam pun menangis penuh penyesalan. Untuk memotong pidato Imam Sajjad, Yazid pun memerintahkan untuk melantunkan azan. Pidato Imam al-Sajjad membuat kondisi kota Syam yang juga pusat pemerintahan dinasti Umayyah saat itu menjadi kalang kabut. Bahkan para petinggi Bani Umayyah memutuskan untuk segara membawa Imam Husein dan para tawanan keluarga Nabi lainnya ke Madinah.

Tak dapat dipungkiri, pidato Imam Sajjad berhasil membangkitkan nurani masyarakat kota Syam yang selama ini dikuasai Dinasti Bani Umayyah. Di pusat pemerintahan, para petinggi Bani Umayyah tidak mampu menghalau pidato-pidato Imam Ali Zainal Abidin as yang memancarkan semangat revolusi dan gerakan anti-arogansi. Pencerahan Imam Sajjad as secara perlahan, mampu membangkitkan semangat umat Islam untuk melawan kezaliman di berbagai penjuru. Karena itu, pasca tragedi Karbala muncul belbagai gerakan kebangkitan menentang ketidakadilan pemerinatahan Bani Umayyah.

Setiba di kota Madinah, Imam al-Sajjad terus melanjutkan pidato-pidato pencerahannya yang isinya menyingkap kezaliman penguasa Bani Umayyah. Sementara itu, para penguasa Bani Umayyah kian bersikap sewenang-wenang. Saat itu, perjuangan utama Imam Sajjad as mempunyai misi untuk meluruskan pandangan masyarakat dan meningkatkan kesadaran umat.

Peran dan jasa berharga Imam Sajjad as pasca tragedi Asyura adalah menyebarkan risalah doa dan munajat yang sangat luhur. Kini kumpulan doa-doa dan munajat beliau itu dihimpun dalam sebuah kitab bernama Sahifah Sajjadiyah. Kendati doa dan munajat Imam Husein merupakan naskah doa, namun di dalamnya mengandung muatan ajaran Islam yang sangat luhur mengenai filsafat hidup, penciptaan, keyakinan, moral dan politik.

Imam al-Sajjad as dalam salah satu doanya mengatakan, “Ya Allah berilah kami kekuatan untuk mampu menjaga sunnah Nabi-Mu, dan berjuang melawan bid’ah-bid’ah, serta melaksanakan kewajiban amar ma’ruf nahi munkar.” Al-Sajjad dalam sejarah hidupnya selalu memanfaatkan setiap kesempatan untuk mengungkap misteri di balik tragedi Karbala. Imam Ali Zainal Abidin as selalu meneteskan air mata dan menunjukkan duka yang mendalam saat menceritakan peristiwa pembantaian terhadap keluarga Nabi pada hari Asyura. Duka yang ditunjukkan Imam Sajjad as itulah yang akhirnya mampu membangkitkan semangat juang umat Islam dalam melawan kezaliman Bani Umayyah. Imam al-Sajjad as juga dikenal sebagai sosok pemaaf, pengasih dan populis.

Imam Ali Zainal Abidin as gugur syahid pada tahun 95 hijrah setelah penguasa Bani Umayyah, Walid bin Abdul Malik mengeluarkan perintah untuk meracuni al-Sajjad as

Imamah dan kepemimpinan merupakan prinsip dan pondasi penting agama Islam. Kedua masalah ini, di samping prinsip-prinsip lainnya, mewujudkan eksistensi Islam. Keuniversalan agama Islam membuatnya tidak bergantung pada lainnya. Kedua prinsip ini sebagai penjaga hukum, undang-undang dan nilai-nilai ilahi. Bahkan lebih dari itu, begitu pentingnya prinsip ini juga sebagai penjamin keberlangsungan hasil dari prinsip-prinsip yang lain. Keberadaan dan peran dari prinsip Imamah menjamin tauhid, keadilan ilahi, kenabian dan hari akhir menjadi lebih realistis; mulai dari sisi teoritis hingga praktis. Manusia dengan mudah dapat merasakan itu dan memanfaatkannya.

Dalam sistem politik Islam, prinsip Imamah dan kepemimpinan keberadaan dan perannya tidak diragukan lagi. Prinsip Imamah dan kepemimpinan adalah langkah awal untuk mendirikan sebuah pemerintahan Islam yang pada gilirannya menyiapkan kondisi dan fasilitas demi terlaksananya undang-undang politik, sosial, ekonomi, militer, moral, pendidikan, hukum dan peradilan di tengah-tengah masyarakat berdasarkan Islam. Kewajiban, peran dan dampak penting dari prinsip Imamah dan kepemimpin dalam ajaran Islam menjadi tanggung jawab seorang Imam dan pemimpin. (Ghurar al-Hikam, jilid 2, hal 29) Pada saat yang bersamaan, setiap orang diwajibkan untuk mengetahui Imam di zamannya. (Farhang Sukhanan Emam Hossein as, penerbit Masyhur, hal 92) Ketaatan terhadap seorang Imam identik dengan ketaatan terhadap Allah Swt. (Ghurar al-Hikam, jilid 2, hal 208) Dan para Imam menjadi saksi atas perbuatan manusia.(Ghurar al-Hikam, jilid 2, hal 206)

Dalam peristiwa Asyura, terjadi pertemuan dan bincang-bincang antara Imam Husein as dengan Imam Sajjad as. Sebuah percakapan bersejarah. Pembicaraan itu bila diteliti menunjukkan posisi dan pentingnya Imamah dan kepemimpinan.

Imam Sajjad as dalam peristiwa Asyura menderita sakit. Penderitaan yang membuatnya tidak dapat ikut serta dalam peperangan itu. Sakit membuatnya tidak dapat berjihad di samping ayahnya. Ketidakmampuannya untuk ikut dalam membela kebenaran yang diusung oleh Imam Husein as membuatnya sangat bersedih.

Pada detik-detik terakhir peristiwa Asyura, Imam Husein as untuk terakhir kalinya menyambangi anaknya, Imam Sajjad as. Pertemuan untuk terakhir kalinya. Ketika Imam Husein as mendekat anaknya, ia ditanya, “Ayah! Hari ini apa yang engkau lakukan dengan orang-orang munafik?”

Imam Husein as menjawab, “Wahai anakku! Setan telah mengalahkan mereka. Setan berhasil menyingkirkan rasa mengingat Allah dari hati mereka. Perang akhirnya merupakan pilihan yang tidak dapat dielakkan. Mereka bak orang kehausan sampai berhasil melihat bumi menyerap semua darah kami.” Imam Sajjad kembali bertanya, “Pamanku Abbas di mana?”

Imam Husein as menjawab, “Wahai anakku! Pamanmu dibunuh. Jasadnya berada dekat sungai Furat. Tangannya terpotong.”

Mendengar penjelasan ayahnya, Imam Sajjad menangis tersedu-sedu. Ia kemudian bertanya, “Bagaimana kabar Ali, saudaraku dan rombongan yang lain?”

Imam Husein as menjawab, “Anakku! Ketahuilah bahwa di perkemahan kita tidak ada lagi orang yang tersisa, selain kita berdua. Semua orang yang engkau Tanya telah tewas berkalang tanah.”

Kembali Imam Sajjad as menangis tersedu-sedu. Ia kemudian memohon kepada Zainab agar mengambilkan tongkat dan pedangnya.

Imam Husein as ganti bertanya, “Apa yang ingin engkau lakukan dengan tongkat dan pedang?”

Imam Sajjad as menjawab, “Dengan tongkat aku dapat menyanggah tubuhku. Dan dengan pedang aku akan membela keturunan Nabi saw.”

Imam Husein as memanggil Ummu Kultsum dan berkata, “Jaga dia! Tidak boleh terjadi bumi kosong dari Alur Muhammad (keluarga Muhammad).” (Farhang Sukhanan Emam Hossein as, hal 539-540)

Sekejap, Imam Husein as dapat merasakan mengapa anaknya mengucapkan hal itu. Ucapan dan sikap yang lahir dari rasa tanggung jawab yang tinggi, sekalipun dalam kondisi sakit dan lemah. Sebuah keputusan yang lahir dari semangat melawan musuh. Namun, Imam Husein as melarang anaknya untuk ikut berperang. Argumentasinya adalah Imam Sajjad as harus tetap hidup. Ia harus hidup untuk masa yang akan datang. Masa yang menuntut tanggung jawab yang besar dari prinsip Imamah dan kepemimpinan.Imam Sajjad as harus tetap hidup agar prinsip ini tetap langgeng, tidak terputus. Kematian Imam Sajjad as berarti terputusnya prinsip Imamah dan sama dengan kosongnya bumi dari seorang Imam dan pemimpin.


Tiba saatnya Imam Husein as harus mengucapkan salam perpisahan kepada anaknya.

Pertama, beliau menasihati keluarganya bahwa setelah ia terbunuh, mereka semua bakal ditawan. Kedua, beliau membeberkan rencana dan tugas yang harus diemban oleh mereka. Dan yang bertanggung jawab penuh dalam tugas ini adalah imam Sajjad as. Mereka harus menyampaikan dan menyingkap semua keteraniayaan Imam Husein as dan sahabat-sahabatnya.

Nasihat Imam Husein as kepada anaknya, “Kapan saja anggota keluarga berteriak akibat beratnya cobaan, maka engkau yang harus mendiamkan mereka!

Kapan saja mereka merasa ketakutan, maka engkau yang bertugas menenangkan mereka!

Pikiran mereka yang bercabang harus engkau satukan dengan ucapan yang dapat menenangkan!

Ini harus engkau lakukan karena orang yang menjadi tempat pengaduan mereka telah tiada selain engkau. Biarkan mereka dengan keadannya sehingga dapat merasakan kehadiranmu dan engkau dapat merasakan penderitaan mereka. Lakukan ini agar mereka menangisimu dan engkau menangisi mereka.”

Setelah itu, Imam Husein as memegang dan mengangkat tangan Imam Sajjad as. Dengan nada tinggi ia berkata kepada anak-anak dan wanita Ahlul Bait, “Dengarkan ucapanku!

Ketahuilah! Ini adalah anakku dan khalifahku untuk kalian. Ia adalah Imam yang wajib untuk ditaati”. (Farhang Sukhanan Emam Hossein as, hal 541-542)

Percakapan antara Imam Husein as dengan Imam Sajjad as dan keluarganya pada detik-detik terakhir peristiwa Asyura sangat jelas dan kuat menekankan posisi, peran dan nilai “Imamah dan kepemimpinan”. Pentingnya masalah ini dengan memperkenalkan Imam dan pemimpin setelahnya. Imam dan pemimpin bagi khilafah, wilayah dan pemerintahan atas masyarakat dan negara Islam.

Prinsip Imamah dan kepemimpinan hadir di tengah-tengah peristiwa Karbala. Hadir dan dapat dirasakan dalam semua tahapan-tahapan kejadian Karbala. Imamah dan kepemimpin mengawasi jalannya peristiwa bersejarah ini agar sahabat-sahabatnya tidak keluar dari garis itu. Dan yang terpenting pada detik-detik terakhir Asyura prinsip Imamah dan kepemimpinan ditetapkan, bahkan suksesi berjalan sempurna. Imamah dan kepemimpinan tidak berhenti, namun hadir dalam bentangan sejarah pada semua generasi dan di setiap zaman.

Pasca syahadahnya Imam Husein bin Ali as beserta sejumlah keluarga dan sahabatnya di Padang Karbala, keluarga yang beliau tinggal mengalami penderitaan yang tak terhingga dan mereka menjadi tawanan. Sungguh pemandangan yang sangat mengiriskan di mana mereka yang mengaku pecinta Nabi, kini dengan tega membantai cucu beliau dan tak puas dengan itu, mereka membelenggu keturunannya serta diseret sebagai tawanan. Ibnu Ziyad sebelum para tawanan tiba di istananya mengizinkan setiap orang untuk memasuki kediamannya tersebut.

Setelah warga penuh sesak memasuki istana Ibnu Ziyad, ia memerintahkan keluarga Imam Husein untuk dihadirkan di hadapan khalayak. Ubaidullah bin Ziyad mengambil tongkat kayu seraya memukul kepala mulia Imam Husain as dan menyatakan bahwa kejadian ini merupakan kemenangan baginya di medan laga, dan terbunuhnya Imam Husain merupakan kehendak-Nya. Saat itulah ia mendapatkan jawaban yang mematikan dan sangat pedas dari Zainab as dan Imam Ali bin Imam Husain as yang menyebabkan kehinaan Yazid dan para keturunan Yazid.

Saat itu, Ibnu Ziyad menoleh ke Imam Sajjad dan bertanya ?
Siapa namamu ?
Imam menjawab: Saya, Ali bin Husein as.
Ibnu Ziyad berkata: Bukannya Ali bin Husein telah dibunuh oleh Allah Swt.
Imam menjawab: Saya punya saudara tua bernama Ali dan ia dibunuh oleh rakyat.
Ibnu Ziyad membantah: Ia bukannya dibunuh rakyat, namun Allah yang membunuhnya.

Imam Sajjad: Memang benar setiap manusia akan mati jika Allah menghendaki dan tanpa izin Allah kematian tidak akan menjemput manusia. Ibnu Ziyad tidak dapat menahan amarahnya atas jawaban Imam Sajjad dan memerintahkan anak buahnya untuk memenggal Imam yang tengah sakit tersebut. Saat itulah Zainab, saudari Imam Husein bangkit menjadi tameng keponakannya.

Dengan tegas Imam Sajjad berkata kepada Ibnu Ziyad, Apakah hingga kini kamu belum memahami bahwa kematian adalah tujuan kami dan kesyahidan merupakan kebanggaan kami ?

Imam Sajjad seperti ayah dan kakek-kakeknya memiliki keutamaan, ketinggian ilmu dan kesempurnaan. Di depan warga Kufah, Imam Sajjad as berpidato. Beliau berkata,”Wahai manusia, barangsiapa mengenalku, dia telah mengenalku. Dan barangsiapa tidak mengenalku, ketahuilah bahwa aku adalah Ali bin Husain bin Ali bin Abi Thalib. Akulah putra yang dirusak kehormatannya, dihilangkan kenikmatannya, dirampas hartanya, dan ditawan keluarganya. Akulah putra yang disembelih di sisi sungai Furat.

Akulah putra orang yang telah dibunuh dalam keadaan sabar, dan cukuplah semua itu sebagai kebanggaanku. Wahai manusia, aku minta kalian bersumpah kepada Allah; apakah kalian tahu bahwa sesungguhnya kalian telah menulis dan memberikan janji serta baiat kepada ayahku, lalu kalian membunuhnya? Maka, celakalah kalian atas apa yang telah kalian berikan untuk diri kalian! Dengan pandangan macam apa kalian akan melihat Rasulullah saww jika berkata kepada kalian, ‘Kalian semua telah membunuh putraku, telah merusak kehormatanku! Kalian bukan umatku!'”

Pasca syahadahnya Imam Husein as,kondisi kehidupan umat Islam kian sulit. Di kondisi seperti inilah, Imam Sajjad as bangkit meneruskan perjuangan ayahnya menyelamatkan Islam dari kehancuran total. Beliau menyadari sepenuhnya bahwa yang menyebabkan gugurnya Imam Husein bukan hanya Yazid dan kroninya, namun masih terdapat musibah yang lebih besar dan itu adalah kebodohan serta kelalaian umat Islam sendiri.

Sementara itu, Bani Umayyah setelah wafatnya Rasulullah Saw mengerahkan segenap usahanya untuk menghapus nama serta pengaruh nabi beserta keluarganya di tengah masyarakat Islam. Dampaknya adalah munculnya kembali era jahiliyah di tengah-tengah masyarakat. Ketika itulah, Imam Sajjad bangkit untuk menyelamatkan umat. Jalan yang ditempuh Imam berbeda dengan ayahnya, beliau memilih mengobarkan revolusi budaya dan hal ini dikemas Imam melalui doa-doa yang beliau panjatkan.

Tak diragukan lagi bahwa doa bukan sekedar ibadah, namun merupakan cahaya yang bangkit dari jiwa orang-orang yang berdoa. Doa juga merupakan kekuatan paling kokoh sebagai energi yang dihasilkan oleh seseorang. Menurut Alexis Carreel, “Pengaruh doa bagi jiwa dan fisik manusia tak kalah dengan mensekresi kelenjar badan. Kelenjar ini dapat diditeksi dengan bertambahnya daya berfikir, moral serta bertambahkan pemahaman seseorang. Dengan doa manusia menyingkap rasa egoisme, puas diri, bodoh dan ketakutan yang ada di dalam dirinya. Kemudian di dalam dirinya akan timbul akhlak terpuji dan kerendahan diri yang masuk akal.

Dengan demikian jiwa seseorang akan berpetualang inayah dan kelembutan Allah Swt. Sebagai seorang dokter saya mengatakan bahwa kekuatan doa seperti daya grafitasi bumi dan doa juga yang dapat mengalahkan ketentuan alam.”

Imam Sajjad dengan doa-doanya memberikan pelajaran kepada manusia faktor-faktor yang mendukung hidup sehat, teratur dan indah. Dengan doanya Imam juga menyebarkan budaya membenahi diri sehingga keselamatan mental masyarakat terjamin. Di kumpulan doa-doa Imam Sajjad, Sahifah Sajjadiyah, beliau dalam doanya menggunakan ibarat seperti keselamatan, hikmah dan keamanan. Imam memiliki metode tersendiri dalam doanya.

Pertama-tama beliau mengenalkan sosok manusia sempurna. Karena tanpa adanya pengenalan terhadap manusia sempurna kekurangan pada diri manusia tidak dapat diketahui. Hal inilah yang ingin diajarkan Imam Sajjad kepada umatnya dengan mengawali setiap doanya dengan shalawat kepada Rasulullah berserta keluarganya yang suci.

Selanjutnya Imam mengajak manusia untuk memperhatikan keistimewaan yang terpendam dalam diri mereka, khususnya perasaan untuk mengenal Tuhan.


Perasaan ini sangat membantu manusia untuk memperbaiki perilakunya.

Manusia seperti ini senantiasa mengingat Tuhannya sehingga ia terhindar dari perbuatan dosa. Imam Sajjad menyadari sepenuhnya bahwa jika manusia berlindung di bawah keimanan dan keyakinan terhadap Tuhan, maka ia akan terhindar dari keraguan serta hidupnya akan selalu tenang. Manusia seperti ini juga akan tegar menghadapi gelombang kehidupan yang menerpanya. Selalu mengingat Tuhan membuat jiwa manusia kebal dari setiap cobaan yang menerpanya. Gangguan mental seperti ketakutan dan kehinaan.

Sejumlah sifat-sifat tak terpuji seperti hasud, haus kekuasaan dan ingin menang sendiri termasuk hal-hak yang menekan jiwa manusia. Imam dalam doanya memberikan solusi kepada manusia seperti ini. Di antara salah satu sifat manusia adalah senang kekayaan duniawi. Sifat ini disebabkan manusia menyaksikan kekayaan dapat mensejahterakan kehidupan manusia dan apa yang dia inginkan selalu tercapai dengan uang. Dalam memberi pelajaran kepada manusia terkait dunia, Imam pertama mencela dunia karena kejelakan yang merugikan manusia. Selanjutnya Imam meminta kepada Allah Swt menjadikan dunia sebagai tempat beribadah dan menghamba kepada-Nya.

Manusia biasanya ketika terpaku pada sebuah masalah akan melalaikan hal-hal lain. Hal ini akan membuat manusia kehilangan kesempatan serta mendorongnya untuk menyeleweng. Dalam doanya Imam banyak memberikan contoh bukti dari kelalaian seperti lalai diri sendiri, lalai menjalankan tugas, lalai terhadap Tuhan dan kematian.

Sejatinya Imam Sajjad mendidik manusia untuk dapat berinteraksi dengan diri sendiri, masyarakat, alam dan Tuhan. Ketika manusia dengan tepat dapat menjalin hubungan antara dirinya, alam dan Tuhan maka akan muncul dalam dirinya ketenangan dan dalam falsafah hidupnya ia akan selalu berserah diri kepada Allah Swt. Ketika itulah, ia benar-benar menemukan kehidupan sejati yang penuh makna dan kebahagiaan menjadi bagian dari dirinya.

Asyura merupakan peristiwa besar yang terjadi di abad 61 hijriah atau 680 M di padang Karbala, Irak. Tragedi itu menjadi epik paling mengharukan, sekaligus kejadian paling abadi dalam lembaran sejarah Islam. Hingga kini Asyura memiliki dimensi individu maupun sosial yang layak untuk dikaji dari berbagai sisi.

Peristiwa Asyura juga menjadi sumber inspirasi dari gerakan revolusi besar dalam sejarah Islam. Peran Asyura bagi kehidupan umat Islam tidak diragukan lagi banyak berutang budi kepada Imam Husein dan pengikutnya yang menumpahkan darah mereka demi membela prinsip yang mereka yakini.

Hingga kini peristiwa Asyura telah menjadi inspirasi atas lahirnya berbagai karya seni mulai dari buku, artikel, syair, film maupun karya seni lainnya. Meski demikian, peristiwa dan tokoh Asyura masih menjadi daya tarik yang memikat. Pesona yang menyebabkan umat Islam di berbagai penjuru dunia di bulan Muharram untuk mengingat tragedi yang menyajikan keberanian dan ketakwaan sejati telah memberikan warna lain bagi dunia.

Peringatan duka di bulan Muharram di kalangan umat Islam bukan hanya sebuah peringatan keagamaan semata yang masih memisahkan kehidupan individu dan sosial. Asyura mewujudkan spirit perjuangan dan kesyahidan, sekaligus memperkokoh persatuan dan solidaritas bangsa. Selain itu, Asyura juga menjadi cermin bagi kehidupan umat manusia melalui tokoh-tokoh dalam peristiwa besar itu dan refleksinya dalam kehidupan kekinian.

Lalu apa yang sangat vital dalam peristiwa Asyura dalam konteks kekinian hingga menyebabkan peristiwa masa lampau itu senantiasa hidup dan berpengaruh terhadap kehidupan dewasa ini. Apa faktor yang menyebabkan peristiwa itu abadi hingga kini ? Mengapa penguasa dan sebagian masyarakat gagal mengubur maupun menyelewengkan peristiwa Asyura ? Lalu metode apa yang dijadikan untuk menyampaikan pesan-pesan Karbala dari satu generasi ke generasi hingga saat ini ?

Untuk menganalisis peran penting media dalam menyampaikan pesan Karbala membutuhkan sedikit kajian tentang metode informasi masyarakat tradisional. tradisi lisan dan interaksi langsung merupakan salah satu karakteristik media massa lalu. Ketika itu, budaya tulisan belum berkembang pesat seperti saat ini.

Kehadiran rakyat di alun-alun, pasar-pasar dan warung kopi bukan hanya mengisi waktu istirahat dan liburan mereka saja, namun menjadi sebagai media informasi dan sekaligus pengingat antargenerasi. Media informasi massa tersebut selama berabad-abad relatif bertahan sebagai media yang cukup efektif.

Seiring terjadinya penyebaran budaya Islam, hubungan media pun menemukan bentuk khususnya yang sangat berbeda dengan agama lain. Contohnya masjid, pusat pendidikan keagamaan seperti hauzah maupun pesantren. Selain itu peringatan acara keagamaan seperti shalat jemaah dan shalat Jumat di kalangan umat Islam juga memiliki urgensitas khusus, dan menjadi media penting bagi penyebaran budaya Islam.

Masjid merupakan salah satu capaian penting agama Islam. Realitas hijrahnya Rasulullah ke Madinah bermakna terbentuknya pusat pemerintahan Islam yang berporos pada Rasulullah, sekaligus terbentuknya pilar-pilar masyarakat Islam.

Rasulullah pada tahap pertama membangun Masjid Quba dan masjid Nabi yang mempersatukan umat Islam Mekah dan Madinah. Di tempat itulah didirikan shalat berjamaah dan shalat Jumat, serta ibadah lainnya.Tidak hanya itu, di tempat itu pula Rasullah menjelaskan berbagai permasalahan mengenai berbagai masalah yang menimpa masyarakat Islam.

Dengan demikian secara bertahap masjid menjadi pusat media dan interaksi umat Islam. Dalam sejarah, para penguasa seperti Imam shalat maupun khatib Jumat memberikan ceramah penting. Bahkan masjid juga berperan sebagai media penyadaran bagi rakyat terhadap berbagai masalah penting.

Mengenai peristiwa Asyura, masjid memegang peran penting sebagai media yang berfungsi menyebarkan nilai-nilai peristiwa Karbala. Kehadiran tokoh agama di mimbar mengungkapkan urgensi dan pesan-pesan peristiwa kebangkitan Imam Husein menjadikan masjid sebagai pusat penerangan dan informasi paling efektif. Ketika pemerintahan Bani Umayah melarang segala bentuk penulisan sejarah Asyura, namun tradisi lisan dalam bentuk ceramah di masjid menjadi media penyadaran bagi umat Islam atas tragedi besar yang menimpa Imam Husein dan pengikutnya di padang Karbala.

Dr. Naser Bahonar mengungkapkan peran ulama di mimbar masjid dalam menyadarkan masyarakat atas peristiwa Karbala. Peneliti Iran ini menilai acara peringatan duka di masjid dan huseiniyah merupakan media yang efektif dalam menanamkan kesadaran masyarakat terhadap peristiwa Karbala.

Di berbagai belahan dunia setiap bangsa memiliki karakteristik budaya dan seni yang khas dan membedakannya dengan yang lain. Bangsa Iran yang dikenal sebagai bangsa yang mencintai seni memiliki media seni yang sangat beragam. Tradisi puisi dan narasi lisan serta teatrikal rakyat turut menyumbangkan peran besar dalam penyebaran pesan Karbala.

Jabir Anasiri, penulis dan peneliti Iran mengatakan bahwa seni teatrikal religius telah ada sebelum Islam. Dengan datangnya Islam, seni itu semakin berkembang dan menemukan bentuknya yang lebih kokoh dan hidup di tengah masyarakat hingga kini. Dari seni teatrikal religius inilah muncul seni religius “takziah”. Saat ini mengacu pada memperingati peristiwa Karbala, dengan menceritakan kisah kemartiran Imam Husein dan pengikutnya di padang Karbala.

Naiknya pemerintahan Safavi memerintah Iran memberikan kontribusi besar bagi pengembangan seni Takziah dengan penggunaan alat musik dan lukisan besar yang menyertai teatrikal duka itu. Takziah kemudian mencapai puncaknya pada periode Dinasti Qajar, terutama di masa pemerintahan Nasser-edin Shah.

Takziah dan seni religius lainnya di Iran telah menjadi sebuah media lokal yang berperan menyebarkan nilai-nilai Karbala hingga kini. Harmoni antara teater dan iringan dalam musik Takziah memudahkan peristiwa Karbala dan pesan-pesan pentingnya diterima di tengah masyarakat.

Sejatinya peran para ulama dan media tradisional seperti Takziah memainkan peran penting bagi penyebaran pesan-pesan dan kelestarian peristiwa Karbala. Inilah media yang menjadikan Karbala tetap hidup dalam diri dan kehidupan umat Islam, terutama syiah hingga kini.


Buku Pedoman:
1. Al-Bidaayah Wan Nihaayah, Ibn Katsir.
2. Tarikh Khulafa’, As-Suyuthi.
3. Tarikh Bani Umayyah, Al-Mamlakah Su’udiyyah.
4. Tarikh Islamy, Ibn Khaldun.
5. Sejarah Bani Umayyah, Muhammad Syu’ub, Penerbit PT.Bulan Bintang.

Kepadanyalah kami memberikan sumpah setia kami, ya Husein!


Di Zaman kini…

Sekjen Forum Internasional Pendekatan Mazhab-mazhab Islam (FIPMI), Ayatullah Muhammad Ali Taskhiri mengatakan, sistem Wilayatul Faqih memperoleh legitimasi dari syariat Islam dan rakyat, sementara wali faqih adalah hasil pilihan rakyat. Ditambahkannya, Dewan Ahli Kepemimpinan juga dipilih oleh rakyat untuk mengawasi kinerja dan menggantikan pemimpin jika ia telah kehilangan kualifikasi untuk kepemimpinan.

Kantor berita taghrib (TNA) melaporkan, Ayatullah Taskhiri dalam wawancara dengan televisi al-Alam, mengatakan sistem yang didasarkan pada Wilayatul Faqih adalah hasil pilihan rakyat dan pemimpin harus memiliki pengetahuan tentang semua aspek hukum syariat yang diyakini oleh rakyat.

“Syarat kedua wali faqih adalah adil dan berpegang teguh pada semua hukum syariat. Selain itu, seorang pemimpin Islam juga harus memiliki kemampuan untuk mengatur negara,” jelasnya.

“Pemilihan wali faqih tidak dilakukan secara langsung, akan tetapi diangkat oleh para ahli fiqih dan pakar hukum. Mereka juga dipilih oleh rakyat untuk duduk di Dewan Ahli Kepemimpinan. Lembaga ini akan memilih tokoh yang paling berkompeten dan memiliki syarat-syarat yang dibutuhkan untuk memimpin umat,” ujar Ayatullah Taskhiri.

Ayatullah Taskhiri menolak komparasi antara sistem Wilayatul Faqih dan monarki. Dikatakannya, “Dalam sistem monarki, rakyat tidak punya hak pilih, karena penguasa dipimpin oleh keluarga tertentu. Setelah itu, putra raja atau orang yang dipercaya akan diangkat sebagai pewaris kerajaan. Akan tetapi dalam sistem Wilayatul Faqih, seorang pemimpin harus memiliki kualifikasi yang ditetapkan oleh hukum, tanpa memperhatikan faktor-faktor lain.”

Ulama berpengaruh ini lebih lanjut menandaskan, hubungan antara wali faqih dan rakyat didasarkan pada syariat dan kedua belah pihak memiliki beberapa hak menurut hukum Islam.

“Hubungan antara wali faqih dan rakyat didasarkan pada kasih sayang, persatuan, ketaatan, dan penjajakan untuk mewujudkan masa depan yang lebih baik dan melaksanakan hukum syariat di semua aspek kehidupan,” tambahnya.

Pada bagian akhir pernyataannya, Ayatullah Taskhiri menuturkan, wali faqih mengawasi ketiga cabang pemerintah dan menciptakan koordinasi di antara mereka. Sementara Dewan Ahli Kepemimpinan senantiasa mengawasi sifat-sifat kepemimpinan seorang wali faqih dan jika telah kehilangan syarat-syarat yang dibutuhkan, mereka akan mencopot dan menggantikan dengan orang baru. .

Berkenaan dengan konflik keagamaan itu, Syed Ameer Ali mengatakan:
“Agama Muhammad SAW seperti juga agama Isa as., terkeping-keping oleh perpecahan dan perselisihan dari dalam. Perbedaan pendapat mengenai soal-soal abstrak yang tidak mungkin ada kepastiannya dalam suatu kehidupan yang mempunyai akhir, selalu menimbulkan kepahitan yang lebih besar dan permusuhan yang lebih sengit dari perbedaan-perbedaan mengenai hal-hal yang masih dalam lingkungan pengetahuan manusia. Soal kehendak bebas manusia… telah menyebabkan kekacauan yang rumit dalam Islam …Pendapat bahwa rakyat dan kepala agama mustahil berbuat salah … menjadi sebab binasanya jiwa-jiwa berharga”.

Aliran Syi’ah memang dikenal sebagai aliran politik dalam Islam yang berhadapan dengan paham Ahlussunnah. Antara keduanya sering terjadi konflik yang kadang-kadang juga melibatkan penguasa. Al-Mutawakkil, misalnya, memerintahkan agar makam Husein Ibn Ali di Karballa dihancurkan. Namun anaknya, al-Muntashir (861-862 M.), kembali memperkenankan orang syi’ah “menziarahi” makam Husein tersebut Dizaman dulu, Raja Umayyah Abbasiyah Merusak Islam !

Dari 600.000 (enam ratus ribu) hadis yang dikumpulkan alBukhari, ia hanya memilih 2.761 (dua ribu tujuh ratus enam puluh satu) hadis.

[1] Muslim, dari 300.000 (tiga ratus ribu) hanya memiiih 4.000 (empat ribu).
[2] Abu Dawud, dari 500.000 (lima ratus ribu) hanya memilih 4.800 (empat ribu delapan ratus) hadis.
[3] Ahmad bin Hanbal, dari sekitar 1.000.000 (sejuta) hadis hanya memilih 30.000 (tiga puluh ribu) hadis Berapa banyak jumlah hadis palsu ini dapat dibayangkan dengan contoh berikut:

Dari 600.000 (enam ratus ribu) hadis yang dikumpulkan alBukhari, ia hanya memilih 2.761 (dua ribu tujuh ratus enam puluh satu) hadis.

[1] Muslim, dari 300.000 (tiga ratus ribu) hanya memiiih 4.000 (empat ribu).
[2] Abu Dawud, dari 500.000 (lima ratus ribu) hanya memilih 4.800 (empat ribu delapan ratus) hadis.
[3] Ahmad bin Hanbal, dari sekitar 1.000.000 (sejuta) hadis hanya memilih 30.000 (tiga puluh ribu) hadis. [4]. Bukhari (194/255 H/810/869 M), Muslim (204/261 H/819/875M), Tirmidzi (209/279 H/824/892 M), Nasa’i (214/303 H/829/915 M), Abu Dawud (203/275 H/818/888 M) dan Ibnu Majah (209/295 H/824/908 M) misalnya telah menyeleksi untuk kita hadishadis yang menurut mereka adalah benar, shahih. Hadishadis ini telah terhimpun dalam enam buku shahih, ashshihah,assittah, dengan judul kitab masing-masing menurut nama mereka; Shahih Bukhari, Shahih Muslim, Shahih (Sunan) Ibnu Majah, Shahih (Sunan) Abu Dawud, Shahih (Jami’) Tirmidzi dan Shahih (Sunan) Nasa’i.[5]

Tetapi, bila kita baca penelitian para ahli yang terkenal dengan nama Ahlul Jarh wa’ Ta’dil, maka masih banyak hadis shahih ini akan gugur, kerana ternyata banyak di antara pelapor hadis, setelah diteliti lebih dalam adalah pembuat hadis palsu. AlAmini, misalnya, telah mengumpulkan tujuh ratus nama pembohong yang diseleksi oleh Ahlu’l Jarh wa Ta’dil Sunni yang selama ini dianggap adil atau jujur, dan hadis yang mereka sampaikan selama ini dianggap shahih dan tertera dalam buku shahih enam. Ada di antara mereka yang menyampaikan, seorang diri, beriburibu hadis palsu. Dan terdapat pula para “pembohong zuhud” [6] , yang sembahyang, mengaji dan berdoa semalaman dan mulai pagi hari mengajar dan berbohong seharian. Para pembohong zuhud ini, bila ditanyakan kepada mereka, mengapa mereka membuat hadis palsu terhadap Rasul Allah saw yang diancam api neraka, mereka mengatakan bahwa mereka tidak membuat hadis terhadap (‘ala) Rasul Allah saw tetapi untuk (li) Rasul Allah saw. Maksudnya, mereka ingin membuat agama Islam lebih bagus. [7], Tidak mungkin mengutip semua. Sebagai contoh, kita ambil seorang perawi secara acak dari 700 orang perawi yang ditulis Amini. [8]

“Muqatil bin Sulaiman alBakhi, meninggal tahun 150 H/767 M. Ia adalah pembohong,dan pemalsu hadis. Nasa’i memasukkannya sebagai seorang pembohong; terkenal sebagai pemalsu hadis terhadap Rasul Allah sa Ia berkata terangterangan kepada khalifah Abu Ja’far alManshur: “Bila Anda suka akan saya buat hadis dari Rasul untukmu”. Ia lalu melakukannya. Dan ia berkata kepada khalifah alMahdi dari Banu Abbas: “Bila Anda suka akan aku buatkan hadis untuk (keagungan) Abbas’. AlMahdi menjawab: “Aku tidak menghendakinya!”[9].

Para pembohong ini bukanlah orang bodoh. Mereka mengetahui sifat-sifat dan cara berbicara para sahabat. Mereka juga memakai nama para tabi’in seperti Ibnu Umar, ‘Urwah bin Zuba sebagai pelapor pertama, dan rantai sanad dipilih dari orang-orang yang dianggap dapat dipercaya.

Hadis-hadis ini disusun dengan rapih, kadangkadang dengan rincian yang sangat menjebak. Tetapi kesalahan terjadi tentu saja kerana namanya tercantum di dalam rangkaian perawi. Dengan demikian para ahli tentang cacat tidaknya suatu hadis yang dapat menyusuri riwayat pribadi yang buruk itu, menolak Hadis-hadis tersebut. [10]

Demikian pula, misalnya hadis-hadis yang menggunakan kata-kata ‘mencerca sahabat’ tidak mungkin diucapkan Rasul, kerana katakata tersebut mulai diucapkan di zaman Mu’awiyah, lama sesudah Rasul wafat. Seperti kata-kata Rasul “Barang siapa mencerca sahabat-sahabatku maka ia telah mencercaku dan barang siapa mencercaku maka ia telah mencerca Allah dan mereka akan dilemparkan ke api neraka” yang banyak jumlahnya.[11].

Juga, hadishadis berupa perintah Rasul agar secara langsung atau tidak langsung meneladani atau mengikuti seluruh sahabat, seperti ‘Para sahabatku laksana bintang-bintang, siapa saja yang kamu ikuti, pasti akan mendopat petunjuk’ atau ‘Para sahabatku adalah penyelamat umatku’ tidaklah historis sifatnya.

Disamping perintah ini menjadi janggal, kerana pendengarnya sendiri adalah sahabat, sehingga menggambarkan perintah agar para sahabat meneladani diri mereka sendiri, sejarah menunjukkan bahwa selama pemerintahan Bani Umayyah, cerca dan pelaknatan terhadap Ali bin Abi Thalib serta keluarga dan pengikutnya, selama itu, tidak ada sahabat atau tabi’in yang menyampaikan hadis ini untuk menghentikan perbuatan tercela yang dilakukan di atas mimbar masjid di seluruh negeri tersebut. Lagi pula di samping fakta sejarah, alQur’an dan hadis telah menolak keadilan seluruh sahabat. [12]

Atau hadishadis bahwa para khalifah diciptakan atau berasal dan nur (sinar) yang banyak jumlahnya, sebab menurut AlQur’an manusia berasal dari Adam dan Adam diciptakan dari tanah dan tidak mungkin orang yang tidak menduduki jabatan dibuat dari tanah sedang yang ‘berhasil’ menjadi khalifah dibikin dari nur.


Para ahli telah mengumpul para pembohong dan pemalsu dan jumlah hadis yang disampaikan.

Abu Sa’id Aban bin Ja’far, misalnya, membuat hadis palsu sebanyak 300. Abu Ali Ahmad alJubari 10.000 Ahmad bin Muhammad alQays 3.000 Ahmad bin Muhammad Maruzi 10.000 Shalih bin Muhammad alQairathi 10.000 dan banyak sekali yang lain. Jadi, bila Anda membaca sejarah, dan nama pembohong yang telah ditemukan para ahli hadis tercantum di dalam rangkaian isnad, Anda harus hatihati.

Ada pula pembohong yang menulis sejarah dan tulisannya dikutip oleh para penulis lain. Sebagai contoh Saif bin Umar yang akan dibicarakan di bagian lain secara sepintas lalu. Para ahli telah menganggapnya sebagai pembohong. Dia menulis tentang seorang tokoh yang bernama Abdullah bin Saba’ yang fiktif sebagai pencipta ajaran Syiah. Dan ia juga memasukkan 150 [13] sahabat yang tidak pernah ada yang semuanya memakai nama keluarganya. Dia menulis di zaman khalifah Harun alRasyid. Bukunya telah menimbulkan demikian banyak bencana yang menimpa kaum Syiah. Bila membaca, misalnya, kitab sejarah Thabari dan nama Saif bin Umar berada dalam rangkaian isnad, maka berita tersebut harus diperiksa dengan teliti.

Referensi:
[1] Tarikh Baghdad, jilid 2, hlm. 8; AlIrsyad asSari, jilid 1, hlm. 28; Shifatu’s Shafwah, jilid 4, hlm. 143.
[2] Tarikh Baghdad, jilid 13, hlm. 101; alMuntazam, jilid 5, hlm. 3 2; Thabaqat al Huffazh, jilid 2, hlm. 151, 157; Wafayat alAyan, jilid 5, hlm. 194.
[3] Tarikh Baghdad jilid 9, hlm. 57; Thabaqat a1Huffazh, jilid 2, hlm.154; alMuntazani, jilid 5, hlm. 97; Wafayat alA’yan jilid 2, hlm. 404.
[4] Tarikh Baghdad, jilid 4, hlm. 419420; Thabaqat a1Huffazh, jilid 2, hlm. 17; Tahdzib atTahdzib, jilid 1, hlm. 74; Wafayat alA’yan, jilid 1, hlm. 64.
[5] Menurut metode pengelompokan, hadits-hadits dibagi dalam Musnad, Shahih, Jami’, Sunan, Mujam dan Zawa’id.
[6] Zuhud = orang yang menjauhi kesenangan duniawi dan memilih kehidupan akhirat.
[7] AIAmini, alGhadir, Beirut, 1976, jilid 5, hlm. 209375.
[8] AIAmini, alGhadir, jilid 5, hlm. 266.
[9] Abu Bakar alKhatib, Tarikh Baghdad, jilid 13, hlm. 168; ‘Ala’udin Muttaqi alHindi, Kanzul- Ummal, jilid 5, hlm. 16, Syamsuddin adzDzahabi, Mizan alI’tidal, jilid 3, hlm. 196; alHafizh lbnu Hajar al’ Asqalani, Tahdzib atTahdzib, jilid 10, hlm. 284; Jalaluddin asSuyuthi, alLaAli ul Mashmu’ah, jilid 1, hlm. 168 jilid 2, hlm. 60, 122..
[10] Contoh-contoh Ahlul Jarh wa Ta’dil: Ibnu Abi Hatim arRazi, Ahlul Jarh wa Ta’dil (Ahli Cacat dan Penelurusan); Syamsuddin AzDzahabi, Mizan alI’tidal (Timbanga Kejujuran); Ibnu Hajar al’ Asqalani, Tahdzib atTahdzib (Pembetulan bagi Pembetulan) dan Lisan alMizan (Katakata Timbangan); ‘Imaduddin ibnu Katsir alBidayah wa’nNihayah (Awal dan Akhir), Jalaluddin AsSuyuthi,alLa’ali’ul Mashnu’ah (Mutiara-mutiara buatan), Ibnu Khalikan, Wafayat alA’yan wa Anba Abna azZaman (Meninggalnya Para Tokoh dan Berita Anakanak Zaman). Dan masih banyak lagi.
[11] Lihat AIMuhibb Thabari, Riyadh anNadhirah, jilid 1, hlm. 30.
[12] Lihat Bab 19: ‘Tiga dan Tiga’ sub bab Sahabat Rasul.
[13] Seratus lima puluh.


FATWA AL-ALAMAH AS-SAYYID AL-HABIB HASAN BIN ALI BIN HASYIM BIN AHMAD BIN ALWY BA’AGIL AL-ALAWY MUFTI MAZHAB SYAFI’I DI MEKKAH. AL-MUKARRAMAH / Wafat tahun 1335 H / 1914 M.Sebenarnya, hadits yang tsabit dan shahih adalah hadits yang berakhir dengan wa ahli baity. Sedang yang berakhir dengan kata-kata wa sunnaty itu bathil (salah) dari sisi matan dan sanadnya.

Pada masa kekuasaan kerajaan Bani Umayyah dan Bani Abbasiyah para pecinta Ahlul-Bait sangat ditekan. Tekanan atas Syiah yang dilancarkan oleh kedua dinasti tadi menggunakan berbagai cara, termasuk propaganda julukan Rafidhah. Tujuan propaganda tersebut adalah untuk mengisolir para Syiah dari saudara-saudaranya sesama muslim. Namun tidak sepenuhnya propaganda itu terlaksana dengan baik. Terbukti ada beberapa pribadi Syiah –yang diberi gelar Rafidhah– yang terdapat dalam kitab-kitab standar Ahlussunnah. Dr. al-Qoffari dalam kitab tersebut menyatakan: “Ibn Taimiyyah menukil (membenarkan) hadis-hadis Marfu’ah (tidak jelas sanadnya) yang menyinggung tentang kata-kata Rafidhah di dalamnya.

Padahal, sebutan Rafidhah hingga abad kedua Hijriyah masih belum dikenal”.

Jika pecinta keluarga Muhammad saww disebut Rafidhah Maka, saksikanlah wahai Tsaqolan (jin dan manusia) bahwa diriku adalah Rafidhi. (Diwan imam Syafi’i ra Hal:55)


Lagi-lagi sebuah julukan yang masih juga diidentikan dengan Syiah.

Istilah Rafidhah dipakai untuk para penentang kekuasaan tertentu yang berkuasa pada zaman itu. Para penguasa kala itu ingin menjadikan para penentangnya memiliki kesan buruk di hadapan publik, oleh karenanya melalui beragam propaganda mereka mencari julukan negatif bagi mereka yang tidak sejalan dengan pikirannya. Julukan rafidhah adalah salah satu predikat negatif yang diberikan oleh penguasa kala itu untuk para penentangnya. Mungkin pada masa itu, Rafidhah memiliki kemiripan dengan julukan ekstrimis atau teroris pada zaman sekarang ini. Julukan-julukan miring semacam itu sengaja dibikin oleh yang kuat terhadap yang lemah, yang mayoritas untuk yang minoritas, yang zalim untuk yang teraniaya (mazlum)…dsb.

Beberapa pihak yang tidak bertanggung-jawab ingin memberikan julukan miring tersebut untuk rival pemikirannya. Akhirnya, julukan Rafidhah diperluas pemakaiannya terhadap aliran pemikiran yang dianggap lemah, minoritas, teraniaya… untuk dijadikan sarana pengelabuhan kesadaran publik. Yang lebih fatal dari itu, sang pemakai istilah tersebut justru menyandarkan pemakaian julukan tersebut dengan landasan hadis-hadis dha’if yang dinisbatkan kepada Rasulullah saww. Lantas, siapakah gerangan yang dapat menjadi obyek empuk untuk gelar tersebut? Ya…! Siapa lagi kalau bukan Syiah Imamiah Itsna Asyariyah, atau yang lebih dikenal dengan sebutan mazhab al-Ja’fariyah, adalah sasaran empuk untuk mendapat predikat negatif itu.

Kenapa mesti Syiah al-Ja’fariyah? Salah satu penyebabnya adalah karena hanya Syiah Ja’fariyah satu-satunya mazhab yang mengajarkan kepada pengikutnya untuk tidak berpangku-tangan atas setiap perbuatan zalim yang dilakukan oleh individu manapun, termasuk para penguasa. Itu terbukti, baik jika dilihat dari teks ajaran mazhabnya, maupun pemaraktekkannya dalam kehidupan mereka. Dalam sejarah didapatkan bagaimana usaha mereka untuk menegakkan keadilan yang dipelopori oleh para imam suci mereka.

Para Syiah Ahlul Bait selalui berusaha mengkritisi sepak terjang para penguasa yang selalu cenderung bertentangan dengan ajaran Rasulullah saww, sementara di sisi lain mereka (imam-imam suci) juga menamakan dirinya sebagai khalifah (pengganti) Rasul. Hal inilah yang tidak disukai oleh para penguasa zalim –Bani Umayyah dan Bani Abbasiyah– kala itu. Oleh karenanya, tekanan demi tekanan mereka lakukan untuk membendung tersebarnya ajaran Syiah. Mereka tak segan-segan melakukan pembantaian masal demi tercapainya tujuan mereka, dan kelangsungan dinasti mereka. Dari situlah terjawab sudah pertanyaan, kenapa Syiah selalu teraniaya dan minoritas? Namun, karena kehendak Ilahi, walau tekanan demi tekanan dari pihak musuh-musuh Islam beserta kaki-tangannya dengan gencar terus menghadangnya, mazhab ini makin eksis di tengah-tengah umat.

Terminologi Rafidhah: Dalam terminologi istilah Rafidhah, kata itu berasal dari kata ra-fa-dha yang berarti menolak dan meninggalkan sesuatu. Istilah ini sering diidentikkan dengan kaum Syiah Imamiah yang menolak akan kepemimpinan tiga khalifah pra-kekhalifahan Ali bin Abi Thalib as, dan hanya mengakui kepemimpinan Ali as pasca wafat Rasulullah saww.[1] Abul-Hasan al-Asy’ary dalam kitab “Maqolat al-Islamiyin” menyatakan, julukan ini pertama kali dilontarkan oleh Zaid bin Ali bin Husein bin Ali bin Abi Thalib atas para Syiah di kota Kufah. Masih menurut al-Asy’ary, pada mulanya, para Syiah di Kufah memberikan baiatnya kepada Zaid, namun mereka tidak konsekwen terhadap baiatnya. Mereka tidak mau mengindahkan perintah Zaid untuk tetap menghormati dan memuliakan Abu Bakar dan Umar.

Oleh karena itu, Zaid menjuluki mereka dengan sebutan Rafidhah.[2] Akan tetapi, pendapat ini memiliki banyak celah untuk dibatalkan, mengingat bahwa banyak pakar sejarah yang menyebutkan secara detail sejarah hidup terkhusus kesyahidan Zaid bin Ali, namun tidak satupun dari mereka yang menyebutkan akan hal pengungkapan Zaid di atas tadi. Selain dari itu, para ahli sejarah hanya menyebutkan bahwa para penghuni kota Kufah tidak mengindahkan kebangkitan Zaid bin Ali, dan membiarkannya bergerak sendiri tanpa bantuan penduduk Kufah.[3]

Hal itu sama persis sebagaimana yang terjadi pada kakek Zaid, Husein bin Ali as, cucu Rasulullaha saww. Husein bin Ali pada tragedi Karbala, tak dapat dukungan dari penduduk kota Kufah. Dengan demikian, penisbatan istilah itu yang bermula dari Zaid bin Ali sama sekali tidak berasas pada bukti sejarah yang kuat.

Di sisi lain, telah terbukti bahwa istilah Rafidhah digunakan untuk pribadi-pribadi yang meragukan legalitas kekuasaan suatu rezim dan pemerintahan tertentu. Jadi, istilah ini lebih bermuatan politis ketimbang teologis. Nasr bin Muzahim (Wafat tahun 212 H) dalam salah satu karyanya yang berjudul Waqoatu Shiffin menyatakan bahwa Muawiyah dalam suratnya yang ditujukan kepada Amr bin ‘Ash –yang saat itu tinggal di Palestina– menyebutkan: “Perkara tentang Ali, Thalhah dan Zubair telah kamu ketahui, namun (ketahuilah bahwa) Marwan bin Hakam telah bergabung dengan para Rafidhah (penentang) dari penduduk kota Bashrah, dan Jabir bin Abdullah telah melawan kita…”[4]

Dari sini ada beberapa poin yang dapat diambil pelajaran; Pertama, awal kemunculan istilah rafidhah sangat bermuatan politis, bahkan sama sekali tidak ada kaitannya dengan ihwal teologis. Muawiyah menyebut Marwan bin Hakam beserta para pendukungnya sebagai Rafidhah, karena ia telah bergabung dengan para penduduk kota Bashrah yang kala itu mayoritas tidak mengakui legalitas pemerintahan Ali as yang berpusat di kota Kufah. Kedua, istilah itu telah ada sebelum kelahiran Zaid bin Ali, bukan sebagaimana yang telah diceritakan oleh Abul Hasan al-Asy’ary di atas.

Pribadi-pribadi yang Dinyatakan Rafidhi pada Kitab-kitab Ahlussunnah Julukan Rafidhah mempunyai konotasi miring. Orang akan enggan untuk dijuluki dengan sebutan itu. Pihak ketiga pun akan menghindar di saat bertemu orang yang dianggap memiliki gelar tadi. Itulah salah satu dampak negatif propaganda yang dilancarkan oleh pihak-pihak yang tidak bertanggungjawab.

Pada masa kekuasaan kerajaan Bani Umayyah dan Bani Abbasiyah para pecinta Ahlul-Bait sangat ditekan. Tekanan atas Syiah yang dilancarkan oleh kedua dinasti tadi menggunakan berbagai cara, termasuk propaganda julukan Rafidhah. Tujuan propaganda tersebut adalah untuk mengisolir para Syiah dari saudara-saudaranya sesama muslim.

Namun tidak sepenuhnya propaganda itu terlaksana dengan baik. Terbukti ada beberapa pribadi Syiah –yang diberi gelar Rafidhah– yang terdapat dalam kitab-kitab standar Ahlussunnah. Walau mereka terbukti Syiah namun tetap saja hadis yang mereka bawakan tercantum dalam enam kitab induk Ahlussunnah. Sebagai contoh:
1. Kendati Ibn Hajar menyatakan bahwa Ismail bin Musa al-fazazi sebagai pribadi yang dianggap Syiah, namun Abi Dawud[5] juga Ibn Majah[6] dalam kitab Sunan mereka tetap menukil hadis-hadis yang ia bawakan.
2. Meskipun Ibn Hajar menyatakan bahwa Bakir bin Abdullah at-Tha’i sebagai pribadi yang dianggap Syiah, namun Muslim dalam kitab Shohih-nya[7] dan Ibn Majah dalam Sunan-nya[8] menukil hadis-hadis yang ia riwayatkan.
3. Begitu juga dengan Talid bin Sulaiman al-Muharibi yang dinyatakan Syiah (Rafidhah) oleh Abu Dawud, dimana ia berkata: “Ia adalah Rafidhi yang keji dan jelek, dan yang memusuhi Abu Bakar serta Umar”[9] Namun, at-Turmuzi dalam kitab Sunan-nya[10] tetap menukil hadis darinya.
4. Ibn Hajar menyatakan bahwa Jabir bin Yazid al-Ju’fi adalah pengikut Syiah (Rafidhah)[11], namun Abu Dawud[12], Ibn Majah[13] dan at-Turmuzi[14] dalam kitab Sunan mereka tetap menukil hadis-hadis darinya.
5. Dan masih banyak lagi pribadi-pribadi yang dinyatakan Syiah (Rafidhah), namun hadis-hadisnya tetap tercantum dalam kitab-kitab standart Ahlussunnah. Seperti; Jumai’ bin Umair, Haris bin Abdullah al-Hamdani, Hamran bin A’yun, Dinar bin Umar al-Asadi…dsb.[15]

Hadis-hadis yang tidak jelas sanadnya tentang Rafidhah: Setelah kita mengetahui bahwa istilah Rafidhah dipakai untuk para rival politik sebuah kekuasaan tertentu. Istilah itu mempunyai konotasi negatif bagi khalayak umum, berkat adanya propaganda para penguasa zalim pada abad-abad permulaan awal kemunculan Islam. Namun, lama-kelamaan istilah itu dipakai oleh para musuh Syiah untuk mengganyang Syiah, bahkan tak jarang mereka pun (para musuh Syiah) menyandarkannya pada hadis-hadis yang bermasalah dari sisi sanad hadis, yang berakhir pada peraguan dari sisi kesahihannya. Sebagai contoh, ada empat hadis yang bersumber dari Ibn Abi ‘Ashim tentang pencelaan terhadap Syiah.[16]

Doktor Nashir bin Abdullah bin Ali al-Qoffary dalam kitab Ushul Mazhab Syi’ah menyatakan bahwa Nashiruddin al-Bani[17] sendiri mengemukakan bahwa hadis-hadis yang dibawakan oleh Ibn Abi ‘Ashim tadi jika dilihat dari sanad hadisnya amat lemah. Dr. al-Qoffari dalam kitab tersebut menyatakan: “Ibn Taimiyyah menukil (membenarkan) hadis-hadis Marfu’ah[18] yang menyinggung tentang kata-kata Rafidhah di dalamnya.

Padahal, sebutan Rafidhah hingga abad kedua Hijriyah masih belum dikenal”.[19]

Salah satu riwayat yang dibawakan oleh Ibn Abi ‘Ashim dalam kitab as-Sunnah adalah hadis: “Aku beri kabar gembira engkau wahai Ali, engkau beserta para sahabatmu adalah (calon) penghuni Surga. Namun, ada sekelompok orang yang mengaku sebagai pecinta-mu padahal mereka adalah penentang (penolak) Islam. Mereka disebut ar-Rafidhah. Jika engkau bertemu dengan kelompok tersebut maka perangilah mereka, karena mereka telah musyrik. Aku (Ali) berkata: Wahai Rasulullah, apakah gerangan ciri-ciri mereka? Beliau menjawab: “Mereka tidak menghadiri (shalat) Jum’at dan jama’ah, dan mencela para pendahulu (salaf)” [20] oleh as-Syaukani, hadis ini dikategorikan sebagai hadis Maudhu’ (buatan).[21]

Contoh lain dari hadis tentang Rafidhah adalah hadis yang dinukil oleh at-Tabrani bahwa Rasul bersabda: “Wahai Ali, akan datang pada umat-ku suatu kelompok yang mengaku sebagai pecinta Ahlul-Bait, bagi mereka …., mereka disebut Rafidhah. Bunuhlah mereka, karena mereka telah kafir”. Akan tetapi, dikarenakan sanad hadis ini diriwayatkan oleh orang-orang seperti Hajjaj bin Tamim yang sama sekali tidak dapat dipercaya, maka hadis ini masuk kategori hadis Dza’if (lemah).[22]

Dalam kitab ad-Dala’il disebutkan bahwa Al-Baihaqi setelah menukil hadis Marfu’ yang bersumber dari Ibn Abbas tentang celaan terhadap Rafidhah, menyatakan: “Banyak sekali hadis-hadis serupa tentang hal yang sama dari sumber-sumber yang berbeda, namun kesemua sanad-nya tergolong lemah”[23]

Dan masih banyak lagi beberapa ulama hadis dari Ahlussunnah yang menyatakan kelemahan hadis-hadis berkaitan dengan Rafidhah yang kebohongan itu disandarkan kepada Rasulullah. Bisa dilihat kembali karya-karya ulama Ahlussunnah seperti karya kepunyaan al-‘Aqili yang berjudul ad-Dhu’afa’, Ibn Jauzi dalam al-‘Ilal al-Mutanahiyyah ataupun al-Maudhu’aat.

Dari sini jelaslah, bahwa istilah Rafidhah adalah istilah murni politis dan tidak ada kaitannya dengan pembahasan teologis, termasuk masalah kekhilafahan pasca Rasul. Namun istilah itu dinisbatkan untuk para pecinta Ahlul-Bait (Syiah) oleh para pembenci Syiah. Mereka dalam kasus pemaksaan gelar Rafidhah untuk kelompok Syiah, tidak segan-segan menggunakan kebohongan atas nama Rasulullah saww. Bukankah kebohongan atas diri Rasul merupakan bagian dari menyakiti Rasul? Dan menyakiti Rasul termasuk dosa besar, yang pantas dilaknat oleh Allah?[24]

Bukankah kebohongan atas Rasul juga berakibat kebohongan atas segenap kaum muslimin? Mengingat kaum muslimin sampai akhir zaman akan selalu mengikuti hadis-hadis Rasulullah[25] Membenarkan, memegang erat dan mengajarkan hadis palsu –atas dasar pengetahuannya– adalah termasuk sesat dan menyesatkan.

Oleh karenanya, hendaknya kita berusaha untuk menghindarinya seoptimal mungkin agar tidak termasuk orang yang sesat dan menyesatkan.

Hai orang-orang beriman, janganlah suatu kaum mengolok-olok kaum yang lain (karena) boleh jadi mereka (yang diolok-olokkan) lebih baik dari mereka (yang mengolok-olokkan)…dan janganlah kamu panggil memanggil dengan gelar-gelar yang buruk. Seburuk-buruk panggilan ialah (panggilan) yang buruk sesudah iman dan barangsiapa yang tidak bertaubat, maka mereka itulah orang-orang yang zalim. (al-Hujuraat :11)

______________________________

Catatan Kaki:
[1] Al-Asy’ary, Abul-Hasan, Maqolat al-Islamiyin, Jil:1 Hal:88-89
[2] Ibid, Hal:138
[3] Amin, Muhsin, A’yan as-Syi’ah, Jil:1 Hal:21
[4] Al-Manqory, Nasr bin Muzahim, Waqoatu Shiffin, Hal:29
[5] Sunan Abi Dawud, Jil:4 Hal:165 Hadis ke-4486
[6] Sunan Ibn Majah, Jil:1 Hal:13 Hadis ke-31
[7] Shohih Muslim, Jil:1 Hal:529, Kitab Sholat Musafirin wa Qoshruha
[8] Sunan Ibn Majah, Jil: 1 Hal:170, Kitab at-Thoharoh
[9] Tahdzib al-Kamal, Jil:4 Hal:322
[10] Sunan at-Tirmizi, Jil:5 Hal:616, Kitab al-Manaqib hadis ke-3680
[11] Tahdzib al-Kamal, Jil:4 Hal:468 No:879
[12] Sunan Abu Dawud, Jil:1 Hal: 272, Kitab as-Sholat Hadis ke-1036 [13] Sunan Ibnu Majah, Jil:1 Hal:381 Hadis ke-1208
[14] Sunan at-Turmuzi, Jil:2 Hal:200, Bab: “Maa Jaa’a fi al-Imam yanhadhu fi ar-Rak’atain naasiyan”
[15] Untuk lebih detailnya, lihat kitab “al-Muraaja’aat” karya Syarafuddin al-Musawi.
[16] Lihat: Ibn Abi ‘Ashim, as-Sunnah, Jil:2 Hal:475
[17] Seorang ahli hadis terkemuka dari kalangan salafi (wahabi).
[18] Hadis marfu’ adalah hadis yang tidak jelas sanadnya.
[19] Ushul Mazhab as-Syiah, bagian Sejarah Syiah (Tarikh as-Syiah)
[20] Ibid: Jil: 2 Hal: 475
[21] Al-Ahadist al-Maudhu’ah, Hal:380
[22] Taqrib at-Tazhib, Jil:1 Hal:152
[23] ad-Dala’il, Jil:6 Hal:548
[24] Lihat Q S al-Ahzab :57
[25] Lihat Q S ali-Imran :61


Asal-usul Daulah Abbasiyah

Nama pamannya Al-Abbas bin Abdul Mutholib bin Hasyim bin Abdul Manaf . Pusat daulah Abbasiyah di Baghdad.

Faktor Pendukung Berdirinya Daulah Abbasiyah o Ada dukungan dari kaum Mawali (orang-orang Arab yang memeluk Islam). Kaum Mawali kecewa kepada Bani Umayyah, karena kaum mawali diberlakukan tidak adil .

A. Ada dukungan dari para Ulama. Kaum Mawali kecewa pada Umayyah karena tidak ada perkembangan agama islam, tidak mementingkan SDM o Masyarakat pada saat itu, ingin punya pemimpin yang adil, karena mayoritas khalifa2 Bani Umayyah tidak adil.
B. Adanya persaingan antara orang-orang arab. Arab Utara (Bani Qais) dan Arab Selatan (Bani Kalb) .


LANGKAH YANG DILAKUKAN AL-ABBAS DALAM MEREBUT KEKUASAAN

Langkah yang dilakukan al-abbas dalam merebut kekuasaan adalah dengan cara : Melakukan propaganda (isu-isu) hasut dari mulut ke mulut . Isi propaganda :
- Apabila Abbasiyah jadi khalifah, nanti khalifahnya keturunan Rasul tanpa menyebutkan namanya. Keuntungan tidak menyebutkan namanya : “gerakan tidak akan terhenti dengan kematian tokoh tersebut” .

SILSILAH BANI ABBAS
1. Abdi Manaf
2. Hasyim
3. Abdul Mutholib
4. Abdullah – Abbas – Abu Thalib
5. Muhammad – Abdullah – Ali bin Abi Thalib
6. Ali
7. Muhammad
8. Ibrohim al-Imam
9. Abu Abbas ( 132-136 H = 750-754 M)
10. Abu Ja’far al-Mansur (136-158 H = 754-775 M)
11. Al-Mahdi (158-169 H = 775-785 M)
12. Musa al-Hadi ( 169-170 H = 785-786 M)
13. Harun ar-Rasyid (170-193 H = 786-809 M)
14. Al-Amin ( 193-198 H = 809-813 M)
15. Al-Makmun (198-218 H = 813-833 M)
16. Al-Mu’tasim (218-227 H = 833-842 M)
17. Al-Watsiq (227-232 H = 842-847 M)

- Sesudah al-Watsiq masih ada 28 khalifah lagi yang memerintah .
- Tanda panah ke bawah menunjukan garis keturunan
- Angka menunjukan urutan kekhalifahan .


PERIODISASI MASA KEKHALIFAHAN BANI ABBAS

1. Periode I (132-232 H = 750-847 M) : pengaruh Persia I
2. Periode II (232-334 H = 847-945 M) : pengaruh Turki I
3. Periode III (334-447 H = 945-1055 M) : pengaruh Persia II (Bani Buwaihi)
4. Periode IV (447-590 H = 1055-1194 M) : pengaruh Turki II (Bani Saljuk)
5. Periode V (590-656 H = 1194-1258 M) : tanpa pengaruh, tapi kekuasaannya hanya sekitar Baghdad.


MASALAH KHALiFAH

Lalu Zaid berkata ”pada suatu hari Rasulullah SAW berdiri di hadapan kami di sebuah tempat yang bernama Ghadir Khum seraya berpidato, maka Beliau SAW memanjatkan puja dan puji atas Allah SWT, menyampaikan nasehat dan peringatan. Kemudian Beliau SAW bersabda “Ketahuilah wahai manusia sesungguhnya aku hanya seorang manusia. Aku merasa bahwa utusan Tuhanku (malaikat maut) akan segera datang dan Aku akan memenuhi panggilan itu. Dan Aku tinggalkan padamu dua pusaka (Ats-Tsaqalain).

Yang pertama Kitabullah (Al-Quran) di dalamnya terdapat petunjuk dan cahaya,maka berpegang teguhlah dengan Kitabullah”. Kemudian Beliau melanjutkan, “dan Ahlul Bait-Ku, kuperingatkan kalian kepada Allah akan Ahlul Bait-Ku, kuperingatkan kalian kepada Allah akan Ahlul Bait-Ku, kuperingatkan kalian kepada Allah akan Ahlul Bait-Ku”

Hadis di atas terdapat dalam Shahih Muslim, perlu dinyatakan bahwa yang menjadi pesan Rasulullah itu adalah sampai perkataan “kuperingatkan kalian kepada Allah akan Ahlul Bait-Ku”

Hanya karna dukungan politik dari ulama ulama Bani Umayyah dan ulama ulama Bani Abbasiah keempat mazhab aswaja sunni dapat berkembang ditengah masyarakat ( Silahkan lihat dikitab Ahlu Sunnah, Al Intifa’Ibnu Abdul Bar, Dhahral Al Islam Ahmad Amin dan manakib Abu Hanifah Al Muwafiq )


Saudaraku….

banyak cara ditempuh untuk mengubur hasil perjuangan Imam Husain as. di padang Karbala’ demi menegakkan agama datuknya; Rasulullah saw. dan membongkar kedok kepalsuan, kemunafikan dan kekafiran rezim Bani Umayyah yang dilakonkan oleh sosok Yazid yang bejat lagi munafik…

Banyak cara licik ditempuh, mulai dari menutup-nutupi kejahatan Yazid dan menampilkannnya sebagai seorang Khalifah yang adil dan bertanggung jawab akan perjalanan Risalah Allah, atau mencarikan uzur dan pembelaan atas apa yang dilakukannnya terhadap Imam Husain dan keluarga suci Nabi saw., terhadap penduduk kota suci Madinah yang ia perintahkan pasukannya agar menebar kekejaman yang tak tertandingi dalam sejarah Islam, membantai penduduknya, dan memperkosa gadis dan wanita; putri-putri para sahabat Anshar -khususnya- dll. hingga membuat-buat kepalsuan atas nama agama tentang keagungan hari Asyûrâ’ dan keutamaan berpuasa di dalamnya.


Bila Imam Ali(as) Diiktiraf Sebagai Khalifah Rashid Oleh Sunni?

Salam alaikum wa rahmatollah. Bismillahi Taala Agak mengejutkan juga apabila saya menemui satu riwayat, yang menunjukkan pada asalnya, Ahlul Sunnah wal Jamaah tidak mengiktiraf Sayyidina Ali sebagai khalifah ar Rashidin. Nama Imam Ali(as) baru dimasukkan sebagai khalifah yang adil di zaman Imam Ahmad bin Hanbal Di dalam kitab Tabaqat, yang dianggap oleh ulama’ bermazhab Hanbali sebagai rujukan utama mereka, Ibn Abu Ya’li menyatakan bahawa Wadeezah al-Himsi berkata:

‘Saya menziarahi Ahmad ibn Hanbal, setelah penambahan nama Ali [ke dalam urutan nama Khalifah yang tiga [Khalifah yang adil]. Saya berkata kepadanya: ‘Wahai Abu Abdullah! Apa yang telah kamu lakukan adalah memburukkan kedua mereka Talhah dan al-Zubayr!’ .

Ahmad berkata: ‘Janganlah membuat kenyataan yang jahil! Apa yang ada kena mengena dengan kita mengenai peperangan mereka, dan kenapa kamu menyebutnya sekarang?’

Saya berkata: ‘Semoga Allah memandu kamu kepada kebenaran, kami menyatakannya setelah kamu menambah nama Ali dan memberi mandat kepadanya [dengan sanjungan] sebagai Khalifah sebagaimana yang telah dimandatkan kepada Imam-imam sebelumnya!’ .

Ahmad berkata: ‘Dan apa yang akan menahan saya dari melakukannya?’ .

Saya berkata: ‘Satu hadits yang disampaikan oleh Ibn Umar.’ Dia berkata kepada saya: ‘Umar ibn al-Khattab adalah terlebih baik dari anaknya, kerana dia menerima [i.e mengesyor] Ali sebagai Khalifah ke atas Muslim dan menyenaraikan beliau di antara mereka-mereka ahli syura, dan Ali merujuk dirinya sebagai Amirul Mukminin; adakah saya yang akan mengatakan bahawa mereka yang beriman tidak mempunyai pemimpin?!’ Maka saya pun pergi.[Tabaqat al-Hanabila, jilid 1 ms 292] .

Dari riwayat ini, dapat kita lihat bahawa dari zaman tabiin, nama Imam Ali(as) pada asalnya bukanlah tersenarai sebagai para khalifah yang benar. Pegangan mereka ini, berkemungkinan besar disebabkan oleh suasana politik yang tidak menyebelahi Ahlulbait(as). Lihat sahaja hadis Ibnu Umar(ra):

Abdullah ibn Umar berkata: ‘Semasa hidup rasul Allah, kami menganggap Abu Bakr paling utama, kemudian Umar ibn al-Khattab, kemudian Uthman ibn Affan, semoga Allah merasa senang dengan mereka’.[Al-Bukhari, sahih jilid 4 ms 191, jilid 4 didalam buku pada mula kejadian didalam bab mengenai kemuliaan Abu Bakr yang hampir sama dengan kemuliaan para rasul]

Persoalannya, di mana Imam Ali di sisi mereka? Mengapa Ibnu Umar meninggalkan Imam Ali(as)? Mungkin pihak Sunni boleh tolong menerangkan hadis ini. Riwayat seperti ini kerap dijumpai di dalam kitab Sunni.

كنا نفاضل على عهد رسول الله صلى الله عليه وسلم أبو بكر ثم عمر ثم عثمان ثم نسكت

“Kami mengutamakan di zaman Rasulullah shallallaahu alaihi wa sallam Abu Bakr, kemudian ‘Umar, kemudian ‘Utsman, kemudian kami diam” [Diriwayatkan dalam Shahih Ibnu Hibban no. 7251, Al Mushannaf Ibnu Abi Syaibah 12/9, Musnad Ahmad 2/14 no 4626, As Sunnah Ibnu Abi ‘Aashim no. 1195, dan Mu’jam Al Kabir Ath-Thabaraniy 12/345 no. 13301: shahih]

Ternyata di sini, dari awal lagi, Imam Ali(as) tidak mendapat kemuliaan yang sepatutnya di sisi sesetengah para sahabat dan perkara ini menjadi asas kepada generasi para tabiin untuk tidak memasukkan nama Ali sebagai sebahagian para khalifah yang adil. Tambahan pula, ketika itu, wujudnya pemerintahan yang sangat membenci Ahlulbait dan para pengikut mereka. Sesiapa yang meriwayatkan keutamaan Ahlulbait(as) boleh dituduh sebagai Rafidhah Zindiq.

Oleh kerana Imam Ali tidak dianggap sebagai seorang sahabat yang utama, tidak hairanlah nama beliau boleh dilaknat dari mimbar selama 80 tahun. Nauzubillah.

Oleh itu, saya menanti penjelasan berkaitan riwayat-riwayat ini, walaupun saya tahu, jawabannya hanyalah berbentuk basa basi, dan penakwilan makna, agar dapat menyedapkan telinga sahaja, tanpa sebarang nilai ilmiah. Aqidah Ahlul Sunnah yang asal berittikad bahawa Imam Ali(as) hanyalah seorang sahabat yang biasa tanpa keutamaan yang besar. Riwayat di atas adalah hujahnya.

Peran Rasulullah Saw dan Ahlul Bait dalam membimbing dan memberi petunjuk umat manusia sepanjang sejarah tidak dapat dipungkiri. Ahlul Bait di samping al-Qur’an menjadi rujukan lain bagi umat untuk menimba pengetahuan. Berdekatan dan berinteraksi dengan Ahlul Bait merupakan harapan umat Islam sejak dulu, khususnya bagi mereka yang memahami posisi tinggi manusia suci ini baik keilmuan maupun ketakwaannya.

Imam Musa Kazim, salah satu keturunan Rasulullah dilahirkan pada tahun 128 H di desa Abwa, antara Mekah dan Madinah. Di usia 20 tahun, setelah kesyahidan ayahnya, Imam Sadiq as, beliau memegang kendali untuk membimbing umat. Masa keimamahan Imam Kazim 35 tahun. Selama itu, beliau menghadapi berbagai peristiwa bersejarah dan poliitk. Bersamaan dengan keimamahan Imam Kazim, dinasti Abbasiyah kian ketat mengawasi rakyat dan memberlakukan berbagai peraturan mengikat.

Fase kehidupan Imam Kazim di era pemerintahan dinasti Abbasiyah dipenuhi tekanan dan pembatasan ekstra dari pemerintah. Hal ini memaksa Imam menghabiskan sebagian usianya di penjara Harun al-Rashid, khalifah Bani Abbasiyah. Akhirnya beliau pun tak lolos dari kejahatan Bani Abbasiyah dan beliau gugur syahid di usia 55 tahun karena diracun Harun al-Rashid.

Beliau dimakamkan di Kazimain, dekat kota Baghdad Irak dan kini menjadi salah satu tempat ziarah umat Islam yang termashur di negara ini. Mengingat kondisi yang sulit di masa pemerintahan Bani Abbasiyah, Imam Kazim memprioritaskan untuk memperbaiki ideologi dan budaya umat demi mencegah penyelewengan serta bid’ah di tengah masyarakat. Oleh karena itu, Imam sepanjang hidupnya aktif memberikan arahan dan petunjuk tentang ajaran murni Islam yang beliu warisi dari kakeknya, Rasulullah Saw.

Ibnu Hajar Haitsami, salah satu pemuka Ahlu Sunnah berkata, Musa Kazim pewaris ilmu-ilmu dari ayahnya dan memiliki keutamaan serta kesempurnaan. Beliau mendapat gelar Kazim karena kesabaran beliau menghadapi cacian dan kelapangan beliau memaafkan orang yang bersalah kepadanya. Di zamannya, tidak ada orang yang menandinginya baik dari sisi keilmuan maupun ketakwaan.

Imam Kazim hidup di tengah-tengah penguasa yang kejam dan menghalalkan segala cara untuk melanggengkan kekuasaannya termasuk menumpas habis para penentangnya. Meraka mengatasnamakan Islam untuk berkuasa, namun perilaku mereka sangat bertentangan dengan ajaran Islam sendiri. Hal inilah yang membuat mereka merasa was-was terhadap keturunan Rasulullah. Dengan demikian seluruh khalifah Bani Abbasiyah mengerahkan segenap kemampuannya untuk membatasi gerak Ahlul Bait.

Imam Kazim dengan berbagai cara menjelaskan kepada umat sistem politik dan sosial ideal berdasarkan ajaran Islam. Di sisi lain, masyarakat pun akhirnya memahami bahwa kinerja pemerintahan Bani Abbasiyah bertentangan dengan nilai-nilai Islam. Sementara itu, Harun al-Rashid menempuh berbagai strategi untuk menjauhkan Imam dari umat. Misalnya, dengan berbagai alasan, ia menjebloskan Imam Kazim ke penjara dengan harapan masyarakat terputus komunikasinya dengan beliau.

Imam di saat-saat sulit seperti itu masih tidak melupakan kewajibannya membimbing umat serta memperingatkan mereka dari bid’ah yang menjamur kala itu. Arahan dan bimbingan Imam tentu saja sangat berpengaruh bagi masyarakat. Hisham bin Hakam adalah salah satu murid Imam Kazim. Ia banyak meninggalkan karya di berbagai ilmu. Imam kerap memberi nasehat kepada Hisham, salah satunya berkenaan dengan dunia dan akhirat. Beliau berkata, bukan dari kami orang yang rela menjual akhiratnya demi dunia atau sebaliknya (Tufahul Uqul hal 433)

Pembahasan soal agama dan dunia merupakan polemik di diskusi-diskusi keislaman sejak dulu. Apakah agama dan dunia saling bertentangan atau saling melengkapi ? Dengan kata lain, apakah seorang agamawan dan lebih memilih akhirat berarti melepaskan kenikmatan duniawi serta memutus hubungan dengan dunia ? Dalam pandangan Imam Kadzim, dunia dan akhirat bukan hanya tidak dapat dipisahkan, namun keduanya juga sangat erat berhubungan.

Dengan demikian, dunia merupakan kesempatan dan medan bagi manusia untuk mencapai kesempurnaan. Keberadaan manusia di dunia karena mereka dipersiapkan untuk menjadi wakil Tuhan. Oleh karena itu, dunia menjadi arena persaingan dan usaha untuk mencapai kebahagiaan di akhirat. Menurut Imam Kadzim, sikap ifrat dan tafrit (berlebih-lebihan) dalam masalah dunia dan akhirat berarti seseorang telah keluar dari jalan Ahlul Bait. Dunia akan menjadi hina ketika ia dijadikan sebagai tujuan oleh manusia dan manusia sangat bergantung dengannya. Ketika itu, dunia berubah menjadi arena yang melalikan manusia, bukannya tempat untuk mencapai kesempurnaan.

Masyarakat ideal dalam pandangan Ahlul Bait adalah masyarakat yang mampu menyeimbangkan antara akal, perasaan, ibadah, agama dan dunia serta tidak berlebih-lebihan dalam menggunakannya. Di sisi lain, terkait dunia yang menjadi dasarnya adalah ajaran agama. Dari sinilah kita saksikan Imam Kazim memprotes sikap Safwan bin Mahran yang menyewakan unta-untanya kepada Harun al-Rashid, pemimpin zalim untuk pergi haji. Beliau berkata, “Wahai Safwan tindakanmu terpuji kecuali ketika kamu menyewakan untamu kepada Harun al-Rashid.”

Sepintas Safwan ketika bertransaksi dengan Harun hanya sekedar transaksi ekonomi. Namun dalam pandangan agama, transaksi ekonomi yang dilakukan dengan pemimpin zalim akan merusak kebahagiaan akhirat seseorang. Ini adalah masalah yang senantiasa diperingatkan Imam Kazim dengan sabda beliau, Wahai manusia ! berhati-hatilah, jangan kalian rusak akhiratmu dikarenakan dunia. Artinya jangan kalian tenggelam dalam kenikmatan duniawi sehingga kalian melupakan tujuan utama hidup kalian di dunia ini.

Berkenaan dengan para penguasa zalim Imam Kazim a.s. berkata: “Barang siapa yang menghendaki mereka tetap hidup, maka ia termasuk golongan mereka. Dan barang siapa yang termasuk golongan mereka, maka ia akan masuk neraka”. Dengan demikian, Imam telah menentukan sikap tegas terhadap pemerintahan Harun al-Rashid, mengharamkan kerja sama dengannya dan melarang para pengikutnya untuk bergantung kepada pemerintahannya. Sementara itu, Harun terus berupaya bagaimana caranya membunuh Imam Musa. Suatu hari, dia mengutus Yahya bin Khalik ke penjara. Tugas yang diemban Yahya adalah meminta Imam untuk tidak menentang Khalifah dan menawarkan pengampunan serta pembebasan kepada beliau. Namun, Imam menolak semua tawaran itu.

Imam as menulis sepucuk surat kepada Harun yang berbunyi, “Setiap hari kulalui dengan kesusahan, sementara kau lalui hari-harimu dengan kesenangan. Lalu, kita akan sama-sama mati. Hingga di suatu hari yang tiada akhirnya, kelak kita diberdirikan di hadapan Mahkamah Ilahi, ketika orang-orang licik hanya akan menjadi pecundang dan terhinakan.”

Alasan Harun mengapa dia harus memindahkan Imam Musa as dari satu penjara ke penjara lain tidak ada lain adalah karena permintaannya kepada setiap kepala penjara untuk membunuh Imam, namun mereka tidak bersedia untuk memenuhi permintaan tersebut. Hingga akhirnya Sindi yang berhati keras itu bersedia untuk meracun Imam as. Maka, di dalam penjara Sindi-lah beliau meninggal akibat racun yang dibubuhkan ke dalam makanan beliau, tepatnya pada tahun 183 H.

Harun dengan menggunakan saksi-saksi palsu dan orang-orang bayaran mencoba menunjukkan kepada khalayak, bahwa kematian Imam Musa adalah sebuah kematian yang wajar dan alamiah. Siasat licik dan keji ini digunakan untuk menghindari pemberontakan sahabat-sahabat dan orang-orang setia Imam. Namun, segala kelicikan dan siasat Harun sia-sia belaka. Seorang lelaki bernama Sulaiman malah memimpin pemberontakan di Baghdad.

(Berbagai-Sumber-Lain/Syiah-Ali/ABNS)
Share this post :

Post a Comment

mohon gunakan email

Terkait Berita: