Aku meminta izin untuk bertemu dengan Imam Ja’far Ash-Shadiq,” begitu Abu Hanifah memulai kisahnya, “tetapi ia tidak memperkenankanku. Kebetulan datanglah rombongan orang Kufah meminta izin, dan aku pun masuk bersama mereka.
Setelah aku berada di sisinya, aku berkata, ‘Wahai putra Rasulallah, alangkah baiknya jika Anda menyuruh orang pergi ke Kufah dan melarang penduduknya mengecam sahabat Rasulallah SAW. Aku lihat di sana lebih dari sepuluh ribu orang mengecam sahabat.’ ‘Mereka tidak menerima laranganku,’ jawab Imam Ja’far. ’Siapa yang berani menolak Anda, padahal Anda putra Rasulallah?’ tanya Abu Hanifah. ’Engkau orang pertama yang tidak menerima perintahku. Anda masuk tanpa seizinku. Duduk tanpa perintahku. Berbicara tidak sesuai dengan pendapatku. Telah sampai padaku bahwa Anda menggunakan qiyas.’ ’Benar,’ jawab Abu Hanifah. ’Celaka Anda, hai Nu’man! Yang pertama melakukan qiyas adalah iblis, ketika Allah menyuruhnya sujud kepada Adam. Lalu ia menolak dan berkata, ’Engkau ciptakan aku dari api dan Engkau ciptakan ia dari tanah.’ Hai Nu’man, mana yang lebih besar (dosanya): membunuh atau berzina?’
’Membunuh,’ jawab Abu Hanifah. ‘Tetapi mengapa Allah menetapkan dua saksi untuk pembunuhan, dan empat orang untuk zina. Anda gunakan qiyas di situ?’ ‘Tidak,’ jawab Abu Hanifah. ’Mana yang lebih besar (najisnya): kencing atau air mani?’ ’Kencing,’ jawab Abu Hanifah. ‘Tetapi mengapa Allah memerintahkan wudhu untuk kencing, tetapi untuk mani diharuskan mandi. Anda juga gunakan qiyas di situ? ‘ ‘Tidak,’ jawab Abu Hanifah.
’Mana yang lebih besar: shalat atau shaum?’, tanya Imam Ja’far. ’Shalat’, jawab Abu Hanifah. ’Tetapi mengapa wanita haid harus meng-qadha shaum-nya, tetapi tidak harus meng-qadha shalatnya. Anda juga menggunakan qiyas di situ?’ ’Tidak,’ jawab Imam Ja’far. ’Mana yang lebih lemah: wanita atau pria?’ tanya Imam Ja’far. ’Wanita’, jawab Abu Hanifah. ’Mengapa Allah berikan warisan dua bagian bagi pria dan satu bagian bagi wanita. Apakah Anda juga gunakan qiyas di situ?’ ’Tidak’, jawab Abu Hanifah.
(Abdul Halim Jundi, Al Imam Ja’far Ash Shadiq, Kairo: Majlis Al ’Ala, tnp thn) Menurut riwayat, Abu Hanifah, pendiri mazhab Hanafi, kemudian berguru kepada Imam Ja’far, imam keenam mazhab Syiah Imamiyyah. Terkenal ucapan Abu Hanifah: Law laa sanataan lahalaka An-Nu’man. “Jikalau tidak ada dua tahun, celakalah Nu’man.” Dua tahun merupakan waktu Abu Hanifah belajar kepada Imam Ja’far, dan An-Nu’man ibn Tsabit adalah nama asli dari Abu Hanifah. Selain itu, Malik ibn Anas, pendiri mazhab Maliki, juga berguru kepada Imam Ja’far Ash-Shadiq. Tentang gurunya ini, Malik berkata, “Sungguh mata tidak pernah melihat, telinga tidak pernah mendengar, dan tidak pernah terlintas di hati manusia, ada seseorang yang lebih afdhal dari Ja’far ibn Muhammad, dalam hal ilmu, ibadah, dan kewaraan.”
*****
Ja’far Ash-Shadiq adalah Ja’far ibn Muhammad Al-Baqir ibn Ali Zayn Al-Abidin ibn Husain ibn Ali ibn Abi Thalib suami dari Fathimah Az-Zahra bint Rasulallah Muhammad SAW. Ibunya bernama Ummu Urwah bint Al-Qasin ibn Muhammad ibn Abu Bakar. Pada beliau terdapat perpaduan darah Nabi SAW sekaligus Ali dengan Abu Bakar. Beliau dilahirkan di Madinah pada tahun 80 atau 83 Hijriah. Imam Ja’far berguru langsung kepada ayahnya, Imam Muhammad Al-Baqir AS, di madrasah ayahnya, madrasah Ahlul Bayt, yang banyak melahirkan tokoh-tokoh besar Islam. Beliau adalah Imam yang keenam dari dua belas Imam dalam mazhab Syiah Imamiyyah.
Dalam mazhab Syiah, fikih Ja’fari-lah sebagai fikih mereka, karena sebelum Imam Ja’far dan pada masanya tidak ada perselisihan. Perselisihan dan perbedaan pendapat baru muncul setelah masa beliau. Tapi, perlu ditegaskan di sini bahwa pemakaian istilah Fiqh Ja’fari atau Mazhab Ja’fari bagi fikih Syiah tidak sama dengan pemakaian istilah Mazhab Syafi’i atau Mazhab Hanafi, misalnya, dalam fikih Ahlus Sunnah. Kedua nama mazhab Sunni itu menunjuk pada kumpulan pendapat atau hasil ijtihad yang dilakukan oleh kedua imam mazhab tersebut, yaitu Syafi’i dan Abu Hanifah. Tapi tidak demikian dengan istilah Mazhab Ja’fari. Istilah itu sama sekali tidak mencerminkan kumpulan pendapat atau hasil ijtihad Imam Ja’far Ash-Shadiq AS.
Sebab, dalam pandangan Syiah, Imam Ja’far AS, demikian pula kesebelas imam lainnya, yaitu Ali ibn Abi Thalib, Hasan ibn Ali, Husain ibn Ali, Ali Zayn Al-Abidin, Muhammad Al-Baqir, Ja’far Ash-Shadiq, Musa Al-Kazhim, Ali Ar-Ridha, Muhammad Al-Jawad, Ali Al-Hadi, Hasan Al-Askari, dan Muhammad Al-Mahdi (’alayhimushshalatu wassalaam), bukan seorang mujtahid, tapi imam yang memiliki otoritas penetapan atau pembuatan hukum, tasyri’ al-hukm, hal ini perlu diperjelas supaya tidak terjadi kesalahpahaman.
Istilah imamah (yang melahirkan istilah imam) dalam Syiah tidak sama dengan istilah khilafah (yang melahirkan istilah khalifah) dalam Sunni. Istilah khilafah atau imarah lebih bersifat politis. Ia dimaksudkan bagi seseorang yang memangku jabatan kepada negara salam sistem ”politik Islam”.
Sementara istilah imamah, dalam teologi Syiah, tidak harus identik dengan jabatan kepala negara. Imam adalah seseorang yang diserahi tugas meneruskan risalah Islam setelah Nabi Muhammad SAW. Karena fungsinya yang sama dengan Nabi Muhammad SAW, maka imam bersifat ma’shum. Ia tidak pernah melakukan kesalahan atau dosa.
Semua kata dan perilakunya mencerminkan kebenaran. Karena itu, sebagaimana Rasul, semua kata dan perilaku imam adalah hujjah, meski diikuti oleh setiap orang yang beriman padanya. Dengan kata lain, fungsi kata dan perilaku imam, dalam pandangan Syiah, sama dengan fungsi kata dan perilaku Nabi. Bedanya, Rasul mendapatkan wahyu langsung dari Allah SAW, sedangkan imam tidak. Imam mendapat bimbingan dan petunjuk dari Allah berupa ilham atau firasah.
Makanya, sekalipun Abu Bakar, Umar ibn Khaththab, dan Utsman ibn Affan adalah penguasa-penguasa Islam pada zamannya, tidak menjadi halangan bagi Syiah untuk meyakini Ali ibn Abi Thalib sebagai imam yang wajib ath-tha’ah. Posisi keimamahan Ali tidak otomatis batal dengan didudukinya bangku kekhalifahan oleh tiga sahabat besar Nabi tersebut.
Dalam usia anak-anak, beliau sudah hapal Al-Quran dan memahami tafsirnya dengan baik. Selain itu, banyak sekali hadis dan sunnah yang dihapalnya, terutama yang berasal dari sumber paling terpercaya, yaitu Ahlul Bayt AS. Imam Ja’far tanpa ragu menyebarkan hadis yang oleh para penguasa ditutupi dan disembunyikan, yaitu hadis dan sunnah yang diriwayatkan oleh Ali ibn Abi Thalib AS.
Zaman hidupnya adalah zaman penuh ketegangan dan penuh dengan kejadian yang menyedihkan. Banyak para pengikut Ahlul Bayt yang dibunuh oleh penguasa Umayyah. Sejak syahidnya Imam Husain ibn Ali AS, Dinasti Umayyah telah menyebarkan mata-mata untuk mengejar semua orang dari Ahlul Bayt.
Salah satu korbannya, paman Imam Ja’far, yaitu Zayd ibn Ali Zayn Al-Abidin AS. Sejak usia kanak-kanak, Imam telah mengerti bahwa Ali ibn Abi Thalib AS adalah pemimpin Ahlul Bayt yang setiap shalat Jumat dikutuk di atas mimbar oleh khatib-khatib bayaran Umayyah. Ummul Mukminin Ummu Salamah sudah menulis surat kepada Muawiyah, “Dengan tindakan kalian mengutuk Ali ibn Abi Thalib dan pecintanya, berarti telah mengutuk Allah dan Rasul-Nya. Saya bersaksi bahwa Allah dan Rasul-Nya juga mencintai Ali.”
Nasihat itu tidak digubris sama sekali. Bahkan, istri Imam Ali AS, yaitu Fathimah bint Rasulallah SAW juga dikutuk. Perbuatan Dinasti Umayyah terhadap pengikut Ahlul Bayt membuat Imam Ja’far berpegang pada prinsip taqiyyah. Semua perbuatan laknat dinasti itu baru berhenti pada masa Umar ibn Abdul Aziz.
Namun, setelah Umar ibn Abdul Aziz meninggal, semakin banyak tokoh-tokoh terkenal yang menjadi penjilat Dinasti Umayyah dengan diberikan “imbalan jasa”. Mereka tampil sebagai orang-orang ahli fikih dan menjual diri mendapat rezeki, lalu berkoar di depan khalifah dengan mengutuk Ali ibn Abi Thalib AS dan Sayyidah Fathimah AS.
Dinasti Abbasiyyah yang awalnya “baik-baik” saja, berubah menjadi seperti Umayyah. Kekhalifahan berubah menjadi alat menguasai. Mereka menganggap khalifah adalah bayangan Tuhan di bumi, sehingga bebas dari pertanggunjawaban. Imam Ja’far tetap berpegang pada prinsip taqiyyah, sesuai dengan Firman Allah SWT: Janganlah orang-orang yang beriman menjadikan orang-orahg kafir sebagai pemimpin dengan meninggalkan sesama orang beriman. Barangsiapa berbuat demikian, lepaslah dari pertolongan Allah, kecuali karena (siasat) memelihara diri dari sesuatu yang ditakuti dari mereka (Aali Imran: 28).
Pada masa ini juga mulai muncul pertikaiaan antara jabariyyah dan qadariyyah. Muhammad ibn Ajun berkata, “Aku bertanya kepada Abu Abdillah (Imam Ja’far), ‘Apakah Allah membiarkan manusia untuk semaunya sendiri?’ Imam menjawab, ‘Allah Mahamulia, kenapa harus membiarkan manusia untuk semaunya sendiri.’ Kataku, ‘Apakah Allah membuat manusia terpaksa berbuat?’ Imam berkata, ‘Allah Mahaadil, kenapa harus memaksa makhluk untuk melakukan perbuatan lalu dihukum-Nya makhluk itu karena perbuatan itu.’”
*****
Khalifah Al-Manshur sangat jengkel terhadap Imam Ja’far karena banyaknya orang yang selalu berhimpun disekitar Imam Ja’far. Ketika itu Al-Manshur hendak menjatuhkan martabat Imam Ja’far. Al-Manshur memanggil Abu Hanifah, kemudian berkata, “Ja’far ibn Muhammad sudah banyak mempengaruhi orang. Siapkanlah berbagai masalah yang berat dan sulit!”
Beberapa waktu kemudian, keduanya dikumpulkan. Abu Hanifah mengajukan empat puluh pertanyaan yang sukar dan berat. Terbukti, semua pertanyaan dijawab Imam Ja’far sambil menyebut berbagai pandangan dan pendapat para ulama fikih di Hijaz, di Irak, dan dari Ahlul Bayt. Abu Hanifah tertegun, lalu berkomentar, “Ia adalah orang yang paling berilmu, dan paling mengetahui perbedaan pendapat di kalangan ulama ahli fikih.”
Pada usia 68 tahun, Imam Ja’far AS wafat. Ketika Al-Manshur mendengar berita kewafatannya, ia menangis hingga janggutnya basah. Ia berkata, “Orang yang berilmu dan sisa dari orang-orang baik (akhyaar) sekarang telah wafat… Ja’far Ash-Shadiq termasuk orang-orang yang dimaksud dalam firman Allah: Kemudian Kitab itu (Al-Quran) Kami wariskan kepada orang-orang yang Kami pilih di antara hamba-hamba Kami… (Faathir: 32)
Berikut ini wasiat Imam Ja’far kepada putranya sekaligus pewaris imamah beliau, imam ketujuh Syiah Imamiyyah, Imam Musa Al-Kazhim ibn Ja’far: Anakku, terimalah baik-baik wasiatku, dan ingatlah selalu akan kata-kataku, insya Allah engkau akan hidup terhormat dan akan mati terpuji. Anakku, barangsiapa yang dengan ikhlas menerima apa yang diberikan Allah kepadanya, ia tidak akan membutuhkan apa-apa. Barangsiapa yang mengarahkan matanya pada milik orang lain, ia akan mati sebagai orang miskin (fakir). Barangsiapa yag tidak ridha menerima apa yang diberikan Allah kepadanya, Allah akan menggugatnya di dalam qadha’ (peradilan) Nya. Barangsiapa meremehkan keterpurukan dirinya sendiri, berarti ia meremehkan keterpurukan orang lain. Anakku, barangsiapa yang mengungkapkan cacat-kekurangan orang lain, berarti ia membongkar cacat-calanya sendiri. Siapa yang menghunus pedang kejahatan, ia sendiri akan terbunuh olehnya. Siapa yang menggali lubang bagi saudaranya, ia sendiri akan terjerumus di dalamnya. Siapa yang erat bergaul dengan orang jahat, ia akan hina. Siapa yang erat bergaul dengan ulama, ia akan menjadi terhormat. Barangsiapa yang memasuki lingkungan jahat, ia akan dituduh.
Anakku, katakanlah yang benar itu benar, baik menguntungkan ataupun merugikan dirimu sendiri. Hati-hatilah, jangan sampai engkau memfitnah, karena perbuatan itu sama dengan menanamkan kebencian di dalam hati orang banyak. Anakku, jika engkau menginginkan kebaikan, engkau harus menggali pada akar-akarnya. Sebab, kebaikan itu mempunyai akar, akan menumbuhkan pohon, pohon menumbuhkan cabang, dan cabang menumbuhkan buah. Buah tidak akan menjadi baik tanpa adanya cabang; tiada cabang tanpa pohon; tidak ada pohon yang tegak tanpa akar yang kokoh dan baik. Anakku, jika engkau hendak berkunjung, kunjungilah orang-orang yang baik dan janganlah berkunjunga kepada orang-orang yang tidak baik (berperangai buruk). Sebab, orang yang tidak baik sama dengan sebuah batu besar, tidak akan memancarkan air; tidak dapat menumbuhkan pohon rindang; dan tidak pula dapat menumbuhkan rerumputan.
*****
Ulama Ahlus Sunnah yang berguru kepada Imam Ja’far Ash-Shadiq, imam keenam Syiah Imamiyyah, di antaranya: Abu Hanifah (mazhab Hanafi), Malik ibn Anas (mazhab Maliki), Sufyan Ats-Tsawri, Sufyan ibn Uyaynah, Yahya ibn Said Al-Anshari, Ibnu Jarir Al-Makki, Syu’bah ibn Al-Hajjaj, Abu Ayyub As-Sajistani. Jabir ibn Hayyam, seorang ahli kimia dan kedokteran Islam, merupakan murid dari Imam Ja’far.
Syahrastani mengatakan bahwa Imam Ja’far Ash-Shadiq adalah seorang yang berpengetahuan luas dalam agama, mempunyai budi pekerti yang sempurna serta sangat bijaksana, zahid dari keduniaan, jauh segala hawa nafsu. Abu Zuhrah mengatakan, ”Beliau (Imam Ja’far) berpandukan Kitab Allah (Al-Quran), pengetahuan serta pandangan beliau sangat jelas, beliau mengeluarkan hukum-hukum fikih dari nash-nashnya.
Beliau berpandukan kepada sunnah, sesungguhnya beliau tidak mengambil melainkan hadis riwayat Ahlul Bayt.” Abu Naim mengatakan bahwa di antara murid beliau juga adalah Muslim ibn Al-Hajjaj, perawi hadis shahih masyhur, penulis Shahih Muslim. Beberapa penulis sejarah, seperti Hafizh Abu Abbas Ahmad ibn Uqdah dan Syaikh Najm Ad-Din dalam kitabnya Al-Mu’tabar mencatat tidak kurang dari empat ribu ulama yang pernah belajar kepada Imam Ja’far Ash-Shadiq AS.
(Haidarrein/Berbagai-Sumber-Lain/ABNS)
Post a Comment
mohon gunakan email