Pesan Rahbar

Home » » Nabi Muhammad saw dan masa depan umat Islam

Nabi Muhammad saw dan masa depan umat Islam

Written By Unknown on Sunday 29 November 2015 | 21:54:00


Rasulullah saw mengetahui secara pasti bahwa umat akan berselisih sepeninggalnya. Sentimen kesukuan masih senantiasa menguasai pemikiran sosial masyarakat Muslim yang baru dilahirkan ini. Begitu pula perseturnan antarsuku juga masih mengakar dalam masyarakat Arab di Jazirah Arab dan terus membayangi masa depan eksistensi Islam.

Rasulullah saw telah mengabarkan bahwa umat Islam akan berpecah menjadi tujuh puluh tiga golongan; yang selamat hanyalah satu, sedangkan yang lain, semuanya akan masuk ke dalam neraka.

Pokok perpecahan yang menghadang perjalanan Islam ini adalah masalah kepemimpinan dan identitas penguasa Muslim. Jika masalah kepemimpinan umat ini tergolong masalah yang sangat berbahaya dan sumber utama dalam perpecahan eksistensi Islam, maka apakah logis jika Rasulullah saw mengambil posisi tidak peduli di hadapan masalah besar ini, padahal beliau dikenal sangat antusias terhadap keselamatan umat Islam?

Apakah juga mungkin kita mempercayai bahwa Rasulullah saw yang begitu besar perhatiannya terhadap penyebaran Islam dan mengibarkan bendera negara Islam akan mengabaikan suatu perkara yang mengancam masa depan Islam?

Pastilah bahwa hal ini tidak sejalan dengan sejarah perjal­anan Rasulullah saw. Kita semua mengetahui bahwa khalifah pertama telah mengambil sikap yang diketahui semua orang. Sebelum memejamkan matanya yang terakhir kali, Abu Bakar telah mengangkat seorang yang menggantikannya dalam mengatur negara dan urusan kekuasaan.

Begitu pula khalifah kedua (Umar bin Al-Khathab) juga mengambil posisi penting dalam urusan pemerintahan ini sebelum meninggalnya. Dia membentuk majelis syura untuk memilih seorang yang akan menggantikannya dalam mengatur roda pemerintahan dan kekhalifahan sesudahnya.

Dan dalam situasi yang kacau dan gawat akibat terbunuhnya khalifah yang ketiga (Utsman bin Affan), terpaksa Imam Ali as menerima untuk memikul tanggung jawab memegang tampuk pemerintahan.

Imam Ali as telah mengungkapkan kekhawatirannya bahwa banyak orang akan murtad dari agama mereka karena mereka masih baru dalam ke-Islaman mereka. Oleh karena itu, penerimaan tanggung jawab kekhalifahan ini demi rasa tanggung jawabnya terhadap masa depan Islam.

Setelah melihat bukti-bukti ini, maka bagaimana mungkin kita akan membenarkan diri kita untuk menggambarkan bahwa Rasulullah saw tidak peduli terhadap masalah yang paling penting ini?


Nabi saw Telah Mengumumkan Seorang Pengganti dalam Kepemimpinan

Persoalan kekhalifahan dan kepemimpinan ini merupakan salah satu persoalan yang paling penting yang mendapat perhatian yang besar dari Nabi saw. Persoalan kekhalifahan ini bukanlah termasuk pemikiran yang baru (muncul) dalam kehidupan Nabi saw, bahkan ia telah mengiringi kehidupan beliau sejak dakwah beliau yang pertama.

Ya, persoalan kekhalifahan ini telah mengiringi kehidupan Nabi saw sejak peristiwa dakwah pertama di rumah beliau di Makkah, yaitu pada hari beliau menyerukan kepada kerabat­kerabat beliau yang terdekat untuk menerima dan membantu dakwah beliau, sampai hari-hari terakhir dari umur beliau yang penuh dengan keberkahan. Menjelang hari-hari beliau mening­galkan dunia yang fana ini, beliau bersabda, “Berikanlah kepadaku pena dan kertas agar aku menuliskan kepada kalian sebuah surat yang kalian tidak akan tersesat sesudahku selam­anya.”[1]

Langkah terakhir ini adalah upaya Nabi saw dalam menent­ukan masa depan Islam Permintaan Nabi saw tersebut tidak datang dari kehampaan, tetapi ia lahir karena kekhawatiran dan kecemasan beliau pada masa depan risalah Islam dan masa depan pemerintahan sepeninggal beliau.

Akan tetapi, sangat disayangkan permintaan Nabi saw pada hari-hari terakhir beliau ini mendapat pertentangan dari sebagian sahabat beliau, bahkan menimbulkan perdebatan dan kegaduhan (di kamar beliau) sehingga beliau mengusir mereka semua dari kamar beliau, setelah sebelumnya beliau meneg­askan secara lisan hadis tsaqalain dan arti pentingnya bagi masa depan Islam.

Sebelum terjadi peristiwa di kamar Nabi saw tersebut, pada 18 Dzulhijjah beliau telah mengumumkan di hadapan jamaah haji dalam jumlah yang sangat besar di sebuah tempat yang terkenal dengan nama “Ghadir Khum” bahwa Ali adalah khalifah beliau sepeninggal beliau.

Peristiwa bersejarah tersebut merupakan hari raya bagi kaum Muslim karena dengannya Allah telah menyempurnakan agama Islam, mencukupkan nikmat-Nya, dan telah meridhai Islam sebagai agama bagi seluruh kaum Muslim.

Para penyair pun telah mengabadikan peristiwa penting ini. Dan semua orang pun tahu bahwa Rasulullah saw mengum umkan Ali menjadi “wali” ini bahwasanya yang beliau maksud itu adalah pemimpin dan khalifah beliau dalam kepemimpinan umat ini.

Rasulullah saw telah mengumumkan wilayah (kepemi­mpinan) Ali ini secara berulang kali, beliau bersabda, ”Ali dariku dan aku dari Ali … dan tidak ada yang boleh menyam­paikan dariku kecuali Ali. “[2]

Rasulullah saw menganggap mengikuti Ali sebagai ketaatan kepada Allah dan Rasul-Nya. Rasulullah saw bersabda, “Barang siapa yang menaatiku, maka dia telah menaati Allah; barang siapa yang menentangku, maka dia tel ah menentangku, – barang siapa yang menaati Ali, maka dia telah menaatiku; dan barang siapa yang menentang Ali, maka dia telah menentangku.”[3]


Kedudukan Ali as di Sisi Nabi saw

Nabi Saw tidak hanya mengumumkan kedudukan Ali as di Ghadir Khum saja, meskipun pengumuman di Ghadir Khum ini lebih luas cakupannya dan disampaikan dalam kesempatan yang sangat penting dalam sejarah Islam.

Kedudukan Imam Ali as telah mengkristal dalam beberapa kesempatan yang berbeda dan semenjak dakwah Islam yang pertama yang disampaikan oleh Nabi saw dalam upaya beliau menanamkannya dalam hati orang-orang Islam, di antaranya:

1. Hadis Peringatan;

Yaitu ketika turunnya ayat, “Dan berilah peringatan kepada kerabat-kerabatmu yang terdekat!”

Setelah turunnya ayat tersebut, Nabi saw memerintahkan Ali as untuk mengundang empat puluh orang dari tokoh-tokoh Bani Hasyim, Bani Abdil Muththalib, dan Bani Abdi Manaf. Dalam pertemuan tersebut, tampaklah kemukjizatan Nabi saw berupa keberkahan makanan sedikit yang dapat mengeyangkan dan memuaskan mereka semuanya.

Kemudian, setelah adanya kesempatan, Nabi saw bersabda kepada mereka, “Sesungguhnya aku, demi Allah, tidak tahu bahwa ada seorang pemuda Arab yang datang kepada kaumnya dengan membawa sesuatu yang lebih utama daripada yang aku bawa kepada kalian. Demi Allah, aku telah datang kepada kalian dengan membawa kebaikan di dunia dan akhirat. Sungguh, Allah Ta’ala telah memeritahukanku untuk menye­rukan dakwahku kepada kalian. Maka, siapakah di antara kalian yang akan membantuku dalam urusan ini yang dia akan menjadi saudaraku dan pengemban wasiatku serta khalifahku di antara kalian?”

Akan tetapi, mereka semua enggan menerima ajakan Nabi saw itu. Maka, aku (Ali as) berkata, sedangkan sesungguhnya aku adalah orang yang paling muda di antara mereka, “Aku, wahai Nabi Allah yang akan menjadi pembantumu dalam urusan ini.”

Maka, Nabi saw memegang leherku, kemudian beliau bersabda, “Sesungguhnya orang ini (Ali) adalah saudaraku, pengemban wasiatku (washiyyi), dan khalifahku di antara kalian, maka dengarkanlah perkataannya dan taatilah dia.”[4]

Jika kita perhatikan dengan seksama firman Allah Ta’ala berkenaan dengan Nabi saw, “Dan tiadalah yang diucapkannya itu menurut kemauan hawa nafsunya. Ucapannya itu tiada lain hanyalah wahyu yang diwahyuukan (kepadanya).”[5]

Maka, kita akan mengetahui bahwa apa yang terjadi pada hari saat seruan beliau kepada para kerabatnya yang terdekat di rumahnya itu dan bahwa pengumuman Nabi saw itu adalah berdasarkan perintah Allah Swt, yaitu beliau ingin mengum­umkan kenabian dan imamah pada hari yang sama.

2. Kekhalifahan adalah berdasarkan perintah Tuhan;

Akhnas bin Syarif, dia adalah seorang pemuka Arab yang terkenal, pernah mensyaratkan bahwa dia akan mengumumkan keimanannya kepada Nabi saw dan keislaman dengan imbalan bahwa kepemimpinan kabilahnya hams dipegang olehnya sepeninggal beliau.

Maka, Nabi saw menjawab, “Sesungguhnya urusan ini (kepemimpinan) adalah milik Allah, Allah-lah yang memilih siapa saja yang dikendaki-Nya yang dipandang layak untuk itu.”[6]

Akhnas bin Syarif pun menolak hal itu. Dia mengirimkan utusan kepada Nabi saw yang membawa pesan bahwa dia tidak dapat menerima beban (kewajiban) yang dipikulkan Islam kepadanya, serta imamah dan kepemimpinan yang dipemn­tukkan bagi selainnya.

Dari sini, kita mengetahui bahwa bukanlah termasuk hak Nabi saw untuk menentukan imamah dan kekhalifahan kecuali dengan seizin Allah Swt dan wahyu dari-Nya.

3. Hadis Manzilah;

Hadis manzilah ini datang pada situasi yang sangat sensitif, yaitu situasi yang genting yang karenanya Nabi saw harus mengumumkan mobilisasi pasukan dan membe­rangkatkan tentara Islam di utara jazirah Arab. Sebelumnya, Nabi saw mendengar berita seputar berkumpulnya pasukan Romawi dalam jumlah yang sangat besar dengan tujuan mengh­ancurkan negara Islam yang ham saja tumbuh.

Nabi saw juga mendengar bahwa kaum munafik, dan orang­orang yang di dalam hati mereka ada penyakit, hendak meng­ambil kesempatan dengan melaksanakan rencana jahat mereka terhadap Islam dan para pemeluknya pada waktu ketidakhadiran beliau di Madinah.

Di sinilah kita melihat bahwa Nabi saw memilih Ali as untuk kali yang pertama mengatur pemerintahan dan menjaga keamanan dalam Kota Madinah.

Pada saat itu orang-orang munafik menyebarkan isu bahwa sesungguhnya Nabi menyuruh Ali untuk menggantikan beliau di Madinah karena beliau tidak menyukai Ali. Maka, Ali as ingin menghentikan berkembangnya isu tersebut dengan segera menyusul Nabi saw, dengan tujuan menawarkan dirinya untuk ikut bergabung dalam pasukan Islam yang hendak memerangi tentara romawi itu.

Di sinilah Nabi saw mengumumkan sabdanya yang bersejarah itu, “Wahai Ali, apakah engkau tidak ridha bahwasanya kedudu­kanmu di sisiku seperti kedudukan Harun di sisi Musa, hanya saja tidak ada nabi sesudahku?”[7]

Jika kita merenungkan ayat 29-32 dari Surah Thaha, dan bagaimana Allah Swt telah mengabulkan doa Nabi Musa as untuk menjadikan Harun sebagai pembantunya dalam penyam­paian risalah, maka kita akan mendapatkan posisi yang krusial yang dikehendaki Nabi saw bagi Ali as. Ia bukanlah suatu perkara yang sebenamya mempakan kehendak Nabi saw pribadi karena kehendak beliau pada dasarnya adalah kehendak Allah Azza wa Jalla.

Oleh karena itu, ditegaskan dalam poin penting dalam akhir hadis tersebut, yaitu bahwasanya Ali as memperoleh segala keistimewaan yang didapatkan oleh Harun as kecuali kenabian. Pengecualian ini disebabkan oleh satu sebab, yaitu bahwasanya Nabi Muhammad saw adalah penutup para nabi dan fenomena kenabian dan wahyu berakhir dengan wafatnya Nabi saw.

Sa’d bin Abi Waqqash adalah termasuk salah seorang yang menentang Ali as dalam kekhalifahannya. Akan tetapi, walaupun demikian, dia menolak permintaan Mu’awiyah bin Abi Sufyan untuk mencaci Ali. Bahkan, secara tegas dia mengatakan bahwa dia sangat berangan-angan jika saja dia dapat memiliki walaupun hanya satu keutamaan di antara tiga keutamaan yang dimiliki Ali.

Pertama, sabda Rasulullah saw kepada Ali as, ”Kedudu­kanmu di sisiku seperti kedudukan Harun di sisi Musa, hanya saja tidak ada lagi nabi sesudahku.

Kedua, sabda Nabi saw malam hari sebelum kejatuhan benteng Khaibar pada keesokan harinya: ”Aku benar-benar akan memberikan bendera ini besok pagi kepada seorang laki­laki yang mencintai Allah dan Rasul-Nya, dan dia dicintai oleh Allah dan Rasul-Nya. ”

Ketiga, pada hari mubahalah. Peristiwa ini terjadi ketika utusan Nasrani dari Najran mendebat Nabi saw tentang kisah Isa as lalu turunlah ayat mubahalah, “Siapa yang membantahmu tentang kisah Isa sesudah datang ilmu (yang meyakinkan kamu), maka katakanlah (kepadanya), “Marilah kita memanggil anak-anak kami dan anak-anak kamu, istri-istri kami dan istri­istri kamu, diri kami dan diri kamu; kemudian marilah kita bermubahalah kepada Allah dan kita minta supaya laknat Allah ditimpakan kepada orang-orangyang dusta.”[8]

Maka, Nabi saw keluar dan ikut bersamanya: Ali, Fathimah, Al-Hasan dan Al-Husain untuk bermubahalah dengan utusan Najran.[9]

4. Hadis Bahtera Nuh;

Ini termasuk salah satu hadis yang mutawatir yang diriwayatkan oleh para perawi hadis dan kalangan Ahlus Sunnah dari Nabi saw.

Diriwayatkan dari Abu Dzarr Al-Ghifari bahwa Rasulullah saw bersabda, “Perumpamaan Ahli Baitku di tengah-tengah kalian seperti bahtera Nuh; barang siapa menaikinya, maka dia akan selamat, dan barang siapa tertinggal darinya (tidak menaikinya), maka dia akan tenggelam dan binasa.”[10]

Informasi hadis ini sangat jelas. Ketika kedudukan Ahlul Bait seperti bahtera Nuh, yang merupakan satu-satunya perantara untuk selamat dari ketenggelaman dalam badai yang sangat besar (yang tetjadi di masa Nabi Nuh as) dan akibat yang buruk (membinasakan), maka ini berarti bahwa Ahlul bait adalah jalan satu-satunya untuk selamat dari penyimpangan, kesesatan, danjatuh dalam lembah kebinasaan.

Tanda Tanya (?)

Tidak pemah disebutkan bahwa Khalifah pertama (Abu Bakar) mendapatkan pertentangan dalam mencalonkan khalifah kedua (Umar bin Al-Khathab).

Di hadapan peristiwa tersebut perlu diberikan tanda tanya besar, yaitu: Bukankah hadis-hadis Nabi saw seputar masa depan kekhalifahan dan pemerintahan sangat jelas, yaitu ketika Nabi saw mengumumkan identitas khalifah yang akan datang, yang dia tergolong kepanjangan Nabi saw dalam garis perjalanannya?

Apakah ucapan khalifah pertama yang keluar dari lisannya, sedangkan dia dalam keadaan tidak sadar lebih jelas daripada hadis-hadis Nabi saw sepanjang lebih dari dua puluh tahun?

Apakah khalifah pertama lebih peduli akan tanggung jawab daripada penutup para nabi?

Dan bagaimana mungkin beramal dengan fatwa-fatwa mazhab yang empat dan menaati para imamnya adalah suatu keharusan yang diwajibkan, padahal tidak diriwayatkan satu hadis pun dari Nabi saw yang membolehkan (umat Islam) mengikuti mereka? Kemudian mengikuti mazhab Ahlul Bait bukan suatu kewajiban, sementara hadis-hadis Nabi saw secara gamblang mengharuskan umat Islam untuk menaati Ahlul Bait?

Selain itu, hadis-hadis para imam Ahlul Bait as adalah kepanjangan dari hadis-hadis Nabi saw dan riwayat dari beliau, sementara mazhab yang empat hanya mencerminkan pendapat-­pendapat pribadi dari empat imam tersebut.

5. Hadis Tsaqalain;

Hadis ats-tsaqalain tergolong hadis yang paling sahih dan tepercaya di kalangan ulama Islam, bahkan ia adalah hadis yang telah mencapai derajat mutawatir.

Ia adalah sabda Nabi saw, “Wahai manusia, sesungguhnya telah dekat masanya aku hendak dipanggil (wafat), maka aku pun akan memenuhi panggilan itu. Sesungguhnya aku telah meninggalkan kepada kalian dua peninggalan yang sangat berharga (ats- tsaqalain), yaitu Kitabullah dan keturunanku, Ahli Baitku.”[11]

Rasulullah saw juga bersabda, “Ali bersama al-Quran, dan al-Quran bersama Ali.”[12]

Sumber-sumber sejarah menyebutkan bahwa Nabi saw sering mengulang-ulang hadis ats-tsaqalain dalam beberapa kesempatan. Nabi saw menyebutkan hadis tersebut dalam haji Wada’ di Arafah, ketika beliau sakit di Madinah yang membawa pada kewafatannya, dan di Ghadir Khum, serta ketika beliau kembali dari Thaif.

Ibn Hajar mengomentari pengulangan hadis ats-tsaqalain ini dalam beberapa kesempatan bahwa hal itu sama sekali tidak bertentangan. Sebab, Nabi saw mengulang-ulang hadis ats­tsaqalain tersebut karena pentingnya al-Quran dan keturunan beliau yang suci.[13]

Sesungguhnya penggabungan antara al-Quran al-Karim dan Ahlul Bait as menunjukkan bahwa al-Quran membutuhkan penafsiran dari Ahlul Bait, dan juga menunjukkan keterikatan yang kuat antara keluarga Rasulullah as dengan al-Quran al-­Karim, ia adalah ikatan yang kukuh yang tidak dapat dipisahkan satu sama lainnya. Berdasarkan hal ini, maka sesungguhnya penafsiran al-Quran yang jauh dari penafsiran Ahlul Bait as akan berakibat pada penyimpangan dan kesesatan.

Sebab, penggabungan antara al-Quran al-Karim dan Ahlul Bait as menunjukkan bahwa keduanya berjalan pada garis yang sama dan tujuan yang sama pula.

Oleh karena itu Nabi saw bersabda, “…dan sesungguhnya keduanya (al-Quran dan Ahlul Bait) tidak akan pernah berpisah hingga menjumpaiku di Haudh.”

Berdasarkan hal ini, berpegang hanya dengan salah satunya sama halnya dengan menyingkirkan keduanya sekaligus. Dan dari sini pula kita dapat mengetahui bahaya perkataan, “Cukuplah bagi kita Kitabullah” yang diucapkan pada situasi yang peka dalam sejarah Islam.

Kandungan hadis ats-tsaqalain ini juga mengungkapkan makna penting seputar Ahlul Bait as, yakni kemaksuman dan kesucian mereka sesuci-sucinya.

6. Hadis Dua Belas Khalifah;

Nabi saw telah menegaskan bilangan khalifah beliau dalam hadis yang terkenal yang diriwayatkan oleh dua kelompok besar Muslim, Syi’ah dan Ahlus Sunnah. Nabi saw bersabda, “Sesungguhnya khalifah­khalifahku sama dengan bilangan para pemimpin Bani Israil, dua belas pemimpin. Mereka semuanya berasal dari Quraisy.”[14]

Syaikh Sulaiman Al-Qunduzi Al-Hanafi berkata, “Sebagian ahli tahkik mengatakan, “Sesungguhnya hadis-hadis yang menunjukkan bahwa bilangan khalifah Rasulullah saw sepeninggal beliau ada dua betas khalifah telah terkenal dan diriwayatkan dalam jalur riwayat yang banyak. Maka, dengan penjelasan (berjalannya) waktu serta pembatasan alam dan tempat, aku mengetahui bahwa yang dimaksudkan oleh Rasulullah saw dalam hadisnya tersebut adalah para imam dua belas dari Ahlul Bait dan keturunan beliau. Sebab, tidak mungkin hadis ini diterapkan pada para khalifah sepeninggal beliau dari kalangan sahabatnya karena sedikitnya jumlah mereka yang kurang dari dua belas.

Tidak mungkin pula diterapkan pada raja-raja dari kalangan Bani Umayyah karena jumlah mereka yang melebihi dua belas dan juga karena kezaliman mereka yang melampaui batas kecuali Umar bin Abdi! Aziz, juga karena mereka bukan dari kalangan Bani Hasyim. Sebab, Nabi saw bersabda, ‘Semuanya dari Bani Hasyim.’

Dalam riwayat Abdul Malik dari Jabir dan pelirihan suara Nabi saw dalam ucapan ini menguatkan riwayat ini. Sebab, mereka tidak menyukai kekhalifahan Bani Hasyim.

Demikian pula hadis dua belas khalifah ini tidak dapat diterapkan pada raja-raja dari kalangan Bani Abbas (Abbas­iyyah) karena bilangan mereka yang melebihi dua belas orang dan karena kurangnya perhatian mereka terhadap Ahlul Bait. Padahal Allah Swt telah berfirman, “Katakanlah, ‘Aku tidak meminta kepadamu sesuatu upah pun atas seruanku kecuali kecintaanmu kepada keluargaku.”[15] dan hadis kisa’.

Oleh karena itu, hadis dua belas ini harus diterapkan pada para imam dua belas dari Ahli Bait Nabi saw dan keturunan beliau. Sebab, mereka adalah orang-orang yang paling pandai dan paling mulia pada zamannya. Mereka paling wara: paling bertakwa, dan paling luhur nasab mereka. Mereka adalah orang-­orang yang paling mulia di sisi Allah. Ilmu mereka bersumber dari leluhur mereka yang hersambung dengan kakek mereka, Nabi saw, dan dari warisan serta ilmu laduni.”[16]

Referensi:
[1] Musnad Ahmad, 1/344.
[2] Sunan At-Tirmidzi, 5130.
[3] Mustodrak Al-Hakim, 3/131.
[4] Tarikh Ath-Thabari, 2/320, dan Musnad Ahmad, 1/111.
[5] QS. an-Najm [53]: 3-4.
[6] Tarikh Ath-Thabari, 2/172.
[7] Shahih Al-Bukhari, 3/58.
[8] QS. Ali Imran [3]: 61
[9] Shahih Muslim, 7/120
[10] Kanzul Ummal, 1/250
[11] Shohih Muslim, 7/122.
[12] Yanabi’ul Mawaddah, 32, 40.
[13] Ash-Shawa’iqul Muhriqah, bab 11, hal. 89.
[14] Shahih Muslim, 612.
[15] QS. asy-Syu’ara [42]: 23.
[16] Yanabi’ul Mawaddah, hal. 446.

Disadur dari Imamah – Mujtaba Musawi Lari.

(Hauzah-Maya/ABNS)
Share this post :

Post a Comment

mohon gunakan email

Terkait Berita: