Pesan Rahbar

Home » » Pandangan Sahabat Nabi Satu Sama Sahabat Nabi Yang Lain

Pandangan Sahabat Nabi Satu Sama Sahabat Nabi Yang Lain

Written By Unknown on Sunday 29 November 2015 | 22:49:00


I. Kesaksian Mereka Atas Perubahan Sunnah Nabi

Abi Sa’id al-Khudri berkata: “Pada hari raya Idul Fitri dan Idul Adha, Rasulullah saw keluar rumah untuk menunaikan shalat Id. Usai shalat beliau berdiri menghadap para hadirin yang masih duduk di saf, kemudian berkhotbah yang penuh dengan nasehat dan merintahnya.” Abu Sa’id melanjutkan: “Cara seperti ini dilanjutkan oleh para sahabatnya sampailah suatu hari ketika aku keluar untuk shalat Id (Idul Fitri atau Idul Adha) bersama Marwan, gubernur kota Madinah. Sesampainya di sana Marwan langsung naik ke atas mimbar yang dibuat oleh Kathir bin Shalt. Aku tarik bajunya. Tapi dia menolakku. Marwan kemudian memulai khotbah ldnya sebelum shalat. Kukatakan padanya: “Demi Allah, kalian telah robah.” “Wahai Aba Sa’id.” Tukas Marwan. “Telah sirna apa yang kau ketahui”. Kukatakan padanya: “Demi Allah, apa yang kutahu adalah lebih baik dari apa yang tidak kuketahui.” Kemudian Marwan berkata lagi: “Orang-orang ini tidak akan mau duduk mendengar khotbah kami seusai shalat. Karena itu kulakukan khotbah sebelumnya.”[1]

Aku coba teliti gerangan apa yang menyebabkan sahabat seperti ini berani merobah Sunnah Nabi. Akhirnya kutemukan bahwa Bani Umaiyah -yang mayoritasnya adalah sahabat Nabi- terutama Muawiyah bin Abu Sufyan yang konon sebagai Penulis Wahyu, senantiasa memaksa kaum muslimin untuk mencaci dan melaknat Ali bin Abi Thalib dari atas mimbar-mimbar masjid. Muawiyah memerintahkan orang-orangnya di setiap negeri untuk menjadikan cacian dan laknat pada Ali sebagai suatu “sunnah” (tradisi) yang mesti dinyatakan oleh para khatib. Ketika sejumlah sahabat protes atas ketetapan ini, Muawiyah tidak segan-segan memerintahkan agar mereka dibunuh atau dibakar. Muawiyah telah membunuh sejumlah sahabat yang sangat terkenal seperti Hujur bin U’dai beserta para pengikutnya; dan sebagian lain dikuburkan hidup-hidup. “Kesalahan” mereka (dalam persepsi Muawiyah) semata-mata karena enggan mengutuk Ali; dan menunjukkan sikap protes atas dekrit Muawiyah.

Abul A’la al-Maududi dalam kitabnya al-Khilafah Wal Muluk (Khilafah Dan Kerajaan) menukil dari Hasan al-Bashri yang berkata: “Ada empat hal dalam diri Muawiyah, yang apabila satu saja ada pada dirinya, maka itu sudah cukup sebagai alasan untuk mencelakakannya.

1. Dia berkuasa tanpa melakukan sebatang musyawarah sementara sahabat-sahabat lain yang merupakan cahaya kemuliaan masih hidup.

2. Dia melantik puteranya (Yazid) sebagai pemimpin setelahnya, padahal sang putera adalah seorang pemabuk dan pecandu minuman keras dan musikus.

3. Dia menyatakan Ziyad (seorang anak zina) sebagai puteranya, padahal Nabi saw bersabda: “Anak adalah milik sang ayah, sementara yang melacur dikenakan sanksi rajam.”

4. Dia telah membunuh Hujur dan para pengikutnya. Karena itu maka celakalah dia lantaran (membunuh) Hujur, dan celakalah dia karena Hujur dan para pengikutnya.[2]

Sebagian sahabat yang mukmin lari dari masjid seusai shalat karena tidak mau mendengar khotbah yang berakhir pada kutukan terhadap Ali dan keluarganya. Itulah kenapa Bani Umaiyah merobah Sunnah Nabi ini dengan mendahulukan khotbah sebelum shalat agar yang hadir terpaksa mendengarnya.

Nah, sahabat jenis apa yang berani-berani merobah Sunnah Nabinya, bahkan hukum-hukum Allah sekalipun, semata-mata. demi meraih cita citanya yang rendah dan ekspresi dari rasa dengki yang sudah terukir. Bagaimana mereka bisa melaknat seseorang yang telah Allah sucikan dari segala dosa dan nista dan diwajibkan oleh Allah untuk bersalawat kepadanya sebagaimana kepada RasulNya. Allah juga telah mewajibkan kepada semua manusia untuk . mencintainya hingga Nabi saw bersabda:

“Mencintai Ali adalah iman dan membencinya adalah nifak (kemunafikan):”[3]

Namun sahabat-sahabat seperti ini telah merobahnya. Mereka berkata, kami telah dengar sabda-sabda Nabi tentang Ali, tetapi kami tidak mematuhinya. Seharusnya mereka bersalawat kepadanya, mencintainya dan taat patuh kepadanya; namun sebaliknya mereka telah mencaci dan melaknatnya sepanjang enam puluh tahun, seperti yang dicatat oleh sejarah. Apabila sahabat-sahabat Musa pernah sepakat mengancam nyawa Harun dan hampir-hampir membunuhnya, maka sebagian sahabat Muhammad saw telah membunuh “Harunnya” (yakni Ali) dan mengejar-ngejar anak keturunannya serta para Syi’ahnya di setiap tempat dan ruang. Mereka telah hapuskan nama-nama dan bahkan melarang kaum muslimin menggunakan nama mereka. Tidak sekadar itu, hatta para sahabat besar dan agungpun mereka paksa untuk melakukan hal yang serupa.

Demi Allah, aku berdiri heran dan terpaku ketika membaca, buku-buku referensi kita yang memuat berbagai hadis yang mewajibkan cinta pada Nabi dan saudaranya serta anak paman nya, yakni Ali bin Abi Thalib; dan sejumlah hadis-hadis lain yang mengutamakan Ali atas para sahabat yang lain. Sehingga Nabi saw bersabda:

“Engkau (hai Ali) di sisiku bagaikan kedudukan Harun di sisi Musa, hanya saja tiada Nabi setelahku.”[4]

Atau sabdanya: “Engkau dariku dan aku darimu”.[5] Dan sabdanya lagi: “Mencintai Ali adalah iman dan membenci nya adalah nifak “.[6]

Sabdanya: “Aku adalah kota ilmu dan Ali adalah gerbangnya”[7] Dan sabdanya: “Ali adalah wali (pemimpin) setiap mukmin setelahku’:[8]

Dan sabdanya: “Siapa yang menjadikan aku sebagai maulanya (pemimpinnya) maka Ali adalah maulanya. Ya Allah, bantulah mereka yang me-wila’nya dan musuhilan mereka yang memusuhinya”[9]

Apabila kita ingin mencatat semua keutamaan Ali yang disabdakan oleh Nabi saw dan yang diriwayatkan oleh para ulama kita dengan sanadnya yang shahih, maka ia pasti akan memerlukan suatu buku tersendiri. Bagaimana mungkin sejumlah sahabat seperti itu pura-pura tidak tahu akan hadis ini, lalu mencaci nya, memusuhinya, melaknatnya dari atas mimbar dan membunuh atau memerangi mereka:

Aku tidak temukan sebatang alasan dari sikap dan perlakuan seperti ini melainkan semata-mata karena cinta pada dunia dan berlomba-lomba mengejarnya; atau karena sifat nifak dan berpaling dan kebenaran. Aku juga coba melemparkan tanggung jawab ini kepada sebagian sahabat yang terkenal buruk, atau sebagian dari orang-orang munafik. Namun sayang sekali, yang kutemukan dari penelitianku itu adalah sejumlah sahabat yang agung dan masyhur. Orang pertama yang pernah mengancam akan membakar rumahnya (Ah) beserta para penghuni yang ada di dalamnya adalah Umar bin Khattab; orang pertama yang memeranginya adalah Thalhah Zubair, Ummul Mukminin Aisyah binti Abu Bakar, Muawiyah bin Abu Sufyan dan A’mer bin A’sh dan sebagainya.

Rasa terkejut dan kagetku bertambah dalam dan seakan tidak akan berakhir. Setiap orang yang berpikir rasional akan segera mendukung pendapatku ini. Bagaimana ulama-ulama Ahlu Sunnah sepakat mengatakan bahwa Semua sahabat adatah adil sambil mengucapkan “Radhiallahu Anhum”, bahkan mengucapkan salawat untuk mereka tanpa kecuali. Sehingga ada yang berkata “Laknatlah Yazid tapi jangan berlebihan”. Apa yang dapat kita bayangkan tentang Yazid yang telah melakukan tragedi yang sangat tragis ini, yang tidak dapat diterima bahkan oleh akal dan agama. Aku nyatakan kepada Ahlu SunnahWal Jamaah, jika mereka benar-benar mengikut Sunnah Nabi, agar meninjau hukum AlQuran dan. Sunnah Nabi secara cermat dan seadil-adilnya tentang kefasikan Yazid dan kekufurannya. Rasululah saw telah bersabda:

“Siapa yang mencaci Ali maka dia telah mencaciku; dan siapa yang mencaciku maka dia telah mencaci Allah; dan siapa yang mencaci Allah maka Aku akan menjatuhkannya ke dalam api neraka.”[10]

Demikian itu adalah sanksi bagi orang yang mencaci Ali. Maka bagaimana pula apabila ada orang yang melaknatnya dan memeranginya. Mana alim-ulama kita dari hakikat kebenaran ini? Apakah hati mereka telah tertutup rapat? Katakanlah, ya Allah, aku mohon lindunganMu dari bisikan syaitan dan dari kehadirannya.


II. Sahabat Merubah Hatta Sembahyang

Anas bin Malik berkata: “Tiada sesuatu yang kuketahui di zaman nabi lebih baik dari (hukum) shalat.” Kemudian dia bertanya:

“Tidakkah kalian kehilangan sesuatu di dalam shalat?” As-Zuhri pemah bercerita: “Suatu hari aku berjumpa dengan Anas bin Malik di Damsyik. Saat itu beliau sedang menangis. “Apa yang menyebabkan Anda menangis?”, tanyaku. “Aku telah lupa segala yang kuketahui melainkan shalat ini. Itupun telah kusta-siakan:” Jawab Anas.[11]

Agar jangan sampai terkeliru dengan mengatakan bahwa para Tabi’inlah yang merobah segala sesuatu setelah terjadinya sejumlah fitnah, perselisihan dan serta peperangan; ingin kunyatakan di sini bahwa orang pertama yang merobah Sunnah Rasul dalam hal shalat adalah khalifah muslimin yang ketiga, yakni Uthman bin Affan. Begitu juga Ummul Mukminin Aisyah. Bukhari dan Muslim meriwayatkan dalam kitabnya bahwa Rasulullah saw menunaikan shalat di Mina dua rakaat (qasar). Begitu juga Abu Bakar, Umar dan periode awal dari kekhalifahan Uthman. Setelah itu Uthman Shalat di sana (Mina) sebanyak empat rakaat.”[12]

Muslim juga meriwayatkan dalam kitab Shahibnya bahwa Zuhri berkata: “Suatu hari aku bertanya pada Urwah kenapa Aisyah shalat empat rakaat dalam perjalanan musafirnya?” “Aisyah telah melakukan takwil sebagaimana Uthman”[13] jawabnya. Umar bin Khattab juga tidak jarang berijtihad dan bertakwil di hadapan nash-nash Nabi yang sangat jelas, bahkan di hadapan nash-nash AlQuran, lalu kemudian menjatuhkan hukuman mengikut pendapatnya. Beliau pernah berkata: “Dua mut’ah yang dahulunya (halal) dan dilakukan di zaman Nabi, kini aku melarangnya dan mengenakan hukuman bagi orang yang melaksanakannya, (bertamattu’ dalam haji dan nikah mut’ah -pent.) Beliau juga pernah berkata kepada orang yang junub tetapi tidak memperoleh air untuk mandi, “jangan sembahyang”. Walaupun ada firman Allah di dalam surah al-Maidah ayat 6: “…Lalu kamu tidak memperoleh air, maka bertayammumlah dengan tanah yang bersih.”

Bukhari meriwayatkan dalam kitab Shahihnya pada Bab ldza Khofa al-Junub A’la Nafsihi (Apabila Orang Junub Takut Akan Dirinya) berikut: “Kudengar Syaqiq bin Saimah berkata, suatu hari aku hadir dalam majlis Abdillah dan Abu Musa. Abu Musa bertanya pada Abdillah bagaimana pendapatmu tentang orang yang junub kemudian tidak memperoleh air untuk mandi?” Abdillah menjawab, “dia tidak perlu shalat sampai ia temukan air.” Abu Musa bertanya lagi, “bagaimaha pendapatmu tentang jawaban Nabi kepada Ammar dalam masalah yang sama ini?” Abdullah menjawab, “Umar tidak begitu yakin dengan itu.” Abu Musa melanjutkan, “lalu bagaimana dengan ayat ini, (al-Maidah:6)?” Abdullah diam tidak menjawab. Kemudian dia berkata, “apabila kita izinkan mereka (melakukan tayammum), niscaya mereka akan bertayammum saja dan tidak akan menggunakan air apabila udaranya dirasakan dingin. ” Kukatakan pada Syaqiq bahwa Abdillah sebenarnya tidak suka lantaran ini semata-mata; dan Syaqiqpun mengiakan.”[14]

Anas bin Malik meriwayatkan bahwa Rasulullah saw pernah bersabda kepada kaum Anshar: “Suatu hari kalian akan menyaksikan sifat tamak yang dahsyat sepeninggalku. Karena itu bersabarlah sehingga kalian menemui Allah dan RasulNya di telaga haudh,” Anas berkata. “Kami tidak sabar.”[15]

Ala’ bin Musayyab dari ayahnya pernah berkata: “Aku berjumpa dengan Bana’ bin A’zib ra. Kukatakan padanya, “berba-hagialah Anda karena dapat bersahabat dengan Nabi saw dan membai’atnya di bawah pohon (bai’ah tahta syajarah). Barra’ menjawab, “wahai putera saudaraku, engkau tidak tahu apa yang telah kami lakukan sepeninggalnya. “[16]

Jika sahabat utama yang tergolong di antara as-Sabiqin at Awwalin dan pernah membai’ at Nabi di bawah pohon, serta Allah rela kepada mereka dan Maha Tahu apa yang ada dalam hati mereka sehingga diberinya ganjaran yang besar; apabila sahabat-sahabat ini kemudian bersaksi bahwa dirinya dan para sahabat yang lain telah melakukan “sesuatu” sepeninggal Nabi, bukankah pengakuan mereka ini adalah bukti kebenaran yang disabdakan oleh Nabi saw bahwa sebagian dari sahabatnya akan berpaling darinya sepeninggainya. Apakah seseorang yang berpikir rasional akan tetap mengatakan bahwa semua sahabat adalah adil seperti yang diclaim oleh Ahlu Sunnah Wal Jama’ah. Mereka yang mengclaim seperti itu jelas telah menyalahi nash dan akal. Karena dengan demikian hilanglah segala kriteria intelektual yang sepatutnya dijadikan pegangan sebuah penelitian dan kajian.

IV. Kesaksian Syaikhain Atas Dirinya

Bukhari meriwayatkan dalam kitab Shahihnya pada Bab Manaqib Umar bin Khattab (Keistimewaan Umar Bin Khattab) sebagai berikut: “Ketika Umar menderita karena tikaman, beliau merintih kesakitan. Ibnu Abbas datang menghiburnya sambil berkata, “Ya Amir al-Mukminin, apabila memang sudah waktunya tiba, bukankah engkau adalah sahabat Rasulullah yang baik. Ketika kau berpisah dengannya, bukankah dia juga rela padamu. Kemudian kau telah bersahabat dengan Abu bakar dengan persahabatan yang baik, lalu kau berpisah dengannya juga dalam keadaan dia rela padamu. Kau juga bersahabat dengan yang lainnya dengan baik. Jika seandainya kau harus meninggalkan mereka, maka mereka akan rela padamu.” Tidak lama berselang Umar kemudian menjawab, “Adapun tentang persahabatan dan kerelaan Rasulullah yang kau sentuh tadi, maka itu adalah anugerah yang Allah telah berikan padaku. Persahabatan dan kerelaan Abu Bakar yang kau katakan tadi, itu juga adalah anugerah yang Allah limpahkan padaku. Namun apa yang kau saksikan dari rasa khawatir dari wajah ku adalah semata-mata karena kamu dan sahabat-sahabatmu. Demi Allah, apabila aku punya segunung emas maka aku akan korbankan demi dapat terselamat dari azab Allah sebelum aku datang menjumpaiNya.”[17]

Sejarah juga mencatat kata-kata Umar berikut:

“Oh, alangkah beruntungnya apabila aku hanyalah seekor kambing milik keluargaku. Digemukkannya aku seperti yang mereka suka kemudian menjadi tahapan orang yang menyenanginya. Mereka iris sebagian dariku dan dipanggangnya sebagian yang lain. Kemudian aku dimakan dan dikeluarkan pula sebagai najis. Oh, kalaulah aku seperti itu dan tidak menjadi manusia.”[18]

“Ketika Abu Bakar melihat seekor burung hinggap di suatu pohon. dia berkata. “berbahagialah engkau duhai burung. Engkau makan buah-buahan dan hinggap di pohon. tanpa ada hisab atau balasan. Aku lebih suka kalau aku ini adalah sebatang pohon yang tumbuh di tepi jalan kemudian datanglah seekor onta lalu memakanku. Kemudian aku dikeluarkan dan tidak menjadi seorang manusia.”[19]

Di tempat lain beliau juga pernah berkata: “Oh, kalaulah ibuku tidak pernah rnelahirkanku. Oh, kalaulah aku hanya sebiji pasir dari satu batu bata.”[20]

Demikianlah sebagian kecil dari bukti yang dapat kita contohkan di sini sebagai renungan semata-mata. Dan berikut adalah firman Allah swt yang mernberikan berita gembira kepada hamba-hambaNya yang mukmin: “Ingatlah sesungguhnya wali-wali Allah itu tiada kekhawatiran terhadap mereka dan tiada (pula) mereka bersedih hati; (yaitu) orang-orang yang beriman dan mereka selalu bertakwa. Bagi mereka berita gembira di dalam kehidupan di dunia dan ( kehidupan) di akhirat. Tidak ada perubahan bagi kalimat-kalimat (ianji-janji) Allah. Yang demikian itu adalah kemenangan yang besar” (S.10:62,63,64). Dan firman Allah dalam surat lain, “Sesungguhnya orang-orang yang mengatakan: “Tuhan kami adalah Allah” kemudian mereka teguhkan pendirian mereka, maka malaikat akan turun kepada mereka (dengan mengatakan): “Janganlah kamu merasa takut dan janganlah kamu merasa sedih; dan gembirakanlah mereka dengan (memperoleh) sorga yang telah dijanjikan Allah kepadamu. Kamilah pelindung-pelindungmu dalam kehidupan dunia dan di akhirat; di dalamnya kamu memperoleh apa yang kamu inginkan dan memperoleh (pula) di dalamnya apa yang kamu minta. Sebagai hidangan (bagimu) dari Tuhan Yang Maha Pengampun lagi Maha Penyayang” (S.41 :30,31 ,32).

Kenapa Syaikhain (Abu Bakar dan Umar) berangan-angan untuk tidak jadi manusia, makhluk yang sangat dimuliakan oleh Allah swt atas makhluk-makhluknya yang lain. Apabila seorang mukmin yang biasa yang istiqamah dalam hidupnya bisa didatangi oleh malaikat dan diberinya kabar gembira dengan kedudukan di sorga, lalu dia tidak khawatir pada azab Allah dan tidak bersedih hati dengan masa lalunya di dunia, bahkan baginya berita gembira di dalarn kehidupan di dunia sebelum kehidupan di akhirat; maka kenapa tokoh-tokoh sahabat yang dikatakan sebagai makhluk terbaik setelah Rasulullah berangan-angan ingin menjadi najis atau sehelai rambut atau sebiji pasir? Seandainya para malaikat telah memberinya berita gembira akan hal sorga, semestinya mereka tidak akan berangan-angan untuk memiliki segunung emas agar dapat dikorbankan sebagai tebusan atas azab Allah sebelum berjumpa denganNya. Allah swt berfirman: “Dan kalau setiap diri yang zalim itu mempunyai segala apa yang ada di bumi ini, tentu dia menebus dirinya dengan itu, dan mereka menyembunyikan penyesalannya ketika mereka telah menyaksikan azab itu, dan telah diberi keputusan di antara mereka dengan adil sedang mereka tidak dianiaya” (S.10:54).

Allah juga berfirman: “Dan sekiranya orang-orang yang zalim mempunyai semua apa yang ada di bumi dan sebanyak itu (pula) besertanya, niscaya mereka menebus dirinya dengan itu dari siksa yang buruk pada hari kiamat. Dan jelaslah bagi mereka azab dari Allah yang belum pernah mereka perkirakan. Dan (jelaslah) bagi mereka akibat buruk dari apa yang telah mereka perbuat dan mereka diliputi oleh pembalasan yang mereka dahulu selalu memperolok-olokkan” (S. 39:47,48).

Aku bercita-cita sepenuh hatiku agar ayat ini tidak meliputi sahabat-sahabat besar seperti Abu Bakar as-Siddiq dan Umar al-Faruq. Tetapi aku seringkali terjebak dengan adanya nash-nash seperti ini. Itulah kenapa aku coba menelaah aspek-aspek menarik dari hubungan mereka dengan Rasul saw. Namun di situ juga aku dihadapkan dengan sikap mereka yang enggan melaksanakan perintah-perintah Nabi, terutama pada saat-saat akhir dari umurnya yang penuh berkat itu; di mana menyebabkan Nabi marah dan mengusir mereka dari kamarnya. Aku juga dihadapkan dengan suatu fakta akan perilaku mereka setelah wafatnya Nabi, serta sikap mereka yang menggangu puterinya Fatimah az-Zahra’. Padahal Nabi saw bersabda, “Fatimah adalah belahan nyawaku; siapa yang menyebabkannya marah maka dia telah menyebabkan aku marah.”[21]

Fatimah juga pernah berkata kepada Abu Bakar dan Umar demikian: “Aku minta persaksian dari Allah kepada kalian berdua, apakah kalian tidak mendengar Rasulullah bersabda, “Keredhaan Fatimah adalah keredhaanku dan kemarahan Fatimah adalah kemarahanku. Siapa yang mencintai puteriku Fatimah, maka dia telah mencintaiku, siapa yang membuat Fatimah rela maka dia telah membuatku rela, siapa yang membuat Fatimah marah maka dia telah membuatku marah.” “Ya, kami telah mendengarnya dari Rasulullah.” Jawab mereka berdua. Lalu Fatimah berkata lagi, “Sungguh, aku minta persaksian Allah dan para malaikatNya bahwa kalian berdua telah membuatku marah dan tidak rela. Jika kelak aku berjumpa dengan Rasulullah maka pasti akan kusampaikan keluhanku ini kepadanya.”[22]

Biarlah riwayat yang menyayat hati ini kita tinggalkan dahulu. Mungkin Ibnu Qutaibah, seorang ulama Ahlu Sunnahyang sangat terkemuka dalam berbagai ilmu pengetahuan dan mempunyai banyak karya seperti Tafsir, Hadis, Bahasa, Nahu dan sejarah, mungkin beliau juga telah ikut Syi’ah seperti yang pernah dikatakan oleh seseorang ketika kutunjukkan padanya kitab Tarikh al-Khulafa’. Dan ini hanya sekadar alasan yang dicari-cari saja oleh ulama kita ketika mereka harus mengakui fakta-fakta tersebut. Di daerah kami, Thabari dikatakan telah ikut Syi’ah; Nasai yang telah menulis satu buku khusus tentang keutamaan Imam Ali juga dikatakan telah ikut Syi’ah; Ibnu Qutaibah juga Syi’ah; bahkan Taha Husain, ketika menulis buku al-Fitnah al-Kubro (Fitnah Besar) dan menyebutkan di sana hadis-hadis al-Ghadir serta mengakui kebenaran-kebenaran yang lain juga dikatakan telah ikut Syi’ah.

Padahal sebenamya mereka bukan orang Syi’ah. Bahkan ketika mereka berbicara tentang Syi’ah, yang mereka sebutkan hanyalah keburukannya semata-mata. Mereka membela pam sahabat dengan segala daya upaya mereka. Tetapi mereka yang menyebut keutamaan-keutamaan Ali bin Abi Thalib dan mengakui kesalahan-kesalahan yang dilakukan oleh tokoh-tokoh sahabat tertentu, tiba-tiba kita tuduh mereka sebagai Syi’ah. Cukup -misalnya- Anda sebutkan di hadapan mereka salawat Nabi yang diiringi dengan kalimat Wa Alihi atau menyebut alaihissalam untuk Imam Ali, maka mereka segera akan mengatakan bahwa Anda adalah seorang Syi’ah.

Suatu hari aku berdiskusi dengan seorang ulama. Kutanyakan padanya, “apa pendapatmu tentang Bukhari?” “Beliau adalah imam hadis.” Jawabnya. “Kitabnya adalah yang paling benar setelah Kitab Allah. Hal ini adalah kesepakatan para ulama kita.” Kukatakan padanya bahwa Bukhari adalah seorang Syi’ah. Dia tertawa terbahak-bahak mengejekku. Katanya, “Tidak mungkin sama sekali Imam Bukhari akan jadi Syi’ah.” Kukatakan lagi padanya bahwa Anda pernah menyatakan siapa saja yang menyebut kalimat alaihissalam untuk Ali maka dia adalah orang Syi’ah. Ya, jawabnya. Kemudian kutunjukkan padanya dan pada orang-orang yang duduk di sekitarnya kitab Shahih Bukhari yang memuat kata-kata alaihissalam ketika menyebut nama Ali, Husain bin Ali serta nama Fatimah puteri Nabi.[23] Menyaksikan itu orang ini merasa sangat kaget dan bingung apa yang harus dikatakannya.

Mari kita kembali pada riwayat Ibnu Qutaibah yang mencatat bahwa Fatimah marah pada Abu Bakar dan Umar. Apabila aku meragukan kebenaran riwayat ini karena semata-mata ada dalam kitab Ibnu Qutaibah, maka aku tidak akan dapat mengelak lagi ketika riwayat yang sama kudapati dalam kitab Shahih Bukhari; sebuah kitab yang paling “benar” setelah AlQuran. Karena kita telah nyatakan bahwa kitab Shahih Bukhari adalah kitab yang paling benar, dan kini Syi’ah berargumentasi dengan kitab tersebut, maka adalah sangat adil dan fair apabila orang-orang yang rasional menerimanya.

Bukhari meriwayatkan dalam Bab Manaqib Qarabah Rasulillah (Keistimewaan Kerabat Nabi) bahwa Rasulullah saw bersabda: “Fatimah adalah belahan nyawaku, siapa yang membuatnya marah maka dia telah membuatku marah.” Dalam Bab Ghazwah Khaibar, dari Aisyah (yang berkata) bahwa Fatimah putri Nabi, suatu hari mengutus seseorang menghadap Abu Bakar untuk meminta hak pusakanya yang diwarisi nya dari ayahandanya. Abu Bakar enggan memberikannya kepada Fatimah walau sedikit sekalipun. Fatimah sangat marah kepada Abu Bakar, lalu ditinggalkannya dan tidak diajaknya berbicara sampai beliau wafat.”[24]

Alhasil, konklusinya satu. Bukhari menyebutnya secara ringkas, sementara Ibnu Qutaibah mencatatnya secara lebih rinci; yakni Rasulullah saw akan marah lantaran marahnya Fatimah dan akan rela lantaran kerelaan Fatimah. Dan ketika Fatimah meninggal, beliau masih dalam keadaan marah dan murka pada Abu Bakar dan Umar.

Jika Bukhari berkata bahwa “Fatimah meninggal masih dalam keadaan marah pada Abu Bakar, dan sampai akhir hayatnya tidak berbicara dengannya”, riwayat Bukhari ini sama maknanya dengan riwayat Ibnu Qutaibah di atas. Kemudian, apabila Fatimah adalah Penghulu Wanita Alam Semesta seperti yang disebutkan oLeh Bukhari dalam Bab al-lstidzan bagian Man Naja Baina Yadai an-Nas; dan Fatimah adalah satu-satunya wanita dari ummat ini yang dibersihkan dari segala dosa dan disucikan sebersih-bersihnya, maka hal itu berarti bahwa sikap marahnya adalah karena kebenaran semata-mata. Dan dengan alasan inilah kenapa Rasulullah akan marah karena marahnya Fatimah, dan-akan murka lantaran murkanya Fatimah. Dan karena menyadari konsekwensi inilah kemudian Abubakar berkata: “Aku berlindung pada Allah dari murkaNya dan dari murkamu wahai Fatimah”; dan Abubakar menangis tersedu-sedu sarnpai dadanya sesak.

Fatimah juga berkata kepada Abu Bakar: “Demi Allah, aku akan mohonkan keburukanmu di dalam setiap doa yang kupanjatkan seusai shalat. “Kemudian Abu Bakar menangis dan berkata berikut:

“Aku tidak perlu pada bai’at kalian, lepaskan aku dari bai’at kalian.”[25]

Para ahli sejarah dan ulama-ulama kita tahu bahwa Fatimah as telah mendakwa Abu Bakar dalam berbagai kasus, seperti kasus harta pusaka dan bagian hak kerabat Nabi. Tetapi semua dakwaannya ditolak sehinggalah beliau meninggal dalarn keadaan murka. Namun sayang sekali, para ulama kita hanya membacanya saja dan enggan mendiskusikannya. Alasannya, seperti biasa-ingin menjaga segala kemuliaan Abu Bakar.

Di antara hal aneh yang pernah kubaca tentang cerita ini adalah komentar sebagian penulis yang menukilkan cerita tersebut secara agak rinci, kemudian berkata: “Jauh sekali kemungkinan Fatimah akan mendakwa sesuatu yang bukan haknya; dan jauh sekali Abu bakar akan melarang Fatimah dari haknya.” Penulis tersebut menduga bahwa dengan cara ini dia telah dapat menyelesaikan kemusykilan dan telah memberi jawaban yang memuaskan kepada .para pencari kebenaran. Padahal logika seperti itu nyaris sama dengan logika yang beralasan: “Jauh sekali AlQuran akan berkata sesuatu yang bukan haq; atau jauh sekali Bani Israel akan menyembah anak sapi.”

Kita sering berjumpa dengan para ulama yang berbicara tentang sesuatu yang tidak mereka fahami, atau mempercayai sesuatu yang kontradiktif. Dalam kasus ini -misalnya- Fatimah yang mendakwa sementara Abu Bakar yang meholak dakwaan. Kita dihadapkan pada dua pilihan, apakah Fatimah yang berbohong (semoga Allah melindungi kita dari berkata demikian) atau Abubakar yang berlaku zalim kepadanya. Tidak ada kemungkinan ketiga dalam menilai kasus ini seperti yang diasumsikan oleh ulama-ulama kita. Apabila andaian dan kemungkinan Fatimah berbohong adalah tertolak, karena terbukti ayahnya, Nabi saw bersabda untuk dirinya: “Fatimah adalah belahan nyawaku; siapa yang menggang-gunya berarti dia telah menggangguku…” dan orang yang berbohong sudah pasti tidak akan memperoleh rekomendasi Nabi seperti ini; di samping hadis ini sendiri adalah bukti akan kemaksumannya dari berkata dusta dan dari segala perbuatan yang munkar, sebagaimana yang didukung oleh ayat Tathhir (33:33) yang diturunkan untuknya, suaminya dan dua puteranya dengan persaksian Aisyah;[26] jika hal ini tertolak maka tidak ada jawaban lain bagi orang-orang yang berpikir rasional kecuali harus mengakui bahwa Fatimah sebenarnya adalah pihak yang dizalimi. Dan mudah untuk kita duga bahwa sekadar menolak dakwaan dan daim Fatimah seperti itu jauh lebih mudah bagi orang-orang yang tidak takut hatta dalam membakar rumahnya sekalipun, ketika sejumlah orang enggan membai’at dan tidak mau keluar dari rumahFatimah.[27] Itulah kenapa Fatimah as tidak mengizinkan Abubakar dan Umar masuk ke dalam rumahnya; dan ketika Ali membawa mereka masuk, Fatimah juga memalingkan wajahnya dan tidak mau melihat mereka berdua.[28]

Fatimah wafat dan berwasiat agar dikebumikan secara rahasia di malam hari, supaya tidak satupun dari mereka yang dimurkainya dapat menghadiri jenazahnya.[29] Dan -memang- sampai kini kita tidak akan dapat menjumpai dimana kuburan puteri Rasul tersebut. Kenapa alim-ulama kita berdiam diri dari hakikat kebenaran ini, dan tidak mau mengkajinya bahkan menyebutnya sekalipun. Mereka menggambarkan kepada kita bahwa para sahabat bagaikan para malaikat yang tidak bersalah atau berbuat dosa. Jika kita tanyakan pada mereka kenapa Khalifah Uthman sampai bisa terbunuh? Mereka akan segera menjawab bahwa penduduk Mesirlah -orang-orang kafir- yang telah membunuhnya. Cukup dengan dua kalimat itu saja. Tetapi ketika aku mulai membaca dan mengkaji sejarah, kudapati bahwa tokoh-tokoh penting di sebalik pembunuhan Uthman adalah para sahabat itu sendiri, terutama Ummul Mukminin Aisyah yang menyeru pembunuhannya di hadapan publik ramai. Aisyah berkata, “Bunuhlah si Na’thal (orang tua yang keras kepala -yakni Uthman) itu. Sungguh dia telah kafir.”[30] Di sana kita juga dapati nama-nama seperti Thalhah, Zubair, Muhammad bin Abu Bakar dan tokoh-tokoh sahabat lain yang terkenal. Mereka telah kepung rumah Uthman dan memotong suplai air agar ia meletak jawatan. Para ahli sejarah juga mencatat bahwa mayat Uthman dilarang oleh para sahabat lain dikebumikan di pekuburan kaum muslimin. Akhirnya beliau dikuburkan di Hash Kaukab tanpa dimandikan dan tanpa dikafankan. Subhanallah. Bagaimana lalu dikatakan kepada kita bahwa Uthman dibunuh dalam keadaan dizalimi; dan yang membunuhnya adalah orang-orang bukan muslim.

Dalam melihat masalah ini hampir sama dengan masalah antara Fatimah dan Abu Bakar serta Umar di atas. Apakah Uthman yang dizalimi, sehingga para sahabat yang terlibat divonis sebagai pembunuh-pembunuh yang jahat, karena telah membunuh seorang Khalifah muslimin dengan penuh aniaya dan permusuhan; bahkan kemudian melempar mayatnya dengan batu sampai Uthman dikatakan konon sebagai orang yang teraniaya pada masa hidupnya dan setelah matinya. Atau para sahabat itu karena menyaksikan sejumlah tindakan Uthman yang bertentangan dengan lslam, kemudian menghalalkan darahnya, seperti yang terbukti dalam buku-buku sejarah. Tidak ada kemungkinan ketiga yang dapat kita cari jawabannya, melainkan kalau kita ingin memalsukan sejarah dan menerima alasan bahwa- orang orang “kafir” Mesirlah yang membunuhnya.

Dari dua andaian di atas kita terjebak pada konsekwensi logis akan ketidakjujuran teori yang mengatakan bahwa semua sahabat adalah adil. Karena apakah Uthman yang tidak adil sehingga para pembunuhnya yang benar; atau para pembunuhnya, yang juga para sahabat yang terkemuka. Dengan demikian maka batallah daim kita dan benarlah daim Syi’ah yang mengatakan bahwa hanya sebagian sahabat sajalah yang adil, bukan semua.

Kita juga bertanya tentang peperangan Jamal yang diapi-apikan oleh Ummul Mukminin Aisyah bahkan dipimpin olehnya sendiri. Bagaimana Ummul Mukminin Aisyah keluar dari rumahnya sementara Allah swt memerintahkannya untuk tinggal di rumahnya saja. Firman Allah: “Dan hendaklah kamu tetap di rumahmu dan janganlah kamu berhias dan bertingkah laku seperti. orang-orang jahiliah yang dahulu … “ (33:33)

Kita juga bertanya, atas hak apa Ummul Mukminin membo-lehkan perang menentang khalifah muslimin yang sah, yakni Ali bin Abi Thalib? Bukankah beliau adalah wali . (pemimpin) bagi orang-orang mukmin dan mukminah? Seperti. biasa, para ulama kita dengan mudah sajamenjawab bahwa Aisyah tidak suka dengan Imam Ali, lantaran Ali menyarankan kepada Rasul untuk mentalaknya dalam peristiwa lfik. Mereka ingin katakan kepada kita bahwa peristiwa ini adalah alasan yang cukup kuat untuk Aisyah melanggar perintah Tuhannya dan Rasulnya serta menunggangi seekor onta yang dilarang oleh Rasul dan diperingatkannya dari gongongan anjing Hauab.[31] Aisyah telah menempuh jarak yang cukup jauh, dari Madinah ke Mekah kemudian Basrah hanya untuk memerangi Amir al-Mukminin dan para sahabat lain yang membal’ atnya. Perang Jamal tersebut telah mengakibatkan ribuan manusia terkorban seperti yang dicatat dalam buku sejarah.[32] Semua ini adalah karena beliau tidak suka pada Imam Ali yang pernah menyarankan Nabi untuk menceraikannya dalam peristiwa lfik itu. Kenapa Aisyah sampai demikian ekstrem benci pada Imam Ali!

Para ahli sejarah juga mencatat bahwa Aisyah mempunyai sikap-sikap permusuhan kepada Imam Ali yang tidak dapat ditafsirkan. Ketika dalam perjalanan pulang dari Mekah menuju Madinah, Aisyah mendengar berita pembunuhan Uthman. Berita itu disambutnya dengan kegembiraan yang luar biasa. Namun ketika beliau tahu bahwa ummat memberikan bai’ atnya pada Ali sebagai Khalifah, Aisyah tiba-tiba marah dan berang. Katanya: ” Aku lebih suka kalaulah langit ini menghimpit bumi sebelum Ibnu Abi Thalib mengambil alih jabatan khalifah.” Beliau juga berkata: “Kembalikan aku … ” dan seterusnya. Dari situlah kemudian api fitnah dinyalakan untuk menentang Ali yang -seperti kata sejarah- hatta namanya sekalipun enggan disebut oleh Aisyah.

Apakah Ummul Mukminin Aisyah tidak pernah mendengar sabda Rasul saw: “Cinta kepada Ali adalah (tanda) iman dan benci kepadanya adalah (tanda) nifak.”[33] Bahkan sebagian sahabat ber-kata, “Kami kenal orang-orang munafik karena sikap benci mereka pada Ali” Apakah Ummul Mukminin tidak mendengar sabda Nabi saw: “Siapa yang menganggap aku sebagai pemimpinnya maka Ali adalah pemimpinnya.” Tidak syak lagi bahwa beliau pernah mendengar semua itu. Namun beliau tetap tidak suka padanya, tidak mau menyebut namanya bahkan ketika didengarnya bahwa Ali telah mati, beliau bersujud syukur karenanya!!![34]

Biarlah kita tinggalkan semua ini. Aku tidak ingin berbicara tentang sejarah Ummul Mukimin Aisyah. Hanya sekadar ingin meneliti dan dan mencari tahu akan pelanggaran tidak sedikit dari kalangan sahabat akan prinsip-prinsip lslam dan perintah-perintah Nabi saw. Bagiku perang Jamal yang dilancarkan oleh Ummul Mukminin yang telah disepakati kebenarannya oleh para ahli sejarah ini adalah satu bukti kuat atas objektifitas kesimpulanku ini.

Mereka juga mencatat bahwa Aisyah ketika lewat di perairan Hauab, beliau digonggong oleh anjing-anjingnya. Mendengar gonggongan anjing Hauab seperti itu, segera beliau ingat akan pesan suaminya Rasulullah yang melarangnya dari menunggangi onta tersebut. Beliau sempat menangis dan berkata. “Kembalikan aku, kembalikan aku … ” Tetapi Thalhah dan Zubair kemudian membawa lima puluh penduduk lokal dan meminta mereka bersumpah bahwa tempat ini bukanlah wilayah perairan Hauab. Dari sana kemudian beliau melanjutkan perjalanannya sampai ke Basrah. Para ahli sejarah berkata bahwa itulah kesaksian palsu pertama yang terjadi dalam lslam.[35]

Duhai pembaca yang berpikiran jernih, tunjukkan kami bagaimana caranya menyelesaikan kemusykilan ini? Apakah mereka dapat dikatagorikan sebagai para sahabat yang agung yang kita hukumkan sebagai orang-orang adil, bahkan sebagai manusia yang paling mulia setelah Rasulullah saw? Tapi mereka telah memberikan kesaksian palsu yang digolongkan oleh Rasul sebagai bagian dari dosa-dosa besar yang bisa membawa ancaman api neraka.

Pertanyaan yang sama masih berulang, siapa yang benar dan siapa yang salah? Apakah Ali dan orang-orangnya dalam pihak yang zalim dan batil, ataukah Aisyah dan orang-orangnya beserta Thalhah, Zubair dan orang-orangnya? Tidak ada lagi andaian ketiga yang bisa memberikan jawaban. Seorang peneliti yang objektif saya rasa akan condong kepada pihak Ali yang (disabdakan oleh Nabi) senantiasa bersama kebenaran, dan berupaya untuk mematikan fitnah yang dinyalakan oleh Ummul Mukminin Aisyah serta para pengikutnya. Sungguh fitnah peperangan ini telah memakan banyak korban dan telah meninggalkan luka yang sangat dalam sampai hari ini.

Untuk pertanggung-jawaban dan ketenangan hati aku sertakan riwayat-riwayat berikut. Bukhari telah meriwayatkan dalam kitab Shahihnya pada Bab al-Fitnah, bagian al-Fitnah Allan Tamuju Kamauji al-Bahri (Fitnah Yang Mengamuk Seperti Gelombang Samudra) riwayat berikut:

“Ketika Thalhah, Zubair dan Aisyah pergi ke Basrah, Ali mengutus Ammar bin Yasir dan Hasan bin Ali pergi ke Kufah. Sesampainya di sana, mereka naik ke atas mimbar. Hasan duduk di atas sementara Ammar berdiri di bawahnya. Kami berkumpul mengelilingi mereka. Kudengar Ammar berkata: “Aisyah telah pergi ke Basrah. Demi Allah dia adalah isteri Nabi kalian di dunia dan di akhirat. Tetapi Allah ingin menguji kalian agar Dia tahu apakah kalian berada pada pihak Ali atau pada pihak Aisyah?”[36]

Bukhari juga meriwayatkan dalam Bab as-Syurut bab Ma Ja’a Fi Buyut Azwaj an-Nabi (Apa Yang Terjadi Di Rumah Isteri-isteri nabi): “Suatu hari Nabi berdiri berpidato. Sambil menunjuk ke arah tempat tinggal Aisyah beliau bersabda:

“Disinilah fitnah, disinilah fitnah, disinilah fitnah darimana munculnya tanduk syaitan”[37]

Bukhari juga meriwayatkan berbagai sikap aneh dan keburukan akhlaknya di hadapan Nabi saw sampai pernah ditampar oleh ayahnya; atau tentang kepura-puraannya di hadapan Nabi sehingga Allah mengancam nya dengan talak dan akan digantikan dengan isteri lain yang lebih baik. Ini adalah cerita-cerita lain yang akan memakan ruangan yang panjang jika dijelaskan.

Setelah ini semua, aku tertanya-tanya kenapa Aisyah memperoleh penghormatan yang demikian agung dari pihak Ahlu SunnahWal Jama’ah. Apakah karena dia adalah isteri Nabi, padahal Nabi juga mempunyai banyak isteri lain; bahkan ada yang lebih utama dari Aisyah sekalipun; seperti ucapan Nabi sendiri.[38] Ataukah karena dia adalah puterinya Abu Bakar. Atau mungkin karena dia telah memainkan peranan besar dalam mengingkari wasiat Nabi kepada Ali, sehingga ketika disebutkan di hadapannya bahwa Nabi telah berwasiat untuk Ali, dia berkomentar: “Siapa yang berkata demikian? Waktu itu (saat wafat Nabi) akulah yang bersama Nabi. Kuletakkan kepalanya di dadaku, kemudian dia meminta talam. Ketika aku tunduk tiba-tiba dia mati tanpa kurasakan apa-apa. Bagaimana lalu dikatakan bahwa Nabi telah berwasiat untuk Ali?”[39] Atau karena dia telah perangi Ali dan anak-anaknya secara total, sampai-sampai jenazah Sayyidina Hasan putera Ali, penghulu pemuda syurga, dihalangi nya untuk bisa dikebumikan di sisi pusara datuknya Rasulullah saw. Katanya: “Jangan masukkan orang yang tidak kusukai ke rumahku.”

Entahlah, apakah dia lupa atau berpura-pura lupa akan sabda nabi pada Hasan dan saudaranya: “Hasan dan Husain adalah dua pemuka pemuda sorga”; atau sabdanya yang lain: “Allah akan mencintai orang yang mencintai keduanya, dan akan benci pada orang yang membenci keduanya”; atau sabdanya: “Aku akan memerangi orang yang memerangi kalian (berdua) dan berdamai pada orang yang berdamai dengan kalian”; atau sabda-sabdanya yang lain. Betapa tidak, bukankah mereka berdua adalah bunga kuntumnya yang semerbak bagi ummat ini?

Tidak begitu mengejutkan memang. Jauh hari sebelumnya beliau pernah mendengar dari Nabi hadis-hadis yang lebih banyak tentang keistimewaan Ali, tetapi beliau tetap enggan dan bertekad tetap memeranginya, memisahkan kaum muslimin darinya serta mengingkari segala keutamaan-keutamaan nya. Itulah alasan yang sangat kuat kenapa Bani Umaiyah sangat mencintai Aisyah ini dan meletakkannya pada kedudukan yang sangat tinggi tanpa tara. Mereka telah tulis baginya berbagai keistimewaan dan keutamaan yang memenuhi lembaran buku sehingga beliau ditokohkan sebagai marja’ (pakar rujuk) yang paling besar bagi Ummat ini; sebab di sisinya tersimpan separuh agama. Dan mungkin separuh lain telah mereka [arakan pada Abu Hurairah yang telah meriwayatkan untuk mereka segala sesuatu yang mereka inginkan. Dan lantaran itulah maka Abu Hurairah mereka letakkan sebagai orang dekatnya, dibe-rinya kekuasaan sebagai Gubernur kota. Madinah dan istana al-Aqiq serta gelar sebagai “perawi lslam” Dengan demikian maka mudahlah bagi Bani Umaiyah untuk memiliki satu agama baru yang sempurna, yang tidak memuat apa-apa dari Kitab Allah dan Sunnah Rasul melainkan yang sesuai dengan kehendak nafsu mereka dan mendukung kerajaan serta kekuasaan mereka semata-mata.

Agama seperti ini adalah lebih layak apabila dikatakan sebagai bahan mainan dan olok-olok saja yang hanya penuh dengan berbagai khurafat dan kontradiksi. Itulah kenapa kebenaran yang sejati terkubur sementara yang batil muncul ke permukaan. Mereka juga memaksa atau mengelabui orang banyak dengan cara keagamaan mereka ini, sehingga agama Allah yang sejati menjadi semacam tiada nilai dan rasa takut kepada Muawiyah adalah lebih besar dari takut kepada Allah.

Ketika kita bertanya pada sebagian ulama kenapa Muawiyah memerangi Imam Ali yang telah dibai’ at oleh Muhajirin dan Anshar, dimana akibatnya telah memecah kaum muslimin kepada Sunnah dan Syi’ah, dan telah melukai Islam hingga kini, maka -seperti biasa- mereka akan segera menjawab dengan begitu mudahnya bahwa Ali dan Muawiyah adalah dua sahabat Rasul yang agung. Kedua mereka berijtihad; Ali berijtihad dan benar lalu dia dapat dua pahala; sementara Muawiyah berijtihad dan salah, lalu dia memperoleh satu pahala. Dan bukan hak kita untuk menghukum mereka, baik positif atau negatif. Karena Allah swt berfirman: “Itu adalah ummat yang lain; baginya apa yang telah diusahakan nya dan bagimu apa yang sudah kamu usahakan. Dan kamu tidak akan diminta pertanggung-jawaban tentang apa yang telah mereka kerjakan” (5.2:134).

Demikianlah jawaban kita. Seperti yang Anda perhatikan jawaban seperti ini adalah sangat jawaban yang sangat daif yang tidak dapat diterima oleh akal, agama ataupun Syara’. Ya Allah, aku berlindung padaMu dari pendapat yang salah dan hawa nafsu yang terjerat. Aku mohon lindunganMu dari bisikan syaitan dan kehadirannya.

Bagaimana akal sehat dapat menerima bahwa Muawiyah melakukan ijtihad dan karenanya diberi satu pahala dalam tindakannya yang memerangi Imam kaum muslimin serta membunuh orang-orang mukmin dan perbuatan-perbuatan lain yang tidak terhitung banyaknya. Para ahli sejarah mencatat betapa Muawiyah telah membunuh para penentangnya dengan caranya yang tersendiri yang sangat dikenal: memberi minuman beracun. Muawiyah senantiasa berkata: “Allah mempunyai balatentara dari madu”

Bagaimana mereka katakan bahwa Muawiyah telah berijtihad dan tersalah, padahal dia adalah pemimpin kelompok yang baghi (kelompok yang memerangi Khalifah muslimin yang sah). Dalam suatu hadis yang sangat populer yang diriwayatkan oleh semua ahli hadis, Nabi saw bersabda: “Berbahagialah Ammar. Dia akan dibunuh oleh kelompok yang baghi.” Muawiyah beserta sahabat-sahabatnyalah yang membunuh Ammar.

Bagaimana mereka katakan bahwa Muawiyah telah berijtihad dalam peristiwa pembunuhan terhadap Hujur bin A’dy beserta sahabat-sahabatnya, yang kemudian dikuburkan di tempat sampah pada suatu padang pasir Syam, semata-mata lantaran mereka tidak mau mencaci Ali bin Abi Thalib. Bagaimana mereka mengatakannya sebagai seorang sahabat yang adil sementara dia telah meracuni Hasan Bin Ali, pemuka pemuda sorga.

Bagaimana mereka menganggapnya bersih padahal dia telah paksa ummat lslam untuk membai’atnya dan mernbai’at puteranya Yazid al-Fasik setelahnya; dan menggantikan sistem syuro dengan dinasti kerajaan.[40] Bagaimana mereka mengatakan bahwa Muawiyah telah berijtihad dan diberi satu pahala, padahal dia telah paksa kaum muslimin untuk melaknat Ali dan keluarga Nabi saw dari atas mimbar. Dia telah bunuh para sahabat yang enggan melakukan laknat sampai hal itu menjadi sebuah tradisi yang berkepanjangan. Fala Haula Wala Quwwata Illa Billah al A’li al A’dzim.

Persoalan yang sama juga timbul: mana kelompok yang benar dan mana kelompok yang salah? Apakah Ali dan Syi’ahnya sebagai orang-orang yang zalim dan dalam pihak yang salah; atau Muawiyah dan para pengikutnya. Rasul saw telah menjelaskan segala sesuatunya di sana. Dalam dua kemungkinan di atas, menyatakan bahwa semua sahabat tanpa kecuali adalah adil adalah hal yang mustahil yang tidak sesuai dengan akal sehat.

Semua yang kami katakan di atas, sebenarnya adalah bagian kecil dari fakta-fakta sejarah yang terlalu banyak untuk ditulis dalam buku kecil ini. Apabila kita ingin muat secara rinci hal-hal di atas maka kita akan memerlukan berjilid-jilid buku untuk menampungnya. Namun karena buku ini adalah ringkas, maka dengan sengaja kusajikan sejumlah contoh sebagai pelengkap semata-mata. Dan Alhamdulillah sekadar itupun sudah cukup merepotkan mitos: mitos orang sekitarku yang telah membekukan pikiranku dalam waktu yang cukup lama; dan yang mencegahku dari memahami hadis serta meneliti sejarah dengan kriteria akal dan syariah yang telah diajarkan oleh AlQuran dan Sunnah Nabi saw.

Aku akan tetap bertarung dengan jiwaku dan menyisihkan setiap debu-debu fanatisme buta yang membungkusku. Aku akan tetap berupaya untuk membebaskan segala belenggu dan rantai yang telah mengikat jiwaku lebih dari dua puluh tahun. Hatiku berkata pada mereka: oh, alangkah indahnya seandainya kaumku mengetahui akan ampunan Tuhanku kepadaku dan dijadikanNya aku dari golongan orang-orang yang dimuliakan. Oh, kalaulah kaumku menemukan dunia yang belum mereka ketahui ini dan membebaskan diri mereka dari bersikap memusuhinya tanpa sadar ini.

Referensi:
[1] Shahih Bukhori jil. 1 hal. 122.
[2] Al-Khilafah Wal Muluk Oleh al-Maududi hal 106.
[3] Shahih Muslim jil. 2 hal. 61.
[4] Shahih Bukhori jil. 2 hal. 305; Shahih Muslim jil. 2 hal. 366; Mustadrak Al-Hakim jil. 3 hal. 109.
[5] Sahih Bukhari jil. 1 hal. 76; Sahih Turmidzi jil. 5 hal. 300; Sahih Ibnu Najah jil. 1 hal. 44.
[6] Sahih Muslim jil. 1 hal. 61; Sunan an-Nasai jil. 6 hal. 117; Sahih Tumudzi jil. 8 hal. 306.
[7] Sahih Turmudzi jil. 5 hal. 201; Mustadrak al-Hakim jil.3 hal. 126.
[8] Musnad Ahmad Bin Hanbal jil. 5 hal. 25; Mustadrak al-Hakim jil. 3 hal. 134.
[9] Sahih Muslim jil 2 hal. 362; Mustadrak al-Hakim jil. 3 hal. 109; Musnad Ahmad Bin Hanbal jil. 4 hal 81.
[10] Mustadrak al-Hakim jil. 3 hal. 121; Khasais an-Nasai hal. 24; Musnad Ahmad Bin Hanbal jil. 6 hal. 33; Manaqib al-Khawarizmi hal. 81; Riyadh an-Nadhirah oleh Thabari jil. 2 hal. 219; Tarikh as-suyuti hal 73.
[11] Sahih Bukhari jil. 1 hal. 74.
[12] Sahih Bukhari jil. 2 hal. 154; Sahih Muslim jil. 1 hal. 260.
[13] Sahih Muslim jil, 2 hal. 134.
[14] Sahih Bukhari jil. 1 hal. 54.
[15] Sahih Bukhari jil. 2 hal. 135.
[16] Sahih Bukhori jil. 3 hal. 32.
[17] Sahih Bukhari jil. 2 hal. 201.
[18] Minhaj as-Sunnah oleh Ibnu Taimiyah jil. 3 hal. 131; Hilyat al-Auliya’ Oleh Ibnu Nu’aim jiL 1 hal. 52.
[19] Tarikh Thabari hal. 41; Riyadh an-Nadhirah jil. 1 hal. 134; Kanzul ummal hal. 361; Minhaj as-Sunnah oleh Ibnu Taimiyah jil. 3 ha1.120.
[20] Tarikh Thabari hal 41; Riyadh an-Nadhirah jil.1 hal. 134; Kanzul Ummal hal. 361; Minhaj as-Sunnah jil. hal. 120.
[21] Sahih Bukhori jil. 2 hal. 206.
[22] Al-Imamah was Siyasah jiI. 1 hal. 20; Fadak Oleh Muhammad Baqir Sadr hal. 92.
[23] Sahih Bukhari jil. 1 hal. 127,130; jil. 2 hal. 126.205.
[24] Sahih Bukhari jil.3 hal. 39.
[25] Tarikh al-Khulafa’ Oleh Ibnu Qutaibah jil. 1 hal.20.
[26] Sahih Muslim jil.7 hal..121,130.
[27] Tarikh al-Khulafa’ jil. 1 hal.20.
[28] Ibid.
[29] Sahih Bukhari jil. 3 ha1.39.
[30] Tarikh Thabari jil. 4 hal. 407; Tarikh Ibnu Athir jil.3 hal. 206; Lisanul Arab jil. 14 hal. 193; Taj al-Arus jil. 8 hal. 41; Al-I’qdul Farid jil.4 hal. 290.
[31] Al-Imamah was-Siyasah.
[32] Lih. Tarikh Thabari, Ibnu Athir dan Madaini Tentang Tahun 36H.
[33] Sahih Muslim jil. 1 hal. 48.
[34] Lih. Tarikh Thabari, Ibnu Athir dll Tentang Sejarah Tahun 40H.
[35] Lih. Ibid Tahun 36H.
[36] Sahih Bukhari jil. 4 hal. 161.
[37] Ibid jil. 2 hal. 128.
[38] Sahih Turmizi, al-Istia’b dan al-Ishobah.
[39] Sahih Bukhari Jil. 3 hal. 68.
[40] Lih. al-Khilafah Wal Muluk Dan Yaum al-Islam.

Disadur dari: Akhirnya Kutemukan Kebenaran – Muhammad Tijani Samawi.

(Hauzah-Maya/ABNS)
Share this post :

Post a Comment

mohon gunakan email

Terkait Berita: