Kemampuan berkomunikasi merupakan sebuah instrumen dasar untuk membangun interaksi antar-sesama. Kepribadian dan pemikiran seseorang tercermin dari tutur kata yang benar dan beretika serta jauh dari segala bentuk penghinaan terhadap orang lain. Oleh karena itu, ucapan yang terukur serta penuh kelembutan dan kejujuran akan memperlihatkan nilai-nilai kemanusiaan dan merupakan manifestasi dari budi pekerti yang luhur.
Allah Swt menurunkan kitab suci al-Quran untuk memperbaiki umat manusia dan memberi petunjuk kepada mereka sehingga mendapat pencerahan di semua dimensi kehidupannya. Salah satu dimensi yang perlu dipoles dalam kehidupan manusia adalah etika berbicara. Dalam hal ini, ada sejumlah metode pendidikan dan kiat untuk memperbaiki dan menyehatkan hubungan komunikasi. Salah satu dari kiat tersebut adalah mempelajari etika berbicara dan kesantunan berkomunikasi. Kesantunan berbicara merupakan sebuah nikmat pemberian Tuhan dan simbol kepribadian mulia, sebab ucapan akan menyingkap isi hati dan batin manusia. Sementara salah satu dari sifat orang mukmin adalah berbicara dengan terukur dan bijak.
Iffah merupakan sebuah kondisi batin yang akan mencegah manusia dari mengikuti tuntutan-tuntutan hawa nafsu dan syahwat. Kondisi ini tampak di berbagai dimensi dan salah satunya ada dalam kesantunan dan kebijaksanaan berkomunikasi. Imam Ali as berkata, “Lisan seorang mukmin tersembunyi di balik hatinya (akalnya).” Oleh karena itu, ia tidak akan berbicara sembarangan dan tanpa nalar. Seorang mukmin menyadari fungsi-fungsi positif lisan dan selalu menggunakannya untuk mengingat Tuhan.
Jika lisan berada dalam kuasa seseorang dan ia mengontrolnya dengan kekuatan akal, tentu saja ia akan terhindar dari banyak keburukan dan dosa. Sebab, lisan merupakan sumber dari kebanyakan dosa dan penyimpangan. Organ tak bertulang ini dapat digunakan untuk memberi kesaksian yang benar atau palsu, menjaga kehormatan seseorang, bersikap jujur atau berdusta, memuji seseorang atau menggunjingnya, dan menebarkan kebaikan atau fitnah. Lisan yang buruk akan dibenci oleh lingkungan sekitar dan tidak seorang pun aman dari serangan kata-katanya.
Al-Quran menyeru manusia untuk menghiasi dirinya dengan tata krama dan tutur kata yang baik. Salah satu dari etika berkomunikasi yang dijelaskan al-Quran adalah membuka pembicaraan dengan ucapan salam. Dengan kata lain, seseorang harus memuliakan lawan bicaranya dan memulai pembicaraannya dengan salam sejahtera. Gaya komunikasi seperti ini akan menghadirkan ketenangan bagi lawan bicara dan memberikan rasa percaya diri kepada pembicara. Ia juga bisa tahu bahwa tujuannya dari berbicara adalah untuk menyampaikan pesan dengan kelembutan dan niat baik.
Metode seperti itu memiliki dampak yang sangat besar bagi para pendengar sampai-sampai Allah Swt dalam surat al-An’am, meminta Rasulullah Swt untuk memulai dakwahnya dengan memberikan salam. “Apabila orang-orang yang beriman kepada ayat-ayat Kami itu datang kepadamu, maka katakanlah: “Salaamun alaikum.” Dalam surat al-Isra ayat 28, Allah Swt berfirman, “Dan jika kamu berpaling dari mereka untuk memperoleh rahmat dari Tuhanmu yang kamu harapkan, maka katakanlah kepada mereka ucapan yang pantas.”
Secara umum, al-Quran di sejumlah ayatnya menyeru kaum Muslim untuk bertutur kata dengan baik, indah, dan terpuji (QS. 2:83), benar dan berdasar (QS.4:9), lemah lembut (QS. 20:44), berkesan dan jelas (QS. 4:63), mulia dan tidak membentak (QS. 23). Al-Quran menekankan untuk menggunakan kata-kata yang baik dan lembut bahkan ketika berdebat dengan orang lain. Tentu saja kita juga perlu mengingat bahwa menurut al-Quran, sebuah ucapan akan dianggap bernilai dan valid ketika dibarengi dengan nalar, hikmah, dan pemikiran yang sehat. Oleh karena itu, manusia tidak boleh mengaliri lisannya dengan kata-kata yang tidak direkomendasikan oleh akal sehat.
Al-Quran adalah panduan untuk menempa manusia yang mengajarkan etika kepada mereka dan kitab ini juga menghiasi dirinya sendiri dengan kesantunan. Al-Quran berkali-kali menyebut Tuhan dengan nama-nama yang baik atau menyeru kita untuk bersikap mulia dan santun di hadapan para nabi. Sebagai contoh, Allah Swt melarang umat Islam untuk memanggil Rasulullah Saw dengan suara lantang sebagaimana berlaku di tengah Arab badwi dan Dia sendiri juga memanggil utusan-Nya dengan baik. Dalam perkara-perkara moral, al-Quran juga meminta manusia untuk menjauhi kebohongan, ghibah, celaan, dan kata-kata kotor. Imam Ali as berkata, “Ketahuilah! Quran adalah pemberi nasehat yang tidak menipu manusia, pemberi petunjuk yang tidak menyesatkan, dan penutur yang tidak pernah berbohong.”
Para nabi merupakan pengusung panji hidayah bagi umat manusia dan memainkan peran sebagai guru akhlak di tengah masyarakat melalui perilaku mereka. Mereka adalah para guru yang menghiasi diri dengan akhlak Ilahi, sabda mereka adalah cahaya, dan ilmu mereka ialah penerang jalan kebahagiaan. Di mata manusia-manusia agung itu, lisan dan ucapan merupakan sebuah sarana untuk menyampaikan pesan, mendidik manusia, dan menyelesaikan sengketa di tengah masyarakat. Sebagai contoh, Nabi Musa as dalam menyampaikan risalahnya memohon kepada Tuhan agar diberikan kemampuan berorasi dan menyelesaikan perkara. Tidak ada seorang nabi pun yang bertindak dengan kezaliman dan bertentangan dengan prinsip-prinsip moral. Ini adalah bentuk komitmen al-Quran dan para nabi terhadap moralitas dan nilai-nilai akhlak.
Alkisah, Hujr bin Adi dan Amr ibn al-Hamiq adalah dua sosok pemberani dan setia dari sahabat Imam Ali as. Dalam peristiwa Perang Siffin, mereka menyatakan kebencian terhadap pasukan Syam dan mengeluarkan kata-kata kotor untuk mereka. Pada akhirnya berita ini sampai ke telinga Imam Ali as. Beliau kemudian mengirim pesan kepada mereka agar tidak mencaci maki dan menghina pihak lain dalam menjalankan perintah Tuhan. Mereka berdua akhirnya menemui Imam Ali as dan berkata kepadanya, “Bukankah kita berada di pihak yang benar, sementara pasukan Syam (pengikut Muawiyah) ada dalam kesesatan?” Imam Ali as menjawab, “Iya kita ada bersama kebenaran dan mereka dalam kesesatan, tapi aku tidak suka jika kalian menjadi pencela, jika sejak awal kalian menyingkap perilaku mereka dan menghitung kesesatan-kesesatan mereka, kalian akan tampak lebih jujur dalam berucap dan alasan kalian akan terlihat lebih kuat.”
Imam Ali as kemudian berkata, “Ada baiknya kita berdoa daripada mengeluarkan celaan dan bacalah doa ini, ‘Ya Tuhan! Jagalah darah kami dan mereka, perbaikilah antara mereka dan kami, berilah petunjuk kepada mereka dari kesesatan sehingga mereka yang lalai mengenali kebenaran, dan palingkanlah orang-orang yang berperang melawan kebenaran dari perbuatan buruk mereka.”
Dalam budaya Islam, menjaga etika dan kesantunan berkomunikasi merupakan bagian dari manifestasi-manifestasi luhur moral. Islam bahkan memperhatikan tinggi dan rendahnya nada bicara. Lukman Hakim dalam al-Quran mewasiatkan putranya agar tidak meninggikan suara dan berkata, “… dan lunakkanlah suaramu. Sesungguhnya seburuk-buruk suara ialah suara keledai.” (QS. 31:19). Salah satu bentuk kesantunan yang paling agung adalah merendahkan diri di hadapan kedua orang tua. Imam Jakfar Shadiq as berkata, “Janganlah engkau meninggikan suaramu melebihi suara ayah dan ibumu.” Imam Ali Zainal Abidin as-Sajjad as di salah satu doanya berkata, “Ya Tuhan! Lembutkanlah suaraku di hadapan ayah dan ibuku.”
Saat ini salah satu tantangan besar dalam kultur global adalah jarak dunia dengan kesantunan berkomunikasi. Kata-kata kotor telah menodai lembaran sastra dunia dan kebanyakan manusia membunuh karakter orang lain dengan celaan hanya untuk menutupi kelemahannya atau untuk mencapai kedudukan. Mungkin dapat kita katakan bahwa ada kebutuhan mendesak bagi masyarakat modern terhadap ajaran para nabi demi menjaga kesantunan berbicara. Imam Ali as berkata, “Orang yang berlisan manis akan memiliki banyak saudara.”
(Darut-Taqrib/IRIB-Indonesia/Reza/ABNS)
Post a Comment
mohon gunakan email