Pesan Rahbar

Home » » Menggugat Sunnah, Membumikan Itrah

Menggugat Sunnah, Membumikan Itrah

Written By Unknown on Saturday 7 May 2016 | 21:33:00


Para perawi telah meriwayatkan hadits tsaqalain dalam dua bentuk yang terdapat dalam kitab-kitab hadis. Lalu manakah yang benar di antara dua hadis tersebut; “Kitabullah wa Itrati AhlaBaiti atau Kitabullah wa Sunnati” ? .


Jawab:

Hadis sahih yang telah dinukil dari Rasulullah Saw adalah hadis yang berbunyi Kitabullah wa Itrati AhlaBaiti. Adapun riwayat yang menggunakan kalimat “Sunnati” adalah riwayat yang batil dan mardud dari sisi sanadnya, sementara keotentikan sanad hadis Itrati AhlaBaiti dapat dipertanggung jawabkan.


Sanad Hadis (Itrati Ahlabaiti)

Dua orang muhadist besar ahli sunnah telah menukil hadis ini dalam kitabnya, sebagai berikut;
Muslim dalam sahihnya meriwayatkan dari Zaid bin Arqam bahwasanya Rasulullah Saw pada suatu hari di Khum (kawasan antara Makkah dan Madinah) dalam khutbahnya, setelah memuji Allah SWT dan menasihati kaum muslimin, mengatakan;

ألا أيها الناس، فانما انا بشر يوشك ان يأتي رسول الله ربي فأجيب، وانا تارك فيكم ثقلين : أولهما كتاب الله فيه الهدى والنور، فخذوا بكتاب الله واستمسكوا به –فحث على كتاب الله ورغب فيه ثم قال :وأهل بيتي، أذكركم الله في أهل بيتي، أذكركم في أهل بيتي، أذكركم الله في أهل بيتي.

“Wahai manusia, aku hanyalah seorang manusia yang tidak lama lagi utusan Tuhanku akan datang, dan aku segera menjawab panggilannya. Sungguh, aku tinggalkan kepada kalian dua pusaka yang berharga (tsaqalain): pertama Kitab Allah. Di dalamnya, ada petunjuk dan cahaya, maka ambil dan berpegang teguhlah dengannya –Rasulullah Saw sangat menekankan untuk mengamalkannya. Kemudia berkata, (Yang kedua) Ahlul Baytku. Aku ingatkan kalian kepada Allah tentang Ahlul Baytku ini, aku ingatkan kalian kepada Allah tentang Ahlul Baytku ini”.[1]

Darimi dalam sunannya[2] juga menukil hadis tersebut. Dan harus diakui bahwa kedua sanad tersebut bagaikan cahaya yang terang dan jelas, hingga tidak ada keraguan sekecil apapun di dalamnya.
Turmudzi menukil hadis ini dengan lafad (Itrati Ahlabayti), matan hadisnya sebagai berikut;

اني تارك فيكم ما ان تمسكتم به لن تضلوا بعدي، احدهما أعظم من الآخر: كتاب الله وحبل ممدود من السماء الى الأرض وعترتي اهل بيتي، لن يفترقا حتى يردا علي الحوض، فانظروا كيف تخلفوني فيها

“Sesungguhnya aku tinggalkan kepada kalian selama kalian berpegang teguh kepadanya, kalian tidak akan sesat selepasku. Salah satunya lebih besar daripada yang lain: Kitab Allah merupakan tali yang terbentang antara langit dan bumi dan ‘Itrah Ahlulbaytku. Kedua-duanya tidak akan berpisah sehingga kedua-duanya dikembalikan di Haudh. Maka jagalah baik-baik dan bagaimana kalian memperlakukan dua pusaka itu sepeninggalku”.[3]

Muslim dan Turmudzi adalah seorang penulis sahih dan sunan dalam literatur hadis ahli sunnah. Keduanya sama-sama membawakan hadis tsaqalain dengan kalimat (Ahla Baiti). Dan hal ini cukup untuk membuktikan kebenaran persepektif syi’ah tentang AhlulBait. Karena keotentikan kedua sanad hadis tersebut, tidak perlu lagi diperbincangkan.


Sanad dan Matan Hadis (Sunnati)

Riwayat yang menggunakan kalimat “Sunnati” adalah hadis palsu buatan Bani Umayyah dan daif sanadnya.

1. Hakim Naisaburi dalam kitabnya al-Mustadrak, menukil hadis tersebut dengan sanad sebagai berikut;

عن اسماعيل بن ابي اويس عن ابي اويس عن ثور بن زيد الديلمي عن عكرمة عن ابن عباس، قال رسول الله : يا ايها الناس اني قد تركت فيكم، ان اعتصتم به فلن تضلوا ابدا كتاب الله وسنة نبيه

Diriwayatkan dari Ismail bin Abi Uwais dari ayahnya, dari Saur bin Zaid al-Dailami, dari Ikrimah, dari Ibn Abbas bahwa Rasulullah Saw bersabda, “Wahai manusia, sesungguhnya aku telah meninggalkan dua pusaka yang berharga untuk kalian. Jika kalian berpegang teguh dengannya, maka tidak akan pernah tersesat, yakni kitabullah dan sunnahku”.[4]

Ismail dan Abi Uwais adalah dua perawi yang cacat dan tertuduh sebagai pembohong dan pembuat hadis palsu.


Pendapat para Ulama Rijal

Hafid Mazzi dalam kitabnya Tahzib al-Kamal (seorang muhaqiq rijal al-Hadis) menukil sebuah perkataan mengenai Ismail dan ayahnya Abi Uwais, bahwa Yahya bin Muin (salah satu ulama besar ilmu rijal) mengatakan, “Abu Uwais dan anaknya (Ismail) daif sanadnya, pencuri hadis dan tidak dapat dipercaya”. Nasa’i berkenaan dengan Ismail mengatakan, “Ismail daif sanadnya dan tidak tsiqah”. Abul Qasim Lalkai mengatakan, “Nasa’i banyak berkata mengenai mereka berdua, sampai-sampai ia mengatakan hadisnya harus ditinggalkan”. Ibn Ady (ulama rijal) mengatakan, “Ibn Abi Uwais merupakan kakek dari Malik, yang banyak meriwayatkan hadits garib (asing), yang tidak seorangpun menerimanya”.[5]

Ibn Hajar dalam muqadimah Fath al-Bari mengatakan, “Hadits Ibn Abi Uwais sama sekali tidak bisa dijadikan argumen, dikarenakan Nasa’i telah banyak mencelanya”.[6]Hafid Sayyid Ahmad bin Shadiq dalam kitabnya Fath al-Mulk al-‘Ala mengutip dari Salmah bin Syaib bahwa Ismail bin Abi Uwais sering sekali mengatakan “Aku membuat hadits palsu, ketika penduduk Madinah berselisih pendapat mengenai suatu masalah yang menyebabkan mereka pecah menjadi dua golongan”.[7]

Dengan demikian Ismail bin Abi Uwais tertuduh sebagai pembuat hadits palsu dan Ibn Muin mencapnya sebagai pendusta. Dan yang terpenting adalah haditsnya sama sekali tidak dinukil dalam kitab sahih Muslim dan sunan Turmudzi serta kitab-kitab sahih lainnya.

Adapun berkenaan dengan Abu Uwais, Abu Khatim Razi dalam kitab al-Jarh wa al-Ta’dil mengatakan, “Hadits Abu Uwais tercatat (dalam Mustadrak al-Hakim penj.) tetapi tidak dapat dijadikan argumen, dikarenakan ia orang yg lemah”.[8]Abu Khatim juga menukil dari Ibn Muin bahwa Abu Uwais adalah orang yang tidak dapat dipercaya. Dan riwayat yang dalam sanadnya ada dua orang ini (Ismail dan Abu Uwais) tergolong daif, karena mereka selalu bertentangan dengan riwayat-riwayat yang sahih.

Yang perlu diperhatikan bahwasanya Hakim Naisaburi yang menukil hadis ini mengakui akan kadaifan hadis tersebut. Akantetapi ia membawakan contoh (hadis serupa) untuk mendukung kebenaran kandungan hadis itu, hanya saja yang dibawakannya juga lemah dari sisi sanad dan tidak mu’tabar. Hadis-hadis yang dimaksud sebagai berikut;

2. Hakim Naisaburi menukil hadis marfu dari Abu Hurairah, sebagai berikut;

اني قد تركت فيكم شيئين لن تضلوا بعدهما : كتاب الله وسنتي ولن يفترقا حتى يردا علي الحوض[9]

“Sungguh aku telah meninggalkan dua perkara untuk kalian, yang tidak akan menyesatkan kalian (setelah berpegang teguh dengan keduanya), yaitu kitabullah dan sunnahku, Kedua-duanya tidak akan berpisah sehingga kedua-duanya dikembalikan di Haudh”.

Hakim Naisaburi menukil hadits ini dengan sanad sebagai berikut; al-Dhabi meriwayatkan dari Shalih bin Musa al-Thalhi, dari Abdul Aziz bin Rafi’, dari Abi Shalih, dan dari Abu Hurairah.

Kepalsuaan hadis ini sama dengan hadis sebelumnya, karena dalam rentetan perawi hadits ini ada Shalih bin Musa al-Thalhi. Berikut beberapa ungkapan para ulama rijal mengenainya.

Yahya bin Muin mengatakan, “Shalih bin Musa al-Thalhi adalah orang yang tidak dapat dipercaya”. Abu Khatim Razi mengatakan, “Haditsnya (Shalih bin Musa) daif dan tidak diterima, bahkan kebanyakan dari hadis-hadisnya dinibatkan kepada para perawi tsiqah”. Nasa’i mengatakan, “Hadisnya tidak dapat dipakai dan ditinggalkan”.[10]

Dalam kitab Tahzib al-Tahzib Ibn hajar mengutip perkataan dari Ibn Hiban yang mengatakan, “Shalih bin Musa selalu menisbatkan (perkataannya) kepada orang-orang tsiqah, yang tidak sesuai dengan perkataan mereka”. Lebih lanjut ia mengatakan, “Haditsnya tidak dapat dijadikan argument”. Abu Naim mengatakan, “Haditsnya ditinggalkan dan selalu bertentang dengan hadits-hadits yang lain”.

Demikian juga Ibn Hajar dalam Taqrib[11] mengatakan, “Haditsnya ditinggalkan”. Zahabi mengatakan, “Haditsnya lemah dan tidak dapat diterimah”.[12]
 
3. Ibn Abdul Bar dalam kitab Tamhid[13] menyebutkan hadits serupa dengan sanad sebagai berikut;
a. Abdurrahman bin Yahya meriwayatkan dari Ahmad bin Said, dari Muhammad bin Ibrahim al-Dabili, dari Ali bin Zaid al-Faraidhi, dari al-Hanini, dari Kastir bin Abdullah bin Amr bin Auf, dari ayahnya dan dari kakeknya.

b. Imam Syafi’i berkenaan dengan Kastir bin Abdullah mengatakan, “Dia adalah lambang kebohongan”.[14] Abu Daud berkata, “Dia adalah salah satu dari para pendusta”.[15] Ibn Haban berkata, “Kastir bin Abdullah menukil kitab hadits dari ayah dan kakeknya, yang kebenarannya diragukan. Dan haram bagi siapa yang menukil hadits dari kitab tersebut atau meriwayatkan hadits dari Kastir bin Abdullah, kecuali dengan tujuan untuk menggugat dan mengkritiknya”.[16]

c. Nasa’i dan Darqutni mengatakan, “Haditsnya ditinggalkan”. Imam Ahmad berkata, “Dia adalah orang yang suka menyangkal hadits dan tidak dapat dipercaya”. Ibn Muin juga memiliki pandangan yang sama.

Yang mengherankan Ibn Hajar dalam kitabnya al-Taqrib hanya puas dengan memberi catatan daif (mengenai hadis tersebut). dan menganggap ifrat orang-orang yang menuduhnya sebagai pembohong. Sementara para ahli ilmu rijal mencapnya sebagai pendusta dan pembuat hadits palsu. Sebagaimana Zahabi mengatakan, “Perkataannya belum terbukti kebenarannya dan lemah”.


Menukil Tanpa Sanad

Malik bin Anas dalam kitabnya al-Muwatha menukil hadis tersebut tanpa sanad atau mursal. Dan seperti yang kita ketahui bahwa hadis mursal tidak berharga dan tidak memiliki hujjah.[17]

Penelitian ini dengan jelas menetapkan bahwa hadis (sunnati) adalah buatan yang sengaja digulirkan oleh para pendusta yang memiliki hubungan dekat dengan Bani Umayyah untuk menandingi hadits sahih (itrati ahlabayti). Oleh karena itu sudah seharusnya bagi para orator mimbar, para tokoh agama dan para imam untuk meninggalkan hadits-hadits yang bukan datang dari Rasulullah Saw. Memperkenalkan kepada masyarakat hadits-hadits yang sahih dan memberi pelajaran kepada para pencinta ilmu hadits berkenaan dengan Muslim dalam Sahihnya dan Turmuzi dalam Sunannya, yang telah mengutip hadits tsaqalain dengan lafad (Ahlabayti).

Perlu kami ingatkan bahwa yang dimaksud Rasulullah dengan (Ahlabayti) adalah Fatimah, Hasan dan Husain as, karena Muslim dalam Sahihnya[18] dan Turmuzi[19] dalam Sunannya menukil hadis dari Aisyah, yang berbunyi :

نزلت هذه الاية على النبي – صلى الله عليه واله وسلم – انما يريد الله ليذهب عنكم الرجس أهل البيت ويطهركم تطهيرا في بيت ام سلمة، فدعا النبي – صلى الله عليه واله وسلم – فاطمة و حسنا وحسينا قجعللهم بكساء وعلى خلف ظهره فجلله بكساء ثم قال : اللهم هؤلاء اهل بيتي فاذهب عنهم الرجس وطهرهم تطهيرا. قالت ام سلمة : وانا معهم يا نبي الله ؟ قال : انت على مكانكم وانت الى الخير.

“Ayat ini (Sesungguhnya Allah bermaksud menghilangkan dosa dari kamu, hai AhlaBayt dan mensucikan kamu sesuci-sucinya) turun pada Rasulullah Saw di rumah Ummu Salamah. Maka Nabi Saw memanggil Fatimah, Hasan dan Husain as, kemudia beliau memasukkan mereka kedalam kisa’, seraya berkata, “Ya Allah, mereka itulah AhlulBaitku, hilangkanlah dosa dan kotoran dari mereka dan sucikanlah sesuci-sucinya”. Ummu Salama berkata, “Ya Rasulullah, apakah aku termasuk bersama mereka ? Nabi Saw berkata, “kamu memiliki kedudukan sendiri dan kamu akan mendapatkan kebaikan di akhirat kelak”.[20]


Mafhum Hadits Tsaqalain

Dalam Hadits tsaqalain Nabi Saw mensejajarkan itrah dengan al-Quran dan mensifati keduanya sebagai hujjah Allah bagi umat manusia. Dari sini dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut;

1. Hujjah itrah Nabi sama dengan hujjah al-Quran, baik dalam urusan agama, akidah, fikih dan lainnya, yakni harus berpegang teguh dengan perkataan mereka (itrah) dan dengan adanya dalil dari mereka maka tidak diperbolehkan perpindah kepada selain mereka.

Walaupun kaum muslimin sepeninggal Nabi Saw dalam urusan khilafah dan politik pecah menjadi dua golongan dan masing-masing dari mereka memiliki dalil dan argument tersendiri. Kalau mereka berselisih dalam suatu masalah maka seharusnya mereka tidak boleh berselisih dalam masalah otoritas keilmuan ahlulbait. Karena semua sepakat dengan keontentikan hadits tsaqalain yang menegaskan tentang ototritas keilmuan ahlulbait dalam masalah aqidah, ahkam dan quran. Seandainya kaum muslimin mempratekan hadits ini, maka lingkar perselisihan yang ada semakin mengkrucut dan persatuan pun akan semakin terwujud.

2. Quran adalah kalamullah yang terjaga dari cacat dan kesalahan. Bagaimana mungkin ada kesalahan di dalamnya, sementara Allah SWT mensifatinya;

لا يَأْتيهِ الْباطِلُ مِنْ بَيْنِ يَدَيْهِ وَلا مِنْ خَلْفِهِ تَنْزيلٌ مِنْ حَكيمٍ حَميدٍ

“Yang tidak datang kepadanya (Al Quran) kebatilan baik dari depan maupun dari belakangnya, yang diturunkan dari Rabb yang Maha Bijaksana lagi Maha Terpuji.”[21]

Kalau Quran terjaga dari kesalahan maka yang sepadan dan sebanding dengannya juga terjaga dari kesalahan. Karena tidak benar seorang yang salah dikatakan sejajar dan sepadan dengan al-Quran.

Dengan demikian hadis ini memberi kesaksian akan ismah mereka dari segalah macam kesalahan dan kekeliruan. Akantetapi yang perlu diperhatikan bahwa ismah tidak melazimkan kenabian. Karena mungkin saja seseorang maksum (terjaga) dari dosa tetapi ia bukan seorang Nabi. Sebagaimana Quran menetapkan keismahan Maryam dan ia bukan seorang nabi;

وَإِذْ قالَتِ الْمَلائِكَةُ يا مَرْيَمُ إِنَّ اللهَ اصْطَفاكِ وَ طَهَّرَكِ وَ اصْطَفاكِ عَلى‏ نِساءِ الْعالَمينَ

“Dan (Ingatlah) ketika malaikat (Jibril) berkata: “Hai Maryam, Sesungguhnya Allah Telah memilimu, mensucikanmu dan melebihkanmu atas segala wanita di dunia (yang semasa dengan kamu).”[22]

Referensi:
[1] Muslim, Sahih jilid 4 hal. 1803, No: 2408, cetakan Abdul Baqi.
[2] Darimi, Sunan jilid 2 hal. 431-432.
[3] Turmudzi, Sunan jilid 5 hal. 663, No: 37788.
[4] Hakim, al-Mustadrak jilid 1 hal. 93.
[5] Hafid Mazzi, Tahzib al-Kamal jilid 3 hal. 127.
[6] Ibn Hajar Asqalani, Muqadimah Fath al-Bari hal. 391, setakan Dar al-Maarif.
[7] Hafid Sayyid Ahmad, Fath al-Mulk al-‘Ala, hal. 15.
[8] Abu Khatim Razi, al-Jarh wa al-Ta’dil jilid 5 hal. 92.
[9] Hakim Naisaburi, Mustadrak jilid 1 hal. 93.
[10] Hafid Mazi, Tahzib al-Kamal jilid 13 hal. 96.
[11] Ibn Hajar, Taqrib (terjemahan parsi), No: 2891.
[12] Zahabi, alKasif (terjemahan parsi), No : 2412, dan Mizan al-‘Itidal jilid 2 hal. 302.
[13] Al-Tamhid jilid 24 hal. 331.
[14] Ibn Hajar, Tahzib al-Tahzib jilid 8 hal. 377, cetakan Dar al-Fikr, Tahzib al-Kamal jilid 24 hal. 138.
[15] Ibid.
[16] Ibn Haban, al-Majruhin jilid 2 hal. 221.
[17] Malik, al-Muwatha hal. 889, No : 3.
[18] Muslim, Sahih jilid 4 hal. 1883, No : 2424.
[19] Turmuzi, Sunan jilid 5 hal. 663.
[20] Diambil dari Hasan bin Ali al-Saqaf, bab sholat Nabi Saw hal. 289-294.
[21] Fusilat, ayat 42.
[22] Ali’Imran, ayat 42.

(Muslim-Syiah/Syiahali/Hauzah-Maya/Berbagai-Sumber-Lain/ABNS)
Share this post :

Post a Comment

mohon gunakan email

Terkait Berita: