Pesan Rahbar

Home » » Apa pendapat Syiah tentang riwayat yang menyatakan bahwa sepeninggal sepeninggal Rasulullah saw kekhalifahan berlangsung selama 30 tahun dan jumlah khalifah serta raja adalah 12 orang? (Bagian 5)

Apa pendapat Syiah tentang riwayat yang menyatakan bahwa sepeninggal sepeninggal Rasulullah saw kekhalifahan berlangsung selama 30 tahun dan jumlah khalifah serta raja adalah 12 orang? (Bagian 5)

Written By Unknown on Saturday 28 November 2015 | 22:48:00


Berpegang Teguh Pada Ahlul Bait Nabi SAW Dan Berpegang Teguh Pada Sahabat Nabi SAW

Merupakan hal yang tidak dapat dipungkiri bahwa Islam sekarang terbagi dalam berbagai mahzab. Setiap mahzab menawarkan pemahaman khas tersendiri tentang bagaimana Islam sebenarnya. Dan tidak jarang antara mahzab yang satu dan mahzab yang lain terjadi perselisihan pemahaman. Hal ini membuat kesulitan bagi sebagian orang yang ingin memahami ajaran Islam dengan baik. Walaupun begitu ada suatu pemecahan awal yang dapat digunakan dalam memilah yang mana yang benar dan yang mana yang salah dari semua mahzab yang ada. Ajaran Islam sepenuhnya berlandaskan pada Al Quranul Karim dan Sunah Rasulullah SAW. Oleh karena itu setiap pandangan yang ditawarkan oleh mahzab apapun hendaknya ditimbang dengan Al Quran dan Sunah Rasulullah SAW.

Secara garis besar Islam terbagi dalam dua mahzab besar yaitu Sunni dan Syiah. Masing-masing mahzab memiliki formulasi Islam tersendiri. Adalah tidak benar jika seseorang menuduh bahwa Syiah adalah ajaran yang tidak memiliki landasan dalam Islam atau sebaliknya menuduh Mahzab Sunni tidak memiliki landasan. Landasan selalu ada dan itulah yang membuat kedua mahzab tersebut bertahan ratusan tahun lamanya. Seseorang boleh saja mempersepsi yang mana yang benar dan yang mana yang salah menurutnya dan dengan dasar itu dia berhak untuk memilih mahzab yang akan dianutnya. Hal yang patut dihindari adalah fanatisme mahzab yang membuat seseorang begitu terpolarisasi seakan-akan setiap apapun yang bukan dari mahzabnya adalah sesat.

Mahzab Sunni dan Mahzab Syiah memiliki landasan awal yang sama yaitu Berpegang pada Al Quranul Karim dan Sunah Rasulullah SAW. Perbedaannya terletak pada landasan yang lebih lanjut. Mahzab Sunni mengambil Sunah Rasulullah SAW dominan dari sahabat-sahabat Nabi SAW sedangkan Mahzab Syiah mengambil Sunnah Rasulullah SAW dari Ahlul Bait. Tulisan ini akan meninjau kedua landasan lanjut Mahzab Sunni dan Mahzab Syiah.


Mazhab Syiah adalah Mahzab Ahlul Bait

Seperti yang dijelaskan sebelumnya Syiah mengambil Sunah Rasulullah SAW dari Ahlul Bait. Dalam pandangan Syiah Ahlul Bait adalah pedoman bagi umat Islam setelah Al Quran. Hal ini ternyata sesuai dengan apa yang dinyatakan Rasulullah SAW sendiri.

Bahwa Rasulullah SAW bersabda “Wahai manusia sesungguhnya Aku meninggalkan untuk kalian apa yang jika kalian berpegang kepadanya niscaya kalian tidak akan sesat ,Kitab Allah dan Itrati Ahlul BaitKu”.(Hadis riwayat Tirmidzi,Ahmad,Thabrani,Thahawi dan dishahihkan oleh Syaikh Nashiruddin Al Albany dalam kitabnya Silsilah Al Hadits Al Shahihah no 1761).

Perlu dijelaskan bahwa ada banyak sekali hadis keutamaan Ahlul Bait yang menunjukkan bahwa Mereka memiliki kemuliaan yang besar sehingga setiap umat islam diwajibkan untuk mencintai Mereka. Tetapi dalam pembahasan ini hanya difokuskan terhadap hadis yang menjelaskan dengan kalimat yang lugas dan jelas bahwa Ahlul Bait adalah pedoman bagi umat Islam. Dalam mahzab Syiah kedudukan Ahlul Bait Nabi SAW sebagai pedoman menyebabkan timbulnya pandangan kema’suman Ahlul Bait. Hal ini merupakan konsekuensi logis dari kedudukan Ahlul Bait sebagai Pedoman Umat islam. Sang pedoman jelas sekali harus selalu benar.


Mazhab Sunni adalah Mahzab Sahabat

Mahzab Sunni mengambil hadis Rasulullah SAW dari para Sahabat. Hal ini berdasarkan banyaknya keutamaan yang dimiliki oleh mereka para Sahabat. Dalam mahzab Sunni Sahabat Nabi memiliki keutamaan-keutamaan yang besar. Ada banyak hadis yang menjelaskan tentang ini. Sahabat Nabi jelas sekali belajar hadis dari Rasulullah SAW oleh karena itu mengambil hadis dari Sahabat Nabi SAW adalah suatu hal yang rasional dengan sudut pandang ini. Sayangnya tidak ada hadis yang lugas dan jelas yang menyatakan bahwa Sahabat Nabi adalah pedoman bagi umat Islam agar tidak tersesat. Semua hadis yang dijadikan dasar dalam hal ini adalah hadis-hadis keutamaan mereka yang menjelaskan betapa mulianya mereka. Oleh karena itu Sunni tidak pernah menyatakan bahwa Sahabat Nabi itu ma’sum. Hal ini memiliki konsekuensi logis bahwa Sahabat Nabi tidak selalu benar.

Ada sebagian hadis yang sering dijadikan dasar bahwa Sahabat Nabi adalah pedoman bagi umat Islam.

Rasulullah SAW bersabda “Umat ini akan terpecah belah menjadi 73 golongan . Mereka semua ada di neraka kecuali satu golongan”. Para sahabat bertanya “Siapakah golongan itu?”. Beliau menjawab “Apa yang Aku dan para sahabatku ada diatasnya pada hari ini”.(Hadis Riwayat Thabrani dalam Mu’jam As Saghir jilid I hal 256)

Kemudian juga hadis ini:
Rasulullah SAW bersabda: “Sesungguhnya bani Israil telah berpecah belah menjadi 72 golongan, dan umatku akan berpecah belah menjadi 73 golongan . Mereka semua di neraka kecuali satu golongan “. Para Sahabat bertanya “Dan siapakah golongan (yang selamat) itu wahai Rasulullah SAW?”. Beliau menjawab “Apa yang Aku dan para sahabatku ada diatasnya”. (Hadis Riwayat Tirmidzi dalam Sunan Tirmidzi Kitab Al Iman ‘An Rasulillah Bab Ma Ja’a Fi Iftiraqi Hadzihi Al Ummah no 2565).

Kedua hadis tersebut adalah hadis yang dhaif . Hadis pertama riwayat Thabrani dalam sanadnya terdapat Abdullah bin Sufyan dimana Al Uqaili berkata Hadisnya tidak bisa diikuti. Oleh karena itu Al Uqaili memasukkan hadis ini dalam kitabnya Adh Dhu’afa Al Kabir no 938. Hadis kedua riwayat Tirmidzi dalam sanadnya terdapat Abdurrahman bin Ziyad Al Ifriqi dan sebagaimana dijelaskan dalam At Taqrib bahwa dia adalah dhaif. Oleh karena itu Al Mubarakfuri menyatakan dhaifnya hadis tersebut dalam Tuhfatul Ahwadzi Syarh Sunan Tirmidzi hadis no 2565.

Kesimpulan:
Apa yang dapat disimpulkan dari ini adalah Rasulullah SAW sendiri telah menjelaskan bahwa pegangan dan pedoman bagi umat Islam agar tidak sesat adalah Hendaknya berpegang teguh pada Al Quran dan Ahlul Bait Nabi. Tidak ada suatu penjelasan lugas dan jelas yang shahih bahwa Rasulullah SAW menganjurkan untuk berpegang pada sahabat agar umat Islam tidak sesat.

*****
Hadis Imam Ali Mengakui Khalifah Peninggalan Rasulullah SAW : Studi Kritis Hujjah Salafy

Oknum salafiyun itu ternyata tidak mau berhenti untuk menunjukkan kekeliruannya dalam berhujjah. Ia membawakan dua buah hadis yang dikatakannya sebagai penguat hadis Syu’aib bin Maimun. Mari kita analisis dengan seksama kedua hadis tersebut.

Hadis Pertama diriwayatkan dalam Musnad Ahmad 1/130 no 1078:

حدثنا عبد الله حدثني أبى ثنا وكيع ثنا الأعمش عن سالم بن أبي الجعد عن عبد الله بن سبع قال سمعت عليا رضي الله عنه يقول لتخضبن هذه من هذا فما ينتظر بي الأشقى قالوا يا أمير المؤمنين فأخبرنا به نبير عترته قال إذا تالله تقتلون بي غير قاتلي قالوا فاستخلف علينا قال لا ولكن أترككم إلى ما ترككم إليه رسول الله صلى الله عليه و سلم قالوا فما تقول لربك إذا أتيته وقال وكيع مرة إذا لقيته قال أقول اللهم تركتني فيهم ما بدا لك ثم قبضتني إليك وأنت فيهم فإن شئت أصلحتهم وإن شئت أفسدتهم

Telah menceritakan kepada kami Abdullah yang berkata telah menceritakan kepadaku Ayahku yang berkata telah menceritakan kepada kami Waki’ yang berkata telah menceritakan kepada kami Al ‘Amasy dari Salim bin Abi Al Ja’d dari Abdullah bin Sabu’ yang berkata “Aku mendengar Ali berkata “sesungguhnya ini akan dilumuri (darah) dari sini, sehingga tidak ada yang menungguku selain kesengsaraan. Mereka berkata “wahai Amirul Mukminin beritahukanlah kepada kami siapa dia, kami akan membunuh keluarganya. Ali berkata “kalau demikian demi Allah kalian akan membunuh orang yang tidak membunuhku”. Mereka berkata “Maka angkatlah seseorang sebagai penggantimu. Ali berkata “tidak, akan tetapi aku akan meninggalkan kalian pada apa yang Rasulullah SAW meninggalkan kalian. Mereka berkata “Apa yang akan Engkau katakan kepada TuhanMu jika Engkau mendatanginya -Waki terkadang berkata– Jika Engkau bertemu denganNya”. Ali berkata “Ya Allah Engkau membiarkanku di antara mereka dengan kehendakMu lalu Engkau mengambilku ke sisiMu sedang Engkau berada di antara mereka. Jika Engkau menghendaki Engkau dapat memberikan kebaikan pada mereka dan jika Engkau menghendaki Engkau dapat memberikan kehancuran pada mereka”.

Hadis Kedua diriwayatkan dalam Musnad Ahmad 1/156 no 1339:

حدثنا عبد الله حدثني أبي ثنا أسود بن عامر أنبأنا أبو بكر عن الأعمش عن سلمة بن كهيل عن عبد الله بن سبع قال خطبنا على رضي الله عنه فقال والذي فلق الحبة وبرأ النسمة لتخضبن هذه من هذه قال قال الناس فأعلمنا من هو والله لنبيرن عترته قال أنشدكم بالله ان يقتل غير قاتلي قالوا أن كنت قد علمت ذلك استخلف إذا قال لا ولكن أكلكم إلى ما وكلكم إليه رسول الله صلى الله عليه و سلم

Telah menceritakan kepada kami Abdullah yang berkata telah menceritakan kepadaku Ayahku yang berkata telah menceritakan kepada kami Aswad bin Amir yang berkata telah menceritakan kepada kami Abu Bakar yang berkata telah menceritakan kepada kami Al ‘Amasy dari Salamah bin Kuhail dari Abdullah bin Sabu’ yang berkata “Ali berkhutbah kepada kami, dia berkata “Demi Yang memecahkan biji dan menciptakan Ruh sungguh ini akan dilumuri dari sini. Orang-orangpun berkata “beritahukanlah kepada kami siapa dia? Demi Allah kami akan membunuh keluarganya. Ali berkata “Demi Allah itu berarti orang yang tidak membunuhku akan dibunuh. Mereka berkata “Jika Engkau mengetahui hal itu maka angkatlah seseorang sebagai pengganti. Ali berkata “Tidak, akan tetapi aku meninggalkan kalian pada apa yang Rasulullah SAW meninggalkan kalian”.


Manhaj Syaikh Syu’aib Al Arnauth
Kedua hadis ini sanadnya dhaif dimana hadis kedua lebih dhaif dari hadis pertama. Kedua hadis tersebut bersumber dari Abdullah bin Sabu’ dia adalah perawi yang tidak ada satu ulama pun yang menyatakan ta’dil padanya kecuali Ibnu Hibban sebagaimana yang disebutkan dalam At Tahdzib juz 5 no 397. Disebutkan pula hanya Salim bin Abil Ja’d yang meriwayatkan hadis darinya. Oleh karena itu dalam Tahrir At Taqrib no 3340 Abdullah bin Sabu’ dinyatakan majhul. Sedangkan hadis kedua selain kemajhulan Abdullah bin Sabu’ hadis ini memiliki illat idhthirab. Yang meriwayatkan dari Abdullah bin Sabu’ bukanlah Salamah bin Kuhail tetapi Salim bin Abil Ja’d. Al Bukhari dalam Tarikh Al Kabir juz 5 no 283 telah membawakan sanad hadis ini dimana Al A’masy meriwayatkan dari Salamah bin Kuhail dari Salim bin Abil Ja’d dari Abdullah bin Sabu’. Sehingga dapat disimpulkan bahwa Salamah bin Kuhail tidak mendengar dari Abdullah bin Sabu’.

Jadi kedua hadis tersebut kedudukannya dhaif dan jika kita gabungkan dengan hadis Syu’aib bin Maimun maka didapati:
* Hadis pertama dhaif karena Abdullah bin Sabu’ majhul.
* Hadis kedua dhaif karena Abdullah bin Sabu’ majhul dan sanadnya mudhtharib.
* Hadis Syu’aib bin Maimun dhaif karena Syu’aib bin Maimun perawi dhaif majhul dan hadisnya mungkar.

Ketiga hadis ini sudah jelas cacatnya sama-sama parah dan tidak mungkin bisa saling menguatkan sehingga sungguh tidak benar jika Syaikh Syu’aib menyatakan bahwa hadisnya terangkat menjadi hasan lighairihi.

Apalagi jika dilihat bahwa matan hadis Syu’aib bin Maimun tidaklah sama dengan matan hadis Abdullah bin Sabu’:
* Hadis Syu’aib bin Maimun memuat lafaz Imam Ali mengakui Rasulullah SAW tidak memilih penggantinya dan lafaz bahwa Allah SWT yang mengumpulkan mereka di bawah orang yang terbaik dari kaum muslimin.
* Hadis Abdullah bin Sabu’ tidak mengandung lafaz seperti hadis Syu’aib, matannya hanya berupa Imam Ali meninggalkan mereka pada apa yang Rasulullah SAW meninggalkan mereka.

Kedua lafaz ini memiliki perbedaan yang nyata. Tertera dalam hadis shahih bahwa Rasulullah SAW meninggalkan Ahlul Bait sebagai khalifah untuk kaum muslimin dan jika dikembalikan pada kedua hadis di atas maka hadis Abdullah bin Sabu’ justru mengandung makna bahwa Imam Ali mengakui khalifah itu ada pada Ahlul Bait sebagaimana yang dikatakan oleh Rasulullah SAW oleh karena itu Beliau tidak perlu menunjuk pengganti karena Rasulullah SAW telah menetapkan. Sedangkan hadis Syu’aib lafaznya mungkar karena bertentangan dengan hadis shahih.

Manhaj Syaikh Ahmad Syakir
Salafy cukup dikenal dengan sikap mereka yang merendahkan tautsiq Ibnu Hibban. Mereka tidak menganggap penta’dilan Ibnu Hibban karena Ibnu Hibban suka menyatakan tsiqah kepada perawi-perawi majhul. Kalau begitu sudah seharusnya salafy tidak menggunakan hadis Abdullah bin Sabu’ sebagai hujjah. Tapi ternyata sekarang kita melihat inkonsistensi salafy. Ketika hadis tersebut mau mereka menjadikan hujjah maka tidak ada masalah bagi mereka untuk berhujjah dengan perawi majhul.

Berbeda halnya dengan manhaj Syaikh Ahmad Syakir dalam menilai tautsiq Ibnu Hibban. Menurut syaikh Ahmad Syakir jika seorang perawi disebutkan biografinya oleh Bukhari atau Abu Hatim tanpa menyebutkan jarh dan ta’dil kemudian Ibnu Hibban memasukkannya dalam Ats Tsiqat maka perawi tersebut layak untuk dinyatakan tsiqah walaupun tidak ada ta’dil dari ulama lain.

Abdullah bin Sabu’ disebutkan Ibnu Hibban dalam kitabnya Ats Tsiqat juz 5 no 3646. Al Bukhari menyebutkan biografinya dalam Tarikh Al Kabir juz 5 no 283 dan Ibnu Abi Hatim dalam Al Jarh Wat Ta’dil 5/68 no 322, keduanya tidak menyebutkan jarh dan ta’dil pada Abdullah bin Sabu’. Maka menurut Syaikh Ahmad Syakir Abdullah bin Sabu’ seorang yang tsiqah sehingga dalam tahqiqnya terhadap hadis tersebut Syaikh menyatakan kedua hadis tersebut shahih.

Tanggapan Kami:
Tentu saja kami tidak mau seperti salafy yang berhujjah dengan cara-cara seenaknya bahkan terkesan inkonsisten atau kontradiktif. Tidak ada celah sedikitpun bagi salafy untuk berhujjah dengan hadis Abdullah bin Sabu’ perawi yang majhul menurut metode salafy.

Pendapat yang benar dalam pandangan kami adalah seperti yang dikatakan Syaikh Ahmad Syakir tetapi kami tidak akan membabi-buta mengikuti Syaikh Ahmad Syakir. Hadis pertama tersebut bersanad hasan dan hadis kedua tersebut dhaif karena idhthirab. Dan sebagai penjelas hadis Abdullah bin Sabu’ adalah hadis Rasulullah SAW berikut:

عن زيد بن ثابت قال قال رسول الله صلى الله عليه وسلم إن تارك فيكم الخليفتين من بعدي كتاب الله وعترتي أهل بيتي وإنهما لن يتفرقا حتى يردا علي الحوض

Dari Zaid bin Tsabit yang berkata “Rasulullah SAW bersabda “Aku tinggalkan untuk kalian dua khalifah (penggantiku) setelahKu yaitu Kitab Allah dan ItrahKu Ahlul BaitKu dan sesungguhnya keduanya tidak akan berpisah sampai kembali kepadaku di Al Haudh. [hadis shahih riwayat Ibnu Abi Ashim dalam As Sunnah no 754].

Jadi mengapa dalam hadis Abdullah bin Sabu’ dikatakan Imam Ali tidak mau menunjuk penggantinya. Hal itu disebabkan Imam Ali menginginkan agar mereka kaum muslimin kembali pada apa yang Rasulullah SAW meninggalkan untuk mereka yaitu Kitab Allah dan Itrah Ahlul Bait Rasulullah SAW.

*****

Kedudukan Hadis “Imam Ali Pemimpin Bagi Setiap Mukmin Sepeninggal Nabi SAW”

Diriwayatkan dengan berbagai jalan yang shahih dan hasan bahwa Rasulullah SAW bersabda kalau Imam Ali adalah Pemimpin bagi setiap mukmin sepeninggal Beliau SAW. Hadis tersebut diriwayatkan oleh Imran bin Hushain RA, Buraidah RA, Ibnu Abbas RA dan Wahab bin Hamzah RA. Rasulullah SAW bersabda:

إن عليا مني وأنا منه وهو ولي كل مؤمن بعدي

Ali dari Ku dan Aku darinya dan Ia adalah Pemimpin bagi setiap mukmin sepeninggalKu.

Takhrij Hadis
Hadis di atas adalah lafaz riwayat Imran bin Hushain RA. Disebutkan dalam Musnad Abu Dawud Ath Thayalisi 1/111 no 829, Sunan Tirmidzi 5/296, Sunan An Nasa’i 5/132 no 8474, Mushannaf Ibnu Abi Syaibah 7/504, Musnad Abu Ya’la 1/293 no 355, Shahih Ibnu Hibban 15/373 no 6929, Mu’jam Al Kabir Ath Thabrani 18/128, dan As Sunnah Ibnu Abi Ashim no 1187. Semuanya dengan jalan sanad yang berujung pada Ja’far bin Sulaiman dari Yazid Ar Risyk dari Mutharrif bin Abdullah bin Syikhkhir Al Harasy dari Imran bin Hushain RA. Berikut sanad Abu Dawud:

حدثنا جعفر بن سليمان الضبعي ، حدثنا يزيد الرشك ، عن مطرف بن عبد الله بن الشخير ، عن عمران بن حصين

Telah menceritakan kepada kami Ja’far bin Sulaiman Ad Dhuba’iy yang berkata telah menceritakan kepada kami Yazid Ar Risyk dari Mutharrif bin Abdullah bin Syikhkhir dari Imran bin Hushain-alhadis- [Musnad Abu Dawud Ath Thayalisi no 829].

Hadis Imran bin Hushain ini sanadnya shahih karena para perawinya tsiqat.
* Ja’far bin Sulaiman Adh Dhuba’iy adalah seorang yang tsiqat. Ja’far adalah perawi Bukhari dalam Adabul Mufrad, Muslim dan Ashabus Sunan. Ibnu Ma’in, Ibnu Sa’ad, Ibnu Madini dan Ibnu Hibban menyatakan ia tsiqat. Ahmad bin Hanbal berkata “tidak ada masalah padanya”. Abu Ahmad mengatakan kalau Ja’far hadisnya baik, ia memiliki banyak riwayat dan hadisnya hasan [At Tahdzib juz 2 no 145]. Al Ajli menyatakan Ja’far bin Sulaiman tsiqat [Ma’rifat Ats Tsiqat no 221]. Ibnu Syahin juga memasukkannya sebagai perawi tsiqat [Tarikh Asma Ats Tsiqat no 166]. Kelemahan yang dinisbatkan kepada Ja’far adalah ia bertasayyyu’ tetapi telah ma’ruf diketahui bahwa tasyayyu’ Ja’far dikarenakan ia banyak meriwayatkan hadis-hadis keutamaan Ahlul Bait. Ibnu Hajar menyatakan ia shaduq tasyayyu’ [At Taqrib 1/162]. Adz Dzahabi menyatakan Ja’far bin Sulaiman tsiqat [Al Kasyf no 729].
* Yazid Ar Risyk adalah Yazid bin Abi Yazid Adh Dhuba’iy seorang yang tsiqat perawi kutubus sittah. Tirmidzi, Abu Hatim, Abu Zar’ah, Ibnu Hibban dan Ibnu Sa’ad menyatakan ia tsiqah. Ahmad bin Hanbal menyatakan ia “shalih al hadis”.[At Tahdzib juz 11 no 616]. Disebutkan kalau Ibnu Ma’in mendhaifkannya tetapi hal ini keliru karena telah diriwayatkan dengan sanad yang shahih kalau Ibnu Ma’in justru menta’dilkannya. Ibnu Abi Hatim menukil Ad Dawri dari Ibnu Ma’in yang menyatakan Yazid “shalih” dan menukil Abu Bakar bin Abi Khaitsamah dari Ibnu Main yang menyatakan Yazid “laisa bihi ba’sun”. perkataan ini berarti perawi tersebut tsiqah menurut Ibnu Ma’in. [Al Jarh Wat Ta’dil 9/298 no 1268].
* Mutharrif bin Abdullah adalah tabiin tsiqah perawi kutubus sittah. Ibnu Sa’ad menyatakan ia tsiqah. Al Ajli mengatakan ia tsiqah. Ibnu Hibban memasukkannya dalam Ats Tsiqah. [At Tahdzib juz 10 no 326]. Ibnu Hajar menyatakan Mutharrif bin Abdullah tsiqah [At Taqrib 2/188].

Hadis Imran bin Hushain di atas jelas sekali diriwayatkan oleh perawi tsiqah dan shahih sesuai dengan syarat Imam Muslim. Ja’far bin Sulaiman adalah perawi Muslim dan yang lainnya adalah perawi Bukhari dan Muslim. Ibnu Hajar menyatakan sanad hadis ini kuat dalam kitabnya Al Ishabah 4/569. Syaikh Al Albani menyatakan hadis ini shahih [Zhilal Al Jannah Takhrij As Sunnah no 1187]. Syaikh Syu’aib Al Arnauth menyatakan hadis ini sanadnya kuat [Shahih Ibnu Hibban no 6929]. Syaikh Husain Salim Asad menyatakan hadis ini para perawinya perawi shahih [Musnad Abu Ya’la no 355].

Selain riwayat Imran bin Hushain, hadis tersebut juga diriwayatkan oleh Buraidah RA. Hadis Buraidah disebutkan dalam Musnad Ahmad 5/356 no 22908[tahqiq Ahmad Syakir dan Hamzah Zain], Sunan Nasa’i 5/132 no 8475, Tarikh Ibnu Asakir 42/189 dengan jalan sanad yang berujung pada Ajlah Al Kindi dari Abdullah bin Buraidah dari ayahnya. Berikut sanad riwayat Ahmad:

ثنا بن نمير حدثني أجلح الكندي عن عبد الله بن بريدة عن أبيه بريدة قال

Telah menceritakan kepada kami Ibnu Numair yang berkata telah menceritakan kepadaku Ajlah Al Kindi dari Abdullah bin Buraidah dari Ayahnya Buraidah yang berkata-hadis marfu’-[Musnad Ahmad 5/356 no 22908].

Hadis Buraidah ini sanadnya hasan karena diriwayatkan oleh perawi yang tsiqah yaitu Ibnu Numair dan Abdullah bin Buraidah dan perawi yang hasan yaitu Ajlah Al Kindi.
* Ibnu Numair adalah Abdullah bin Numair Al Hamdani adalah perawi kutubus sittah yang dikenal tsiqah. Ibnu Ma’in, Ibnu Hibban, Al Ajli dan Ibnu Sa’ad menyatakan ia tsiqah. [At Tahdzib juz 6 no 110]. Ibnu Hajar menyatakan ia tsiqat [At Taqrib 1/542]. Adz Dzahabi menyatakan ia hujjah [Al Kasyf no 3024].
* Ajlah Al Kindi adalah seorang yang shaduq. Ibnu Main dan Al Ajli menyatakan ia tsiqat. Amru bin Ali menyatakan ia seorang yang shaduq dan hadisnya lurus. Ibnu Ady berkata “ia memiliki hadis-hadis yang shalih, telah meriwayatkan darinya penduduk kufah dan yang lainnya, tidak memiliki riwayat mungkar baik dari segi sanad maupun matan tetapi dia seorang syiah kufah, disisiku ia seorang yang shaduq dan hadisnya lurus”. Yaqub bin Sufyan menyatakan ia tsiqat tetapi ada kelemahan dalam hadisnya. Diantara yang melemahkannya adalah Ibnu Sa’ad, Abu Hatim, Abu Dawud dan An Nasa’i. [At Tahdzib juz 1 no 353]. Abu Hatim dan An Nasa’i menyatakan ia “tidak kuat” dimana perkataan ini bisa berarti seorang yang hadisnya hasan apalagi dikenal kalau Abu Hatim dan Nasa’i termasuk ulama yang ketat dalam menjarh. Ibnu Sa’ad dan Abu Dawud menyatakan ia dhaif tanpa menyebutkan alasannya sehingga jarhnya adalah jarh mubham. Tentu saja jarh mubham tidak berpengaruh pada mereka yang telah mendapat predikat tsiqat dari ulama yang mu’tabar. Ibnu Hajar menyatakan ia seorang syiah yang shaduq [At Taqrib 1/72]. Adz Dzahabi juga menyatakan Ajlah seorang yang shaduq [Man Tukullima Fiihi Wa Huwa Muwatstsaq no 13]. Bagi kami ia seorang yang tsiqah atau shaduq, Bukhari telah menyebutkan biografinya tanpa menyebutkan cacatnya [Tarikh Al Kabir juz 2 no 1711]. Hal ini menunjukkan kalau jarh terhadap Ajlah tidaklah benar dan hanya dikarenakan sikap tasyayyu’ yang ada padanya.
* Abdullah bin Buraidah adalah seorang tabiin yang tsiqah. Ibnu Ma’in, Al Ajli dan Abu Hatim menyatakan ia tsiqat. Ibnu Kharasy menyatakan ia shaduq [At Tahdzib juz 5 no 270]. Ibnu Hajar menyatakan ia tsiqat [At Taqrib 1/480] dan Adz Dzahabi juga menyatakan ia tsiqat [Al Kasyf no 2644].

Sudah jelas hadis Buraidah ini adalah hadis hasan yang naik derajatnya menjadi shahih dengan penguat hadis-hadis yang lain. Syaikh Al Albani menyatakan bahwa hadis Buraidah ini sanadnya jayyid [Zhilal Al Jannah Takhrij As Sunnah no 1187].

Selain Imran bin Hushain dan Buraidah, hadis ini juga diriwayatkan oleh Ibnu Abbas dengan sanad yang shahih. Riwayat Ibnu Abbas disebutkan dalam Musnad Abu Dawud Ath Thayalisi 1/360 no 2752, Tarikh Ibnu Asakir 42/199, dan Tarikh Ibnu Asakir 42/201, Musnad Ahmad 1/330 no 3062, Al Mustadrak 3/143 no 4652, As Sunnah Ibnu Abi Ashim no 1188, dan Mu’jam Al Kabir 12/77. Berikut sanad riwayat Abu Dawud:

حدثنا أبو عوانة عن أبي بلج عن عمرو بن ميمون عن بن عباس ان رسول الله صلى الله عليه و سلم

Telah menceritakan kepada kami Abu Awanah dari Abi Balj dari Amru bin Maimun dari Ibnu Abbas bahwa Rasulullah SAW bersabda [Musnad Abu Dawud Ath Thayalisi no 2752].

Hadis Ibnu Abbas ini sanadnya shahih dan diriwayatkan oleh para perawi yang tsiqat.
* Abu Awanah adalah Wadhdhah bin Abdullah Al Yasykuri seorang perawi kutubus sittah yang tsiqat. Abu Hatim, Abu Zar’ah, Ahmad, Ibnu Sa’ad, Ibnu Abdil Barr menyatakan ia tsiqat. [At Tahdzib juz 11 no 204]. Al Ajli menyatakan ia tsiqah [Ma’rifat Ats Tsiqat no 1937].Ibnu Hajar menyatakan Abu Awanah tsiqat tsabit [At Taqrib 2/283] dan Adz Dzahabi juga menyatakan ia tsiqat [Al Kasyf no 6049].
* Abu Balj adalah Yahya bin Sulaim seorang perawi Ashabus Sunan yang tsiqat. Ibnu Ma’in, Ibnu Sa’ad, Nasa’i dan Daruquthni menyatakan ia tsiqat. Abu Fath Al Azdi menyatakan ia tsiqat. Abu Hatim berkata “shalih laba’sa bihi”. Yaqub bin Sufyan berkata “tidak ada masalah padanya”. Al Bukhari berkata “fihi nazhar” atau perlu diteliti lagi hadisnya. [At Tahdzib juz 12 no 184]. Perkataan Bukhari ini tidaklah tsabit karena ia sendiri telah menuliskan biografi Abu Balj tanpa menyebutkan cacatnya bahkan dia menegaskan kalau Syu’bah meriwayatkan dari Abu Balj [Tarikh Al Kabir juz 8 no 2996]. Hal ini berarti Syu’bah menyatakan Abu Balj tsiqat karena ia tidak meriwayatkan kecuali dari perawi yang tsiqat. Ibnu Abdil Barr dan Ibnu Jauzi menyatakan bahwa Ibnu Main mendhaifkan Abu Balj [At Tahdzib juz 12 no 184]. Tentu saja perkataan ini tidak benar karena telah diriwayatkan dengan sanad yang shahih dari Ishaq bin Mansur kalau Ibnu Ma’in justru menyatakan Abu Balj tsiqat [Al Jarh Wat Ta’dil 9/153 no 634]. Kesimpulannya pendapat yang rajih adalah ia seorang yang tsiqat.
* Amru bin Maimun adalah perawi kutubus sittah yang tsiqah. Al Ajli, Ibnu Ma’in, An Nasa’i dan Ibnu Hibban menyatakan ia tsiqat [At Tahdzib juz 8 no 181]. Ibnu Hajar menyatakan Amru bin Maimun tsiqat [At Taqrib 1/747].

Hadis Ibnu Abbas ini adalah hadis yang shahih dan merupakan sanad yang paling baik dalam perkara ini. Hadis ini juga menjadi bukti bahwa tasyayyu’ atau tidaknya seorang perawi tidak membuat suatu hadis lantas menjadi cacat karena sanad Ibnu Abbas ini termasuk sanad yang bebas dari perawi tasyayyu’. Hadis Ibnu Abbas ini telah dishahihkan oleh Al Hakim, Adz Dzahabi [Talkhis Al Mustadrak no 4652] dan Syaikh Ahmad Syakir [Musnad Ahmad no 3062].

Hadis dengan jalan yang terakhir adalah riwayat Wahab bin Hamzah. Diriwayatkan dalam Mu’jam Al Kabir Ath Thabrani 22/135, Tarikh Ibnu Asakir 42/199 dan Al Bidayah Wan Nihayah 7/381. Berikut jalan sanad yang disebutkan Ath Thabrani:

حدثنا أحمد بن عمرو البزار وأحمد بن زهير التستري قالا ثنا محمد بن عثمان بن كرامة ثنا عبيد الله بن موسى ثنا يوسف بن صهيب عن دكين عن وهب بن حمزة قال

Telah menceritakan kepada kami Ahmad bin Amru Al Bazzar dan Ahmad bin Zuhair Al Tusturi yang keduanya berkata telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Utsman bin Karamah yang berkata telah menceritakan kepada kami Ubaidillah bin Musa yang berkata telah menceritakan kepada kami Yusuf bin Shuhaib dari Dukain dari Wahab bin Hamzah yang berkata [Mu’jam Al Kabir 22/135].

Hadis ini diriwayatkan oleh para perawi tsiqat kecuali Dukain, ia seorang tabiin yang tidak mendapat predikat ta’dil dan tidak pula dicacatkan oleh para ulama.
* Ahmad bin Amru Al Bazzar adalah penulis Musnad yang dikenal tsiqah, ia telah dinyatakan tsiqah oleh Al Khatib dan Daruquthni, Ibnu Qattan berkata “ia seorang yang hafizh dalam hadis [Lisan Al Mizan juz 1 no 750].
* Ahmad bin Zuhair Al Tusturi adalah Ahmad bin Yahya bin Zuhair, Abu Ja’far Al Tusturi. Adz Dzahabi menyebutnya Al Imam Al Hujjah Al Muhaddis, Syaikh Islam. [As Siyar 14/362]. Dalam Kitab Tarajum Syuyukh Thabrani no 246 ia disebut sebagai seorang Hafizh yang tsiqat.
* Muhammad bin Ustman bin Karamah seorang perawi yang tsiqat. Abu Hatim berkata “shaduq”. Maslamah dan Ibnu Hibban menyatakan ia tsiqat. Muhammad bin Abdullah bin Sulaiman dan Daud bin Yahya berkata “ia shaduq”. [At Tahdzib juz 9 no 563]. Ibnu Hajar menyatakan Muhammad bin Utsman bin Karamah tsiqat [At Taqrib 2/112].
* Ubaidillah bin Musa adalah perawi kutubus sittah yang dikenal tsiqah. Ibnu Ma’in, Abu Hatim, Ibnu Hibban, Al Ajli, Ibnu Syahin, Utsman bin Abi Syaibah dan Ibnu Ady menyatakan ia tsiqah.[At Tahdzib juz 7 no 97]. Ibnu Hajar menyatakan Ubaidillah tsiqat tasyayyu’ [At Taqrib 1/640]. Adz Dzahabi juga menyatakan ia tsiqah [Al Kasyf no 3593].
* Yusuf bin Shuhaib adalah seorang perawi tsiqat. Ibnu Ma’in, Abu Dawud, Ibnu Hibban, Utsman bin Abi Syaibah, Abu Nu’aim menyatakan ia tsiqat. Abu Hatim dan An Nasa’i berkata ‘tidak ada masalah padanya”. [At Tahdzib juz 11 no 710]. Ibnu Hajar menyatakan Yusuf bin Shubaih tsiqat [At Taqrib 2/344] dan Adz Dzahabi juga menyatakan Yusuf tsiqat [Al Kasyf no 6437].
* Dukain adalah seorang tabiin. Hanya Ibnu Abi Hatim yang menyebutkan biografinya dalam Al Jarh Wat Ta’dil dan mengatakan kalau ia meriwayatkan hadis dari Wahab bin Hamzah dan telah meriwayatkan darinya Yusuf bin Shuhaib tanpa menyebutkan jarh maupun ta’dil terhadapnya. [Al Jarh Wat Ta’dil 3/439 no 1955]. Dukain seorang tabiin yang meriwayatkan hadis dari Wahab bin Hamzah dan sebagaimana disebutkan oleh Ibnu Sakan kalau Wahab bin Hamzah adalah seorang sahabat Nabi [Al Ishabah 6/623 no 9123].

Hadis Wahab bin Hamzah ini dapat dijadikan syawahid dan kedudukannya hasan dengan penguat dari hadis-hadis lain. Al Haitsami berkata mengenai hadis Wahab ini “Hadis riwayat Thabrani dan di dalamnya terdapat Dukain yang disebutkan oleh Ibnu Abi Hatim, tidak ada ulama yang mendhaifkannya dan sisanya adalah perawi yang dipercaya “ [Majma’ Az Zawaid 9/109].

Ibnu Taimiyyah Mendustakan Hadis Shahih
Jika kita mengumpulkan semua hadis tersebut maka didapatkan:
* Hadis Imran bin Hushain adalah hadis shahih [riwayat Ja’far bin Sulaiman].
* Hadis Buraidah adalah hadis hasan [riwayatAjlah Al Kindi].
* Hadis Ibnu Abbas adalah hadis shahih [riwayat Abu Balj].
* Hadis Wahab bin Hamzah adalah hadis hasan [riwayat Dukain].

Tentu saja dengan mengumpulkan sanad-sanad hadis ini maka tidak diragukan lagi kalau hadis ini adalah hadis yang shahih. Dan dengan fakta ini ada baiknya kita melihat apa yang dikatakan Ibnu Taimiyyah tentang hadis ini, ia berkata:

” أنت ولي كل مؤمن بعدي ” فهذا موضوع باتفاق أهل المعرفة بالحديث

“kamu adalah pemimpin bagi setiap mukmin sepeninggalKu” ini adalah maudhu’ (palsu) menurut kesepakatan ahli hadis [Minhaj As Sunnah 5/35].

قوله : هو ولي كل مؤمن بعدي كذب على رسول الله صلى الله عليه وسلم

Perkataannya ; “Ia pemimpin setiap mukmin sepeninggalku” adalah dusta atas Rasulullah SAW [Minhaj As Sunnah 7/278].

Cukuplah kiranya pembaca melihat dengan jelas siapa yang sebenarnya sedang berdusta atau sedang mendustakan hadis shahih hanya karena hadis tersebut dijadikan hujjah oleh orang syiah. Penyakit seperti ini yang dari dulu kami sebut sebagai “Syiahpobhia”.

Singkat Tentang Matan Hadis
Setelah membicarakan hadis ini ada baiknya kami membicarakan secara singkat mengenai matan hadis tersebut. Salafy nashibi biasanya akan berkelit dan berdalih kalau hadis tersebut tidak menggunakan lafaz khalifah tetapi lafaz waliy dan ini bermakna bukan sebagai pemimpin atau khalifah. Kami tidak perlu berkomentar banyak mengenai dalih ini, cukuplah kiranya kami bawakan dalil shahih kalau kata Waliy sering digunakan untuk menunjukkan kepemimpinan atau khalifah

Diriwayatkan oleh Ibnu Katsir [dan beliau menshahihkannya] dalam Al Bidayah wan Nihayah bahwa ketika Abu Bakar dipilih sebagai khalifah, ia berkhutbah:

قال أما بعد أيها الناس فأني قد وليت عليكم ولست بخيركم

Ia berkata “Amma ba’du, wahai manusia sekalian sesungguhnya aku telah dipilih menjadi pimpinan atas kalian dan bukanlah aku yang terbaik diantara kalian. [Al Bidayah wan Nihayah 5/269].

Diriwayatkan pula oleh Ahmad bin Hanbal dalam Musnad Ahmad bin Hanbal bahwa Jabir bin Abdullah RA menyebutkan kepemimpinan Umar dengan kata Waliy:

ثنا بهز قال وثنا عفان قالا ثنا همام ثنا قتادة عن عن أبي نضرة قال قلت لجابر بن عبد الله ان بن الزبير رضي الله عنه ينهى عن المتعة وان بن عباس يأمر بها قال فقال لي على يدي جرى الحديث تمتعنا مع رسول الله صلى الله عليه و سلم قال عفان ومع أبي بكر فلما ولي عمر رضي الله عنه خطب الناس فقال ان القرآن هو القرآن وان رسول الله صلى الله عليه و سلم هو الرسول وأنهما كانتا متعتان على عهد رسول الله صلى الله عليه و سلم إحداهما متعة الحج والأخرى متعة النساء

Telah menceritakan kepada kami Bahz dan telah menceritakan kepada kami Affan , keduanya [Bahz dan Affan] berkata telah menceritakan kepada kami Hamam yang berkata telah menceritakan kepada kami Qatadah dari Abi Nadhrah yang berkata “aku berkata kepada Jabir bin Abdullah RA ‘sesungguhnya Ibnu Zubair telah melarang mut’ah dan Ibnu Abbas memerintahkannya’. Abu Nadhrah berkata ‘Jabir kemudian berkata kepadaku ‘kami pernah bermut’ah bersama Rasulullah’. [Affan berkata] “ dan bersama Abu Bakar. Ketika Umar menjadi pemimpin orang-orang, dia berkata ‘sesungguhnya Al Qur’an adalah Al Qur’an dan Rasulullah SAW adalah Rasul dan sesungguhnya ada dua mut’ah pada masa Rasulullah SAW, salah satunya adalah mut’ah haji dan yang satunya adalah mut’ah wanita’. [Musnad Ahmad 1/52 no 369 dishahihkan oleh Syaikh Syu’aib Al Arnauth dan Syaikh Ahmad Syakir].

Kedua riwayat di atas dengan jelas menunjukkan bahwa kata Waliy digunakan untuk menyatakan kepemimpinan para Khalifah seperti Abu Bakar dan Umar. Oleh karena itu tidak diragukan lagi bahwa hadis di atas bermakna Imam Ali adalah Pemimpin bagi setiap mukmin sepeninggal Nabi SAW.

(Bersambung)

(Syiahali/Secondprince/ABNS)
Share this post :

Post a Comment

mohon gunakan email

Terkait Berita: