Kita lihat Sejenak Video ini:
Pandangan Prof. DR. KH. Aqil Siradj Tentang Syiah
Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) menilai aliran Islam Syiah secara umum bukan merupakan aliran sesat. “Tidak sesat, hanya berbeda dengan kita,” kata Ketua Umum PBNU, Said Aqil Siradj, di kantor kepresidenan, Jakarta, Selasa 28 Agustus 2012.Menurut dia, Syiah merupakan salah satu sekte Islam yang sudah ada sejak 14 abad lalu. Sekte ini pun ada di berbagai belahan bumi, termasuk Indonesia. “Pusatnya memang di Iran,” ujar Said.
Dalam pertemuan-pertemuan resminya KH. Aqil Siradj sering mengutip pernyataan pendahulunya Al-Marhum KH. Abdurrahman Wahid (Gus Dur): “NU (Nahdhatul Ulama itu Syiah minus Imamah, dan Syiah itu NU plus Imamah.” Terlalu banyak kesamaan NU dan Syiah. Bahkan peran dan posisi kiyai dalam tradisi NU sangat mirip dengan peran dan posisi Imam dalam tradisi Syiah. Hanya, di NU konsep itu hadir dalam wujud budaya, sementara di Syiah dalam bentuk teologi. Ini substansi pernyataan Gus Dur di atas
Tetapi yang sangat memprihatinkan, adalah tindak kekerasan terhadap muslim syiah di Sampang Madura, salah satu basis NU. Sebuah pesantren Syiah dibakar massa karena aliran itu dinilai sebagai ajaran sesat. Tindak serupa ini bukan yang pertama, baik di Madura maupun di daerah lain di provinsi yang sama, Jawa Timur. Sebelumnya, di Bondowoso, dan Bangil (Pasuruan) pernah terjadi penyerangan terhadap muslim Syiah. (rakyatmerdeka.co.id/news)
ANALISA DAN PERTANYAAN
Jika pernyataan Gus Dur itu salah tentu Aqil Siradj sebagai seorang Ulama dan tokoh Muslim yang menyandang gelar akademis Prof. DR, tidak akan mengutipnya dalam pertemuan-pertemuan resminya.
Mengapa sebagian kiyai NU bahkan yang bergelar Habib yang mengatas namakan ulama NU dan Ahlussunnah wal-Jama’ah, misalnya Tohir Alkaf dan Zen Alkaf, mereka anti syiah, dan menyatakan bahwa Syiah itu sesat bukan mazhab dalam Islam?
Kita mengetahui umumnya alumni dari Saudi Arabia, mereka anti Syiah. Beda halnya Prof. DR. KH. Aqil Siradj, beliau juga alumni Saudi, gelar doktornya ia raih dari Universitas Ummul Qura Saudi. Dengan keluasan ilmunya beliau tidak anti Syiah, bahkan beliau menginginkan persatuan Sunni dan Syiah. Beda halnya alumni yang lain anti Syiah. Itu menunjukkan kesempitan wawasan dan kedangkalan ilmunya.
Secara logis, rasional dan akademis jelas bahwa kiyai NU yang anti Syiah, wawasan dan ilmu keislaman jauh berada di bawah Prof. DR. KH. Aqil Siradj. Semoga Allah SWT merahmati dan memanjang umurnya, amin ya Rabbal ‘alamin.
Sebenarnya apa motif yang mendorong mereka anti Syiah, khususnya Tohir Al-Kaf dan Zen Alkaf dengan yayasan Al-Bayyinatnya? Sungguh memalukan dan membuat sedih Rasulullah SAW, seorang yang mengaku keturunan Nabi SAW dan menyandang gelar “Habib” menbenci para pengikut daduk-datuknya. Layakkah mereka menyandang gelar “Habib” (kekasih Allah)?
Apakah semangat anti syiah itu ada kaitannya dengan dana yang dikucurkan dari pusat wahabi/Salafi, Saudi Arabia?
Jawabannya yang jelas searching di GOOGLE: “Saudi Gelontorkan Dana Besar Dukung Wahabi Lawan Revolusi Mesir”
.
SUNNI DAN SYIAH BERSAUDARA
Topik ini penting kita renungkan baik-baik.Prof. DR KH. Said Agil Siradj, Ketua Umum PB NU, menegaskan bahwa selama ini Madura memiliki preseden positif soal hubungan antara muslim Sunni dan Syiah. Ia mensinyalir kejadian ini diletupkan pihak ketiga yang ingin merusak keharmonisan tersebut.
Sunni-Syiah bersaudara Secara substansial, hubungan antara muslim Sunni dan Syiah tidak memiliki rintangan signifikan bagi terjalinnya keharmonisan. Karena dua mazhab dalam Islam ini justru memiliki banyak titik kesamaan ketimbang perbedaan. Teologi Syiah dan Sunni tidak memiliki perbedaan mendasar
Baik dalam hal konsep ketuhanan (tauhid), kenabian, kitab suci Al-Quran, maupun kepercayaan akan hari akhir dan persoalan teologis lainnya. Ini bisa dirujuk pada literatur teologi dan juga filsafat dari keduanya. Bahkan keduanya sering dipertemukan pada tokoh yang sama dengan pemikiran yang sepaham.
“Nahdlatul Ulama (NU) itu Syiah minus Imamah. Syiah itu NU plus Imamah.” Demikian pernyataan populer almarhum Abdurrahman Wahid (Gus Dur), cendekiawan NU. Terlalu banyak kesamaan antara NU dan Syiah. Bahkan peran dan posisi kiai dalam tradisi NU sangat mirip dengan peran dan posisi Imam dalam tradisi Syiah. Hanya, di NU konsep itu hadir dalam wujud budaya, sementara di Syiah dalam bentuk teologi. Ini substansi pernyataan Gus Dur di atas.
Tentu bukan tanpa alasan steatment di atas dilontarkan, karena NU dan Syiah secara budaya memiliki banyak kesamaan. Di Indonesia sendiri tak dapat dipastikan apakah Sunni atau Syiah yang datang terlebih dahulu, sebagaimana madzhab leluhur para habaib di Hadramaut yang masih diperdebatkan, apakah Sunni atau Syiah.Tapi, yang pasti, kajian tentang Syiah di Indonesia telah dilakukan oleh para ahli dan pengamat sejarah. Dan sebagian besar di antaranya bahwa orang2 Persia -yang pernah tinggal di Gujarat- yang berpaham Syiah-lah yang pertama kali menyebarkan Islam di Indonesia.
Pimpinan besar Nahdlatul Ulama dinilai lebih berwibawa
Sehingga tak heran jika tradisi serta budaya Syiah demikian kental terasa di daerah Aceh dan sekitarnya (baca: sebagian Sumatera). Sebagai contoh adalah perayaan Hoyak Tabuik di daerah Pariaman Sumatera Barat. Konon perayaan ini pertama kali diselenggarakan oleh Sultan Burhanudin Ulakan atau yang terkenal dengan Imam Senggolo pada tahun 1685 M. Perayaan ini dimulai dari hari pertama bulan Muharram hingga hari yang kesepuluh. Dan puncak dari perayaan tersebut ialah prosesi mengarak usungan (tabut) yang dilambangkan sebagai keranda Imam Husain, cucu Nabi yang gugur di Padang Karbala.
Tradisi Syiah di Indonesia tidak hanya kita temukan di daerah Sumatera dan sekitarnya, melainkan juga di tanah Jawa. Di Jogjakarta, misalnya, kita menemukan tradisi “grebek suro”. Menurut sebagian masyarakat Jawa, bulan Suro (Muharram) adalah bulan yang penuh dengan kenahasan, karenanya mereka enderung berpantang untuk menggelar perayaan nikah atau membangun rumah pada bulan tersebut. Dan untuk menebus segala kesialan itu, mereka mengadakan upacara Grebeg Suro. Semua itu sebagai bias langsung dari gugurnya Imam Husain di Padang Karbala.
Sedangkan di daerah saya sendiri, Sunda/Priangan, pada bulan Suro masyarakat biasanya menyambut kedatangan bulan Suro dengan tradisi “Asyura’an” (10 Muharram). Dan dalam tradisi tersebut, biasanya dihidangkan bubur “beureum” (merah) dan bubur “bodas” (putih), sebagai perlambang darah dan kesucian Imam Husain yang terbunuh di Padang Karbala. Bahkan orang tua penulis berpuasa sunnah pada hari tersebut.
Belum lagi tradisi2 keagamaan di Indonesia, seperti Marhaba, Shalawatan, Tahlil Arwah, Haul, Kenduri, yang sangat terasa adanya unsur budaya Syiah di sana. Kenduri, misalnya, adalah tradisi khas Campa yang jelas-jelas terpengaruh faham Syi`ah. Bahkan, katanya, istilah kenduri itu sendiri jelas-jelas menunjuk kepada pengaruh Syi`ah karena dipungut dari bahasa Persia, yakni Kanduri yang berarti upacara makan-makan memperingati Fatimah Az Zahroh, puteri Nabi Muhammad SAW.
Agaknya masih banyak tradisi khas syiah yang diadopsi oleh masyarakat Indonesia, seperti dari cerita2 kepahlawan Nabi atau di Sunda terkenal cerita tentang Tongkat Ali dan Rumput Fatimah, namun karena keterbatasan ruang, waktu serta literatur yang terbatas sehingga saya mencukupkan hingga di sini. Tetapi, tidak menutup kemungkinan bahwa masih banyak tradisi Syiah yang tak tercatat atau belum terlacak oleh para pakar sejarah.
Diketemukannya beberapa tradisi Syiah sekaligus pertanda bahwa Syiah bukanlah hal yang baru di Nusantara. Walaupun kita boleh tidak menyepakati fikih dan teologi Syiah, tetapi tradisi keberagamaan di Indonesia mempunyai kesamaan dengan tradisi yang sering dilakukan oleh Muslim Syiah. Dan itu kiranya menambah kaya ragam khazanah budaya Indonesia.
saat dipimpin Abdurrahman Wahid (Gus Dur). Aura kepemimpinan Gus Dur terasa betul. Sepatah kata yang diucapkannya terkait keberadaan minoritas, termasuk terhadap keberadaan Syiah, langsung diikuti oleh Nahdliyin. Hal tersebut beda dengan pimpinan NU setelahnya.
Demikian disampaikan Ketua Dewan Syuro Ikatan Jamaah Ahlul Bait Indonesia (Ijabi) Jalaludin Rahmat saat konferensi pers terkait penyerangan jamaah Syiah di Sampang, Madura, di Kantor Ijabi, Kemang, Jakarta Selatan (Sabtu, 31/12).
“Tanpa mencoba merendahkan pimpinan setelah Gus Dur, sekali Gus Dur mengatakan A, seluruh Nahdliyin di daerah mengikutnya,” beber Jalal.
Jalal menuturkan, pengkut Syiah aman betul di zaman Gus Dur memimpin NU. Di zaman itu, Gus Dur mengatakan bahwa Syiah tidak sesat. Bahkan ia memerintahkan agar Nahdliyin menjaga dan melindungi pengikut Syiah. GP Anshor diperintahkan Gus Dur melindungi jamaah Syiah.
“Yang terjadi setelah Gus Dur, NU beraksi hanya setelah ada kekerasan terjadi, dan hanya mengatakan mengecam dan menyesalkan atas kejadian. Tidak beraksi riil secara organisasi sampai ke jenjang bawah,” kata dia.
Jalal mengimbau agar pimpinan NU sekarang bisa membuat semua Nahdliyin turut mengikuti bagaiman keputusan NU yang mengatakan Syiah tidak sesat dan menghormati minoritas
Sangat menarik bahwa ternyata, secara kultural, banyak tradisi keislaman yang dipraktekkan di Indonesia memiliki akar pada ajaran dan tradisi Syiah. Tradisi Tabok dan peringatan bulan Muharam adalah salah satu contohnya. Tradisi ini sudah berkolaborasi dalam berbagai budaya: Jawa, Sulawesi, maupun Sumatera. Pada tanggal 10 Muharam, kita bisa melihat gelaran tradisi tersebut dalam berbagai wajah budaya, namun satu substansi. Artinya, secara kultural masyarakat Indonesia memiliki ikatan sosiologis dan historis yang kuat dengan ajaran Syiah.
Tradisi-tradisi tersebut menunjukkan: pertama, bahwa di Indonesia pada dasarnya sudah terjalin harmoni yang kuat dan berlangsung berabad-abad antara Sunni dan Syiah. Demikian kuatnya hingga menyatu dalam sebuah tradisi bersama. Kedua, budaya adalah medium yang paling efektif sebagai pintu dialog dan harmoni.
Sejauh ini, jalinan dialog dan harmoni Syiah-Sunni kurang memaksimalkan perangkat budaya sebagai mediumnya. Padahal dalam budayalah kita menemukan jejak-jejak harmoni antara muslim Sunni dan Syiah Indonesia.
KESIMPULAN
1. Jika Sunni dan Syiah secara berabad hidup rukun dan damai, mengapa belakangan ini terjadi serangan yang tajam terhadap Syiah? Menyesatkan, mengkafirkan, ada apa sebenarnya?
2. Jika kita searching di Google, kita akan dapatkan banyak sekali informasi bahwa pihak-pihak wahabi/salafi dan antek-anteknya ingin memporak-porandakan hubungan harmonis Sunni dan Syiah.
3. Selain faktor karena dana yang mengucur dari Saudi Arabia, ada scenario besar yang ingin memecah-belah hubungan Sunni dan Syiah. Mengapa? Karena, jika Sunni dan Syiah, Islam akan jaya. Ini sesuai dengan Pernyataan Prof. DR. Din Syamsuddin Ketua Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah.
(Berbagai Sumber Lain/Syiah-Ali/ABNS)
Pandangan Prof. DR. KH. Aqil Siradj Tentang Syiah
Said Aqil Siroj
Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) menilai aliran Islam Syiah secara umum bukan merupakan aliran sesat. “Tidak sesat, hanya berbeda dengan kita,” kata Ketua Umum PBNU, Said Aqil Siradj, di kantor kepresidenan, Jakarta, Selasa 28 Agustus 2012.Menurut dia, Syiah merupakan salah satu sekte Islam yang sudah ada sejak 14 abad lalu. Sekte ini pun ada di berbagai belahan bumi, termasuk Indonesia. “Pusatnya memang di Iran,” ujar Said.
Dalam pertemuan-pertemuan resminya KH. Aqil Siradj sering mengutip pernyataan pendahulunya Al-Marhum KH. Abdurrahman Wahid (Gus Dur): “NU (Nahdhatul Ulama itu Syiah minus Imamah, dan Syiah itu NU plus Imamah.” Terlalu banyak kesamaan NU dan Syiah. Bahkan peran dan posisi kiyai dalam tradisi NU sangat mirip dengan peran dan posisi Imam dalam tradisi Syiah. Hanya, di NU konsep itu hadir dalam wujud budaya, sementara di Syiah dalam bentuk teologi. Ini substansi pernyataan Gus Dur di atas
Tetapi yang sangat memprihatinkan, adalah tindak kekerasan terhadap muslim syiah di Sampang Madura, salah satu basis NU. Sebuah pesantren Syiah dibakar massa karena aliran itu dinilai sebagai ajaran sesat. Tindak serupa ini bukan yang pertama, baik di Madura maupun di daerah lain di provinsi yang sama, Jawa Timur. Sebelumnya, di Bondowoso, dan Bangil (Pasuruan) pernah terjadi penyerangan terhadap muslim Syiah. (rakyatmerdeka.co.id/news)
ANALISA DAN PERTANYAAN
Jika pernyataan Gus Dur itu salah tentu Aqil Siradj sebagai seorang Ulama dan tokoh Muslim yang menyandang gelar akademis Prof. DR, tidak akan mengutipnya dalam pertemuan-pertemuan resminya.
Mengapa sebagian kiyai NU bahkan yang bergelar Habib yang mengatas namakan ulama NU dan Ahlussunnah wal-Jama’ah, misalnya Tohir Alkaf dan Zen Alkaf, mereka anti syiah, dan menyatakan bahwa Syiah itu sesat bukan mazhab dalam Islam?
Kita mengetahui umumnya alumni dari Saudi Arabia, mereka anti Syiah. Beda halnya Prof. DR. KH. Aqil Siradj, beliau juga alumni Saudi, gelar doktornya ia raih dari Universitas Ummul Qura Saudi. Dengan keluasan ilmunya beliau tidak anti Syiah, bahkan beliau menginginkan persatuan Sunni dan Syiah. Beda halnya alumni yang lain anti Syiah. Itu menunjukkan kesempitan wawasan dan kedangkalan ilmunya.
Secara logis, rasional dan akademis jelas bahwa kiyai NU yang anti Syiah, wawasan dan ilmu keislaman jauh berada di bawah Prof. DR. KH. Aqil Siradj. Semoga Allah SWT merahmati dan memanjang umurnya, amin ya Rabbal ‘alamin.
Sebenarnya apa motif yang mendorong mereka anti Syiah, khususnya Tohir Al-Kaf dan Zen Alkaf dengan yayasan Al-Bayyinatnya? Sungguh memalukan dan membuat sedih Rasulullah SAW, seorang yang mengaku keturunan Nabi SAW dan menyandang gelar “Habib” menbenci para pengikut daduk-datuknya. Layakkah mereka menyandang gelar “Habib” (kekasih Allah)?
Apakah semangat anti syiah itu ada kaitannya dengan dana yang dikucurkan dari pusat wahabi/Salafi, Saudi Arabia?
Jawabannya yang jelas searching di GOOGLE: “Saudi Gelontorkan Dana Besar Dukung Wahabi Lawan Revolusi Mesir”
.
SUNNI DAN SYIAH BERSAUDARA
Topik ini penting kita renungkan baik-baik.Prof. DR KH. Said Agil Siradj, Ketua Umum PB NU, menegaskan bahwa selama ini Madura memiliki preseden positif soal hubungan antara muslim Sunni dan Syiah. Ia mensinyalir kejadian ini diletupkan pihak ketiga yang ingin merusak keharmonisan tersebut.
Sunni-Syiah bersaudara Secara substansial, hubungan antara muslim Sunni dan Syiah tidak memiliki rintangan signifikan bagi terjalinnya keharmonisan. Karena dua mazhab dalam Islam ini justru memiliki banyak titik kesamaan ketimbang perbedaan. Teologi Syiah dan Sunni tidak memiliki perbedaan mendasar
Baik dalam hal konsep ketuhanan (tauhid), kenabian, kitab suci Al-Quran, maupun kepercayaan akan hari akhir dan persoalan teologis lainnya. Ini bisa dirujuk pada literatur teologi dan juga filsafat dari keduanya. Bahkan keduanya sering dipertemukan pada tokoh yang sama dengan pemikiran yang sepaham.
“Nahdlatul Ulama (NU) itu Syiah minus Imamah. Syiah itu NU plus Imamah.” Demikian pernyataan populer almarhum Abdurrahman Wahid (Gus Dur), cendekiawan NU. Terlalu banyak kesamaan antara NU dan Syiah. Bahkan peran dan posisi kiai dalam tradisi NU sangat mirip dengan peran dan posisi Imam dalam tradisi Syiah. Hanya, di NU konsep itu hadir dalam wujud budaya, sementara di Syiah dalam bentuk teologi. Ini substansi pernyataan Gus Dur di atas.
Tentu bukan tanpa alasan steatment di atas dilontarkan, karena NU dan Syiah secara budaya memiliki banyak kesamaan. Di Indonesia sendiri tak dapat dipastikan apakah Sunni atau Syiah yang datang terlebih dahulu, sebagaimana madzhab leluhur para habaib di Hadramaut yang masih diperdebatkan, apakah Sunni atau Syiah.Tapi, yang pasti, kajian tentang Syiah di Indonesia telah dilakukan oleh para ahli dan pengamat sejarah. Dan sebagian besar di antaranya bahwa orang2 Persia -yang pernah tinggal di Gujarat- yang berpaham Syiah-lah yang pertama kali menyebarkan Islam di Indonesia.
Pimpinan besar Nahdlatul Ulama dinilai lebih berwibawa
Sehingga tak heran jika tradisi serta budaya Syiah demikian kental terasa di daerah Aceh dan sekitarnya (baca: sebagian Sumatera). Sebagai contoh adalah perayaan Hoyak Tabuik di daerah Pariaman Sumatera Barat. Konon perayaan ini pertama kali diselenggarakan oleh Sultan Burhanudin Ulakan atau yang terkenal dengan Imam Senggolo pada tahun 1685 M. Perayaan ini dimulai dari hari pertama bulan Muharram hingga hari yang kesepuluh. Dan puncak dari perayaan tersebut ialah prosesi mengarak usungan (tabut) yang dilambangkan sebagai keranda Imam Husain, cucu Nabi yang gugur di Padang Karbala.
Tradisi Syiah di Indonesia tidak hanya kita temukan di daerah Sumatera dan sekitarnya, melainkan juga di tanah Jawa. Di Jogjakarta, misalnya, kita menemukan tradisi “grebek suro”. Menurut sebagian masyarakat Jawa, bulan Suro (Muharram) adalah bulan yang penuh dengan kenahasan, karenanya mereka enderung berpantang untuk menggelar perayaan nikah atau membangun rumah pada bulan tersebut. Dan untuk menebus segala kesialan itu, mereka mengadakan upacara Grebeg Suro. Semua itu sebagai bias langsung dari gugurnya Imam Husain di Padang Karbala.
Sedangkan di daerah saya sendiri, Sunda/Priangan, pada bulan Suro masyarakat biasanya menyambut kedatangan bulan Suro dengan tradisi “Asyura’an” (10 Muharram). Dan dalam tradisi tersebut, biasanya dihidangkan bubur “beureum” (merah) dan bubur “bodas” (putih), sebagai perlambang darah dan kesucian Imam Husain yang terbunuh di Padang Karbala. Bahkan orang tua penulis berpuasa sunnah pada hari tersebut.
Belum lagi tradisi2 keagamaan di Indonesia, seperti Marhaba, Shalawatan, Tahlil Arwah, Haul, Kenduri, yang sangat terasa adanya unsur budaya Syiah di sana. Kenduri, misalnya, adalah tradisi khas Campa yang jelas-jelas terpengaruh faham Syi`ah. Bahkan, katanya, istilah kenduri itu sendiri jelas-jelas menunjuk kepada pengaruh Syi`ah karena dipungut dari bahasa Persia, yakni Kanduri yang berarti upacara makan-makan memperingati Fatimah Az Zahroh, puteri Nabi Muhammad SAW.
Agaknya masih banyak tradisi khas syiah yang diadopsi oleh masyarakat Indonesia, seperti dari cerita2 kepahlawan Nabi atau di Sunda terkenal cerita tentang Tongkat Ali dan Rumput Fatimah, namun karena keterbatasan ruang, waktu serta literatur yang terbatas sehingga saya mencukupkan hingga di sini. Tetapi, tidak menutup kemungkinan bahwa masih banyak tradisi Syiah yang tak tercatat atau belum terlacak oleh para pakar sejarah.
Diketemukannya beberapa tradisi Syiah sekaligus pertanda bahwa Syiah bukanlah hal yang baru di Nusantara. Walaupun kita boleh tidak menyepakati fikih dan teologi Syiah, tetapi tradisi keberagamaan di Indonesia mempunyai kesamaan dengan tradisi yang sering dilakukan oleh Muslim Syiah. Dan itu kiranya menambah kaya ragam khazanah budaya Indonesia.
saat dipimpin Abdurrahman Wahid (Gus Dur). Aura kepemimpinan Gus Dur terasa betul. Sepatah kata yang diucapkannya terkait keberadaan minoritas, termasuk terhadap keberadaan Syiah, langsung diikuti oleh Nahdliyin. Hal tersebut beda dengan pimpinan NU setelahnya.
Demikian disampaikan Ketua Dewan Syuro Ikatan Jamaah Ahlul Bait Indonesia (Ijabi) Jalaludin Rahmat saat konferensi pers terkait penyerangan jamaah Syiah di Sampang, Madura, di Kantor Ijabi, Kemang, Jakarta Selatan (Sabtu, 31/12).
“Tanpa mencoba merendahkan pimpinan setelah Gus Dur, sekali Gus Dur mengatakan A, seluruh Nahdliyin di daerah mengikutnya,” beber Jalal.
Jalal menuturkan, pengkut Syiah aman betul di zaman Gus Dur memimpin NU. Di zaman itu, Gus Dur mengatakan bahwa Syiah tidak sesat. Bahkan ia memerintahkan agar Nahdliyin menjaga dan melindungi pengikut Syiah. GP Anshor diperintahkan Gus Dur melindungi jamaah Syiah.
“Yang terjadi setelah Gus Dur, NU beraksi hanya setelah ada kekerasan terjadi, dan hanya mengatakan mengecam dan menyesalkan atas kejadian. Tidak beraksi riil secara organisasi sampai ke jenjang bawah,” kata dia.
Jalal mengimbau agar pimpinan NU sekarang bisa membuat semua Nahdliyin turut mengikuti bagaiman keputusan NU yang mengatakan Syiah tidak sesat dan menghormati minoritas
Sangat menarik bahwa ternyata, secara kultural, banyak tradisi keislaman yang dipraktekkan di Indonesia memiliki akar pada ajaran dan tradisi Syiah. Tradisi Tabok dan peringatan bulan Muharam adalah salah satu contohnya. Tradisi ini sudah berkolaborasi dalam berbagai budaya: Jawa, Sulawesi, maupun Sumatera. Pada tanggal 10 Muharam, kita bisa melihat gelaran tradisi tersebut dalam berbagai wajah budaya, namun satu substansi. Artinya, secara kultural masyarakat Indonesia memiliki ikatan sosiologis dan historis yang kuat dengan ajaran Syiah.
Tradisi-tradisi tersebut menunjukkan: pertama, bahwa di Indonesia pada dasarnya sudah terjalin harmoni yang kuat dan berlangsung berabad-abad antara Sunni dan Syiah. Demikian kuatnya hingga menyatu dalam sebuah tradisi bersama. Kedua, budaya adalah medium yang paling efektif sebagai pintu dialog dan harmoni.
Sejauh ini, jalinan dialog dan harmoni Syiah-Sunni kurang memaksimalkan perangkat budaya sebagai mediumnya. Padahal dalam budayalah kita menemukan jejak-jejak harmoni antara muslim Sunni dan Syiah Indonesia.
KESIMPULAN
1. Jika Sunni dan Syiah secara berabad hidup rukun dan damai, mengapa belakangan ini terjadi serangan yang tajam terhadap Syiah? Menyesatkan, mengkafirkan, ada apa sebenarnya?
2. Jika kita searching di Google, kita akan dapatkan banyak sekali informasi bahwa pihak-pihak wahabi/salafi dan antek-anteknya ingin memporak-porandakan hubungan harmonis Sunni dan Syiah.
3. Selain faktor karena dana yang mengucur dari Saudi Arabia, ada scenario besar yang ingin memecah-belah hubungan Sunni dan Syiah. Mengapa? Karena, jika Sunni dan Syiah, Islam akan jaya. Ini sesuai dengan Pernyataan Prof. DR. Din Syamsuddin Ketua Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah.
(Berbagai Sumber Lain/Syiah-Ali/ABNS)
Post a Comment
mohon gunakan email