Para ulama Syiah Imamiyah bersepakat bahwa ayat-ayat Al-Qur’an telah dikumpulkan pada jaman nabi Muhammad saw, dan beliau tidak meninggalkan dunia ini kecuali setelah menyampaikan pesan di hatinya kepada para hafidz (yang jumlahnya pun cukup banyak) atau dituangkan dalam bentuk tulisan di segala macam lembaran atau potongan kayu dan tulang. Hal ini telah diterima sebagai suatu masalah yang jelas, dan kebanyakan dari ulama Ahlu Sunah dan Syiah dalam masalah ini memiliki pendapat yang sesuai. Banyak sekali indikasi-indikasi berupa riwayat dan lain sebagainya mengenai masalah ini, yang di antaranya adalah:
1. Rasulullah saw sudah menekankan para sahabatnya untuk menghafal, mengajarkan, membaca dan melantunkan ayat-ayat suci Al-Qur’an sejak awal diturunkannya ayat-ayat kitab suci tersebut. Beberapa contoh tentang ditekankannya umat untuk membaca dan menghafalkan Al-Qur’an di antaranya seperti:
Rasulullah saw bersabda: “Barang siapa membaca Qur’an untuk memahaminya dan menghafalnya, maka Tuhan akan memasukkannya ke dalam surga dan bakal diterima syafaatnya untuk sepuluh orang dari keluarganya yang meskipun mereka telah ditetapkan untuk masuk ke dalam neraka.”[3]
Banyak sekali hadits-hadits dengan kandungan seperti ini yang tak terhingga jumlahnya. Diriwayatkan dari Ubadah bin Shamit:
“Setiap kali ada yang berhijrah ke Madinah, Rasulullah saw menyerahkannya kepada salah satu dari umatnya agar ia diajari Qur’an. Sedemikian maraknya yang belajar Qur’an, sehingga suara bacaan Qur’an bergemuruh di Masjid Nabawi, dan nabi sendiri meminta untuk merendahkan sedikit suara mereka agar suara-suara tidak bercampur dan membingungkan.”[4]
Menarik sekali, berat anjuran tiada henti Rasulullah saw dan juga semangat umatnya, dalam jangka waktu yang cukup pendek banyak sekali yang telah menghafalkan Qur’an. Selain mendapat pahala yang banyak sebagaimana yang dijelaskan oleh sang nabi, para hafidz Qur’an juga memiliki kedudukan istimewa di tengah-tengah umat dan di sisi Rasulullah Saw. Jumlah para hafidz Qru’an sangat banyak saat itu juga. Buktinya, pada peristiwa Bi’r Ma’unah, di masa hayat Rasulullah Saw, 70 orang dari para hafidz Qur’an terbunuh. Lalu tak lama setelah wafat Rasulullah Saw, pada peristiwa perang Yamamah, sekitar empat ratus, atau menurut riwayat lain tujuh ratus orang dari para hafidz Qur’an gugur terbunuh. Begitu juga seorang wanita yang bernama Ummu Waraqah putri Abdullah bin Harits termasuk dari para hafidz Qur’an. Sering sekali Rasulullah Saw mengunjunginya dan menyebutnya Syahidah dan memerintahkannya untuk mengendalikan kepemimpinan keluarganya.[5]
Menghafal sebagian dari surah-surah Qur’an adalah hal yang lumrah di tengah-tengah umat Islam, sehingga jarang sekali ditemukan seorang lelaki atau perempuan yang tidak hafal sepenggal dari Qur’an. Begitu pentingnya Qur’an saat itu, sampai-sampai ada wanita yang meminta mahar berupa diajarkannya satu atau beberapa surah dari Qur’an.
2. Tidak diragukan bahwa para penulis wahyu selalu berada di sisi Rasulullah saw. Mereka selalu menuliskan apa yang didekte oleh Rasulullah saw. Beliau pun memilah-milah para penulis wahyu dan mengkategorikannya sesuai dengan kriteria-kriteria yang dipertimbangkan beliau serta mengatur waktu pertemuan dengan mereka.
Hakim dengan sanad yang shahih meriwayatkan dari Zaid bin tsabit:
“Kami hadir di sisi nabi Muhammad saw dan kami menuliskan Qur’an di atas ruq’ah-ruq’ah.”[6]
Para ahli sejarah menyebut nama-nama para penulis wahyu dan sebagian menyatakan bahwa jumlah mereka mencapai empa puluh dua orang, dan tiap saat wahyu turun Rasulullah saw memerintahkan mereka untuk menuliskannya dengan segera.
Barra’ meriwayatkan:
Setelah diturunkannya ayat ini: “Tidaklah sama antara orang-orang yang duduk di antara orang-orang yang beriman dengan…” (QS. An-Nisa’ [4]: 95) Maka Rasulullah saw berkata: “Segera panggillah Zaid untuk datang kemari dengan membawa papan dan tinta (alat tulis).” Lalu datanglah Zaid, dan Rasulullah saw memerintahkannya menuliskan wahyu yang diturunkan tersebut.[7]
Rasulullah saw secara langsung mengawasi apa yang sedang ditulis oleh para penulis wahyu dan beliau juga mencocokkannya secara detil dengan wahyu yang telah diturunkan.
Diriwayatkan dari Zaid bin Tsabit:
“Aku termasuk dari para penulis wahyu Rasulullah saw. Setiap kali wahyu turun kepada Rasulullah saw, beliau gemetaran sangat parah. Setelah itu aku datang dengan membawa alat tulis, kemudian beliau membacakan wahyu yang diturunkan itu untuk kami semua lalu aku pun menuliskannya dengan jeli. Seusai aku tulis, beliau membaca tulisanku. Jika ada yang kurang dalam tulisanku, beliau segera mengingatkan, aku pun membenahinya. Setelah itu baru aku mempersembahkannya kepada semua orang.”[8]
Adapun tentang ayat-ayat yang turun secara terpisah-pisah, diriwayatkan dari Ibnu Abbas:
“Ketika wahyu diturunkan kepada Rasulullah saw, beliau memanggil penulis wahyu kemudian bersabda: “Letakkanlah ayat ini ‘di surah ini’ dan ‘di bagian ini’.””[9]
Dan hal itu pun dilakukan dengan penuh teliti dan jeli.
3. Dalam hadits-hadits shahih disebutkan:
“Malaikat Jibril tiap bulan Ramadhan menurunkan Al-Qur’an kepada nabi Muhammad saw. Hal itu terjadi sekali dalam satu tahun, dan di tahun wafatnya beliau terjadi dua kali.”[10]
Rasulullah saw telah menyampaikan wahyu yang ada di dadanya kepada para hafidz Qur’an. Para pemilik Qur’an pun menunjukkannya kepada Rasulullah saw agar beliau membenarkan jika seandainya ada kesalahan di dalamnya.
Diriwayatkan dari Ibnu Qutaibah:
“Mushaf terakhir yang telah dikoreksi adalah milik Zaid bin Tsabit.”[11]
Dan dalam riwayat Ibnu Abdul Barr, dinukilkan dari Abi Dhabyan: “Mushaf terakhir yang telah dikoreksi adalah milik Abdullah bin Mas’ud.”[12]
4. Dalam berbagai riwayat disebutkan bahwa para sahabat di jaman nabi sering sekali membaca Qur’an dari awal hingga akhir dan mengkhatamkannya. Beliau pun menjelaskan hukum-hukum terkait dengan masalah itu dan menekankan mereka untuk sering mengkhatamkan Al-Qur’an. Diriwayatkan dari beliau:
“Bagi seorang pembaca Qur’an, tiap kali telah mengkhatamkannya, baginya sebuah doa yang mustajab.”[13]
“Barang siapa membaca Al-Qur’an dalam tujuh hari, maka perbuatan itu termasuk dari perbuatan orang-orang yang dekat dengan Allah (muqarrabin), dan barang siapa membacanya dalam lima hari maka itu termasuk amal orang-orang yang shiddiq.”[14]
“Barang siapa menyimak surah Al-Fathihah saat membuka Al-Qur’an, ia seperti seorang yang menyaksikan kemenangan di jalan Allah, dan barang siapa menyaksikan akhir Qur’an saat ia telah mengkhatamkannya, maka ia bagai orang yang mendapatkan banyak keuntungan.”[15]
Artinya, sebagaimana yang kita fahami dari hadits-hadits di atas, pada saat itu juga Al-Qur’an sudah berupa satu kumpulan ayat dan surah yang telah tersusun. Diriwayatkan dari Muhammad bin Ka’ab Quradhi:
“Yang termasuk orang-orang yang telah mengkhatamkan Al-Qur’an di zaman nabi di antaranya adalah: Utsman, Ali bin Abi Thalib dan Abdullah bin Mas’ud.”[16]
Almarhum Thabrasi menulis:
“Beberapa sahabat seperti Abdullah bin Mas’ud, Ubai bin Ka’ab, dan sahabat-sahabat lainnya telah mengkhatamkan Qur’an berkali-kali di hadapan nabi.”[17]
Dan diriwayatkan juga:
“Rasulullah saw memerintahkan Abdullah bin ‘Amr bin ‘Ash untuk mengkhatamkan Qur’an tiap tujuh atau tiga hari sekali. Dan dia telah mengkhatamkan seluruh isi Qur’an dalam tiap satu malam.”[18]
Dan kepada Sa’ad bin Mundzir diperintahkan:
“Ia diperintahkan untuk mengkhatamkan Qur’an sekali dalam tiga malam. Ia pun selalu melakukannya hingga akhir hayatnya.”[19]
5. Para sahabat telah menyusun Qur’an dalam suhuf (lembaran-lembaran) dan alwah (papan-papan), karena mereka tidak merasa cukup dengan hafalan saja. Tentang bangaimana Umar bin Khatab memeluk Islam diriwayatkan:
“Seorang lelaki Quraisy berkata kepadanya: “Kenapa engkau duduk diam saja sedangkan saudarimu telah keluar dari agamamu!” Lalu ia pergi ke rumah saudarinya, dan tanpa izin ia memasukinya begitu saja, kemudian menampar pipi saudarinya dengan kencang. Terjadi keributan di rumah itu. Lalu setelah keributan reda,Ia melihat sebuah lembaran berada di pojok rumah yang tertulis di atasnya: “Dengan menyebut nama Allah Yang Maha Pemurah lagi Maha Penyayang. Semua yang berada di langit dan yang berada di bumi bertasbih kepada Allah [menyatakan kebesaran Allah]. Dan Dialah Yang Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.” (QS. Al-Hadid [57]: 1) Kemudian ia melihat lembaran lain yang di atasnya tertulis: “Thaahaa. Kami tidak menurunkan Al Qur’an ini kepadamu agar kamu menjadi susah” (QS. Taha [20]: 1-2) Setelah ia melihat ayat-ayat suci yang merupakan mukizat itu, barulah ia memeluk Islam.”[20]
Ini adalah bukti bahwa di jaman nabi Qur’an sudah ditulis dari nabi oleh para penulis wahyu. Lalu umat Islam saling meminjamkan dan menggandakan tulisan-tulisan tersebut.
Sekelompok sahabat di jaman nabi yang sibuk mengumpulkan Al-Qur’an, sebagaimana yang diriwayatkan oleh Abdullah bin ‘Umar dan Anas bin Malik, ada empat orang. Berdasarkan riwayat Muhammad bin Ka’ab Quradhi[21] mereka berjumlah lima orang. Berdasar riwayat Sya’bi[22] mereka enam orang. Ibnu Habib pun dalam Al-Muhabbar[23] menyebut mereka ada enam orang. Sedangkan Ibnu Nadim dalam Al-Fihrist[24] mengatakan jumlah mereka tujuh orang.
Yang disebut mengumpulkan di sini bukanlah menghafalkan Qur’an, karena jumlah para hafidz Qur’an di jaman nabi lebih dari empat atu tujuh orang; sebagaimana yang telah dijelaskan sebelumnya.
Di sini kami akan menyebutkan nama-nama para pengumpul Qur’an di jaman nabi, yang merupakan hasil dari penggabungan riwayat-riwayat yang ada. Mereka adalah:
1. Ubay bin Ka’b;
2. Abu Ayub Anshari;
3. Tamim Dari;
4. Abu Darda’;
5. Abu Yazid Tsabit bin Zaid bin Nu’man;
6. Zaid bin Tsabit;
7. Salim yang dibebaskan Ibnu Hudzaifah;
8. Sa’id bin ‘Ubaid bin Nu’man;
9. Ubadah bin Shamit;
10. Abdullah bin ‘Amr bin ‘Ash;
11. Abdullah bin Mas’ud;
12. Ubaid bin Mu’awiyah bin Zaid;
13. Utsman bin ‘Affan;
14. Ali bin Abi Thalib;
15. Qais bin Al-Sakan;
16. Qaish bin Abi Sha’sha’ah bin Zaid Anshari;
17. Majma’ bin Jariyah;
18. Mu’adz bin Jabal bin Aus;
19. Ummu Waraqah binti Abdullah bin Harits.
Sebagian dari mereka memiliki mushaf-mushaf yang terkenal juga, seperti Ali bin Abi Thalib as dan Abdullah bin Mas’ud.
7. Dalam kebanyakan ayat-ayat Al-Qur’an, sering kali Qur’an ini disebut dengan “kitab” sejak awal. Jelas sekali yang dimaksud dengan kata “kitab” bukanlah apa yang berada di hati dan hafalan tiap orang. Karena kitab adalah suatu yang tertulis di luar pikiran. Selain itu dalam banyak hadits juga sering disebut kata “kitab” untuk Al-Qur’an. Misalnya dalam hadits tsaqalain, Rasulullah saw bersabda: “Sesungguhnya aku meninggalkan dua pusaka untuk kalian: Kitab Allah dan Ahlul Baitku.”[25]
Hadits tersebut membuktikan bahwa Rasulullah saw telah meninggalkan Al-Qur’an untuk kita dengan bentuk tertulis dalam sebuah kitab.
8. Sebagian riwayat menunjukkan bahwa mushaf-mushaf yang ada di tangan para sahabat, sebagian sempurna dan sebagian memiliki kekurangan. Mereka saling membacakan mushaf-mushaf mereka dan Rasulullah saw pun dalam kondisi-kondisi tertentu mengeluarkan perintah terkait dengan hal itu.
Diriwayatkan dari Aus Tsaqafi: Rasulullah saw bersabda:
“Membaca Qur’an tidak dari mushaf (membaca berdasarkan hafalan) pahalanya adalah seribu, sedangkan membaca Qur’an dari mushaf pahalanya dua ribu.”[26]
‘Aisyah meriwayatkan dari Rasulullah saw:
“Memandang mushaf adalah ibadah.”[27]
Ibnu Mas’ud meriwayatkan dari Rasulullah saw:
“Teruslah memandangi mushaf.”[28]
Abu Sa’id Khadri, meriwayatkan dari Rasulullah saw: “Berikanlah hak-hak mata kalian dalam ibadahnya.” Lalu beliau ditanya: “Apakah itu?” Beliau menjawab: “Memandang mushaf Al-Qur’an, berfikir di dalamnya, dan mengambil pelajaran dari keajaibannya.”[29]
Dan juga bersabda: “Sebaik-baiknya ibadah umatku adalah membaca Qur’an dengan melihatnya.”[30]
Beliau juga berkata: “Barang siapa melihat Al-Qur’an dengan memandang ayat-ayatnya, maka matanya akan disenangkan selama di dunia.”[31]
Hadits-hadits tersebut membuktikan bahwa disebutnya Al-Qur’an dengan sebutan mushaf bukanlah di jaman para khalifah. Karena sebagaimana yang telah kita bahas, di jaman nabi Qur’an sudah berupa lembaran-lembaran yang terkumpul dan tersusun.
Selain apa yang telah lalu, kita perlu katakan bahwa ada satu salinan mushaf yang disimpan oleh nabi Muhammad saw. Dalam hadits Utsman bin ‘Ash disebutkan:
“Ketika sekelompok orang dari Tsaqif mendatangi nabi, aku pergi menuju beliau lalu meminta mushaf yang beliau simpan dan beliau pun memberikannya kepadaku.”[32]
Ya, Rasulullah saw menyimpan sebuah mushaf di dekat tempat tidurnya yang berupa kumpulan lembaran daun, pelepah kurma, kain dan tulang pundak onta. Beliau memerintahkan Imam Ali as untuk merapikan dan menyusunnya. Imam Ali as berkata berkenaan dengan ini:
“Demi Tuhan, aku tidak menyampirkan aba’ahku ke pundakku kecuali untuk shalat sehingga aku bisa mengumpulkan Al-Qur’an.”[33]
Sebagaimana yang sering disinggung, mushaf itu disusun berurutan berdasarkan waktu diturunkannya wahyu dan mengandung tanzil dan takwil.
Apa yang telah disampaikan di atas adalah bukti bahwa seluruh isi Al-Qur’an telah tersusun di jaman Rasulullah saw masih hidup. Qur’an saat itu memiliki awal dan akhir yang jelas. Rasulullah saw sendiri mengawasi penulisan Al-Quran dengan ketat dan peletakan ayat-ayat di dalam suatu surah berdasarkan perintah langsung dari beliau. Lalu jika demikian bagaimana bisa dinyatakan bahwa penyusunan Qur’an baru dimulai di masa kekhalifahan Abu bakar? Sampai-sampai untuk membuktikan bahwa apa yang dihafal oleh seseorang dan diakuinya sebagai ayat Qur’an diperlukan dua saksi terpercaya?
Referensi:
[1]. Shahih Bukhari: Bab Jam’ul Qur’an, jil. 6, hal. 98.
[2]. Al-Bayan fi Tafsiril Qur’an: hal. 247-249.
[3]. Al-Bayan, jil. 1, hal. 85.
[4]. Manahilul Irfan: jil. 1, hal. 242; Musnad Ahmad: jil. 6; hal. 442; Tarikhul Qur’an As Saghir: hal. 80; Mabahits Fi Ulumil Qur’an: hal. 121; Hayatus Shahabah: jil. 3, hal. 260; Mustadrak Hakim: jil. 3, hal. 356.
[5]. Al-Itqan: jil. 1, hal. 250.
[6]. Al-Mustadrak: jil. 2, hal. 611.
[7]. Kanzul Ummal: jil. 2, hal. 434.
[8]. Majma’uz Zawaid: jil. 1, hal. 152.
[9]. Al-Mustadrak: jil. 2, hal. 222; Al-Jami’ Ash Shahih, Tsarmadi: jil. 5, hal. 272; Tarikh Ya’qubi: jil. 2, hal. 43; Al-Burhan, Zarkasyi: jil. 1, hal. 34; Musnad Ahmad: jil. 1, hal. 57 & 69; Tafsir Qurthubi: jil. 1, hal. 60.
[10]. Shahih Bukhari: jil. 6, hal. 319; Majma’uz Zawaid: jil. 9, hal. 23; Kanzul Ummal: hal. 12; adapun dari kalangan kita tidak ditemukan riwayat serupa, kecuali dari Syaikh Mufid dalam Al-Irsyad jil. 1, hal. 181, dan dinukil juga darinya dalam A’lamul Wara, Manaqibu Ali Abi Thalib dan Kasyful Ghummah.
[11]. Al-Ma’arif: hal. 260.
[12]. Al-Isti’ab: jil. 3, hal. 992.
[13]. Kanzul Ummal: jil. 1, hal. 2280.
[14]. Ibid: hal. 2417.
[15]. Ibid: hal. 2430.
[16]. Al-Jami’ Liahkamil Qur’an: Jil. 1, hal. 58.
[17]. Majma’ul Bayan: jil. 1, hal. 84.
[18]. Sunan Darami: jil. 2, hal. 471; Sunan Abi Dawud: jil. 2, hal. 54; Al-Jami’ Ash-Shahih, Tirmidzi: jil. 5, hal. 196; Musnad Ahmad: Jil. 2, hal. 163.
[19]. Majma’ Az-Zawaid: jil. 7, hal. 171.
[20]. Al-Mausu’ah Al-Qur’aniyah: jil. 1, hal. 352, menukil dari As-Sirah An-Nabawiyah, Ibnu Hisyam: jil. 1, hal. 367-370.
[21]. Manahilul Irfan: Jil. 1, hal. 236; Al-Jami’ Li Ahkamil Qur’an: jil. 1, hal. 56; Usdul Ghabah: jil. 4, hal. 216. Al-Jami’ Al-Shahih: jil. 5, hal. 666.
[22]. Thabaqat Ibnu Sa’ad: jil. 2, hal. 113; Fathul Bari: jil. 9, hal. 48; Manahilul Irfan: jil. 1, hal. 237; Hayatus Shahabah: jil. 3, hal. 221.
[23]. Al-Muhabbar: hal. 286.
[24]. Al-Fihrist: hal. 41.
[25]. Shahih Muslim: jil. 4, hal. 1873; Sunan Tirmidzi: jil. 5, hal. 662; Sunan Darami: jil. 2, hal. 431; Musnad Ahmad: jil. 4, hal. 367; Al-Mustadrak: jil. 3, hal. 148.
[26]. Majma’us Zawaid: jil. 7, hal. 165; Al-Burhan, Zarkasyi: jil. 1, hal. 545.
[27]. Al-Burhan, Zarkasyi: jil. 1, hal. 546.
[28]. Majma’us Zawaid: jil. 7, hal. 171.
[29]. Kanzul Ummal: jil. 1, hal. 2262.
[30]. Ibid: hadits 2265, 2358 dan 2359.
[31]. Ibid: hadits 2407.
[32]. Majma’ Az-Zawaid: jil. 9, hal. 371; Hayatul Shabah: jil. 3, hal. 244.
[33]. Kanzul Ummal: jil. 2, hal. 4792.
(Hauzah-Maya/Berbagai-Sumber-Lain/ABNS)
Post a Comment
mohon gunakan email