Oleh: Prof. Dr. Azyumardi Azra
Dalam kenyataan, antara ahlu Syiah dengan ahlu Sunnah, lebih banyak persamaannya ketimbang perbedaannya. Sedikit perbedaan hanya menyangkut hal yang tidak prinsipil. Misalnya, mengenai imamah (kepemimpinan) mau pun dalam hal fiqhiyah, perbedaan dalam hal furu’iyah (ranting), bukan pokok. Karena itu, Syiah tidak bisa disebut sekte (diluar Islam, menjadi agama tersendiri). baca selanjutnyaUntuk memahami Syiah, harus mengetahui akar sejarahnya. Secara sederhana, dalam bahasa Arab, syiah berarti golongan, kelompok, atau partai. Dalam pengertian istilahi, mengacu kepada kelompok atau golongan yang mendukung Ali bin Abi Thalib dan keturunannya. Terutama setelah terjadinya peristiwa politik pada masa sahabat. Mungkin ironis, kelahiran Syiah terkait kepada persoalan politik ketimbang persoalan keagamaan. Jadi umat Islam sejak awalnya bertikai karena persoalan politik bukan persoalan yang murni bersifat keagamaan. Banyak orang berpendapat bahwa ini sifat dari politik atau kekuasaan yang memang panas. Membuat orang cenderung tidak terkendali dan terpecah.
Awal Kelahiran Syi’ah
Kelahiran Syiah berkaitan dengan pertikaian antara para pendukung Ali bin Abi Thalib dengan Utsman bin Affan. Pada masa khalifah yang ketiga, Utsman bin Affan, dikalangan umat Islam sudah mulai terjadi perpecahan dan pertikaian, terutama disebabkan Khalifah Utsman ini dipandang terlalu lemah. Saya (penulis) tidak begitu yakin apakah Khalifah Utsman sengaja melakukan praktik nepotisme. Tapi saya kira hal ini lebih disebabkan Khalifah Utsman seorang yang sangat wara’, ‘alim, dalam kepemimpinannya lurus. Kelurusan dan keikhlasan dia dimanfaatkan kerabatnya untuk merebut posisi kekuasaan yang ada. Dan inilah yang menimbulkan protes dari Muslim lain. Sehingga akhirnya terjadilah perlawanan dan penentangan terhadap Khalifah Utsman, kemudian Khalifah Utsman dikepung dirumahnya dan beliau akhirnya dibunuh.Saat itu juga Ali bin Abi Thalib dikukuhkan oleh sebagian sahabat sebagai khalifah keempat. Pengangkatan dan pembaiatan Ali bin Abi Thalib ditentang oleh dua kelompok. Kelompok pertama dipimpin oleh Siti Aisyah, istri Rasulullah s.a.w., dengan alasan belum waktunya Ali diangkat sebagai khalifah. Kelompok kedua dari keluarga Umayyah, dipimpin oleh Mu’awiyyah bin Abi Sufyan. Putra Abi Sufyan yang dulu pernah menjadi musuh Rasulullah s.a.w. Mu’awiyyah bin Abi Sufyan berasal dari keluarga Utsman yang secara umum disebut keluarga Umayyah. Sehingga pada akhirnya untuk pertama kali, terjadilah peperangan diantara pendukung Ali (yang kemudian dikenal dengan Syiah) dengan orang-orang yang dibawah pimpinan Siti Aisyah. Siti Aisyah memimpin perang Jamal. Beliau mengendarai unta. Diantara pendukungnya, termasuk Thalhah dan Zubair bin Awwan. Siti Aisyah dikalahkan oleh Ali bin Abi Thalib dan dikembalikan ke rumahnya, tidak diapa-apakan. Tapi yang lebih sengit lagi adalah peperangan diantara para pendukung Mu’awiyyah bin Abi Sufyan. Puncaknya pada perang Siffin. Para pendukung Ali hampir menang tapi dengan tipu muslihat tertentu, para pendukung Mu’awiyyah mengangkat tahkim (tanda perdamaian) sehingga pendukung Ali tertipu sehingga Khalifah Ali dalam sebuah pertemuan (kesepakatan) diturunkan dan pada saat yang sama Mu’awiyyah bin Abi Sufyan dikukuhkan menjadi khalifah baru. Inilah masa awal bangkitnya sebuah dinasti, yaitu dinasti Umayyah.
Perubahan Sistem Politik Islam
Pada waktu itu pulalah terjadi pergantian dan perubahan sistem politik Islam dari sistem khilafah (sistem pemilihan, siapa yang paling ‘alim, taat, baik akhlaknya). Dengan munculnya Mu’awiyyah bin Abi Sufyan menjadi khalifah maka gelar khalifah tetap dipakai tetapi bukan Khalifaturrasul, melainkan khalifatullah fil ardh dhillullah fil ardh (pengganti wakil Allah dimuka bumi, bayang-bayang Allah dimuka bumi). Jadi, Mu’awiyyah lebih hebat lagi. Kalau Abu Bakar Siddik yang sangat dekat dengan Rasulullah s.a.w. hanya menyebut dirinya khalifaturrasul (wakil Rasulullah), tapi Mu’awiyyah bin Abi Sufyan mengklaim sebagai khalifatullah fil ardh dhillullah fil ardh.
Dari sinilah asal kemunculan Syiah, jelas merasa diliciki, dan memang diliciki oleh Mu’awiyyah bin Abi Sufyan. Mereka kemudian menjadi kelompok yang kuat, yang dikenal dengan Syiah.Karena itulah konsep Syiah yang paling menonjol dan khas sebetulnya dalam bidang politik. Yang menjadi perbedaan antara aliran Syiah dengan Sunnah adalah dalam bidang pemikiran politik. Hak kekhalifahan bagi Ali bin Abi Thalib dan keturunannya, yang disebut Imam. Jadi imam berbeda-beda dalam Syiah, karena dalam Syiah juga muncul berbeda-beda, ada Syiah moderat (mayoritas), ada juga kelompok ekstrem (ghulat).
Kelompok ekstrem bahkan ada yang berpendapat (sebagian kecil), tidak hanya menolak kepemimpinan Mu’awiyyah, tapi juga kepemimpinan khulafaurrasyidin lain seperti Abu Bakar, Umar dan Utsman. Bahkan mengatakan bahwa hak kerasulan adalah hak Ali bin Abi Thalib bukan hak Muhammad s.a.w. karena sebetulnya wahyu dipesankan oleh Allah melalui Jibril untuk disampaikan kepada Ali bin Abi Thalib, bukan kepada Muhammad s.a.w. Yang ektrem sangat sedikit, antara lain berada di Yaman. Yang paling banyak Syiah duabelas, Itsna As’ariyah, atau Syiah Imamiyah, yaitu imamnya dua belas.Imam-imam Syiah itu ada duabelas.
Pertama Ali bin Abi Thalib, Hasan bin Ali, Husein bin Ali, Ali bin Husein, Ali bin Husein Zainal Abidin, Sayidina Muhammad bin Ali Al-Baqir, Imam Ja’far Muhammad Shadiq, Imam Musa bin Ja’far Al-Qadhim, Imam Muhammad bin Ali Jawwad, Imam Ali bin Muhammad Al-Hadi, Imam Hasan bin Muhammad Al-Askari, Imam Muhammad bin Hasan Al-Qaim (yang disebut sebagai imam yang ghaib) Imam Al-Muntadhar, imam yang ditunggu.
Dalam tradisi Syiah, imam mempunyai posisi politik yang tinggi, terutama sebelum munculnya kembali Imam Al-Muntadhar. Imam bukan hanya sebagai orang yang memiliki otoritas dalam keagamaan, imam shalat, tetapi sekaligus sebagai pemimpin politik. Dan oleh karena itu, politik atau kekuasaan adalah milik imam. Dan imam adalah orang yang ma’shum (bebas dari dosa).
Di dalam tradisi Syiah, ulama-ulama yang betul-betul ahli dalam ilmu syariah, sekitar sepuluh sampai dengan lima orang, mereka dipilih dan dibentuk semacam dewan. Mereka inilah yang membentuk sebuah lembaga yang disebut, dalam tradisi Syiah, wilayatul faqih.
Dalam tradisi Sunni sejenis wilayatul faqih ini sebetulnya juga ada, disebut ahlul halli wal aqdhi. Yaitu kelompok ulama yang berwenang, memiliki otoritas dan mengikat. Atau lebih dikenal dalam istilah lain, majelis syura. Di NU (Nahdhatul ‘Ulama) ada Majelis Syura, yang fungsinya sama dengan wilayatul faqih dalam Syiah. Meski pun dalam prakteknya, berbeda dengan di Iran.
Fungsi majelis syura dikalangan Muslim Sunni sangat lemah bahkan dalam bidang politik tidak banyak berperan. Jadi hanya memberikan pandangan-pandangan keagamaan, tidak mempunyai kekuatan nyata. Tetapi dalam tradisi Syiah, yang namanya wilayatul faqih, sangat dominan, baik secara agama maupun politik. Itulah yang kita saksikan di Iran, setelah Revolusi Islam Iran (RII), 1979, dan sekarang fungsi dan kedudukan wilayatul faqih sangat dominan.
Sejauh yang dijelaskan dalam naskah ini, kemunculan Syiah berkaitan dengan pertikaian politik. Karena itu kemudian salah satu konsep sentral bagi Syiah adalah soal politik, yaitu tentang kedudukan imam, kedudukan wakil imam, yang mutlak tidak hanya dalam bidang keagamaan, tetapi juga dalam bidang politik. Dan karena itulah, kedudukan imam sangat sentral. Setiap orang Syiah harus mengikuti imam. Makanya, orang ahlu sunnah wal jamaah setelah RII 1979 merasa frustrasi karena umat Islam tidak mau bersatu. Kemudian dikalangan umat Islam Indonesia muncul gagasan, tirulah konsep imamah dari Syiah.
Pada tahun 80-an muncul konsep atau gerakan Islam di Indonesia yang mengadopsi kepemimpinan imamah yang sentralistik. Atau kemudian kalangan ahlu sunnah wal jamaah mengambil konsep tentang amirul mukminin, pemimpin orang-orang beriman. Tapi harus segera dikatakan, kalau ada gerakan Indonesia yang memakai konsep kepemimpinan imamah, jangan dianggap Syiah. Tidak. Yang mereka ambil dengan imamah adalah konsep kepemimpinan yang sentralistik. Yang satu. Tidak terpecah-belah. Bisa dipahami, gerakan Islam di Indonesia, khususnya anak muda, frustrasi dengan realitas kepemimpinan umat Islam Indonesia.
Maka perlu mengadopsi kepemimpinan imamah seperti di Iran, kepemimpinan yang sentralistik, tunggal.Dalam Syiah, menyangkut kepemimpinan politik, sering dibandingkan orang dengan tradisi di dalam gereja. Di Katolik, kepemimpinan berada di Vatikan, pada paus, uskup, pastor dan struktur kebawahnya. Di dalam Sunni tidak ada imamah tunggal karena tradisi imamah dalam Sunni adalah imam masjid, tidak berfungsi sebagai social and political leadership. Imam, menurut Sunni tidak memainkan peran kepemimpinan sosial dan politik tapi hanya kepemimpinan dalam shalat saja. Inilah yang membuat frustrasi, banyak kalangan ahlu sunnah wal jamaah melihat kepemimpinan yang terpecah-belah, akhirnya mengadopsi model kepemimpinan Syiah.
Ulama yang terpilih untuk menjadi anggota wilayatul faqih bukan ulama sembarangan. Sangat dipercayai integritas dan keilmuannya. Mungkin berbeda dengan dalam tradisi Sunni; keulamaan longgar, siapa pun boleh menjadi ulama. Tapi dalam tradisi Syiah tidak begitu. Ada proses, bahkan ada pelatihan tertentu, pusatnya di Qum. Ada madrasah yang khusus mencetak calon ulama Syiah yang disiapkan menjadi mujtahid.
Dalam bidang kalam, Syiah umumnya menganut kalam yang dikembangkan Mu’tazilah. Suatu aliran tradisi kalam dalam Sunni yang menekankan akal, disebut kaum rasional. Bahkan Muhammad Abduh, pembaharu Islam di abad ke-20 dari Mesir, dipandang sebagai orang yang paling berperan dalam menghidupkan kembali paham bahwa Islam adalah agama rasional.
Agama yang mendorong bahwa orang Islam harus proaktif, harus punya prakarsa, tidak menyerah kepada takdir, seolah takdir sudah ditentukan begitu saja, sehingga kita tidak perlu berupaya. Inilah sikap yang ditolak oleh orang Mu’tazilah.Jadi, Mu’tazilah menekankan pada semangat rasional, semangat prakarsa. Orang Syiah mengikuti pandangan itu.
Tentu saja ada perbedaan seperti itu dikalangan orang Syiah dengan Sunni. Yaitu ketika berbicara mengenai siapa saja yang dipandang ma’shum. Menurut tradisi Sunni, yang ma’shum hanya Rasulullah Muhammad s.a.w. setelah itu tidak ada lagi yang bebas dari dosa. Tapi orang Syiah menganggap para imamnya yang duabelas ma’shum.
Dalam pandangan orang Syiah, sama dengan orang Sunni, Allah Maha Adil, tidak mungkin menghukum orang yang tidak bersalah. Allah memberikan kebebasan pada manusia untuk memilih, karena melalui kebebasan itulah maka bisa dituntut pertanggungjawabann ya. Seseorang tidak bisa dituntut pertanggungjawabann ya jika terpaksa (mujbir). Inilah argumen kaum rasionalis dalam Islam yang diikuti juga oleh Syiah.
Persamaan Dalam Tasawuf
Di dalam bidang tasawuf saya malah melihat tidak ada perbedaan antara Syiah dengan Sunni. Karena, pertama, tidak dikenal dalam terminologi Islam, yang disebut dengan tasawuf Syi’i yang ada hanya tasawuf dan tasawuf dibagi dua.
Yang pertama tasawuf falsafi, yaitu tasawuf yang menekankan aspek filosofis dari tasawuf. Tentu tasawuf ini berkenaan dengan konsep mahabbah, ma’rifah, hulul, wihdatul wujud, dan lain-lain. Karena falsafi, sebagaimana corak filsafat, cenderung spekulatif. Filsafat apa pun adalah spekulatif. Tasawuf yang falsafi juga spekulatif.
Yang kedua, tasawuf amali. Tujuannya adalah meningkatkan amal, akhlak.
Tokohnya adalah Imam Al-Ghazali. Menurut Al-Ghazali, dalam beribadah, harus mencari makna terdalam atau asrar, rahasia, ibadah. Berbicara mengenai asrar atau hikmah beribadah, maka berbicara soal tasawuf. Kata Imam Al-Ghazali, ibadah jangan dikerjakan hanya sekedar untuk memenuhi kebutuhan kewajiban.
Misalnya shalat, harus dicari asrar shalat. Jika tidak paham rahasia shalat, maka tidak akan mencapai tujuan shalat itu sendiri; mencegah dari fahsya wal munkar. Mungkin kita mengerjakan shalat lebih sekedar hanya untuk memenuhi kewajiban. Kalau tidak dilakukan, berdosa. Akibatnya, dengan mengerjakan shalat, menjadi sangat mekanistis. Tapi tidak pernah memikirkan fungsi, apakah makna terdalam dari shalat?
Buya Hamka sangat menekankan tasawuf ‘amali dan tasawuf akhlaki. Jadi kalau baca Tasawuf Modern, itu adalah tasawuf ‘amali, tasawuf akhlaki.Di dalam tradisi Syiah, dua tasawuf ini juga diadopsi, tasawuf falsafi dan tasawuf ‘amali. Imam Ayatullah Khomeini juga menekankan dua hal ini.
Beliau pernah membuat komentar mengenai kitab yang ditulis Ibnu ‘Arabi, Fushusul Hikam, tapi orang Syiah banyak yang lebih menekankan pada tasawuf ‘amali. Jadi dalam tasawuf tidak ada perbedaan antara Syiah dengan Sunni. Bahkan banyak juga orang Syiah yang menganut tasawuf Al-Ghazali, yang menekankan tasawuf ‘amali.
Di dalam bidang fiqih, sesungguhnya tidak banyak perbedaan. Yang sering muncul, katanya, dalam Syiah aliran tertentu, mengizinkan kawin mut’ah. Tapi secara umum orang Syiah juga menolak. Dalam fiqih Ja’fari memberi peluang untuk kawin mut’ah. Tetapi kalau saya lihat, syarat-syaratnya sangat berat, tidak semudah yang dibayangkan banyak orang. Hanya dalam kasus-kasus yang sangat istimewa saja kawin mut’ah terjadi.
Keterangan:
Ditulis oleh Prof. Dr. H. Azyumardi Azra, M.A, Rektor IAIN Syarif Hidayatullah, Jakarta, dan Mubaligh. Naskah ini berasal dari Majelis Pengajian Ahad Pagi, pada tanggal 3 Juni 2001 di Masjid Raya Pondok Indah, Jakarta.
(Haidarrein/ABNS)
Post a Comment
mohon gunakan email