Pesan Rahbar

Home » » Ekonomi kita berputar di atas landasan yang mana? Modal, produksi, agen/perantara? Berikut Penjelasannya

Ekonomi kita berputar di atas landasan yang mana? Modal, produksi, agen/perantara? Berikut Penjelasannya

Written By Unknown on Saturday 14 November 2015 | 16:09:00


Pertanyaan:
Ekonomi kita berputar di atas landasan yang mana? Modal, produksi, agen/perantara?

Jawaban Global:
Ekonomi dalam Islam memiliki esensi tersendiri dan tipikal, standar dan nilainya diadopsi dari al-Quran, sunnah, konsensus (ijma’), dan akal. Ekonomi Islam memiliki landasan-landasan dimana yang paling penting dari landasan-landasan tersebut mencakup sikap moderat, keadilan, produktivitas, sirkulasi modal dan kekayaan.

Di antara pokok-pokok ini, keadilan dianggap sebagai satu pokok penting dalam ekonomi Islam, yang memiliki keluasan pada tingkatan produksi, distribusi, dan konsumsi. Kerja dan produksi sama-sama memperoleh nilai yang sepadan dan nilai bahwa Tuhan menyukai orang-orang bekerja (kaum pekerja).

Salah satu prinsip awal (first principles) ekonomi yang sehat adalah sirkulasi modal dan kekayaan serta pertumbuhan dan perkembangan (ekonomi) tersebut. –mengenai masalah agen konsep hakikinya harus diperhatikan yaitu bisnis atau perdagangan (perniagaan), yang jika dijalankan dengan benar dapat menjadi penyebab kemajuan ekonomi negara Islam.

Jawaban Detil:
Dari zaman dahulu sampai sekarang, manusia untuk menjalani kehidupannya, dihadapkan dengan kebutuhan tak terbatas dengan sumber-sumber yang terbatas, ketidakseimbangan inilah yang menyebabkan munculnya ilmu Ekonomi.

Dalam Islam, sistem perekonomiannya memiliki beberapa aspek yang sama dengan sistem-sistem perekonomian dunia yang lain, akan tetapi selain dari itu ekonomi dalam Islam memiliki esensi tersendiri yang tipikal, dan kriteria serta nilai-nilainya bersumber dari al-Quran, sunnah, ijma’, dan akal; di samping itu, penerapan moralitas dalam produksi, keseimbangan pasar, penentuan cara pemakai (kode etik konsumen), penarikan harta benda, adalah yang terpenting dari beberapa aspek perbedaan sistem perekonomian ini dengan sistem-sistem yang lain.

Dalam ajaran-ajaran al-Quran di samping masalah ushuluddin dan persoalan-persoalan ibadah, ekonomi merupakan perkara terpenting dari berbagai permasalahan yang telah dipaparkan oleh al-Quran. Dengan alasan inilah, salat senantiasa berdampingan dengan permasalahan-permasalahan zakat dan infaq sebagai dua masalah perekonomian yang menjadi perhatian utama.

Defenisi Ekonomi:
Iqtishâd (ekonomi)[1] adalah (berasal) dari kata qashd yang berarti moderat.[2]

Ilmu Ekonomi adalah salah satu dari cabang ilmu-ilmu sosial, pada pembahasan kualitas aktivitas-aktivitas yang berhubungan dengan pendapatan (income), belanja serta mekanisme hubungan harta benda orang banyak antara satu dengan yang lain serta mempelajari prinsip-prinsip dan undang-undang yang mengatur perkara tersebut.[3]

Mengingat terdapat hubungan antara ekonomi Islam dan keadilan, hal ini menjadi penyebab sehingga istilah “ekonomi” digunakan dalam Islam. Dalam al-Quran terdapat pula kata:

 “مقتصد”[4] 

yang berarti “bersikap moderat dan berada di jalan lurus (tidak menyimpang).

Dalam ekonomi Islam tingkah laku ekonomi manusia diposisikan sebagai bahan pembahasan dan penyelidikan, dan bilamana hal itu dapat dicapai secara menyeluruh, yaitu dimana sistem perekonomian Islam telah jelas bagi orang-orang (dalam) satu masyarakat, maka identitas perekonomian tersebut dapat menjadi pondasi dalam masyarakat.[5]

Dasar-dasar Ekonomi Islam:
Supaya masyarakat Islam mengalami kemajuan dalam bidang ekonomi islam dan menjawab kebutuhan-kebutuhan setiap komponen masyarakat, maka faktor-faktor yang memiliki peran dijalan ini harus diaktualisasikan. Faktor-faktor tersebut telah dijelaskan dalam al-Quran, yang kami sebutkan sebagian dari hal-hal yang menjadi faktor paling penting tersebut sebagai berikut:
Moderat dan Tidak Berlebih-lebihan:
Allah Swt dalam al-Quran berfirman:

﴿يا بَني‏ آدَمَ خُذُوا زينَتَكُمْ عِنْدَ كُلِّ مَسْجِدٍ وَ كُلُوا وَ اشْرَبُوا وَلا تُسْرِفُوا إِنَّهُ لا يُحِبُّ الْمُسْرِفينَ﴾

“Wahai anak cucu adam, pakailah pakaianmu yang bagus pada setiap memasuki mesjid, makan dan minumlah, tetapi jangan berlebihan, sungguh Allah tidak menyukai orang-orang berlebihan.” (Qs. Al-A’raf [7]:31).

Bahwa dengan menunjukkan prinsip dasar moderat, maka segala bentuk (sikap) yang berlebi-lebihan adalah dianggap tidak benar; sebuah masyarakat dianggap lebih tinggi jika jauh dari (sikap) yang berlebih-lebihan dan memperhatikan sikap moderat.

Keadilan:
Tidak ada keraguan bahwa belenggu yang terburuk bagi kemanusiaan adalah kemelaratan. Belenggu tersebut sedetikpun tidak menyisakan kedamaian bagi manusia dan menghancurkan sendi-sendi perkembangan serta kesempurnaan maknawi dan duniawi. Pada gilirannya, tidak tersisa kesempatan agar manusia berpikir tentang konsep-konsep hidup yang lebih tinggi serta memahami dasar kemanusiaannya. Salah satu dari persoalan-persoalan yang mendasar bagi Nabi Saw dan Imam Ali As sepanjang masa hidup mereka adalah pengentasan kemiskinan, pemenuhan kebutuhan dan menghilangkan ketidakseimbangan antara masyarakat dan individu-individunya. Untuk menghapus kemiskinan ini dari tengah masyarakat, salah satu dari faktor-faktor terpenting yang harus dijalankan dalam satu pemerintahan Islam adalah memberlakukan keadilan.
Dalam ajaran perekonomian Islam, sehubungan dengan internal masyarakat Islam, keadilan ekonomi harus diperhatikan dan harus diberlakukan, karena keadilan sosial di seluruh bidang seperti dalam bidang ekonomi merupakan tujuan syariat Islam.[6] Al-Quran, mengingatkan tentang keadilan sebagai prinsip penting dalam ekonomi Islam, dan mengatakan agar menjauh dari riba dalam muamalah (transaksi-transaksi) atau pertukaran-pertukaran mata uang asing dan perekonomian. Karena riba adalah keluar dari batas-batas keadilan, kezaliman dan penganiayaan (kekejaman) terhadap orang miskin dalam satu masyarakat. Al-Quran dalam hal ini menyatakan,

﴿فَإِنْ لَّمْ تَفْعَلُوْا فَأْذَنُوْا بِحَرْبٍ مِّنَ اللهِ وَ رَسُوْلِهِ وَ إِنْ تُبْتُمْ فَلَكُمْ رُؤُوْسُ أَمْوَالِكُمْ لاَ تَظْلِمُوْنَ وَلاَ تُظْلَمُوْنَ﴾

“Lalu jika kamu tidak melakukan (meninggalkan sisa riba), maka ketahuilah bahwa Allah dan Rasul-Nya akan memerangimu. Dan jika kamu bertobat (dari pengambilan riba), maka bagimu pokok hartamu; kamu tidak menganiaya dan tidak (pula) dianiaya (dirugikan).” (Qs. Al-Baqarah [2]:279).

Mendiang Sayyid Muhammad Baqir Sadr mengatakan: keadilan ekonomi ini berdiri di atas dua perkara: 1. Kesejahteraan bersama, 2. Perimbangan kekayaan.[7] Maksud dari kesejahteraan bersama adalah keadaan ekonomi masyarakat Islam seharusnya keseluruhan komponen masyarakat menikmati fasilitas-fasilitas hidup. Dan dalam tingkatan produksi, distribusi dan konsumsi keadilan ini harus tersebur sehingga seluruh komponen masyarakat memiliki kesejahteraan dan kemiskinan dapat terentaskan.

Perimbangan kekayaan merupakan salah satu dari beberapa unsur keadilan ekonomi, yang berarti setiap komponen suatu masyarakat islam dapat menikmati keuntungan material dan tidak ada perbedaan di antara tiap-tiap orang dalam urusan-urusan materi.

Allah Swt menempatkan masalah perimbangan kekayaan pada beberapa ayat agar menjadi perhatian yang mana salah-satunya akan ditunjukkan:

﴿لَنْ تَنالُوا الْبِرَّ حَتَّى تُنْفِقُوا مِمَّا تُحِبُّونَ وَ ما تُنْفِقُوا مِنْ شَيْ‏ءٍ فَإِنَّ اللهَ بِهِ عَليمٌ﴾

“Kamu sekali-kali tidak akan menggapai kebaikan (yang sempurna) sebelum kamu menginfakkan sebagian harta yang kamu cintai. Dan apa saja yang kamu infakkan, maka sesungguhnya Allah mengetahui.” (Qs Ali Imran [3]:92)

Sebagaimana yang kita saksikan dalam ayat ini bahwa mencapai posisi (maqâm) kebajikan disyaratkan dengan membelanjakan (menginfakkan) sesuatu yang mana manusia terkait erat dengannya, yang secara hakiki dengan dengan bahasa etika mendorong untuk berinfak. Maka dari itu pandangan Islam dalam ekonomi adalah harus memperhatikan dua aspek yaitu aspek duniawi dan maknawi, menjalankan keadilan memiliki arah tujuan tertentu, tujuan ini adalah: bahwa setiap individu adalah bebas sehingga secara kreatif terlibat dalam aktivitas-aktivitas yang tak terbatas dan tak terhitung, yang jauh melebihi dari (pertimbangan) ekonomi dan berhubungan dengan mental dan spiritual (rohani). Karena dalam rangka kesejahteraan ekonomi dan pemenuhan seluruh kebutuhan-kebutuhan, manusia terlepas dari kefakiran serta bebas dari belenggu permasalahan dan berpikir pada persoalan-persoalan Ilahiah.

Kerja dan Produksi:
Prinsip-prinsip dasar ekonomi Islam lainnya adalah produktivitas yang menyebabkan tercapainya kebutuhan-kebutuhan ekonomi tiap-tiap komponen masyarakat. Allah Swt dalam al-Quran berfirman:

﴿هُوَ أَنْشَأَكُمْ مِنَ الْأَرْضِ وَ اسْتَعْمَرَكُمْ فيها﴾

“Dia telah menciptakanmu dari bumi (tanah) dan menjadikan kamu pemakmurnya.” (Qs. Hud [11]:61).

Karena itu, manusia diciptakan untuk berdaya hasil dan bekerja di muka bumi. Maksud ayat tersebut, setiap pekerjaan yang memiliki nilai dan kredibilitas dan mencapai tujuan pertumbuhan dan perkembangan. Perihal lain, sebenarnya jalan memperbaiki kemiskinan adalah kerja dan produktivitas. Imam Ali As memperhatikan berbagai cara dari bekerja dan berproduksi, yang akan disebutkan beberapa di antaranya sebagai berikut:
Semasa muda beliau memiliki unta yang dengannya mengairi perkebunan masyarakat dan menerima upah.
Beliau sangat menyukai pertanian.
Bercocok tanam dan berkebun sangat disukai olehnya.
Menggali sumur, ketika beberapa sumur tersebut dipenuhi air, beliau mewakafkannya (untuk) para musafir dan para pelaksana ibadah haji baitullah.[8]

Imam Shadiq As mengatakan: “Amirul Mukminin As dalam surat kepada para pelaksana pemerintahan selalu menyarankan untuk bertani.[9] Maka (itu) kerja dan produktivitas selalu memiliki nilai dan Allah Swt menyukai orang-orang yang sibuk bekerja serta menjadi pekerja.

Modal dan kekayaan:
Salah satu prinsip utama ekonomi yang sehat, vitalitas dan kemampuan menumbuhkembangkan harta kekayaan.

Dalam Islam harta dan kekayaan tidak pernah diabaikan, bahkan disarankan untuk menghasilkan (produksi), bermuamalah (transaksi), dan pemakaian (konsumsi). Dan untuk itu ditetapkan syarat-syarat dan standar-standar kesamaan persepsi. Tentunya harus diperhatikan, jika orang berkorban (demi) harta, Islam menentang dan menolak dengan keras. Dengan kata lain jika orang menginginkan harta demi harta itu sendiri, menyimpan dan mengumpulkannya, islam menentangnya:

﴿وَ الَّذينَ يَكْنِزُونَ الذَّهَبَ وَ الْفِضَّةَ وَلا يُنْفِقُونَها في‏ سَبيلِ اللهِ فَبَشِّرْهُمْ بِعَذابٍ أَليمٍ﴾

“Dan orang-orang yang menyimpan emas dan perak dan tidak menafkahkannya di jalan Allah, maka berikanlah berita gembira kepada mereka (bahwa mereka akan mendapat) siksa yang pedih.” (Qs. Al-Taubah [9]:34).

Jadi, Islam mengutuk penyembah harta, akan tetapi tidak mengutuk harta dan kekayaan karena:
Dianjurkan menghasilkan harta benda dengan cara bertani, beternak dan selainnya.
Dianjurkan berdagang dan berbisnis.

Harta harus digunakan dalam batas kebutuhan pribadi dan tanpa berbagai bentuk kemewahan dan pemborosan.[10]

Tentunya, kekayaan dan modal ini tidak boleh berada dalam monopoli orang-orang kaya dan kelompok tertentu; akan tetapi harus berputar dengan sirkulasi dan peredaran. Al-Quran melarang setiap bentuk tindakan monopoli dan sentralisasi (pemusatan) harta kekayaan dan modal di tangan orang-orang kaya dan menganggap sebagai suatu tindakan menentang perekonomian:

﴿ما أَفاءَ اللهُ عَلى‏ رَسُولِهِ مِنْ أَهْلِ الْقُرى‏ فَلِلَّهِ وَ لِلرَّسُولِ وَ لِذِي الْقُرْبى‏ وَ الْيَتامى‏ وَ الْمَساكينِ وَ ابْنِ السَّبيلِ كَيْ لا يَكُونَ دُولَةً بَيْنَ الْأَغْنِياءِ مِنْكُمْ ﴾

“Setiap harta rampasan (fay’) yang diberikan Allah kepada rasul-Nya yang berasal dari penduduk kota-kota itu adalah untuk Allah, rasul, kerabat rasul, anak-anak yatim, orang-orang miskin, dan orang-orang yang berada perjalanan, supaya harta itu jangan hanya beredar di antara orang-orang kaya di antara kamu saja (hukum ini supaya harta rampasan perang penguasa kaya tidak bertambah).” (Qs. Al-Hasyr [59]:7) Jadi, harta seharusnya beredar secara bebas pada masyarakat.

Perdagangan
Pada pemaknaan dan konsep dari kata dallâli yang diartikan sebagai “perantara/agen” dalam kebudayaan Iran terjadi sebuah paralogisme dan ungkapan ini bersinonim dengan kata pemakan riba. Dengan alasan menjadi ajang penyalahgunaan oleh pihak dari para pelaku tindak penipuan, kata ini lalu kehilangan peran sosialnya dalam masyarakat akan tetapi hal ini tidak boleh menjadikannya tersingkir dari seluruh kegiatan ekonomi suatu negara Islam. Karena dallâli (agen/perantara) dalam kamus bahasa adalah satu bentuk “petunjuk/pembimbing” dan pada hakikatnya merupakan satu perbuatan mulia dengan menyambungkan antara pembeli dan penjual.[11] Jika dikaji secara sekilas akan terlihat bahwa Islam memberikan memberikan penghargaan besar pada perdagangan dan perantara atau agen yang benar. Bukti akan hal ini adalah bahwa Nabi Saw adalah seorang pedagang dan beberapa kali kita mendengar dalam sejarah bahwa beliau beraktivitas dalam bidang ini, dan antara Syam (Damaskus) dan Mekkah melakukan perdagangan dan di samping itu, perdagangan juga adalah penggerak produktivitas akan tetapi produktivitas tidak akan mampu melahirkan (menghasilkan) pasar. Kita banyak menyaksikan orang-orang tanpa penelaahan menghasilkan produksi akan tetapi hasil-hasil produksi mereka tinggal ditangan mereka. Jadi, perantara/agen dan perdagangan adalah satu profesi yang baik, tetapi ia harus digunakan pada jalannya sendiri secara benar untuk perkembangan ekonomi, dan harus dipahami dengan makna dan konsepnya secara hakiki.

Referensi:
[1]. Terjemahan kata “ekonomi” dalam bahasa Arab adalah الاقتصاد (al-iqtishad), dengan dialek yang agak berbeda kata yang sama juga digunakan dalam bahasa Persia eghtesâd (اقتصاد). Lihat Ahmad Warson Munawwir, Al-Munawwir; Kamus Arab-Indonesia Terlengkap, h. 1124, terbitan Pustaka progressif, Surabaya, Cet. XXV, 2002. Lihat juga Manoochehr Aryanpur Kashani dan Seyyed Mostafa Assi, فرهنگ یک جلدی پیشرو آریان پور (فارسی–انگلیسی), h. 114, terbitan Jahan Rayaneh, Tehran, Cetakan Kelima, 1383 S.
[2] Al-Raid, Jil. 1, Hal. 227, Jubran Mas’ud, Terjemahan oleh Dr. Ridha Atrabi Nezad, Astan Qods Radhawi, Tahun 1376 S, Cetakan Kedua.
[3] Ibid.
[4]. “Tetapi, tatkala Allah menyelamatkan mereka sampai di daratan, sebagian mereka tetap menempuh jalan yang lurus.” (Qs. Luqman [31]: 32); “Di antara mereka ada golongan yang pertengahan.” (Qs. Al-Maidah [5]: 66)
[5]. Dengan menggunakan kitab dari “Maktab wa Nizhâm Iqtishâdi dar Islâm, Hal 50, Ustadz Mahdi Hadawi Tehrani, Nasyr Nainawa, Tahun. 1383.
[6]. Dengan menggunakan kitab dari Maktab wa Nizhâm Iqtishâdi dar Islâm, Hal 55-58.
[7]. Iqtisâdunâ, hal. 303, Sayyid Muhammad Baqir Sadr, Beirut, Darul al-Ta’arif al-Matbu’at, Cetakan Pertama, 1402 H.
[8]. Dzakhâir al- ‘Uqba fii Manâqib Dzawil Qurbâ, Muhibbuddin Ahmad Bin ‘Abdullah Al-Thabari, hal. 49, Terbitan: Darul Ma’rifah, Beirut, 1356 H.
[9]. Wasâil al-Syiah, Syaikh Muhammad bin Hasan Hurr Amuli, jil. 13, hal. 216.
[10]. Dengan menggunakan kitab dari Nazhari be Nizhâm Iqtsihâdi dar Islâm, Syahid Muthahari, Shadra, Cetakan Pertama, Bahar 1368 S, Hal. 17-20.
[11]. Al-Ra’id, jil. 1, hal. 227.

(Islam-Quest/ABNS)
Share this post :

Post a Comment

mohon gunakan email

Terkait Berita: