Keyakinan kepada Allah Swt
Kita yakin, Allah Swt itu satu, tunggal, dan tak sesuatupun yang menyerupai-Nya. Dia Qadim dan Azali, Awal dan Akhir, Mahatahu, Bijak, Adil, Hidup, Kaya, Maha dengar, dan Maha lihat. Dia tidak dapat disifati dengan sifat makhluk; tidak berjasad ataupun berbentuk; bukan jauhar (substansi) dan ‘aradh (aksiden); tidak berat ataupun ringan; tidak bergerak atau diam; tidak bertempat ataupun berwaktu dan tidak juga berarah. Sebagaimana, tidak ada yang sepadan dan serupa dengan-Nya; tidak berteman dan tidak pula beranak; tidak memiliki sekutu serta tidak pula memiliki kesamaan dengan sesuatupun; tidak dapat dilihat oleh pandangan mata namun Dia sendiri Mahalihat.baca selanjutnya
Barangsiapa menyerupakan-Nya dengan makhluk-Nya dan menggambarkan bahwa Dia memiliki wajah, tangan, mata, turun ke langit dunia, menjelmakan diri kepada penghuni surga seperti bulan, atau semacamnya, maka orang tersebut telah tergolong sebagai kafir kepada-Nya dan jahil akan hakikat Sang Pencipta yang suci dari segala cela. Bahkan sedetail apapun perbandingan yang kita berikan dengan wahm (gambaran) kita, maka dia adalah makhluk; ciptaan yang sama seperti kita (sebagaimana diibaratkan Imam Muhammad al-Baqir as). Alangkah jauhnya perumpamaan itu bila dibandingkan dengan ungkapan bijak dan ilmu yang mendalam.
Demikian pula, orang yang mengatakan bahwa Allah akan memperlihatkan diri kepada makhluk-Nya di hari kiamat kelak akan tergolong pula sebagai kafir. Meski dia menolak bahwa Allah berjasad, semua itu hanyalah omong kosong belaka. Sesungguhnya, orang-orang seperti mereka itu berpijak pada lahiriah kata-kata al-Quran ataupun hadis, sekaligus mengingkari akal mereka dan meninggalkannya begitu saja. Sehingga, mereka tidak dapat memahami sisi lahiriah kata-kata tersebut berdasarkan argumentasi dan kaidah al-istiarah ataupun makna kiasan.
Keyakinan dalam Bertauhid
Kita yakin bahwa kita wajib men-tauhid-kan Allah dari berbagai arah, sebagaimana juga wajib men-tauhid-kan-Nya dalam Zat. Kita meyakini bahwa Allah satu dalam Zat-Nya dan meyakini pula akan wujud Allah Swt. Demikian juga—yang kedua—kita yakin akan ketauhidan Allah dalam sifat-sifat-Nya. Maksudnya, meyakini bahwa sifat-sifat-Nya adalah Zat Allah Swt (itu sendiri), sebagaimana akan dijelaskan dalam bab berikutnya. Juga, meyakini bahwa tidak ada yang menyerupai Allah dalam sifat-sifat Zat-Nya, yaitu bahwa sifat ilmu dan qudrah Allah tidak berbanding. Sifat pencipta dan pemberi rizki Allah tak memiliki sekutu, dan kesempurnaa-Nya tiada yang menandingi.
Dan—yang ketiga—kita wajib men-tauhid-kan Allah dalam ibadah. Yakni, dalam kondisi apapun kita tidak boleh beribadah kepada selain Allah. Dalam bentuk peribadahan apapun kita tidak boleh men-syirik-kan-Nya; baik dalam ibadah yang wajib maupun tidak wajib, dalam shalat ataupun ibadah lainnya. Barangsiapa menyekutukan Allah dalam ibadah, maka dia adalah seorang musyrik. Sebagaimana, orang yang berbuat riya’ dalam ibadahnya dan mendekatkan diri kepada selain Allah Swt. Orang seperti ini sama dengan orang yang menyembah berhala-berhala, tiada bedanya.
Adapun ziarah kubur dan mengadakan acara duka bukanlah termasuk dalam rangka mendekatkan diri kepada selain Allah dalam ibadah, sebagaimana yang terlintas dalam benak sebagian orang yang ingin mencerca mazhab Imamiyah. Padahal, mereka lupa akan hakikat yang sebenarnya dalam masalah ini. Pada dasarnya, persoalan ini termasuk dalam rangka mendekatkan diri kepada Allah Swt dengan amal-amal yang baik, seperti halnya mendekatkan diri kepada-Nya dengan menjenguk orang sakit, menguburkan orang yang meninggal, dan berziarah (bersilaturahmi) kepada sesama teman seagama, serta membantu orang miskin. Sesungguhnya, menjenguk orang sakit—sebagai contoh—yang pada hakikatnya merupakan amal saleh dan dengan amal ini seorang hamba mendekatkan diri kepada Allah Swt, bukanlah dalam rangka mendekatkan diri kepada orang sakit tersebut, yang akan menyebabkan amalnya berwujud sebagai ibadah kepada selain Allah atau syirik dalam ibadah-Nya. Demikian pula halnya dengan contoh-contoh lain, termasuk amal-amal saleh seperti ziarah kubur, mengadakan acara duka, menghantarkan jenazah, dan silaturahmi kepada kaum kerabat.
Selain itu, ziarah kubur dan mengadakan acara duka termasuk amal saleh yang disyariatkan dan disebutkan dalam ilmu fikih, namun bukan dalam pembahasan ini. Yang pasti, melakukan amal perbuatan semacam ini bukan termasuk syirik dalam ibadah, sebagaimana yang dituduhkan sebagian orang. Dan hal ini (acara duka untuk kesyahidan nabi dan imam) bukan dimaksudkan untuk beribadah kepada mereka, tetapi untuk menghidupkan ingatan tentang hal (perjuangan) mereka, sekaligus mengenang dan mengagungkan syiar-syiar Allah yang ada pada mereka. “Dan barangsiapa mengagungkan syiar-syiar Allah, itu merupakan ketakwaan hati.”
Dengan demikian, seluruh amal perbuatan bajik ini telah ditetapkan ke-sunah-annya dalam syariat. Dan jika seseorang melakukannya dengan niat untuk mendekatkan diri kepada Allah Swt serta mengharapkan keridhaan dari-Nya, dia berhak beroleh pahala dan balasan dari Allah Swt.
Keyakinan akan Sifat-sifat-Nya
Kita yakin bahwa yang termasuk di antara sifat-sifat-Nya adalah sifat-sifat Tsubutiyah Hakikiyah Kamaliyah, yang dinamakan pula dengan sifat-sifat Jamal dan Kamal, seperti sifat ilmu, qudrah, ghani, iradah, dan hidup; yang semua ini juga merupakan Zat Allah dan bukan sifat-sifat tambahan pada Zat-Nya. Bahkan, wujud sifat-sifat tersebut tidak lain adalah wujud Zat Allah Swt; di mana qudrah Allah dari segi wujudnya adalah hidup-Nya. Bahkan, Dia Mahamampu dari segi ke-Hidup-an-Nya, dan Dia Hidup dari segi ke-Mampu-an-Nya. Tidak ada dualitas dalam sifat-sifat maupun wujud-Nya, demikian pula halnya pada semua sifat-sifat Kamaliyah-Nya.
Tentu saja, sifat-sifat tersebut berbeda dalam makna dan pengertiannya, namun tidak dalam hakikat dan eksistensinya. Sebab, andaisaja berbeda dalam eksistensinya, padahal dikatakan bahwa sifat-sifat tersebut qadim (kekal) dan wajib (wujudnya) sebagaimana Zat Allah, maka hal ini akan menyebabkan munculnya banyak wajib al-wujud sehingga terceraiberailah satu hakikat (wajib al-wujud); dan ini bertentangan dengan keyakinan tauhid.
Adapun sifat-sifat Tsubutiyah Idhafiyah (tetap-tambahan) seperti Pencipta, Pemberi rezeki, Taqaddum (Terdahulu), dan Sababiyyah, maka pada hakikatnya semua ini kembali pada satu sifat hakiki, yaitu al-Qayyumiyah pada makhluk-makhluknya. Dan ini merupakan sebuah sifat yang memunculkan berbagai sifat, dikarenakan (adanya) perbedaan pada pengaruh-pengaruhnya.
Sedangkan sifat-sifat Salbiyah (yang tertolak), yang disebut juga dengan sifat-sifat Jalal, maka semua sifat ini berasal dari sebuah penolakan (ketidakmungkinan), yakni tidak mungkinnya (sifat-sifat ini muncul) dari Allah. Ketidakmungkinan ini merupakan sebuah kelaziman, yang maknanya adalah penolakan atas jism (jasad), bentuk, gerak, diam, berat, ringan, dan sebagainya; bahkan penolakan terhadap semua sifat yang kurang (pada-Nya). Sumber dari ketidakmungkinan ini pada hakikatnya kembali pada wajib al-wujud yang merupakan salah satu sifat Tsubutiyah Kamaliyah. Maka, sifat-sifat Jalaliyah (Salbiyah) pada akhirnya bersumber pada sifat-sifat Kamaliyah (Tsubutiyah). Dan Allah Swt adalah satu dalam semua segi serta tidak terpecah dalam Zat-Nya yang suci dan tidak pula tersusun dalam hakikat-Nya Yang Tunggal dan Yang Kekal.
Anehnya, ada yang berpendapat bahwa sumber dari sifat-sifat Tsubutiyah adalah sifat-sifat Salbiyah. Sementara, ketika dia harus memahami bagaimana sifat-sifat Allah adalah Zat-Nya itu sendiri, maka dia akan berpikir bahwa sifat-sifat Tsubutiyah berasal dari sifat Salbi, agar dia dapat meyakini pendapat tentang kesatuan Zat dan pluralitas Zat. Dengan demikian, dia akan semakin terjerumus pada kesalahan, di mana Zat Allah yang merupakan wujud itu sendiri, bahkan wujud murni yang tak memiliki kekurangan apapun dan sisi kemungkinan, dia jadikan sebagai ketiadaan dan murni penolakan (Salb)—semoga Allah melindungi kita dari ketergelinciran wahm dan kesalahan pena (dalam menulis).
Aneh juga ketika ada orang yang mengatakan bahwa sifat-sifat Tsubutiyah Allah adalah tambahan bagi Zat-Nya. Dia berpendapat banyaknya qudama (yang kekal) serta banyaknya sekutu bagi wajib al-wujud, bahkan berpendapat bahwa Allah tersusun dari sifat-sifat tersebut. Amirul Mukminin (Imam Ali) berkata, “Dan sempurnanya keikhlasan kepada-Nya adalah (dengan) menolak sifat-sifat (Salbiyah) pada Allah, dengan bukti bahwa semua sifat-Nya bukan seperti yang disifati (Salbiyah), dan bahwa semua yang disifati itu bukanlah sifat (Salbi). Siapapun yang menyifati-Nya (dengan sifat Salbi), maka berarti dia telah menyamakan-Nya. Dan barangsiapa yang menyamakan-Nya, maka dia telah menduakan-Nya. Dan siapapun yang menduakan-Nya, berarti dia telah membagi Allah. Dan barangsiapa yang membagi-Nya, berarti dia tidak mengenal-Nya.”
Keyakinan pada Keadilan
Kita yakin bahwa salah satu di antara sifat-sifat Tsubutiyah Kamaliyah Allah Swt adalah bahwa Dia Mahaadil, tidak berbuat zalim, tidak berlebihan dalam keputusan-Nya, dan tidak melakukan kesalahan dalam hukum-Nya. Dia berikan pahala kepada orang-orang yang taat dan memberikan hukuman kepada yang bermaksiat. Dia tidak pernah memberikan taklif (beban-kewajiban) kepada hamba-hamba-Nya yang tidak mampu melakukannya dan tidak memberikan tambahan siksaan kepada yang melanggar. Kita pun yakin bahwa Allah tidak meninggalkan perbuatan baik dan tidak melakukan perbuatan buruk, lantaran Dia Mahamampu untuk berbuat baik dan meninggalkan yang buruk. Dengan ilmu-Nya, Dia tahu kebaikan yang baik dan keburukan yang buruk, sehingga Dia tidak perlu meninggalkan yang baik dan melakukan yang buruk. Sebab, melakukan kebaikan tidak akan membahayakan-(Nya) sehingga Dia harus meninggalkannya, dan Dia pun tidak memerlukan keburukan sehingga harus dilakukan-Nya. Dengan demikian, Allah Swt tetap Mahabijak, sehingga perbuatan-Nya harus sesuai dengan hikmah dan nidham (sistem) yang sempurna.
Andaikan Allah berbuat zalim dan buruk—Mahatinggi Allah atas semua itu—maka perbuatan tersebut tidak akan lepas dari empat tujuan berikut:
1. Perbuatan zalim itu dilakukan karena tidak tahu bahwa perbuatan tersebut buruk.
2. Mungkin tahu buruknya perbuatan tersebut, tetapi terpaksa (majbur) melakukannya karena tidak mampu meninggalkannya.
3. Mengetahui buruknya perbuatan itu dan tidak terpaksa melakukannya, namun perbuatan itu memang harus dilakukannya.
4. Mengetahui buruknya perbuatan itu, tidak terpaksa dalam melakukannya, dan tidak pula harus dilakukan, tetapi perbuatan itu dilakukan lantaran iseng saja.
Akan tetapi, semua bentuk kemungkinan di atas sangatlah mustahil bagi Allah Swt, karena akan menyebabkan adanya kekurangan pada Allah, yang merupakan inti dari kesempurnaan. Karena itu, kita harus menyimpulkan bahwa Allah Swt suci dari segala perbuatan zalim dan buruk.
Kendati demikian, sebagian kaum muslimin mengatakan bahwa mungkin saja Allah berbuat buruk (Mahasuci nama-nama-Nya), bahkan mungkin pula bagi-Nya menyiksa orang-orang yang taat dan memasukkan orang-orang yang bermaksiat atau kafir sekalipun ke dalam surga. Mereka juga mengatakan bahwa bisa saja Allah memberikan taklif di luar kemampuan hamba-hamba-Nya sehingga mereka tak sanggup melakukannya dan kemudian Allah menyiksa mereka lantaran meninggalkan taklif tersebut. Sebagaimana pula, mereka mengatakan bahwa mungkin saja bagi Allah untuk berbuat zalim, jahat, berbohong, serta menipu. Juga, melakukan perbuatan tanpa hikmah atau tujuan, dan tanpa kemaslahatan atau manfaat. Dengan dalih, Allah tidak akan diminta mempertanggungjawabkan apa yang telah dilakukan-Nya, sementara para makhluk akan dimintai pertanggungjawaban atas semua perbuatannya.
Mungkin saja, masih banyak orang-orang seperti mereka yang membawa keyakinan yang sesat, zalim, lalim, bodoh, pembohong, penipu, berbuat buruk, dan meninggalkan yang baik nan indah. Mahatinggi Allah atas segala hal yang demikian. Sebab, inilah inti kekafiran, sebagaimana yang difirmankan Allah dalam al-Quran:
Dan Allah tidak menginginkan kezaliman dari hamba-hamba-Nya.
Dan Allah tidak menyukai keburukan.
Dan tidak Aku ciptakan langit dan bumi dengan sia-sia.
Dan tidak Aku ciptakan manusia dan jin melainkan agar mereka beribadah.
Dan masih banyak lagi ayat-ayat suci yang mendukung hal tersebut. Mahasuci Engkau atas semua yang Engkau ciptakan tanpa kesia-siaan.
Keyakinan terhadap Taklif
Kita yakin, Allah Swt tidak membebani hamba-hamba-Nya, kecuali setelah memberikan hujah-Nya kepada mereka, dan Allah tidak akan memberikan taklif kepada mereka kecuali (berupa) sesuatu yang mampu mereka emban dan sesuai dengan potensi serta diketahui oleh mereka. Sebab, sungguh zalim jika Dia memberikan taklif kepada orang yang tak memiliki kemampuan dan tidak mengetahui taklif tersebut.
Adapun bagi orang yang tidak mau tahu (sengaja tidak berusaha untuk tahu; jahl ghair al-muqassir) tentang hukum-hukum maupun taklif maka dia harus mempertanggungjawabkannya di hadapan Allah Swt dan dia akan beroleh siksa atas kesengajaannya untuk tidak mau tahu. Sebab, setiap manusia diwajibkan untuk mengetahui hukum-hukum syariat (taklif) yang diperlukannya.
Sementara itu, kita pun yakin bahwa Allah Swt harus memberikan taklif serta syariat kepada para hamba-Nya yang dapat mendatangkan kemaslahatan, kebaikan, serta menunjuki mereka jalan yang benar dan kebahagiaan abadi. Di samping, membimbing mereka kepada segala kebajikan, sekaligus menjauhkan mereka dari kenistaan dan bahaya yang akan mengancam mereka jika diketahui bahwa mereka tidak menaati-Nya. Sebab, ini merupakan sebuah wajud kasih sayang dan rahmat Allah kepada para hamba-Nya, yang tidak mengetahui banyak hal sekaitan dengan kebaikan serta jalan yang benar bagi mereka, baik di dunia ini maupun di akhirat. Sebagaimana pula, banyak sekali marabahaya dan hal-hal buruk yang belum mereka ketahui. Allah Swt merupakan Zat yang Mahakasih dan Mahasayang, serta merupakan kesempurnaan mutlak yang sekaligus merupakan Zat-Nya sendiri yang mustahil dipisah-pisahkan. Allah tidak akan menghapuskan kasih sayang dan rahmat ini hingga hamba-hamba-Nya menjadi orang-orang yang melampaui batas dalam menentang ketaatan kepada-Nya dengan tidak memperhatikan semua perintah maupun larangan-Nya.
Keyakinan atas Qadha dan Qadar
Sebagian orang (pengikut paham Jabariyah) berpendapat bahwa Allah Swt adalah pelaku perbuatan-perbuatan makhluk. Dengan kata lain, Allah telah memaksa manusia untuk melakukan perbuatan-perbuatan maksiat, kemudian menyiksa mereka. Dan Allah pun telah memaksa manusia untuk berbuat taat, lalu memberikan pahala kepada mereka. Pendapat ini didasarkan pada bahwa sebenarnya semua perbuatan manusia adalah perbuatan Allah. Adapun sekaitan bahwa perbuatan itu dinisbatkan kepada mereka secara majazi, itu lantaran mereka adalah mediatornya. Sumber dari semua ini adalah pengingkaran mereka terhadap hukum kausalitas alami dalam semua hal, dan bahwa Allah merupakan Sebab yang hakiki dan tak memiliki sekutu.
Mereka telah mengingkari kausalitas alami dalam semua hal. Mereka menyangka bahwa hal tersebut merupakan tuntutan Allah, Sang pencipta yang tidak bersekutu. Mereka yang mengikuti pandangan ini berarti telah menisbatkan kezaliman kepada-Nya Swt.
Ada pula aliran yang dinamakan dengan al-Mufawwidhah, yang berpandangan bahwa Allah Swt menyerahkan semua perbuatan kepada para makhluk, tanpa adanya campur tangan qudrah, qadha, maupun takdir Allah dalam semua perbuatan mereka. Ini dikarenakan (menurut mereka) penisbatan semua perbuatan tersebut kepada Allah berarti menisbatkan kekurangan bagi-Nya. Padahal yang benar adalah bahwa semua maujud bergantung kepada sebab-sebab khusus, yang semua itu berakhir pada satu sebab utama, yakni Allah Swt. Orang yang mengikuti pandangan seperti itu telah mengeluarkan Allah dari kekuasaan-Nya dan menyekutukan Allah dengan selain-Nya dalam penciptaan.
Adapun keyakinan kita, mengikuti apa yang telah diajarkan para imam kita tentang al-amru baina al-amrain dan jalan tengah di antara dua pendapat yang tidak akan dapat dimengerti oleh para pendebat di antara kalangan teolog; di antara mereka ada suatu kaum yang melakukan kesembronoan (Jabariyah) dan sebagian lain melampaui batas (Mufawwidhah). Ilmu dan filsafat belum dapat mengungkap hal tersebut, kecuali beberapa abad kemudian. Tidaklah aneh bagi orang yang tidak mengetahui hikmah dan sabda-sabda para imam untuk menyangka bahwa pendapat ini termasuk penemuan sebagian para filsuf kontemporer Barat, sementara para imam kta telah mendahuluinya sepuluh abad sebelumnya.
Imam Ja’far al-Shadiq, untuk menjelaskan makna jalan tengah, mengungkapkan dengan perkataannya yang terkenal, “Tidak jabr dan tidak tafwidh melainkan amru baina al-amrain.”
Betapa dalam kandungan arti dari ucapan beliau ini, yang kesimpulannya adalah bahwa semua perbuatan kita, dilihat dari satu sisi, benar-benar perbuatan kita dan kitalah sebab-sebab alamiahnya; perbuatan itu berada di bawah kekuasaan dan ikhtiar kita. Di sini lain, semua kemampuan perbuatan itu merupakan pemberian Allah Swt dan berada di dalam kekuasaan-Nya. Sebab, Dialah Pemberi keberadaan dan tidak pernah melakukan pemaksaan dalam semua perbuatan kita, sehingga Dia harus menzalimi kita dengan menyiksa kita atas perbuatan maksiat yang kita lakukan (secara terpaksa). Sebab, kita memiliki kemampuan dan ikhtiar dalam perbuatan yang kita lakukan. (Sebaliknya), Dia tidak memasrahkan penciptaan semua perbuatan kepada kita, sehingga harus mengeluarkan semua perbuatan itu dari kekuasaan-Nya. Bahkan, bagi-Nyalah ciptaan dan hukum, dan Dia Mahamampu melakukan segala sesuatu dan meliputi hamba-hamba-Nya.
Bagaimana pun juga, keyakinan kita adalah bahwa qadha dan qadar merupakan misteri di antara misteri-misteri Ilahi. Maka, barangsiapa yang mampu memahaminya dengan baik tanpa ifrad (berlebihan) dan tafrid (berkekurangan), itulah yang diharapkan. Dan barangsiapa yang tidak mampu memahaminya dengan baik, maka dia tidak harus berusaha mengerti dan mendalaminya, agar keyakinannya tidak menjadi sesat dan rusak. Sebab, qadha dan qadar termasuk persoalan yang sangat rumit, bahkan termasuk salah satu pembahasan filsafat yang paling sulit, yang tidak mudah dimengerti oleh semua orang, melainkan al-Auhadi (orang yang telah sampai dalam jenjang pengesaan Allah). Karena itu, banyak sekali para teolog yang tergelincir. Taklif atas pembahasan masalah ini berada di atas kapasitas manusia biasa. Dan cukuplah bagi manusia untuk meyakini secara global, dengan mengikuti perkataan imam maksum (Ahlul Bait) bahwa masalah qadha dan qadar merupakan amru baina amrain yang di dalamnya tidak ada jabr dan tafwidh. Dan persoalan ini bukanlah termasuk bagian dari dasar-dasar keyakinan sehingga harus diyakini dalam bentuk apapun secara terperinci.
Keyakinan terhadap Bada’
Bada’ pada manusia berarti munculnya sebuah pendapat yang tidak pernah ada sebelumnya dan adanya perubahan niat dalam suatu pekerjaan yang sebelumnya ingin dilakukannya; telah terjadi sesuatu padanya yang mengubah pendapat dan pengetahuannya sehingga muncul niat untuk meninggalkan perbuatan itu setelah sebelumnya ingin dilakukannya. Ini terjadi lantaran ketidaktahuan manusia akan kemaslahatan dan penyesalan yang terjadi setelahnya.
Dengan demikian, bada’ dengan arti di atas sangat mustahil bagi Allah Swt. Sebab, ini merupakan sebuah ketidaktahuan dan kekurangan, dan semua ini mustahil bagi Allah Swt. Karenanya, mazhab Imamiyah menolak makna ini bagi Allah. Imam Ja’far al-Shadiq as berkata, “Barangsiapa yang menuduh Allah telah melakukan bada’ pada sesuatu dengan bada’ penyesalan, maka dalam pandangan kami dia adalah kafir kepada Allah yang Mahaagung.” Beliau as juga pernah berkata, “Barangsiapa yang menuduh Allah telah berbuat bada’ kepadanya dan tidak mengetahui sebelumnya, maka saya berlepas diri dari orang itu.”
Selain itu, terdapat pula riwayat-riwayat yang tampak membingungkan (bagi yang belum memahaminya) dari para imam suci kita; seolah-olah membenarkan makna bada’ di atas bagi Allah Swt, sebagaimana yang dikatakan Imam Ja’far al-Shadiq as, “Tidak pernah Allah melakukan bada’ kepada sesuatu seperti bada’ yang dilakukan kepada putraku, Ismail.”
Sebagian penulis mazhab-mazhab Islam mencela mazhab Imamiyah dan ajaran Ahlul Bait dengan mengatakan bahwa mazhab tersebut memiliki keyakinan bada’ dengan makna seperti itu. Mereka menjadikan masalah tersebut sebagai salah satu bentuk penghinaan kepada mazhab Syiah Imamiyah.
Adapun pendapat yang paling benar adalah sebagaimana difirmankan Allah Swt dalam kitab Al-Quran:
Allah menghapuskan apa yang Dia kehendaki dan menetapkan apa yang Dia kehendaki, dan di sisi-Nya terdapat Umm al-Kitab (Lauh Mahfudh).
Maksudnya, Allah terkadang menunjukkan sesuatu dari lisan suci nabi atau wali-Nya, kemudian Allah menghapusnya sehingga menjadi sesuatu yang bukan ditunjukkan pertama kali. Tentu, hal ini sebelumnya telah didahului oleh pengetahuan Allah, seperti dalam kisah Nabi Ismail ketika ayahnya ingin menyembelih dirinya. Ini sama dengan yang telah disinggung Imam Ja’far as-Shadiq as tentang tidak pernah terjadi bada’ Allah Swt sebagaimana yang terjadi pada Ismail, putra baliau. Sebelumnya, beliau telah memastikan agar orang-orang tahu bahwasannya dia bukanlah imam (penerus beliau). Kondisi saat itu mengarah bahwa dia seorang imam setelah ayahnya, Imam Ja’far al-Shadiq, lantaran dia merupakan putra beliau yang pertama.
Yang mirip dengan arti bada’ ini adalah terhapusnya hukum syariat-syariat terdahulu dengan datangnya syariat Nabi kita saww. Bahkan adapula sebagian hukum-hukum yang dibawa oleh Nabi kita saww yang mengalami bada’.
Keyakinan atas Hukum-hukum Agama
Kita yakin, Allah Swt menjadikan hukum-hukum-Nya yang bersifat wajib, haram, atau selainnya sesuai dengan kemaslahatan hamba-hamba-Nya dalam perbuatan-perbuatan mereka sendiri. Jika terdapat kemaslahatan yang sangat mengikat, maka Allah menjadikannya sebagai hukum wajib. Sebaliknya, jika terdapat mudarat yang berat, maka Dia menjadikannya sebagai hukum larangan. Jika kemaslahatannya lebih dominan, maka hal itu dinamakan sunnah. Demikian seterusnya dengan hukum-hukum lain; semua ini merupakan keadilan serta kasih sayang Allah kepada para hamba-Nya. Dalam setiap kejadian, sudah seharusnya Allah memberikan hukumnya, sehingga tiada satu permasalahan pun yang tidak memiliki hukum waqi’i Allah, walaupun hukum itu belum kita ketahui.
Di sini, kita katakan pula bahwa termasuk sebuah keburukan jika Allah memerintahkan kepada hal-hal yang terdapat mudarat didalamnya dan melarang hal-hal yang terdapat kemaslahatan di dalamnya. Namun, sebagian aliran dalam Islam mengatakan bahwa keburukan itu adalah apa-apa yang dilarang Allah dan kebaikan adalah apapun yang diperintahkan-Nya, bukan lantaran perbuatan-perbuatan itu sendiri secara dzatiyah (esensial) mengandungi kemaslahatan ataupun kemudaratan. Jadi, kebaikan maupun keburukan itu tidak bersifat dzati.
Pendapat itu sebenarnya bertentangan dengan rasio yang sehat. Seperti, ketika mereka setuju bila Allah Swt melakukan perbuatan buruk, dengan memerintahkan untuk melakukan sesuatu yang mendatangkan mudarat dan melarang hal-hal yang maslahat. Sebagaimana telah disinggung, pandangan semacam ini sangat tidak beralasan. Sebab, hal itu akan menunjukkan kejahilan dan ketidakmampuan Allah Swt. Mahatinggi Allah dari hal-hal seperti ini.
Kesimpulannya, seharusnya diyakini bahwa sesungguhnya Allah tidak memerlukan kemaslahatan ataupun manfaat dalam taklif yang kita tunaikan ataupun larangan yang kita tinggalkan, sebagaimana diharamkan-Nya. Bahkan kemaslahatan maupun manfaat akan kita dapatkan pada semua taklif-taklif yang kita tunaikan. Dan tidaklah berartri lagi makna peniadaan kemaslahatan ataupun kemadaratan pada perbuatan-perbuatan yang diperintahkan ataupun yang dilarang. Sungguh, Allah tidak pernah memerintahkan sesuatu yang sia-sia dan tak pernah pula melarang sesuatu begitu saja. Mahakaya Dia atas hamba-hamba-Nya.
(Haidarrein/Berbagai-Sumber-Lain/ABNS)
Post a Comment
mohon gunakan email