Pesan Rahbar

Home » » PEMALSUAN HADIS OLEH RAJA, BENARKAH????? SEKARANG BUKTI HUBUNGAN KOTOR INGGRIS DAN DIKTATOR-DIKTATOR ARAB

PEMALSUAN HADIS OLEH RAJA, BENARKAH????? SEKARANG BUKTI HUBUNGAN KOTOR INGGRIS DAN DIKTATOR-DIKTATOR ARAB

Written By Unknown on Monday, 8 June 2015 | 03:56:00


PEMALSUAN HADIS OLEH RAJA BENGIS

Dalam Shahih Muslim bab al-imaarah diriwayatkan oleh Hudayfh Ibn al-Yaman:
Nabi SaaW berkata : “Akan ada masanya para penguasa sepeninggalku yang tidak mengikuti petunjukku dan sunahku, dan hati sebagian dari mereka laksana berhati setan dalam wujud manusia”. Lalu Aku berkata : “Apa yang harus kita lakukan bila masanya tiba?”. Lalu Nabi SaaW berkata : “Dengarkan dan patuhi perintah mereka. Tak peduli walau mereka menyakitimu dan merampas hartamu, ikuti dan patuhi saja”.

Hadits di atas hanya contoh kecil dari 12 hadits serupa dalam kitab shahih muslim yang kita anggap shahih. Lalu siapa yang menyatakan bahwa kitab itu shahih agar kita percaya? Tiada lain (pada saat itu) adalah para penguasa yang haus kekuasaan. Barang siapa (pada saat itu) yang tidak percaya dan tidak mengikuti hadits di atas akan dianggap pemberontak dan dijatuhi hukuman mati. Ada baiknya kita lihat dahulu asal muasal kitab tersebut dan siapa yang mengontrol serta mengawasi pembuatannya.

Muawiyah adalah orang pertama yang mempelopori penyusunan hadits dan sejarah Nabi untuk pertama kalinya dalam satu kitab. Adapun ia memerintahkan seseorang bernama Ubayd yang berasal dari yaman.

Marwan seseorang yang telah diasingkan oleh Nabi SaaW karena permusuhannya terhadap Islam dan dia memiliki pengaruh dan ikatan yang kuat terhadap Utsman adalah salah satu musuh Imam ‘Ali. Anaknya yang bernama Abdul malik menggantikan posisinya, dan ia merupakan salah satu orang yang membiayai penyusunan sejarah islam, hadits dan tafsir.

Al-Zuhri adalah sejarahwan pertama yang menyusun sejarah islam atas perintah dan dana langsung Abdul Malik. Selain menyusun sejarah ia juga menyusun kitab hadits yang dimana kitabnya menjadi rujukan utama bagi Al-Bukhari. Status Al-Zuhri diangkat menjadi “bangsawan” oleh Abdul Malik.Lihat as-Sirah an-Nabawiyyah part I, pp.13-17 oleh shibli seorang ahli sejarah sunni yang ternama.

Al-Zuhri memiliki murid bernama Musa bin Uqbah serta Muhammad bin Ishaq yang di kemudian hari menjadi seorang ahli sejarah ternama. yang kemudian menyusun kitab hadits dan sejarah “juga” dibawah kontrol serta pengawasan penguasa.

Dapat diambil kesimpulan bahwa :
1. Kitab hadits dan sejarah sunni pertama kali dibukukan atas perintah langsung kekhalifahan Umayyah.
2. Penyusun pertama adalah Al-Zuhri, yang kemudian diteruskan oleh Musa bin Uqbah dan Muhammad bin Ishaq.
3. Para penyusun tersebut merupakan keluarga bani Umayyah.


Sedangkan permusuhan antara bani umayyah dan bani hashim sudah berlangsung lama. Permusuhan abu sufyan dan anaknya muawiyah melawan Nabi SaaW, pembantaian Imam Husein as dan 70 pengikutnya di karbala merupakan salah satu contoh dari beberapa contoh lainnya yang membuktikan permusuhan ke dua bani tersebut sudah berlangsung lama hingga kini. Terkait dengan hadits di atas, mereka (bani Umayyah) memerintahkan untuk memfabrikasikan hadits tersebut demi kepentingan mereka sendiri.

Logisnya apakah benar Nabi memerintahkan hal tersebut, bukankah beliau selalu mengajarkan untuk selalu memilih kebenaran dan kebaikan. Jika Nabi memerintahkan tersebut, berarti umat muslim yang mengikuti perintah sang penguasa zalim untuk membunuh, memperkosa dan lain-lain harus benar-benar dipatuhi? Bukankah secara tidak langsung Nabi memerintahkan umatnya untuk berbuat buruk? Lalu untuk apa beliau mendakwahkan islam puluhan tahun jika ujung-ujungnya harus kembali ke keburukan?


Mari kita renungi kembali ……

dalam Ahlussunnah wal Jamaah, ternyata memiliki juga 12 Imam yg berbeda dengan versi Syiah. Meski hal ini sudah jarang diketahui, tapi sempat terdokumentasikan oleh Al Suyuthi dalam Tarikh al Khulafa h.140 diriwayatkan oleh Abdullah bin Umar, bersabda Nabi SAW: “Para khalifah setelahku ada 12 dan semuanya berasal dari Quraisy,”Ia kemudian mengatakan;”12 Imam tersebut adalah Abu Bakar, Umar, Usman, Muawiyah, Yazid, al-Sifah, Salam, Mansur, Jabir, al Mahdy, al Amin dan Amir Ashab. Mereka semuanya adalah orang-orang saleh yang tidak ada duanya di muka bumi”.

Jelas dalam riwayat tersebut di atas, nama Imam Ali AS apalagi keturunannya tidak masuk dalam hitungan......


HUBUNGAN KOTOR INGGRIS DAN DIKTATOR-DIKTATOR ARAB


Sudah lama saya sebenarnya ingin mengupas banyak tentang sejarah kelam raja-raja tiran Arab. Apalagi dengan adanya krisis Syria dimana dua penguasa Arab, Saudi dan Qatar memainkan peran antagonis yang menyesakkan dada siapapun yang mencintai kebenaran dengan bantuan mereka terhadap para pemberontak. Dan alhamdulillah, obsesi saya terbantukan oleh munculnya sebuah artikel menarik yang ditulis oleh Finian Cunningham, wartawan senior independen Inggris berjudul "Britain’s barbaric ‘special relationship’ with Arab dictators" yang muncul di situs favorit saya, thetruthseeker.co.uk tgl 27 Agustus lalu. Tulisan berikut ini merupakan ringkasan dari artikel tersebut.

Foto-foto di media massa yang memperlihatkan perdana menteri Inggris David Cameron menyambut hangat raja Bahrain Hamad Khalifa di kantor Cameron di Downing Street 10 minggu lalu, menimbulkan pesan yang menyayat hati masyarakat, terutama Inggris, yang menganggap Inggris sebagai kampiun demokrasi dan perlindungan HAM.

Cameron yang lebih tegap dan tinggi dengan jas dan dasinya yang "modern" menjabat tangan Hamad khalifa dengan pakaian jaman pertengahannya, sangat tepat menggambarkan hubungan Inggris dengan negara-negara Arab bekas jajahannya sebagai hubungan "patron-client" alias tuan dan pelayannya.

Betapa berbudayanya, pemimpin Inggris mengundang seorang raja badui berbincang-bincang di tempat yang menjadi simbol demokrasi dan kebudayaan, membicarakan hal-hal yang tidak begitu penting melainkan hal-hal tentang kepentingan Inggris.

Dalam agenda pertemuan tersebut, menurut media-media liberal Inggris seperti "Guardian", David Cameron menyinggung masalah HAM yang kini tengah menjadi sorotan dunia di Bahrain. Namun hal yang lebih utama gagal disinggung-singgung oleh media massa, yaitu hubungan bisnis antara kedua negara.

Seperti biasa, Inggris berhasil memainkan perannya sebagai negara yang mengedepankan hubungan bisnis sekaligus pejuang demokrasi dan HAM. Dan seperti biasa, sang "client" diberi kesempatan untuk mempertahankan diri dari tuduhan pelanggar HAM dengan dalih "memiliki prinsip dan nilai-nilai moral sendiri" yang "agak berbeda" dengan nilai-nilai barat.

Usai pertemuan, menlu Bahrain Shaikh Khalid Al Khalifa yang tidak lain saudara kandung sang raja, sebagaimana semua jabatan strategis lainnya di kerajaan yang dipegang oleh saudara dan kerabat raja, mengatakan bahwa agenda utama pertemuan adalah membicarakan "stabilitas kawasan". Stabilitas di sini tentu bukan berarti kestabilan kepentingan rakyat di kawasan melainkan kepentingan bisnis negara-negara barat dan kestabilan politik penguasa diktator Arab di kawasan itu.

Jujur saja, Inggris tidak pernah peduli dengan masalah HAM dan demokrasi di Bahrain dan juga di manapun di dunia. Sebaliknya Inggris-lah salah satu negara yang paling banyak melanggar HAM dan demokrasi di dunia. Di masa lalu saat Inggris menjadi negara terbesar dan terkuat di dunia, ia adalah juara pelanggaran HAM dan demokrasi. Kini ia menempati posisi runner-up di bawah Amerika.

Dinasti al-Khalifa yang kini menguasai Bahrain, sebagaimana juga dinasti-dinasti Arab lainnya, 200 tahun yang lalu diangkat oleh Inggris menjadi penguasa untuk mendukung kepentingan Inggris. Mereka semuanya pada awalnya hanyalah orang-orang suku badui terbelakang yang tidak mengerti baca tulis, namun sangat berguna bagi Inggris dalam mempertahankan kekuasaannya. Dengan kebodohannya itu mereka tidak segan-segan melakukan hal-hal di luar nalar kemanusiaan. Para orang-orang tua di Bahrain masih bisa mengingat dengan jelas bagimana dahulu raja mengirimkan preman dan tukang pukul untuk memunguti pajak dari rakyat-rakyat miskin. Sesekali terdengar kabar seorang bangsawan menculik wanita cantik dari kalangan jelata untuk dijadikan gundik.

Kekejian seperti itu mungkin tidak pernah lagi terdengar saat ini, namun bentuk-bentuk kekejian lain yang lebih "canggih" menggantikannya. Kerajaan memanipulasi kekuasaan melalui pemilu "main-main" dan menguasai semua sumber ekonomi terutama minyak, dan hanya menyisakan sedikit untuk rakyatnya. Dan sementara sebagian besar rakyat Bahrain hidup dalam kemiskinan, diskriminasi pekerjaan serta pengangguran, raja dan keluarganya hidup dalam istana mewah yang dibangun di atas tanah gusuran, memperkaya diri dengan bisnis kotor dan praktik-praktik korupsi dengan perusahaan-perusahaan, perbankan dan industri minyak asing.

Rakyat Bahrain telah berulangkali memprotes ketidak adilan ini. Mereka menginginkan pemerintah yang dipilih oleh mereka sendiri dan bekerja untuk kepentingan rakyat. Ini adalah tuntutan demokrasi dan HAM yang mendasar,

Selama beberapa dekade rakyat asli Bahrain yang mayoritas beragama Shiah, berulangkali menyampaikan penolakannya atas regim korup Al-Khalifa yang Sunni yang dilindungi oleh Inggris dengan kekuatan militernya. Pada tahun 1950-an hingga 1960-an tentara Inggris yang ditempatkan di negeri ini sering melakukan penembakan terhadap para demonstran.

Saat Inggris memberikan hadiah kemerdekaan kepada Bahrain tahun 1971, Inggris meninggalkan Bahrain dari pintu depan, namun diam-diam kembali melalui pintu belakang. Aparat keamanan Baharain misalnya, sampai saat ini masih dipimpin oleh perwira inteligen Inggris. Dan dengan itu semua polisi Bahrain berhasil menjadi salah satu polisi paling brutal di dunia. Salah satu intel Inggris yang menjadi pemimpin polisi Bahrain adalah Kolonel Ian Henderson antara tahun 1968 hingga 1998. Selama kepemimpinannya itulah ribuan rakyat Bahrain ditahan dan disiksa, sebagian bahkan melalui tangan Henderson sendiri.

Inggris juga menerapkan metode lain untuk berkuasa sebagaimana telah dilakukan di tempat-tempat lain, yaitu mengeksploitir perbedaan di dalam masyarakat. Di Bahrain Inggris sengaja menciptakan sentimen Shiah-Sunni dengan memberikan dukungan tanpa batas pada penguasa Sunni di atas penderitaan rakyat yang Shiah.

Untuk memperkuat "kebijakan" dikotomi Shiah-Sunni ini Inggris sengaja mendatangkan pekerja-pekerja Sunni dari berbagai negara untuk mengisi jabatan di lembaga-lembaga publik maupun perusahaan-perusahaan besar di Bahrain.


Inggris juga menerapkan metode lain untuk berkuasa sebagaimana telah dilakukan di tempat-tempat lain, yaitu mengeksploitir perbedaan di dalam masyarakat. Di Bahrain Inggris sengaja menciptakan sentimen Shiah-Sunni dengan memberikan dukungan tanpa batas pada penguasa Sunni di atas penderitaan rakyat yang Shiah.

Untuk memperkuat "kebijakan" dikotomi Shiah-Sunni ini Inggris sengaja mendatangkan pekerja-pekerja Sunni dari berbagai negara untuk mengisi jabatan di lembaga-lembaga publik maupun perusahaan-perusahaan besar di Bahrain, dan terutama adalah jabatan-jabatan di kemiliteran. Rekayasa sosial ini dimaksudkan untuk memperkuat kekuataan regim pro-Inggris sekaligus memperkuat sentimen Suni-Shiah yang setiap saat bisa dimanfaatkan untuk kepentingan Inggris.

Namun meski puluhan ribu warganegara asing dari negara-negara mayoritas Sunni seperti Syria, Jordania, Yaman, Saudi Arabia dan Pakistan masuk ke Bahrain untuk mendapatkan kewarganegaraan serta jabatan, secara demogratis warganegara Bahrain masih didominasi oleh orang-orang Shiah. Namun tetap saja isu seputar orang-orang Sunni asing yang menjadi warganegara Bahrain telah menjadi sebuah isu yang sensitif.

Sejak meletusnya kerusuhan di Bahrain yang dipicu oleh revolusi di Tunisia dan Mesir, regim al Khalifa telah berulangkali melakukan aksi-aksi kekerasan terhadap warganya sendiri dengan menggunakan bantuan pasukan Saudi Arabia dan negara-negara Teluk lainnya. Belasan orang telah tewas dan ratusan lainnya mengalami luka-luka dan cacat. Dalam satu episode kerusuhan yang paling biadab, pasukan dari Saudi Arabia menyerbu sebuah rumah sakit dan memukuli serta mengusir para demonstran yang tengah dirawat.

Ribuan orang telah mengalami penyiksaan, termasuk wanita dan anak-anak. Beberapa di antaranya bahkan tewas di ruang tahanan akibat penyiksaan aparat keamanan, sebuah fenomena yang hanya terjadi di masa lalu di negara-negara beradab.

Regim al Khalifa tidak mungkin bisa bertahan tanpa dukungan Inggris, juga Amerika dan regim-regim diktator Arab lainnya. Di tengah-tengah aksi kerusuhan yang terus melanda Bahrain, Inggris dan Amerika terus membanjiri aparat keamanan Bahrain dengan senjata "shotgun" (senjata laras panjang untuk pertempuran jarak dekat, mengeluarkan peluru yang memecah dan menyemprotkan butiran logam kecil) dan gas air mata. Senjata-senjata itu digunakan untuk menyerbu rumah-rumah penduduk dan tahun lalu telah menewaskan 40 warga sipil. Markas besar Armada V Amerika di Bahrain adalah simbol paling teguh yang menunjukkan dukungan barat terhadap regim al Khalifa.

Bulan November tahun lalu sebuah komisi penyidik internasional yang dipimpin pengacara Mesir Cherif Bassiouni menyimpulkan bahwa pemerintah Bahrain telah melakukan aksi-aksi brutal secara sistematik terhadap warga sipil. Komisi meminta pemerintah untuk melepaskan semua tahanan politik serta para aktifis HAM yang ditahan. Namun dengan cuek regim Al Khalifa mengabaikan tuntutan itu dan terus saja melakukan aksi-aksi biadabnya. Sementara itu baik Inggris maupun Amerika diam seribu bahasa atas semua kebiadaban itu. Sebaliknya mereka terus saja membanjiri Bahrain dengan senjata. Awal tahun ini saja Amerika telah mengirimkan senjata-senjatanya senilai $53 juta.

Inggris dan Amerika serta media massa mapan mereka mencoba menyembunyikan fakta dan menyebut regim al Khalifa tengah mencoba mengimplementasikan reformasi dan menggelar dialog nasional. Mereka mengabaikan fakta bahwa rakyat Bahrain tidak ingin lagi diperintah oleh regim pembunuh dan penindas seperti keluarga al Khalifa dan menginginkan pemerintahan yang dipilih oleh rakyat sendiri. Sebuah tuntutan demokrasi yang paling mendasar.

Tahun lalu, sebulan setelah laporan komisi penyidik internasional dirilis, Raja Hamad al Khalifa juga datang ke Inggris menemui David Cameron. Sebagai balasan Cameron mengirim seorang perwira polisi senior John Yates untuk "melatih" aparat keamanan Bahrain menghormati nilai-nilai HAM. Yates bergabung dengan utusan Amerika yang telah lebih dahulu dikirim, John Timoney. Namun pada dasarnya mereka tidak jauh berbeda dengan Henderson, hanya mungkin sedikit lebih "santun".

Gambaran lebih besar dari semua itu adalah bahwa Bahrain merupakan bagian integral dari panguasa-penguasa diktator Sunni Arab pelayan kepentingan Inggris dan Amerika. Sebagaimana penguasa Bahrain, penguasa-penguasa Saudi, Kuwait, Qatar, Uni Emirat Arab, Oman dan adalah regim-regim bentukan Inggris, berasal dari kalangan Arab badui primitif yang didudukkan di singgasana untuk menjamin minyak terus mengalir ke barat. Untuk itu semua para penguasa itu rela menindas rakyatnya sendiri.

Paska munculnya gerakan "Arab Spring" penguasa-penguasa itu bahkan memainkan peran yang lebih menonjol lagi bagi kepentingan barat: menjadi sponsor pemberontakan-pemberontakan bersenjata di negara-negara Arab untuk mendudukkan pemimpin-pemimpin baru yang lebih pro-barat. Mereka telah berhasil melakukannya di Libya dan kini tengah mengimplementasikannya di Syria dengan target terakhirnya Iran.

Hanya beberapa hari sebelum Cameron bertemu Raja Hamad al-Khalifa di London, seorang bocah berumur 16 tahun bernama Husam Al Haddad, ditembak punggungnya dan dipukuli hingga tewas oleh pasukan pembunuh al Khalifa dalam sebuah aksi demonstrasi damai di Manama. Pada saat hampir bersamaan polisi Saudi menangkap, menembak, dan memenjarakan seorang ulama Shiah yang sudah renta dengan tuduhan mengobarkan pemberontakan.

(Berbagai-Sumber-Lain/ABNS)
Share this post :

Post a Comment

mohon gunakan email

Terkait Berita: