Pertanyaan dari http://saidaneffendi-darussalam.blogspot.co.id/2011/08/kapan-imam-ali-membaiat-abu-bakar-ra.html:
Imam Ali membai’at Abubakar, Imam Hasan berdamai dengan Mu’awiyah, maka itu artinya Nabi tidak mewasiatkan kekhalifahan kepada mereka !
Jawaban kami :
Rasulullah n menyatakan bahwa khalifah itu seluruhnya dari kaum Quraisy, sebagaimana dalam hadits: “Dari Jabir bin Samurah z, ia berkata: Aku masuk bersama ayahku menemui Rasulullah n, maka aku mendengar beliau berkata: “Sesungguhnya urusan ini tidak akan lenyap hingga berakhir di antara mereka dua belas khalifah”. Kemudian beliau berbicara dengan ucapan yang tersamar atasku. Maka aku bertanya kepada ayahku: “Apa yang dikatakan oleh beliau?” Ia menjawab: “Seluruhnya dari kalangan Quraisy.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim) .
Sunni sangat mengagungkan Muawiyah yang Bani Umayah yang notabene membenci bani Hasyim (lucu juga ya).
Andaikan ada seorang perampok masuk ke rumah mas. Kemudian ia mengancam akan menyakiti keluarga mas jika mas tidak bersedia menyerahkan harta-harta mas.
Maka, apa tindakan yang akan mas ambil?
Saya percaya, karena ingin melindungi keluarga mas, maka mas dengan terpaksa mengikuti permintaan si perampok untuk menyerahkan harta kekayaan mas. Begitu kan?
Pertanyaannya:
(1) Benarkah tindakan mas melindungi keluarga mas dengan menyerahkan harta kekayaan mas?
(2) Hak milik siapakah sesungguhnya harta yang sekarang di tangan si Perampok yang telah dirampas dengan zalim? Punya mas kah atau si perampok kah?
(3) Dipebolehkankah orang-orang yang cinta kepada mas untuk membela mas dan menyalahkan si perampok serta mengatakan bahwa harta kekayaan itu sesungguhnya adalah milik mas?
Ada ayat2 Alqur’an dan Hadis dimana Allah menunjuk pemimpin utk melanjutkan misi Rasul. Dibawa ini saya tunjukkan 2 ayat saja dimana Allah menunjuk pimpinan utk melanjukan misi Rasul :
1. AL ANBIYAA’ ayat 73 tentang kepemimpinan
[21:73] Kami telah menjadikan mereka itu sebagai pemimpin-pemimpin yang memberi petunjuk dengan perintah Kami dan telah Kami wahyukan kepada, mereka mengerjakan kebajikan, mendirikan sembahyang, menunaikan zakat, dan hanya kepada Kamilah mereka selalu menyembah.
2. Surah / surat : As-Sajdah Ayat : 24;
Dan Kami jadikan di antara mereka itu pemimpin-pemimpin yang memberi petunjuk dengan perintah Kami ketika mereka sabar [1196]. Dan adalah mereka meyakini ayat-ayat Kami.
[1196] yang dimaksud dengan “sabar” ialah sabar dalam menegakkan kebenaran.
Imam atau Khalifah adalah berdasarkan penunjukan atau nash dari Nabi SAW, jadi walaupun Imam Ali secara terpaksa membai’at Abubakar dan Imam Hasan terpaksa berdamai dengan Mu’awiyah, maka hal tsb tidak menggugurkan nash !
“Jumlah Khalifah Setelah Rasulullah saw”.
Ashabiyah atau fanatisme kesukuan muncul kembali menjelang dan pasca Nabi wafat !
khalifah yang 12 artinya wakil (pengganti) Nabi Muhammad saw setelah Nabi wafat (dl urusan negara dan agama) yg melaksanakan syariat (hukum) Islam dl kehidupan negara;
Kaum Muslimin, di dalam kitab shahih mereka, telah sepakat (ijma’) bahwa Rasulullah saw. telah menyebutkan bahwa jumlah khalifah sesudahnya sebanyak 12 orang, sebagaimana disebutkan di dalam Shahih Bukhari dan Muslim, Bukhari di dalam shahihnya, pada awalKitab Al-Ahkam, bab Al-Umara min Quraisy (Para Pemimpin dari Quraisy), juz IV, halaman 144; dan di akhir Kitab Al-Ahkam, halaman 153, sedangkan dalam Shahih Muslim disebutkan di awal Kitab Ad-Imarah, juz II, halaman 79.
Hal itu juga disepakati oleh Ashhab Al-Shahhahdan Ashhab Al-Sunan, bahwasanya diriwayatkan dari Rasulullah saw:
Agama masih tetap akan tegak sampai datangnya hari kiamat dan mereka dipimpin oleh 12 orang khalifah, semuanya dari Quraisy.
Diriwayatkan dasi jabir bin Samrah, dia berkata: “Aku mendengar Rasulullah saw. bersabda: ‘Setelahku akan datang 12 Amir.’ Lalu Rasulullah mengatakan sesuatu yang tidak pernah aku dengar. Beliau bersabda: ‘Ayahku semuanya dari Quraisy’. “.
Ringkasnya, seluruh umat Islam sepakat bahwa Rasulullah saw. membatasi jumlah para Imam setelah beliau sebanyak 12 Imam; jumlah mereka sama dengan jumlah Nuqaba bani lsrail; jumlah mereka juga sama dengan jumlah Hawari Isa a.s
Argumen wahabi:
Pihak http://saidaneffendi-darussalam.blogspot.co.id/2011/08/kapan-imam-ali-membaiat-abu-bakar-ra.html melontarkan dalil dalil palsu sbb:
a. Aisyah berkata dalam riwayat Muslim: “Rasulullah n tidak meninggalkan dirham; tidak pula dinar, tidak seekor kambing, tidak pula seekor unta dan tidak mewasiatkan dengan apa pun.” (HR. Muslim, dalam Kitabul Washiyyah, juz 3, hal. 256, hadits ke 18).
b. dari Aswad bin Yazid, dia berkata: “Mereka menyebutkan di sisi ‘Aisyah bahwa Ali adalah seorang yang mendapatkan wasiat. Maka beliau (Aisyah) berkata: “Kapan Rasulullah n berwasiat kepadanya, padahal aku adalah sandaran beliau ketika beliau bersandar di dadaku -atau ia berkata: pangkuanku- kemudian beliau meminta segelas air, tiba-tiba beliau terkulai di pangkuanku, dan aku tidak merasa ternyata beliau sudah meninggal, maka kapan dia berwasiat kepadanya?” (HR. Al-Bukhari dan Muslim).
c. “Dari ‘Aisyah x, ia berkata; Rasulullah n berkata kepadaku: “Panggillah Abu Bakr, ayahmu dan saudaramu, sehingga aku tulis satu tulisan (wasiat). Sungguh aku khawatir akan ada seseorang yang menginginkan (kepemimpinan, -pent.), kemudian seseorang berkata: “Aku lebih utama.” Kemudian beliau bersabda: “Allah dan orang-orang beriman tidak meridhai kecuali Abu Bakr.” (HR. Muslim 7/110 dan Ahmad (6/144); Lihat Ash-Shahihah, juz 2, hal. 304, hadits no. 690).
Jawaban kami :
dalil dali diatas hanyalah dalil dalil yang diakui pihak Sunni namun ditolak pihak Syi’ah !
Hadis yang disepakati sunni – syi’ah MUTLAK BENAR, namun hadis yang hanya diakui pihak sunni sendirian maka MUTLAK SALAH !
Diriwayatkan bahwa di antara keluarga Rasulullah n yaitu Ibnu Abbas c menyatakan pula kekecewaannya, karena Rasulullah n tidak sempat berwasiat disebabkan ulah keji Umar, hingga datanglah ajal beliau dalam keadaan belum sempat memberikan wasiat.
Maka Ibnu Abbas c berkata: “Sesungguhnya kerugian dari segala kerugian adalah terhalangnya Rasulullah n untuk menulis wasiat kepada mereka, karena perselisihan dan silang pendapat mereka.” (HR. Al-Bukhari dalam Kitabul Maghazi, bab Maradhun Nabi; Fathul Bari, juz 8, hal. 132 no. hadits 4432; Muslim dalam Kitabul Washiyyah, bab Tarkul Wasiat Liman Laisa Lahu Syai`un Yuushi bihi, juz 3 hal. 1259, no. 22)
WAFATNYA Rasulullah saw membuat sebagian umat Islam goyah iman dan pudar ketaatan. Meskipun sudah disebutkan di Ghadir Khum bahwa yang berhak menjadi pemimpin Islam setelah Rasulullah saw adalah Ali bin Abi Thalib, tetap menyelenggarakan pemilihan khalifah di Saqifah.
Mereka lupa bahwa Rasulullah saw sendiri dalam hadis-hadis telah menyebutkan dua belas khalifah yang berhak memimpin dan membimbing umat Islam. Misalnya riwayat Said bin Jubair dari Ibnu Abbas berkata bahwa Rasulullah sawbersabda,“Sesungguhnya khalifah-khalifahku dan wasi-wasiku, hujah-hujah Allah di atas makhluk-Nya selepasku ialah dua belas orang; yang pertama Ali dan yang akhirnya cicitku Al-Mahdi; maka itulah Isa putra Maryam shalat di belakang Al-Mahdi.”
Bahkan, dalam hadis yang dikeluarkan Abu Al-Mu’ayyid Ibn Ahmad Al-Khawarizmi dengan sanad dari Abu Sulaiman secara rinci disebutkan nama-namanya: Ali, Fathimah, Hasan, Husain, Ali bin Husain, Muhammad bin Ali, Ja’far bin Muhammad, Musa bin Ja’far, Ali bin Musa, Muhammad bin Ali, Ali bin Muhammad, Hasan bin Ali, dan Muhammad Al-Mahdi bin Hasan.
Muslim dalam kitab Shahih Muslimmeriwayatkan dari Jabir bin Samurah bahwa, “Aku bersama bapakku berjumpa Nabi Muhammad saw. Maka aku mendengar Nabi saw bersabda, “Urusan ini tidak akan selesai sehingga berlaku pada mereka dua belas khalifah.” Dia berkata: kemudian beliau berbicara dengan perlahan kepadaku. Akupun bertanya kepada ayahku, apakah yang diucapkan oleh beliau? Dia menjawab, “Semuanya dari Quraisy.”
Dalam bagian kitab fadhl ahlulbait, Muslim menyebut dua belas orang dari kalangan Bani Hasyim. Juga Bukhari dalam Shahih Bukhari bagian kitab al-ahkam meriwayatkandari Jabir bin Samurah bahwa Nabi Muhammad saw bersabda, “Selepasku adalah dua belas amir (pemimpin).”Bukhari menyebutkannya dengan tiga riwayat dan Muslim sembilan riwayat serta Abu Daud tiga riwayat. Sedangkan Al-Turmudzi satu riwayat dan Al-Humaidi tiga riwayat.
Al-Qunduzi al-Hanafi dalam Yanabi’ al-Mawaddah bab 95meriwayatkan bahwa Jabir bin ‘Abdullah berkata, Rasulullah saw bersabda, “Wahai Jabir! Sesungguhnya para wasiku dan para imam selepasku pertamanya Ali kemudian Hasan kemudian Husain kemudian Ali bin Husain kemudian Muhammad bin Ali Al-Baqir. Anda akan menemuinya wahai Jabir sekiranya Anda mendapatinya; maka sampailah salamku kepadanya. Kemudian Ja’far bin Muhammad, kemudian Musa bin Ja’far, kemudian Ali bin Musa, kemudian Muhammad bin Ali, kemudian Ali bin Muhammad, kemudian Hasan bin Ali. Kemudian Al-Qa’im, namanya sama dengan namaku dan kunyahnya sama dengan kunyahku, anak Hasan bin Ali. Dengan beliaulah Allah akan ‘membuka’ seluruh pelosok bumi di Timur dan di Barat, dialah yang ghaib dari penglihatan. Tidak akan percaya kepada imamahnya melainkan orang yang telah diuji hatinya oleh Allah Swt.” Kemudian Jabir berkata,“Wahai Rasulullah.apakah orang-orang bisa mengambil manfaat darinya ketika ghaibnya?” Beliau menjawab,“Ya! Demi yang mengutuskan aku dengan kenabian sesungguhnya mereka mengambil cahaya daripada wilayahnya ketika ghaibnya, seperti orang mengambil faedah dari matahari sekalipun ianya ditutupi awan.”
Para muhadis dan perawi yang disebutkan tersebut orang-orang ternama dan banyak dirujuk oleh ulama-ulama. Karena itu, kebenarannya layak untuk dipegang sebelum benar-benar dipastikan terdapat kekeliruan. Sudah banyak kajian hadis dan sejarah yang membuktikan kebenaran dari riwayat-riwayat tentang adanya khalifah-khalifah Islam setelah Rasulullah saw. Namun, untuk umat Islam Indonesia kajian berkaitan dengan hadis atau riwayat tersebut belum banyak diketahui sehingga tidak jarang ada orang yang berani menolaknya.
Dalam Al-Quran ada jumlah yang mendukung jumlah 12 di atas. Kata Imam dan berbagai bentuk turunannya disebutkan sebanyak 12 kali, sama dengan jumlah Imam kaum Muslimin yang dibatasi Rasulullah saw. Kata tersebut terdapat pada ayat-ayat berikut:
[1] Allah berfirman: “Sesungguhnya Aku akan menjadikanmu sebagai Imam bagi seluruh manusia.”Ibrahim berkata: “Dan saya memohon juga dari keturunanku.” Allah berfirman: “Janji-Ku (ini) tidak bagi mereka yang zalim.” (Al-Baqarah: 124).
[2] ….. Dan diikuti pula oleh seorang saksi (Muhammad) dari Allah dan sebelum AI-Quran itu telah ada Kitab Musa yang menjadi pedoman (imama ) dan rahmat ….. (Hud: 17).
[3] ….. Dan jadikanlah kami Imam bagi orang-orang yang bertakwa. (Al-Furqan: 74).
[4] Dan sebelum Al-Quran itu telah ada Kitab Musa sebagai pedoman (imam) dan rahmat …..Al-Ahqaf: 12).
[5] ….. Maka Kami binasakan mereka. Dan sesungguhnya kedua kota itu benar-benar terletak di jalan umum (bi imam) yang terang. (Al-Hijr: 79).
[6] ….. Dan segala sesuatu Kami kumpulkan dalam Kitab Induk (Imam) yang nyata. (Yasin: 12)
[7] (Ingatlah) suatu hari yang (di hari itu) Kami panggil setiap umat dengan pemimpinnya (imamihim). (AI-Isra: 17).
[8] ….. Maka perangilah pemimpin-pemimpin (aimmah) kaum kafir, karena sesungguhnya mereka itu adalah orang-orang yang tidak dapat dipegang janjinya, agar mereka berhenti. (At-Taubah: 12).
[9] Kami telah menjadikan mereka sebagai pemimpin-pemimpin (aimmah) yang memberi petunjuk dengan perintah Kami …… (AI-Anbia: 73).
[10] …… Dan Kami hendak menjadikan mereka sebagai pemimpinpemimpin (aimmah) dan menjadikan mereka sebagai para pewaris (bumi). (Al-Qashash: 5).
[11] Dan Kami jadikan mereka pemimpln-pemimpin (aimmah) yang menyeru (manusia) ke neraka, dan pada hari kiamat mereka tidak akan ditolong. (Al-Qashash: 41).
[12] Dan Kami jadikan di antara mereka itu pemimpin-pemimpin (aimmah) yang memberi petunjuk dengan perintah Kami ….. (Al-Sajdah: 24).
Ayat Kedua belas
Saya berpendapat bahwa jumlah para Imam itu sama dengan jumlah para Nuqaba Bani Israil, yaitu sebanyak 12 orangnaqib. Di antara yang menarik perhatian ialah ketika Nuqaba itu berjumlah 12, ia pun disebutkan pada ayat keduabelas dari surat Al-Maidah, yaitu ketika Allah berfirman:
Dan sesungguhnya Allah telah mengambil perjanjian (dari) Bani lsrail dan telah Kami angkat di antara mereka 12 orang pemimpin (naqib) ….. (AI-Maidah: 12).
Dua belas Khalifah Rasul Saw
Kata khalifah dan turunan kata isim-nya, yang digunakan untuk memuji, disebutkan sebanyak 12 kali. Di dalamnya dijelaskan mengenai khilafah dari Allah SWT, yaitu pada ayat-ayat berikut ini:
Dan ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada para malaikat: “Sesungguhnya Aku hendak menjadikan khalifah di muka bumi ….. “ (Al-Baqarah: 30).
[1] Hai Daud, sesungguhnya Kami menjadikan kamu khalifah (penguasa) di muka bumi, maka berilah keputusan di antara manusia dengan adil dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu ….. (Shad: 26).
[2] Dan Dialah yang menjadikan kamu penguasa-penguasa (khalaif) di bumi ….. (Al-An’am: 165).
[3] Kemudian Kami jadikan kamu pengganti-pengganti mereka (khalaif) sesudah mereka, supaya Kami memperhatikan bagaimana kamu berbuat ….. (Yunus: 73).
[4] ….. Dan Kami jadikan mereka pemegang kekuasaan (khalaif) dan Kami tenggelamkan orang-orang yang mendustakan ayatayat kami ….. (Yunus: 73).
[5] Dialah yang menjadikan kamu khalifah-khalifah di muka bumi. Barangsiapa yang kafir maka (akibat) kekafirannya akan menimpa dirinya sendiri ….. (Fathir: 39).
[6] Dan ingatlah oleh kamu sekalian di waktu Allah menjadikan kamu sebagai pengganti-pengganti (khulafa) yan,q berkuasa setelah lenyapnya Nuh ….. (Al-A’raf: 69).
[7] Dan ingatlah olehmu di waktu Tuhan menjadikan kamu sebagai pengganti-pengganti (khulafa) setelah lenyapnya kaum ‘Ad dan memberikan tempat bagimu di bumi ….. (AIA’raf; 74).
[8] Atau siapakah yang memperkenankan (doa) orang yang dalam kesulitan apabila ia berdoa kepada-Nya, dan yang menghilangkan kesusahan dan yang menjadikan kamu (manusia) sebagai khalifah-khalifah (khulafa) di muka burni …..” (Al-Nur: 55).
[9] Dan Allah telah berjanji kepada orang-orang yang beriman di antara kamu dan yang mengerjakan amal-amal yang saleh bahwa Dia sesungguhnya akan menjadikan mereka berkuasa (layastakhlifannahum) di muka bumi ….. (Al-Nur: 55).
[10] ….. Sebagaimana Dia telah menjadikan berkuasa (istakhlafa) orang-orang sebelum mereka ….. (Al-Nur: 55).
[11] ….. Musa menjawab: “Mudah-mudahan Allah membinasakan musuhmu dan menjadikan kamu khalifah di bumi ….. ” (AIA’raf: 129).
Dua belas Washi
Termasuk yang ditegaskan oleh jumlah ini (12) ialah wasiat Rasulullah saw. bahwasanya Imam sesudah beliau itu berjumlah 12 Imam, sama dengan jumlah wasiat Allah kepada para makhluk, yaitu sebanyak kata wasiat dan bentuk turunannya dari Allah kepada makhluknya sebagaimana terdapat pada ayat-ayat berikut:
Dia telah mensyariatkan bagi kamu tentang agama yang telah diwasiatkan-Nya kepada Nuh dan yang telah diwahyukan kepadamu ….. (Al-Syura: 13)
[1] ….. Apakah kamu menyaksikan di waktu Allah menetapkan (washsha) ini bagimu …… (Al-An’am: 144).
[2] ….. Demikian itu yang diperintahkan Tuhanmu kepadamu (washshakum) supaya kamu memahami(nya) ….. (Al-An’am: 151).
[3] …. Yang demikian itu diperintahkan Allah (washshakum) kepadamu supaya kamu ingat ….. (AI-An’am: 152).
[4] Yang demikian itu diperintahkan Allah (washshakum) kepadamu agar kamu bertakwa ….. (Al-An’am: 153).
[5] ….. Dan sesungguhnya Kami telah memerintahkan (washshaina) kepada orang-orang yang diberi Kitab sebelum kamu, dan (juga) kepadamu: “Bertakwalah kepada Allah.” (An-Nisa: 131)
[6] Dan Kami wajibkan (washshaina) manusia untuk (berbuat) kebaikan kepada kedua ibu-bapaknya … (Al-Ankabut: 8).
[7] Dan Kami perintahkan (washshaina) kepada manusia untuk berbuat baik kepada kedua ibu-bapaknya; ibunya telah mengandungnya dalam keadaan lemah yang bertambah lemah ….. (Luqman: 14).
[8] ….. Dan apa yang telah Kami wasiatkan (washshaina) kepada Ibrahim, Musa dan lsa, yaitu: “Tegakkanlah agama dan janganlah kamu berpecah-belah tentangnya ….. (Al-Syura: 13)
[9] Kami perintahkan (washshaina) kepada manusia untuk berbuat baik kepada kedua ibu-bapaknya ….. (Al-Ahqaf: 15).
[10] …… Dan Dia memerintahkan (ausha) kepadaku untuk mendirikan shalat dan menunaikan zakat selama aku hidup ….. (Maryam: 31)
[11] ….. Syariat (washiyyatan) dari Allah, dan Allah Maha Mengetahui lagi Maha Penyayang. (An-Nisa: 12).
Masalah Kekhalifahan adalah masalah yang sangat penting dalam Islam. Masalah ini adalah dasar penting dalam penerapan kehidupan keislaman, setidaknya begitu yang saya tahu . Kata Khalifah sendiri menyiratkan makna yang beragam, bisa sesuatu dimana yang lain tunduk kepadanya, sesuatu yang menjadi panutan, sesuatu yang layak diikuti, sesuatu yang menjadi pemimpin, sesuatu yang memiliki kekuasaan dan mungkin masih ada banyak lagi
Saat Sang Rasulullah SAW yang mulia masih hidup maka tidak ada alasan untuk Pribadi Selain Beliau SAW untuk menjadi khalifah bagi umat Islam. Hal ini cukup jelas kiranya karena sebagai sang Utusan Tuhan maka Sang Rasul SAW lebih layak menjadi seorang Khalifah. Sang Rasul SAW adalah Pribadi yang Mulia, Pribadi yang selalu dalam kebenaran, dan Pribadi yang selalu dalam keadilan. Semua ini sudah jelas merupakan konsekuensi dasar yang logis bahwa Sang Rasulullah SAW adalah Khalifah bagi umat Islam.
Lantas bagaimana kiranya jika Sang Rasul SAW wafat? siapakah Sang Khalifah pengganti Beliau SAW? Atau justru kekhalifahan itu sendiri menjadi tidak penting. Pembicaraan ini bisa sangat panjang dan bagi sebagian orang akan sangat menjemukan. Dengan asumsi bahwa kekhalifahan akan terus ada maka Sang khalifah setelah Rasulullah SAW bisa berupa:
1. Khalifah yang ditunjuk oleh Rasulullah SAW
2. Khalifah yang diangkat oleh Umat Islam
Kedua Premis di atas masih mungkin terjadi dan tulisan ini belum akan membahas secara rasional premis mana yang benar atau lebih benar. Tulisan kali ini hanya akan menunjukkan adanya suatu riwayat dimana Sang Rasulullah SAW pernah menyatakan bahwa Ahlul Bait adalah Khalifah bagi Umat Islam. Bagaimana sikap orang terhadap riwayat ini maka itu jelas bukan urusan penulis
Dari Zaid bin Tsabit RA yang berkata bahwa Rasulullah SAW bersabda “Sesungguhnya Aku telah meninggalkan di tengah-tengah kalian dua Khalifah yaitu Kitab Allah yang merupakan Tali yang terbentang antara bumi dan langit, serta KeturunanKu Ahlul BaitKu. Keduanya tidak akan berpisah sampai menemuiKu di Telaga Surga Al Haudh. (Hadis Ini diriwayatkan oleh Ahmad bin Hanbal dalam Musnad Ahmad jilid 5 hal 182, Syaikh Syuaib Al Arnauth dalam Takhrij Musnad Ahmad menyatakan bahwa hadis ini shahih. Hadis ini juga diriwayatkan oleh Ath Thabrani dalam Mu’jam Al Kabir jilid 5 hal 154, Al Haitsami dalam Majma’ Az Zawaid jilid 1 hal 170 berkata “para perawi hadis ini tsiqah”. Hadis ini juga disebutkan oleh As Suyuthi dalam Jami’ Ash Shaghir hadis no 2631 dan beliau menyatakan hadis tersebut Shahih.).
Hadis di atas adalah Hadis Tsaqalain dengan matan yang khusus menggunakan kata Khalifah. Hadis ini adalah hadis yang Shahih sanadnya dan dengan jelas menyatakan bahwa Al Ithrah Ahlul Bait Nabi SAW adalah Khalifah bagi Umat islam.Oleh karena itu Premis bahwa Sang Khalifah setelah Rasulullah SAW itu ditunjuk dan diangkat oleh Rasulullah SAW adalah sangat beralasan
Ancaman Pembakaran Rumah Ahlul Bait
Judul di atas tentu saja akan cukup mengejutkan bagi siapa saja yang belum mengetahui tentang riwayat ini. Hal ini termasuk salah satu hal yang dipermasalahkan dalam perdebatan yang biasa terjadi oleh kelompok Islam Sunni dan Syiah. Permasalahan ini jelas merupakan masalah yang pelik dan musykil dan tidak jarang ulama sunni yang menyatakan bahwa peristiwa ini tidak pernah terjadi dan riwayat ini tidak ada dalam kitab-kitab Ahlus Sunnah. Sebaliknya untuk menjawab anggapan ini Syiah menyatakan bahwa peristiwa ini benar terjadi dan terdapat riwayat-riwayat yang berkaitan dengan peristiwa tersebut dalam referensi Ahlus Sunnah.
Tulisan kali ini hanya ingin melihat dengan jelas apakah benar peristiwa ini benar-benar tercatat dalam sejarah atau hanyalah berita bohong belaka. Perlu dinyatakan sebelumnya bahwa tulisan ini tidak dibuat dengan tujuan untuk medeskriditkan pribadi atau kelompok tertentu melainkan hanya menyampaikan sesuatu apa adanya.
Riwayat-riwayat tentang Ancaman Pembakaran Rumah Sayyidah Fathimah Az Zahra as ternyata memang benar ada dalam kitab-kitab yang menjadi pegangan Ahlus Sunnah yaitu dalam Tarikh Al Umm Wa al Mulk karya Ibnu Jarir At Thabari, Al Mushannaf Ibnu Abi Syaibah, Ansab Al Asyraf karya Al Baladzuri, Al Isti’ab karya Ibnu Abdil Barr dan Muruj Adz Dzahab karya Al Mas’udi. Berikut adalah riwayat yang terdapat dalam Kitab Al Mushannaf Ibnu Abi Syaibah. Ibnu Abi Syaibah meriwayatkan peristiwa itu dengan sanad.
Telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Bisyr telah menceritakan kepada kami Ubaidillah bin Umar telah menceritakan kepada kami Zaid bin Aslam dari Aslam Ayahnya yang berkata ”Ketika Bai’ah telah diberikan kepada Abu Bakar setelah kewafatan Rasulullah SAW. Ali dan Zubair sedang berada di dalam rumah Fatimah bermusyawarah dengannya mengenai urusan mereka. Sehingga ketika Umar menerima kabar ini Ia bergegas ke rumah Fatimah dan berkata ”Wahai Putri Rasulullah SAW setelah Ayahmu tidak ada yang lebih aku cintai dibanding dirimu tetapi aku bersumpah jika orang-orang ini berkumpul di rumahmu maka tidak ada yang dapat mencegahku untuk memerintahkan membakar rumah ini bersama mereka yang ada di dalamnya”. Ketika Umar pergi, mereka datang dan Fatimah berbicara kepada mereka “tahukah kalian kalau Umar datang kemari dan bersumpah akan membakar rumah ini jika kalian kemari. Aku bersumpah demi Allah ia akan melakukannya jadi pergilah dan jangan berkumpul disini”. Oleh karena itu mereka pergi dan tidak berkumpul disana sampai mereka membaiat Abu Bakar. (Al Mushannaf Ibnu Abi Syaibah jilid 7 hal 432 riwayat no 37045).
Riwayat ini memiliki sanad yang shahih sesuai persyaratan Bukhari dan Muslim.
Sanad Riwayat Dalam Al Mushannaf Ibnu Abi Syaibah
Ibnu Abi Syaibah
Nama lengkapnya adalah Abu Bakar Abdullah bin Muhammad bin Utsman Al Absi Al Kufi. Ia adalah seorang imam penghulu para hafidz, penulis banyak kitab sepertiMusnad,al Mushannaf dan Tafsir. Para ulama telah sepakat akan keagungan ilmu kejujuran dan hafalannya. Dalam Mizan Al I’tidal jilid 2 hal 490 Adz Dzahabi berkata”Ia termasuk yang sudah lewat jembatan pemeriksaan dan sangat terpercaya”. Ahmad bin Hanbal berkata ”Abu Bakar sangat jujur, ia lebih saya sukai disbanding Utsman saudaranya”. Al Khathib berkata “Abu Bakar rapi hafalannya dan hafidz”.
Muhammad bin Bisyr
Muhammad bin Bisyr adalah salah seorang dari perawi hadis dalam Kutub Al Sittah. Dalam Tahdzib At Tahdzib jilid 9 hal 64, Thabaqat Ibnu Saad jilid 6 hal 394, Tarikh al Kabir jilid I hal 45, Al Jarh Wat Ta’dil jilid 7 hal 210, Tadzkirah Al Huffadz jilid 1 hal 322 dan Al Kasyf jilid 3 hal 22 terdapat keterangan tentang Muhammad bin Bisyr.
Ibnu Hajar berkata “Ia tsiqah”.
Yahya bin Main telah mentsiqahkannya
Al Ajuri berkata ”Ia paling kuat hafalannya diantara perawi kufah”
Utsman Ibnu Abi Syaibah berkata “Ia tsiqah dan kokoh”
Adz Dzahabi berkata ”Ia adalah Al Hafidz Al Imam dan kokoh”
An Nasai berkata “Ia tsiqah”.
Ubaidillah bin Umar
Keterangan tentang beliau disebutkan dalam Tadzkirah Al Huffadz jilid 1 hal 160-161, Siyar A’lam An Nubala jilid 6 hal 304, Tahdzib At Tahdzib jilid 7 hal 37, Taqrib At Tahdzib jilid 1 hal 637, Ats Tsiqat jilid 3 hal 143,dan Al Jarh Wa At Ta’dil jilid 5 hal 326.
Ibnu Hajar berkata ”Ia tsiqah dan tsabit”
Yahya bin Ma’in berkata ”Ia tsiqah, hafidz yang disepakati”
Abu Hatim berkata ”Ia tsiqah”
Adz Dzahabi berkata ”Ia Imam yang merdu bacaan Al Qurannya”
An Nasai berkata ”Ia tsiqah dan kokoh”
Ibnu Manjawaih berkata ”Ia termasuk salah satu tuan penduduk Madinah dan suku Quraisy dalam keutamaan Ilmu,ibadah hafalan dan ketelitian”.
Abu Zar’ah berkata “Ia tsiqah”.
Abdullah bin Ahmad berkata ”Ubaidillah bin Umar termasuk orang yang terpercaya”.
Zaid bin Aslam
Zaid bin Aslam adalah salah seorang perawi Kutub As Sittah. Keterangan tentang beliau terdapat dalam Al Jarh Wa At Ta’dil jilid 3 hal 554, Tahdzib at Tahdzib jilid 3 hal 341, Taqrib At Tahdzib jilid 1 hal 326, Tadzkirah Al Huffadz jilid 1 hal 132-133, dan Siyar A’lam An Nubala jilid 5 hal 316.
Abu Hatim menyatakan Zaid tsiqah.
Ya’qub bin Abi Syaibah berkata ”Ia tsiqah,ahli fiqh dan alim dalam tafsir Al Quran”
Imam Ahmad menyatakan beliau tsiqah.
Ibnu Saad menyatakan “Ia tsiqah”.
Adz Dzahabi menyebutnya sebagai Al Imam, Al Hujjah dan Al Qudwah(teladan)
Abu Zara’ah menyatakan Ia tsiqah.
Ibnu Kharrasy menyatakan beliau tsiqah.
Ibnu Hajar berkata “Ia tsiqah” .
Aslam Al Adwi Al Umari
Aslam dikenal sebagai tabiin senior dan merupakan perawi Kutub As Sittah. Beliau termasuk yang telah disepakati ketsiqahannya. Keterangan tentang Beliau dapat dilihat di Taqrib At Tahdzib jilid 1 hal 88 dan Siyar A’lam An Nubala jilid 4 hal 98.
Adz Dzahabi berkata “Ia seorang Faqih dan Imam”
Al Madani berkata “Ia seorang penduduk Madinah terpercaya dan Kibar At Tabi’in”
Ya’qub bin Abi Syaibah berkata ”Ia tsiqah”
Ibnu Hajar berkata ”Ia tsiqah”
Abu Zara’ah berkata ”Ia tsiqah”
An Nawawi berkata ”Huffadz bersepakat menyatakan Aslam tsiqah”
Jadi riwayat di atas yang menyatakan adanya Ancaman Pembakaran Rumah Ahlul Bait Sayyidah Fatimah Az Zahra AS telah diriwayatkan oleh para perawi yang tsiqah dan tidak berlebihan kalau ada yang menyatakan riwayat tersebut shahih sesuai persyaratan Bukhari dan Muslim. Oleh karena itu sebenarnya keliru sekali kalau ada yang beranggapan bahwa Riwayat ini tidak ada dalam kitab-kitab Ahlus Sunnah apalagi kalau menyatakan ini adalah riwayat yang dibuat-buat oleh golongan Syiah.Just Syiahpobhia .
Salam Damai
_____________________________________
Salah satu dari dosen Universitas Syari’at di Jordan yang bernama Doktor Khalid Naufal adalah guruku, dan saat itu aku sudah bermadzhab Syiah. Aku sering masuk ke kelasnya. Sering kali karena kefanatikannya ia menuduh Syiah denga tuduhan-tuduhan yang tak benar. Suatu hari kami duduk berdiskusi tentang para pengganti Rasulullah saw. Diskusi itu cukup menarik, silahkan anda simak sebagaimana berikut:
Dosen: “Sama sekali tidak ada hadits nabi tentang dua belas imam pengganti setelah beliau. Hadits-hadits seperti ini adalah buatan kalian sendiri.”
Pelajar: “Justru hadits-hadits ini sering kali disebutkan dalam kitab-kitab hadits terpercaya Ahlu Sunah. Misalnya, ada hadits yang berbunyi:
“Para khalifah setelahku ada dua belas orang, sejumlah dengan para nuqaba’ Bani Israil, dan seluruhnya dari Quraisy.”[1]”
Dosen: “Taruhlah hadits-hadits itu memang benar, menurut kalian, orang-orang Syiah, siapakah dua belas imam itu?”
Pelajar: “Berdasarkan puluhan, bahkan ratusan riwayat yang kami temukan, mereka adalah:
1. Ali bin Abi Thalib,
2. Hasan bin Ali,
3. Husain bin Ali,
4. Ali bin Husain As Sajjad,
5. Muhammad bin Ali Al Baqir,
6. Ja’far bin Muhammad As Shadiq,
7. Musa bin Ja’far Al Kadzim,
8. Ali bin Musa Ar Ridha,
9. Muhammad bin Ali Al Jawad,
10. Ali bin Muhammad Al Hadi,
11. Hasan bin Ali Al Askari,
12. Muhammad bin Hasan Al Mahdi aj.
Anda telah mengakui bahwa Rasulullah saw pernah bersabda, “Para khalifah setelahku ada dua belas orang, dan semuanya dari Quraisy.” Anda telah bertanya siapakah dua belas orang itu. Dan Aku pun menyebutkan nama semuanya dari Imam Ali as sampai Imam Mahdi as. Sekarang giliran aku yang berkata, menurut anda siapakah dua belas khalifah itu? Tolong sebutkan.”
Dosen: “Dari dua belas orang itu, aku dapat menyebutkan empat orang: Abu Bakar, Umar, Utsman dan Ali. Mungkin setelahnya adalah Hasan bin Ali, Mu’awiyah, Ibnu Zubair, Umar bin Abdul Aziz…” (sampai di sini masih delapan orang).
Lalu ia menambahkan, “juga ada Mahdi Abbasi (khalifah ketiga Bani Abbas). Mungkin juga bisa ditambahkan Thahir Abbasi… Alhasil bagi kami dua belas orang itu tidak jelas siapa saja. Perkataan ulama kami pun juga berbeda-beda.”
Pelajar: “Rasulullah saw dalam hadits Tsaqalain (hadits yang diterima oleh semua Muslimin karena ke-mutawatir-annya) berkata: “Sesungguhnya aku meninggalkan dua peninggalan berharga bagi kalian: Kitab Allah dan Ahlul Baitku.”
Dengan melihat hadits tersebut, jelas sekali Abu Bakar, Utsman, dan orang-orang lainnya seperti Ibnu Zubair, Umar bin Abdul Aziz, Mahdi Abbasi, mereka bukanlah keluarga nabi. Lalu mengapa mereka dianggap sebagai khalifah setelah nabi?
Sedangkan para imam yang kami yakini, seluruhnya adalah Ahlul Bait nabi, dan lebih sesuai dengan hadits di atas.”
Dosen: “Sementara aku belum bisa memberikan jawaban yang pasti. Biarkan aku mencari jawaban yang memuaskan terlebih dahulu, nanti aku akan menjawabnya.”
Pelajar: “Ya, semoga ada kelak menemukan jawabannya dan bisa jelaskan siapa sajakah para khalifah nabi itu.”
Lama setelah itu, dosen berkata kepada pelajar bahwa ia tidak menemukan jawaban yang menurutnya tepat.[2]
Referensi:
[1] Shahih Muslim, Kitab Al Imarah, jilid 4, halaman 482, cetakan Darul Sy’ab; Musnad Ahmad jilid 5, halaman 86-92; Al Mustadrak Fil Sahihain, jlid 4, halaman 501; Majma’ Haitsami, jilid 5, halaman 190…
[2] Seratus Satu Perdebatan, Muhammad Muhammadi Isytihardi, halaman 276.
_______________________________________
Benarkah wasiat Nabi Muhammad Saw Al-Qur'an dan Sunnah?
Hadis Tsaqalain Dengan Redaksi Khalifataian (dua khalifah)
Hadis tsaqalain yang diriwayatkan dari Nabi saw mempunyai shighah atau redaksi yang lain yaitu “Khalifatain”, shighah ini telah diriwayatkan dalam kitab berikut:
1. Kitab Musnad Ahmad bin hanbal, jilid 35, halaman 456, hadis nomor 21578, cetakan Muassasah Ar-risalah, cetakan ke-dua tahun 1429 H/ 2008 M.
Muhaqiq Syuaib Arnauth
حَدَّثَنَا الْأَسْوَدُ بْنُ عَامِرٍ حَدَّثَنَا شَرِيكٌ عَنِ الرُّكَيْنِ عَنِ الْقَاسِمِ بْنِ حَسَّانَ عَنْ زَيْدِ بْنِ ثَابِتٍ قَالَ :قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِنِّي تَارِكٌ فِيكُمْ خَلِيفَتَيْنِ كِتَابُ اللَّهِ حَبْلٌ مَمْدُودٌ مَا بَيْنَ السَّمَاءِ وَالْأَرْضِأَوْ مَا بَيْنَ السَّمَاءِ إِلَى الْأَرْضِ وَعِتْرَتِي أَهْلُ بَيْتِي وَإِنَّهُمَا لَنْ يَتَفَرَّقَا حَتَّى يَرِدَا عَلَيَّ الْحَوْضَ
Telah menyampaikan kepada kami Al-aswad bin Amir dari Syarik dari Ar-rukaini dari Qasim bin Hisan dari Zaid bin Tsabit.
Rasulullah saw bersabda: “Sungguh telah aku tinggalkan untuk kalian Khalifatain (dua khalifah) yaitu kitabullah azza wajalla (Al-Qur’an) tali yang terbentang antara langit dan bumi, dan Itrahku Ahlul Baitku, sungguh keduanya tidak akan berpisah sampai keduanya menjumpaiku di telaga”.
Muhaqiq kitab berkata: “ini hadis sahih, karena banyaknya bukti-bukti”.
Sebagaimana Allah SWT berfirman dalam Qs. 3: 103.
“Dan berpeganglah kalian semuanya kepada Tali Allah, dan janganlah kalian bercerai berai”
Pada ayat diatas kita diperintahkan untuk berpegang kepada tali Allah, menunjukkan bahwa persoalan itu sangat penting dan wajib diikuti, yang kalau seandainya dilanggar maka tentu akan melahirkan sebuah sangsi yaitu pasti bercerai berai.
Yang menjadi persoalan adalah apa yang dimaksud Tali Allah dalam ayat diatas?
Jawabannya adalah Kitabullah (al-Quran) dan itrah Ahlul bait Nabi SAW,sebagaimana yang telah kita sebutkan pada riwayat diatas.
Riwayat yang sama juga terdapat dalam kitab berikut:
Kitab Fadhailus shohabat, jilid 2, halaman 747, nomor hadis 1032, cetakan Daru Ibnu Jauzi, cetakan ke- 4 tahun 1430 H, karangan Imam Ahmad bin hanbal.
Muhaqiq Washiyullah bin Muhammad Abbas
Pada catatan kaki kitab tersebut muhaqiq berkata: “sanadnya hasan li ghairihi”
* Kitab Majma’ Zawaid wa Manba’il Fawaid, jilid 1, halaman 413, nomor hadist 784, cetakan Darul Fikr tahun 2005 M/ 1425-1426 H, karya Ali bin abi bakar bin Sulaiman al-haitsami
Al-Haitsami berkata: “Hadis ini telah diriwayatkan oleh Thobrani dalam al-Kabir dan perawi-perawinya terpercaya”.
* Dalam kitab yang sama, jilid 9, halaman 256, hadis nomor 14957, cetakan yang sama.
Al-Haitsaimi berkata: “Hadis ini telah diriwayatkan oleh Ahmad dan sanadnya sempurna”.
4. Kitab Al-mu’jamul Kabir, jilid 3, halaman 276, nomor 4789, cetakan Darul Khutub Ilmiyah, cetakan pertama tahun 1428 H/ 2007 M, karya Athobrani Abul Qasim.
5. Kitab Jamius Shoghir, jilid 1, halaman 104, cetakan Darul Fikr, karya Jalaludin as-Suyuthiy as-Syafi’i
Setelah menukil riwayat yang sama (khalifatain) Suyuthi meletakkan huruf Shod dan Ha dalam tanda kurung yang artinya hadis tersebut “Shahih”.
* Dalam kitab yang sama, jilid. 2, halaman 544, hadis nomer 2631, cetakan yang berbeda.
Muhaqiq Hamdi ad-Damrodasy Muhammad”
Muhaqiq kitab berkata: “Shahih”
Hadis ini telah dikeluarkan oleh Ahmad dan Thobrani serta telah di sohihkan oleh al-bani dalam kitab sohihil jami’ dan lain-lain.
6. Kitab Jawahirul ‘Aqdain Fi Fadhli Syarifain Syariful Ilmil Jalil wan-Nasbin Nabawi, halaman 236, cetakan Darul Kutub Ilmiyah, cetakan ke 2, tahun 1424 H/ 2003 M, Beirut-lebanon, karya as-Samhudi
Samhudi berkata: “(hadis ini) telah dikeluarkan oleh Thabrani dalam kitab Al-Kabir dan perawinya terpercaya, dan lafad hadisnya “Sesungguhnya telah aku tinggalkan untuk kalian khalifatain (dua khalifah)….dst.”
7. Kitab Sohih Jamius Soghir, jilid 1, halaman 482, hadis nomer 2457, cetakan al-maktabul islami, cetakan ke-3 tahun 1407 H/ 1988 M, karya Al-Bani
Al-Bani berkata: “sohih”
Kalau kita cermati semua referensi diatas tidak ada satu orang ulama pun yang mendhoifkan hadis Kitabullah wa Itrati dengan redaksi “Khalifatain”, bahkan semuanya mengatakan “sahih” atau “hasan li nafsihi” dan “hasan li ghairihi”.
Bahkan al-bani sendiri mengatakan “sohih” itu membuktikan bahwa perawi hadiskitabullah wa itrati dengan redaksi “Khalifatain” berada pada tingkat teratas dalam urutan hadis.
8. Kitab Ruhul Ma’ani Fi Tafsiril Quran Wa Sabul Matsani, jilid 12, halaman 24, cetakan Darul fikr, karangan allamah alusi.
Di penghujung Qs. Al- ahzab ayat 31-33:
يَقُوْلُ: وَأنْتَ تَعْلَمُ، أنَّ ظَاهِرَ مَا صَحَّ،مِنْ قَوْلِهِ إنِّي تَارِكٌ فِيْكُمْ خَلِيْفَتَيْنِ، وَفِي رِوَايَةٍ الثَّقَلَيْنِ، كِتَابُ اللهِ حَبْلٌ مَمْدُوْدٌ مَا بَيْنَ السَّمَاءِ وَالأرْضِ وَعِتْرَتِي أهْلِ بَيْتِي وَإنَّهُمَا لَنْ يَفْتَرِقًا حَتَّى يَرِدَا عَلَيَّ الْحَوْضِ، يَقْتَضِي أنَّ النِّساَءِ الْمُطَهَرَاتِ،(- يَعْنِي نِسَاءِ النَّبِي-)غَيْرَ دَاخِلاَتٍ فِي أَهْلِ الْبَيْتِ.
Alusi mengatakan: “anda mengetahui bahwa sesungguhnya sangat jelas apa yang telah disahihkan dari sabda Nabi saw yang berbunyi “Sesungguhnya telah aku tinggalkan untuk kalian khalifatain (dua khalifah) dan dalam riwayat lain berbunyi “Tsaqolain” yaitu kitabullah (al-Quran) tali yang terbentang antara langit dan bumi, dan itrahku ahlul baitku, sungguh keduanya tidak akan pernah berpisah hingga keduanya menjumpaiku di telaga, beliau menegaskan bahwa istri nabi suci itu tidak termasuk ke dalam Ahlul bait”
ثُمَّ يَقُوْلُ:…الَّذِيْنَ هُمْ أحَدُ الثَّقَلَيْنِ لأنَّ عِتْرَةَ الرَّجُل كَمَا فِي الصَّحَّاحِ نَسْلُهُ وَرَهْطُهُ الأدْنُوْنَ فَأهْلُ بَيْتِي فِي الْحَدِيْثِ الظَّاهِرِ أنَّهُ بَيَانٌ لَهُ (- بَيَانٌ لِلْعِتْرَةِ-) أَوْ بَدَلٌ مِنْهُ بَدَلٌ كُلِّ مِنْ كُلِّ، وَعَلَى التَّقْدِيْرَيْنِ يَكُوْنُ مُتَّحِداً مَعَهُ فَحَيْثُ لَمْ تَدْخُلِ النِّسَاءِ فِي الأوَّلِ (فِي الْعِتْرَةِ) لَمْ تَدْخُلِ النِّسَاءِ فِي الثَّانِي )أهْلُ الْبَيْتِ (
Selanjutnya alusi berkata: “mereka adalah salah satu dari tsaqolain, karena “itroh” seseorang sebagaimana dijelaskan dalam kitab sohih adalah keturunan dan nasab yang terdekat -artiya tidak ada hubungannya dengan istri- maka kata “Ahlu Baiti” dalam hadis tersebut jelas menerangkan “Itrah”, atau sebagai kata pengganti yang menggantikan makna seluruh (keluarga) dengan dua istilah menjadi satu (artinya ahlul bait itu itrah dan itrah itu adalah ahlul bait) dimana istri tidak termasuk yang pertama (yaitu itrah) dan juga tidak termasuk yang kedua (yaitu ahlul bait).
Inilah diantara ke-khususan hadis tsaqolain atau Khalifatain, yang di dalamnya Nabi saw tidak hanya menggunakan kalimat “Ahla Baiti” saja, namun menggunakan kalimat “itroti ahli baiti” yang dengan kalimat tersebut Nabi SAW menjelaskan bahwa yang dimaksud Ahlul Bait adalah Itrah dan Itrah adalah Ahlul Bait, dua istilah yang bermakna satu.
Shighah atau redaksi kedua ini (khalifatain) memamang difokuskan pada kalimat:“Sesungguhnya telah aku tinggalkan kepada kalian khalifatain(dua khalifah)”.
9. Kitab Al-Sunnah, halaman 352, hadis nomer 1593 dan 1594, cetakan Daru Ibnu Hazm, cetakan pertama, tahun 1424 H/ 2004 M; Karya Imam Abubakar Ahmad bin Umar bin Abu ‘Ashim, lahir tahun 206 – 287 H/ 822 – 900 M.
قَالَ عَنْ أبِي شَيْبَة حَدَثَنَا شَرِيْك عَنِ الرُّكَيْنِ عَنِ الْقَاسِمِ بْنِ حَسَانِ عَنْ زَيْدِ بْنِ ثَابِتْ يَرْفَعُهُ قَالَ: إنِّي قَدْ تَرَكْتُ فِيْكُمُ الْخَلِيْفَتَيْنِ بَعْدِي : كِتَابَ الله وَعِتْرَتِي أَهْلَ بَيْتِي وَأِنَّهُمَا لَنْ يَتَّفَرَّقَا حَتَّى يَرِدَا عَلَيَّ الْحَوْض
Riwayat pertama: hadits nomer 1593
Dari Abu Syaibah dari Syarik dari Rukain dari Qasim bin Hisan dari Zaid bin Tsabit langsung dari Rasulullah saw yang bersabda:
“Sesungguhnya telah aku tinggalkan untuk kalian khalifatain (dua khalifah) sepeninggalku; yaitu Kitabullah dan ‘Itrahku Ahlul Baitku, sungguh keduanya tidak akan pernah berpisah hingga keduanya menjumpaiku di telaga”
قَالَ عَنْ أبِي شَيْبَة حَدَثَنَا شَرِيْك عَنِ الرُّكَيْنِ عَنِ الْقَاسِمِ بْنِ حَسَانِ عَنْ زَيْدِ بْنِ ثَابِتْ يَرْفَعُهُ
قَالَ: إنِّي تَرَكْتُ فِيْكُمُ الْخَلِيْفَتَيْنِ مِنْ بَعْدِي : كِتَابَ الله وَعِتْرَتِي أَهْلَ بَيْتِي وَأِنَّهُمَا لَنْ يَتَّفَرَّقَا حَتَّى يَرِدَا عَلَيَّ الْحَوْض
Riwayat ke dua, hadits 1594:
Dari Abi Syaibah dari Syarik dari Rukain dari Qasim bin Hisan dari Zaid bin Tsabit langsung dari Rasulullah saw yang bersabda:
“Sesungguhnya telah aku tinggalkan untuk kalian khalifatain (dua khalifah) sepeninggalku (min ba’di); yaitu kitabullah dan ‘Itrahku Ahlul Baitku, sungguh keduanya tidak akan pernah berpisah hingga keduanya menjumpaiku di telaga”
*Dalam kitab yang sama, cetakan berbeda yang ditahqiq dan dikeluarkan hadis-hadisnya oleh Ustadz DR Basim bin Faisal al-Jawabrah, dosen hadis pada Fakultas Ushuluddin Universitas Imam Muhammad bin Su’ud al-Islamiyah, Riyadh, cetakan Darush Shumai’i, cetakan ke-3, tahun 1426 H/ 2005 M”
Dalam catatan kaki Muhaqiq kitab berkata: “Sanadnya hasan” diantara sanadnya ada Syarik bin Abdullah Shaduq dan Qasim bin Hisan”.
Kalau demikian hadits tsaqolain dengan redaksi “Khalifatain” bukan hadis dha’if,sedangkan penjelasan tentang sosok perawinya yakni Syarik dan Qasim akan kita jelaskan dalam pembahasan yang akan datang.
Sejauh ini riwayat diatas sama dengan riwayat sebelumnya, namun ada sedikit tambahan kalimat “min ba’di” didalamnya yang artinya “sepeninggalku”, dimana tambahan kalimat tersebut mempunyai makna yang sangat penting yang memberikan isyarat bahwa Nabi SAW telah menyiapkan khalifah setelah beliau tiada.
Meskipun kata “Khalifah” sebenarnya sudah cukup mewakili isyarat tersebut, karena arti khalifah adalah orang yang menggantikan posisi orang lain setelah orang itu meninggal dunia, karena itu Nabi saw bersabda: “Sesungguhnya telah aku tinggalkan untuk kalian khalifatain sepeninggalku….”
Sebagian ulama bahkan berusaha menghubungkan hadis ini dengan hadis“manzilah” yang berbunyi “kedudukanmu di sisiku sebagaimana kedudukan Harun di sisi Musa” dan mereka mengatakan bahwa hadis ini berlaku pada saat Rasulullah masih hidup bukan setelah beliau meninggal dunia, Sebagaimana kita ketahui bahwa Nabi Harun menggantikan posisi Nabi Musa disaat dia masih hidup.
Kalau pengertiannya seperti itu, maka kita akan bertanya kepada mereka: “Bagaimana dengan ucapan Rasulullah yang berbunyi “sepeninggalku” ?
10. Istijlab Irtiqa’ al-Ghuraf bihubbi Aqriba’ ar-Rasul wa Dzawi al-Syaraf, halaman 68 , Daruz Zaman, cetakan pertama, 1424 H/ 2003 M. karya alhafidz as-sakhawi, wafat tahun 902 H/ 1496 M.
Dikitab yang sama, jilid 1, halaman 351, no hadis 74, cetakan Dar al-Basyair al-Islamiyah, tahun 1420 H/ 1999 M
Yang ditahqiq dan dipelajari oleh Khalid bin Ahmad Babthin, aslinya kitab ini adalah risalah magister yang diajukan sang peneliti kepada Universitas Ummul Qura’ di Mekah al-Mukarramah dan telah diberikan ijazah dengan nilai istimewa dengan rekomendasi untuk dicetak”
Khalid Babthin berkata: “Sanadnya hasan dengan berbagai bukti, telah dikeluarkan oleh Ahmad dan ‘Abdu bin Hamid dalam Musnad-nya pada hadis nomor 240”
“Ibnu Abi Syaibah dalam al-Mushannaf”
“Thabrani dalam al-Kabir”
“Ibnu Abi ‘Ashim dalam al-Sunnah”
“Al-Fassawi dalam al-Ma’rifah wa al-Tarikh”
“Ibnu al-Anbari sebagaimana al-Muttaqi menisbatkannya dalam Kanzul ‘Ummal yang semuanya dari jalur Syarik dari Rukain bin Rabi’ dari Qasim bin Hisan dari Zaid bin Tsabit r.a langsung dari Rasulullah saw”
11. Al-Mushannaf, jilid 6 halaman 309, no hadis 31679; cetakan maktabah al-Zaman, cetakan pertama tahun 1409 H/1989 M. karya Al-Imam Al-Hafizh Abubakar Abdullah bin Abi Syaibah, lahir tahun 159-235 H/ 776-850 M
12. Musnad Ibnu Abi Syaibah, jilid 1 halaman 143 (maktabah syamilah); karya Imam al-Hafizh Abubakar Abdullah bin Abi Syaibah; lahir tahun 159-235 H/ 776-850 M :
yang ditahqiq oleh ‘Adil bin Yusuf al-’Azazi, Ahmad bin Farid al-Mazidi, cetakan Darul Wathan linnasyri, Riyadh, cetakan pertama tahun 1418 H :
أَبُوْ دَاوُد عُمَر بن سَعَد، عَنْ شَرِيْك، عَنِ الرَّكِيْنِ، عَنِ الْقَاسِمِ بْنِ حَسَانِ، عَنْ زَيْد بِنْ ثَابِتْ، يَرْفَعُهُ، قَالَ (ص) : إنِّي تَرَكْتُ فِيْكُمُ الْخَلِيْفَتَيْنِ كَامِلَتَيْنِ كِتَابَ الله وَعِتْرَتيِ وَإنَّهُمَا لَنْ يَتَّفَرَّقَا حَتىَّ يَرِدَا عَلَيَّ الْحَوْض
Abu Dawud Umar bin Sa’ad dari Syarik dari Rukain dari Qasim bin Hisan dari Zaid bin Tsabit langsung dari Rasulullah saw yang bersabda:
“Sesungguhnya telah aku tinggalkan untuk kalian khalifatain Kamilatain (dua khalifah yang sempurna) yaitu Kitabullah dan ‘Itrahku, sungguh keduanya tidak akan pernah berpisah hingga keduanya menjumpaiku di telaga”
* Dalam kitab yang sama, jilid 1, halaman 108, cetakan Darul Wathan linnasyri, Riyadh, cetakan pertama tahun 1418 H/ 1997 M.
Muhaqiq ‘Adil bin Yusuf al-’Azazi, dan Ahmad bin Farid al-Mazidi”
Muhaqiq kitab berkata: “sanadnya dha’if dan hadisnya shahih”.
Pada riwayat ini ada tambahan kalimat “Kamilatain” yang tidak terdapat dalam riwayat-riwayat sebelumnya, dengan demikian riwayat atau hadis tsaqolain dengan redaksi “Khalifatain” terdapat dua kalimat yang sangat penting, pertama kalimat“min ba’di (sepeninggalku)” dan kedua kalimat “Kamilatain (dua yang sempurna)”.
Pada akhir pembahasan muhaqiq kitab mengatakan: “hadis ini shahih karena banyaknya bukti-bukti akan kesahihannya, untuk lebih jelasnya silahkan lihat kitab Silsilahus shahihah karya al-Bani.
Jika demikian semua referensi ini ketika kita cocokkan dengan referensi sebelumnya, menegaskan kepada kita bahwa kalimat “khalifatain min ba’di (dua khalifah sepeninggalku)” dan “khalifatain kamilatain (dua khalifah yang sempurna)”bukan kalimat tambahan, akan tetapi memang diriwayatkan dari Rasul saw.
Yang aneh mengapa mereka mengatakan bahwa hadis ini dha’if, padahal hadis tersebut shahih karena banyaknya bukti-bukti dan dalil-dalil yang menunjukkan akan ke-sahihannya?
Jawabnya tidak lain karena didalam hadis atau riwayat ini terdapat ada dua figur yang dipersoalkan yaitu Syarik bin Abdullah An-Nakha’i dan Qasim bin Hisan yang kedua pribadi itu akan kita jelaskan pada kesempatan yang akan datang.
Satu lagi yang sangat mengerankan kita ternyata masih ada seorang ulama zaman ini yang coba mengaburkan kandungan hadis Tsaqolain sebut saja namanya Abi Abdillah Mustofa bin Adwi salah seorang ulama WAHABI yang mengarang Kitab Sohih Musnad Min Fadhoili Sohabat, cetakan daru ibnu affan, al-mamlakah al-arabiyah as-saudiyah, cetakan pertama tahun 1419 H/ 1998 M.
Pengarang kitab mengatakan dalam pendahuluan kitabnya di halaman 10:
“saya sudah coba berusaha mengumpulkan dalam kitab ini (hadis-hadis) yang sanadnya sahih saja”.
Namun pada halaman 248, coba anda perhatikan pernyataannya ini!
حَثُّ رَسُوْلِ الله (ص) عَلَى اتِّبَاعِ الصَّالِحِيْنَ مِنْ أهْلِ الْبَيْتِ
Pengarang menamakan babnya “Rasulullah saw telah menggalakkan untuk mengikuti orang-orang sholeh dari kalangan ahlul bait” pada kitabnya kemudian menukil riwayat berikut:
Dari zaid bin tsabit yang berkata bahwa Rasulullah saw bersabda : “ sesungguhnya telah aku tinggalkan untuk kalian khalifatain (dua khalifah) yaitu kitabullah dan ahlul baitku, sungguh keduanya tidak akan pernah berpisah hingga keduanya menjumpaiku di telaga bersama-sama”.
(hadis ini) sohih lighoirihi.
Dari mana datangnya kalimat sholihin dan ahlul bait beriringan dengan teks Ahlul bait atau Itrah, secara tidak langsung pengarang kitab berusaha ingin merubah kandungan hadis tsaqalain, sehingga makna dan kandungannya lebih luas, pada dasarnya untuk menjauhkan dan mengaburkan kandungan hadis tsaqolain dari itrah dan ahlul bait.
Seperti inilah PRIBADI ulama WAHABI yaitu Abi Abdillah Mustofa bin Adwi dalam menyikapi hadis tsaqolain yang jelas-jelas sudah disepakati kesahihannya oleh banyak kalangan ulama muslimin
Peninggalan Rasulullah SAW adalah Al Quran dan Ahlul Bait as
Sebelum wafatnya Al Imam Rasulullah SAW (Selawat dan salam ke atas Beliau SAW dan Keluarga suciNya as), baginda SAW telah meninngalkan Ats Tsaqalain, yang mana berpegang pada keduanya tidak akan sesat iaitu Kitabullah Al Quranul Karim dan Itrahnya Ahlul Bait Rasul as. Baginda SAW mengingatkan bahwa Al Quranul Karim dan Itrah Ahlul Bait Rasul as akan selalu bersama dan tidak akan berpisah sampai hari kiamat dan bertemu Rasulullah SAW di Telaga Kautsar Al Haudh.
Peninggalan Rasulullah SAW itu telah diriwayatkan dalam banyak hadis dengan sanad yang berbeda dan shahih dalam kitab-kitab hadis. Diantara kitab-kitab hadis itu adalah Shahih Muslim, Sunan Ad Darimi, Sunan Tirmidzi, Musnad Abu Ya’la, Musnad Al Bazzar, Mu’jam At Thabrani, Musnad Ahmad bin Hanbal, Shahih Ibnu Khuzaimah, Mustadrak Ash Shahihain, Majma Az Zawaid Al Haitsami, Jami’As Saghir As Suyuthi dan Al Kanz al Ummal. Dalam Tulisan ini akan dituliskan beberapa hadis Tsaqalain yang shahih dalam Shahih Muslim, Mustadrak Ash Shahihain, Sunan Tirmidzi dan Musnad Ahmad bin Hanbal.
1. Hadis riwayat Imam Muslim dalam Shahih Muslim juz II hal 279 bab Fadhail Ali
Muslim meriwayatkan telah menceritakan kepada kami Zuhair bin Harb dan Shuja’ bin Makhlad dari Ulayyah yang berkata Zuhair berkata telah menceritakan kepada kami Ismail bin Ibrahim dari Abu Hayyan dari Yazid bin Hayyan yang berkata ”Aku, Husain bin Sabrah dan Umar bin Muslim pergi menemui Zaid bin Arqam. Setelah kami duduk bersamanya berkata Husain kepada Zaid ”Wahai Zaid sungguh engkau telah mendapat banyak kebaikan. Engkau telah melihat Rasulullah SAW, mendengarkan hadisnya, berperang bersamanya dan shalat di belakangnya. Sungguh engkau mendapat banyak kebaikan wahai Zaid. Coba ceritakan kepadaku apa yang kamu dengar dari Rasulullah SAW. Berkata Zaid “Hai anak saudaraku, aku sudah tua, ajalku hampir tiba, dan aku sudah lupa akan sebagian yang aku dapat dari Rasulullah SAW. Apa yang kuceritakan kepadamu terimalah,dan apa yang tidak kusampaikan janganlah kamu memaksaku untuk memberikannya.
Lalu Zaid berkata ”pada suatu hari Rasulullah SAW berdiri di hadapan kami di sebuah tempat yang bernama Ghadir Khum seraya berpidato, maka Beliau SAW memanjatkan puja dan puji atas Allah SWT, menyampaikan nasehat dan peringatan. Kemudian Beliau SAW bersabda “Ketahuilah wahai manusia sesungguhnya aku hanya seorang manusia. Aku merasa bahwa utusan Tuhanku (malaikat maut) akan segera datang dan Aku akan memenuhi panggilan itu. DanAku tinggalkan padamu dua pusaka (Ats-Tsaqalain). Yang pertama Kitabullah (Al-Quran) di dalamnya terdapat petunjuk dan cahaya,maka berpegang teguhlah dengan Kitabullah”. Kemudian Beliau melanjutkan, “dan Ahlul Bait-Ku, kuperingatkan kalian kepada Allah akan Ahlul Bait-Ku, kuperingatkan kalian kepada Allah akan Ahlul Bait-Ku, kuperingatkan kalian kepada Allah akan Ahlul Bait-Ku”.
Lalu Husain bertanya kepada Zaid ”Hai Zaid siapa gerangan Ahlul Bait itu? Tidakkah istri-istri Nabi termasuk Ahlul Bait? Jawabnya “Istri-istri Nabi termasuk Ahlul Bait. Tetapi yang dimaksud Ahlul Bait disini adalah orang yang tidak diperkenankan menerima sedekah setelah wafat Nabi SAW”, Husain bertanya “Siapa mereka?”.Jawab Zaid ”Mereka adalah Keluarga Ali, Keluarga Aqil, Keluarga Ja’far dan Keluarga Ibnu Abbes”. Apakah mereka semua diharamkan menerima sedekah (zakat)?” tanya Husain; “Ya”, jawabnya.
Hadis di atas terdapat dalam Shahih Muslim, perlu dinyatakan bahwa yang menjadi pesan Rasulullah SAW itu adalah sampai perkataan “kuperingatkan kalian kepada Allah akan Ahlul Bait-Ku” sedangkan yang selanjutnya adalah percakapan Husain dan Zaid perihal Siapa Ahlul Bait. Yang menarik bahwa dalam Shahih Muslim di bab yang sama Fadhail Ali, Muslim juga meriwayatkan hadis Tsaqalain yang lain dari Zaid bin Arqam dengan tambahan percakapan yang menyatakan bahwa Istri-istri Nabi tidak termasuk Ahlul Bait, berikut kutipannya:
“Kami berkata “Siapa Ahlul Bait? Apakah istri-istri Nabi? Kemudian Zaid menjawab ”Tidak, Demi Allah, seorang wanita (istri) hidup dengan suaminya dalam masa tertentu jika suaminya menceraikannya dia akan kembali ke orang tua dan kaumnya. Ahlul Bait Nabi adalah keturunannya yang diharamkan untuk menerima sedekah”.
2. Hadis shahih dalam Mustadrak As Shahihain Al Hakim juz III hal 148;
Al Hakim meriwayatkan telah menceritakan kepada kami seorang faqih dari Ray Abu Bakar Muhammad bin Husain bin Muslim, yang mendengar dari Muhammad bin Ayub yang mendengar dari Yahya bin Mughirah al Sa’di yang mendengar dari Jarir bin Abdul Hamid dari Hasan bin Abdullah An Nakha’i dari Muslim bin Shubayh dari Zaid bin Arqam yang berkata bahwa Rasulullah SAW bersabda. “Kutinggalkan kepadamu dua peninggalan (Ats Tsaqalain), kitab Allah dan Ahlul BaitKu. Sesungguhnya keduanya tak akan berpisah, sampai keduanya kembali kepadaKu di Al Haudh“
Al Hakim menyatakan dalam Al Mustadrak As Shahihain bahwa sanad hadis ini shahih berdasarkan syarat Bukhari dan Muslim.
3. Hadis shahih dalam kitab Mustadrak As Shahihain Al Hakim, Juz III hal 109.
Al Hakim meriwayatkan telah menceritakan kepada kami Abu Husain Muhammad bin Ahmad bin Tamim Al Hanzali di Baghdad yang mendengar dari Abu Qallabah Abdul Malik bin Muhammad Ar Raqqasyi yang mendengar dari Yahya bin Hammad; juga telah menceritakan kepada kami Abu Bakar Muhammad bin Balawaih dan Abu Bakar Ahmad bin Ja’far Al Bazzaz, yang keduanya mendengar dari Abdullah bin Ahmad bin Hanbal yang mendengar dari ayahnya yang mendengar dari Yahya bin Hammad; dan juga telah menceritakan kepada kami Faqih dari Bukhara Abu Nasr Ahmad bin Suhayl yang mendengar dari Hafiz Baghdad Shalih bin Muhammad yang mendengar dari Khallaf bin Salim Al Makhrami yang mendengar dari Yahya bin Hammad yang mendengar dari Abu Awanah dari Sulaiman Al A’masy yang berkata telah mendengar dari Habib bin Abi Tsabit dari Abu Tufail dari Zaid bin Arqam ra yang berkata:
“Rasulullah SAW ketika dalam perjalanan kembali dari haji wada berhenti di Ghadir Khum dan memerintahkan untuk membersihkan tanah di bawah pohon-pohon. Kemudian Beliau SAW bersabda” Kurasa seakan-akan aku segera akan dipanggil (Allah), dan segera pula memenuhi panggilan itu, Maka sesungguhnya aku meninggalkan kepadamu Ats Tsaqalain(dua peninggalan yang berat). Yang satu lebih besar (lebih agung) dari yang kedua : Yaitu kitab Allah dan Itrahku. Jagalah Baik-baik dan berhati-hatilah dalam perlakuanmu tehadap kedua peninggalanKu itu, sebab Keduanya takkan berpisah sehingga berkumpul kembali denganKu di Al Haudh. Kemudian Beliau SAW berkata lagi:“Sesungguhnya Allah Azza Wa Jalla adalah maulaku, dan aku adalah maula setiap Mu’min. Lalu Beliau SAW mengangkat tangan Ali Bin Abi Thalib sambil bersabda : Barangsiapa yang menganggap aku sebagai maulanya, maka dia ini (Ali bin Abni Thalib) adalah juga maula baginya. Ya Allah, cintailah siapa yang mencintainya, dan musuhilah siapa yang memusuhinya“
Al Hakim telah menyatakan dalam Al Mustadrak As Shahihain bahwa hadis ini shahih sesuai dengan persyaratan Bukhari dan Muslim.
4. Hadis shahih dalam kitab Mustadrak As Shahihain Al Hakim, Juz III hal 110.
Al Hakim meriwayatkan telah menceritakan kepada kami Abu Bakar bin Ishaq dan Da’laj bin Ahmad Al Sijzi yang keduanya mendengar dari Muhammad bin Ayub yang mendengar dari Azraq bin Ali yang mendengar dari Hasan bin Ibrahim Al Kirmani yang mendengar dari Muhammad bin Salamah bin Kuhail dari Ayahnya dari Abu Tufail dari Ibnu Wathilah yang mendengar dari Zaid bin Arqam ra yang berkata “Rasulullah SAW berhenti di suatu tempat di antara Mekkah dan Madinah di dekat pohon-pohon yang teduh dan orang-orang membersihkan tanah di bawah pohon-pohon tersebut. Kemudian Rasulullah SAW mendirikan shalat, setelah itu Beliau SAW berbicara kepada orang-orang. Beliau memuji dan mengagungkan Allah SWT, memberikan nasehat dan mengingatkan kami. Kemudian Beliau SAW berkata” Wahai manusia, Aku tinggalkan kepadamu dua hal atau perkara, yang apabila kamu mengikuti dan berpegang teguh pada keduanya maka kamu tidak akan tersesat yaitu Kitab Allah (Al Quranul Karim) dan Ahlul BaitKu, ItrahKu. Kemudian Beliau SAW berkata tiga kali “Bukankah Aku ini lebih berhak terhadap kaum muslimin dibanding diri mereka sendiri.. Orang-orang menjawab “Ya”. Kemudian Rasulullah SAW berkata” Barangsiapa yang menganggap aku sebagai maulanya, maka Ali adalah juga maulanya.
Al Hakim telah menyatakan dalam Al Mustadrak As Shahihain bahwa hadis ini shahih sesuai dengan persyaratan Bukhari dan Muslim.
5. Hadis dalam Musnad Ahmad jilid V hal 189
Abdullah meriwayatkan dari Ayahnya,dari Ahmad Zubairi dari Syarik dari Rukayn dari Qasim bin Hishan dari Zaid bin Tsabit ra, Ia berkata bahwa Rasulullah SAW bersabda “Sesungguhnya Aku meninggalkan dua khalifah bagimu, Kitabullah dan Ahlul BaitKu. Keduanya tidak akan berpisah hingga keduanya datang ke telaga Al Haudh bersama-sama”.
Hadis di atas diriwayatkan dari Abdullah bin Ahmad bin Hanbal dari ayahnya Ahmad bin Hanbal, keduanya sudah dikenal tsiqat di kalangan ulama, Ahmad Zubairi. Beliau adalah Muhammad bin Abdullah Abu Ahmad Al Zubairi Al Habbal telah dinyatakan tsiqat oleh Yahya bin Muin dan Al Ajili.
Syarik bin Abdullah bin Sinan adalah salah satu Rijal Muslim, Yahya bin Main berkata “Syuraik itu jujur dan tsiqat”. Ahmad bin Hanbal dan Ajili menyatakan Syuraik tsiqat. Ibnu Ya’qub bin Syaiban berkata” Syuraik jujur dan tsiqat tapi jelek hafalannya”. Ibnu Abi Hatim berkata” hadis Syuraik dapat dijadikan hujjah”. Ibnu Saad berkata” Syuraik tsiqat, terpercaya tapi sering salah”.An Nasai berkata ”tak ada yang perlu dirisaukan dengannya”. Ahmad bin Adiy berkata “kebanyakan hadis Syuraik adalah shahih”.(Mizan Al Itidal adz Dzahabi jilid 2 hal 270 dan Tahdzib At Tahdzib Ibnu Hajar jilid 4 hal 333).
Rukayn (Raqin) bin Rabi’Abul Rabi’ Al Fazari adalah perawi yang tsiqat .Beliau dinyatakan tsiqat oleh Ahmad bin Hanbal, An Nasai, Yahya bin Main, Ibnu Hajar dan juga dinyatakan tsiqat oleh Ibnu Hibban dalam kitab Ats Tsiqat Ibnu Hibban.
Qasim bin Hishan adalah perawi yang tsiqah. Ahmad bin Saleh menyatakan Qasim tsiqah. Ibnu Hibban menyatakan bahwa Qasim termasuk dalam kelompok tabiin yang tsiqah. Dalam Majma Az Zawaid ,Al Haitsami menyatakan tsiqah kepada Qasim bin Hishan. Adz Dzahabi dan Al Munziri menukil dari Bukhari bahwa hadis Qasim itu mungkar dan tidak shahih. Tetapi Hal ini telah dibantah oleh Ahmad Syakir dalam Musnad Ahmad jilid V,beliau berkata”Saya tidak mengerti apa sumber penukilan Al Munziri dari Bukhari tentang Qasim bin Hishan itu. Sebab dalam Tarikh Al Kabir Bukhari tidak menjelaskan biografi Qasim demikian juga dalam kitab Adh Dhu’afa. Saya khawatir bahwa Al Munziri berkhayal dengan menisbatkan hal itu kepada Al Bukhari”. Oleh karena itu Syaikh Ahmad Syakir menguatkannya sebagai seorang yang tsiqah dalam Syarh Musnad Ahmad.
Jadi hadis dalam Musnad Ahmad diatas adalah hadis yang shahih karena telah diriwayatkan oleh perawi-perawi yang dikenal tsiqah.
6. Hadis dalam Musnad Ahmad jilid V hal 181-182
Riwayat dari Abdullah dari Ayahnya dari Aswad bin ‘Amir, dari Syarik dari Rukayn dari Qasim bin Hishan, dari Zaid bin Tsabit, Ia berkata bahwa Rasulullah SAW bersabda”Sesungguhnya Aku meninggalkan dua khalifah bagimu Kitabullah, tali panjang yang terentang antara langit dan bumi atau diantara langit dan bumi dan Itrati Ahlul BaitKu. Dan Keduanya tidak akan terpisah sampai datang ke telaga Al Haudh”
Hadis di atas diriwayatkan dari Abdullah bin Ahmad bin Hanbal dari ayahnya Ahmad bin Hanbal, Semua perawi hadis Musnad Ahmad di atas telah dijelaskan sebelumnya kecuali Aswad bin Amir Shadhan Al Wasithi. Beliau adalah salah satu Rijal atau perawi Bukhari Muslim. Al Qaisarani telah menyebutkannya di antara perawi-perawi Bukhari Muslim dalam kitabnya Al Jam’u Baina Rijalisy Syaikhain. Selain itu Aswad bin Amir dinyatakan tsiqat oleh Ali bin Al Madini, Ibnu Hajar, As Suyuthi dan juga disebutkan oleh Ibnu Hibban dalam Kitabnya Ats Tsiqat Ibnu Hibban. Oleh karena itu hadis Musnad Ahmad di atas sanadnya shahih.
7. Hadis dalam Sunan Tirmidzi jilid 5 halaman 662 – 663
At Tirmidzi meriwayatkan telah bercerita kepada kami Ali bin Mundzir al-Kufi, telah bercerita kepada kami Muhammad bin Fudhail, telah bercerita kepada kami Al-A’masy, dari ‘Athiyyah, dari Abi Sa’id dan Al-A’masy, dari Habib bin Abi Tsabit, dari Zaid bin Arqam yang berkata, ‘Rasulullah saw telah bersabda, ‘Sesungguhnya aku tinggalkan padamu sesuatu yang jika kamu berpegang teguh kepadanya niscaya kamu tidak akan tersesat sepeninggalku, yang mana yang satunya lebih besar dari yang lainnya, yaitu Kitab Allah, yang merupakan tali penghubung antara langit dan bumi, dan ‘itrah Ahlul BaitKu. Keduanya tidak akan pernah berpisah sehingga datang menemuiku di telaga. Maka perhatikanlah aku dengan apa yang kamu laksanakan kepadaku dalam keduanya”
Dalam Tahdzib at Tahdzib jilid 7 hal 386 dan Mizan Al I’tidal jilid 3 hal 157, Ali bin Mundzir telah dinyatakan tsiqat oleh banyak ulama seperti Ibnu Abi Hatim,Ibnu Namir,Imam Sha’sha’i dan lain-lain,walaupun Ali bin Mundzir dikenal sebagai seorang syiah. Mengenai hal ini Mahmud Az Za’by dalam bukunya Sunni yang Sunni hal 71 menyatakan tentang Ali bin Mundzir ini “para ulama telah menyatakan ketsiqatan Ali bin Mundzir. Padahal mereka tahu bahwa Ali adalah syiah. Ini harus dipahami bahwa syiah yang dimaksud disini adalah syiah yang tidak merusak sifat keadilan perawi dengan catatan tidak berlebih-lebihan. Artinya ia hanya berpihak kepada Ali bin Abu Thalib dalam pertikaiannya melawan Muawiyah. Tidak lebih dari itu. Inilah pengertian tasyayyu menurut ulama sunni. Karena itu Ashabus Sunan meriwayatkan dan berhujjah dengan hadis Ali bin Mundzir”.
Muhammad bin Fudhail,dalam Hadi As Sari jilid 2 hal 210,Tahdzib at Tahdzib jilid 9 hal 405 dan Mizan al Itidal jilid 4 hal 9 didapat keterangan tentang beliau. Ahmad berkata”Ia berpihak kepada Ali, tasyayyu. Hadisnya baik” Yahya bin Muin menyatakan Muhammad bin Fudhail adalah tsiqat. Abu Zara’ah berkata”ia jujur dan ahli Ilmu”.Menurut Abu Hatim,Muhammad bin Fudhail adalah seorang guru.Nasai tidak melihat sesuatu yang membahayakan dalam hadis Muhammad bin Fudhail. Menurut Abu Dawud ia seorang syiah yang militan. Ibnu Hibban menyebutkan dia didalam Ats Tsiqat seraya berkata”Ibnu Fudhail pendukung Ali yang berlebih-lebihan”Ibnu Saad berkata”Ia tsiqat,jujur dan banyak memiliki hadis.Ia pendukung Ali”. Menurut Ajli,Ibnu Fudhail orang kufah yang tsiqat tetapi syiah. Ali bin al Madini memandang Muhammad bin Fudhail sangat tsiqat dalam hadis. Daruquthni juga menyatakan Muhammad bin Fudhail sangat tsiqat dalam hadis.
Al A’masy atau Sulaiman bin Muhran Al Kahili Al Kufi Al A’masy adalah perawi Kutub As Sittah yang terkenal tsiqat dan ulama hadis sepakat tentang keadilan dan ketsiqatan Beliau..(Mizan Al Itidal adz Dzahabi jilid 2 hal 224 dan Tahdzib At Tahdzib Ibnu Hajar jilid 4 hal 222).Dalam hadis Sunan Tirmidzi di atas A’masy telah meriwayatkan melalui dua jalur yaitu dari Athiyyah dari Abu Said dan dari Habib bin Abi Tsabit dari Zaid bin Arqam.
Athiyyah bin Sa’ad al Junadah Al Awfi adalah tabiin yang dikenal dhaif. Menurut Adz Dzahabi Athiyyah adalah seorang tabiin yang dikenal dhaif ,Abu Hatim berkata hadisnya dhaif tapi bisa didaftar atau ditulis, An Nasai juga menyatakan Athiyyah termasuk kelompok orang yang dhaif, Abu Zara’ah juga memandangnya lemah. Menurut Abu Dawud Athiyyah tidak bisa dijadikan sandaran atau pegangan.Menurut Al Saji hadisnya tidak dapat dijadikan hujjah,Ia mengutamakan Ali ra dari semua sahabat Nabi yang lain. Salim Al Muradi menyatakan bahwa Athiyyah adalah seorang syiah. Abu Ahmad bin Adi berkata walaupun ia dhaif tetapi hadisnya dapat ditulis. Kebanyakan ulama memang memandang Athiyyah dhaif tetapi Ibnu Saad memandang Athiyyah tsiqat,dan berkata insya Allah ia mempunyai banyak hadis yang baik,sebagian orang tidak memandang hadisnya sebagai hujjah. Yahya bin Main ditanya tentang hadis Athiyyah ,ia menjawab “Bagus”.(Mizan Al ‘Itidal jilid 3 hal 79).
Habib bin Abi Tsabit Al Asadi Al Kahlili adalah Rijal Bukhari dan Muslim dan para ulama hadis telah sepakat akan keadilan dan ketsiqatan beliau, walaupun beliau juga dikenal sebagai mudallis (Tahdzib At Tahdzib jilid 2 hal 178). Jadi dari dua jalan dalam hadis Sunan Tirmidzi di atas, sanad Athiyyah semua perawinya tsiqat selain Athiyyah yang dikenal dhaif walaupun Beliau di ta’dilkan oleh Ibnu Saad dan Ibnu Main. Sedangkan sanad Habib semua perawinya tsiqat tetapi dalam hadis di atas A’masy dan Habib meriwayatkan dengan lafal ‘an (mu’an ‘an) padahal keduanya dikenal mudallis. Walaupun begitu banyak hal yang menguatkan sanad Habib ini sehingga hadisnya dinyatakan shahih yaitu:
1. Dalam kitab Mustadrak As Shahihain Al Hakim, Juz III hal 109 terdapat hadis tsaqalain yang menyatakan bahwa A’masy mendengar langsung dari Habib.(lihat hadis no 3 di atas). Sulaiman Al A’masy yang berkata telah mendengar dari Habib bin Abi Tsabit dari Abu Tufail dari Zaid bin Arqam ra. Dan hadis ini telah dinyatakan shahih oleh Al Hakim.
2. Syaikh Ahmad Syakir telah menshahihkan cukup banyak hadis dengan lafal’an dalam Musnad Ahmad salah satunya adalah hadis yang diriwayatkan dengan lafal ‘an oleh A’masyi dan Habib(A’masy dari Habib dari…salah seorang sahabat).
3 Hadis Sunan Tirmidzi ini telah dinyatakan hasan gharib oleh At Tirmidzi dan telah dinyatakan shahih oleh Syaikh Nashiruddin Al Albani dalam Shahih Sunan Turmudzi dan juga telah dinyatakan shahih oleh Hasan As Saqqaf dalam Shahih Sifat Shalat An Nabiy.
Semua hadis di atas menyatakan dengan jelas bahwa apa yang merupakan peninggalan Rasulullah SAW yang disebut Ats Tsaqalain (dua peninggalan) itu adalah Al Quran dan Ahlul Bait as. Sebagian orang ada yang menyatakan bahwa hadis itu tidak mengharuskan untuk berpegang teguh kepada Al Quran dan Ahlul Bait melainkan hanya berpegang teguh kepada Al Quran sedangkan tentang Ahlul Bait hadis itu mengingatkan bahwa kita harus menjaga hak-hak Ahlul Bait, mencintai dan menghormati Mereka. Sebagian orang tersebut telah berdalil dengan hadis Tsaqalain Shahih Muslim, Sunan Ad Darimi dan Musnad Ahmad yang memiliki redaksi kuperingatkan kalian akan Ahlul BaitKu, dan menyatakan bahwa dalam hadis tersebut tidak terdapat indikasi untuk berpegang teguh pada Ahlul Bait.
Terhadap pernyataan ini kami tidak sependapat dan dengan jelas kami menyatakan bahwa pendapat itu adalah tidak benar. Tentu saja sebagai seorang Muslim kita harus mencintai dan menghormati serta menjaga hak-hak Ahlul Bait tetapi hadis Tsaqalain jelas menyatakan keharusan berpegang teguh kepada Ahlul Bait dan hal ini telah ditetapkan dengan hadis-hadis yang shahih. Dalam hadis Tsaqalain Shahih Muslim, Sunan Ad Darimi dan Musnad Ahmad yang memiliki redaksi kuperingatkan kalian akan Ahlul BaitKu, juga tidak terdapat kata-kata yang menyatakan bahwa yang dimaksud itu adalah menjaga hak-hak Ahlul Bait, mencintai dan menghormati Mereka. Justru semua hadis ini harus dikumpulkan dengan hadis Tsaqalain yang lain yang memiliki redaksi berpegang teguh kepada Ahlul Bait atau redaksi Al Quran dan Ahlul Bait selalu bersama dan tidak akan berpisah. Dengan mengumpulkan semua hadis itu dapat diketahui bahwa peringatan Rasulullah SAW dalam kata-kata kuperingatkan kalian akan Ahlul BaitKu, tersebut adalah keharusan berpegang teguh kepada Ahlul Bait as.
Sebagian orang yang tersebut (Ibnu Taimiyah dalam Minhaj As Sunnah dan Ali As Salus dalam Imamah Wal Khilafah) telah menyatakan bahwa hadis–hadis yang memiliki redaksi berpegang teguh kepada Ahlul Bait atau redaksi Al Quran dan Ahlul Bait selalu bersama dan tidak akan berpisah adalah tidak shahih. Kami dengan jelas menyatakan bahwa hal ini tidaklah benar karena hadis tersebut adalah hadis yang shahih seperti yang telah kami nyatakan di atas dan cukup banyak ulama yang telah menguatkan kebenarannya. Cukuplah disini dinyatakan pendapat Syaikh Nashirudin Al Albani yang telah menyatakan shahihnya hadis Tsaqalain tersebut dalam kitab Shahih Sunan Tirmidzi, Shahih Jami’ As Saghir dan Silsilah Al Hadits Al Shahihah .
Bahwa Rasulullah SAW bersabda “Wahai manusia sesungguhnya Aku meninggalkan untuk kalian apa yang jika kalian berpegang kepadanya niscaya kalian tidak akan sesat ,Kitab Allah dan Itrati Ahlul BaitKu”.(Hadis riwayat Tirmidzi,Ahmad,Thabrani,Thahawi dan dishahihkan oleh Syaikh Nashiruddin Al Albany dalam kitabnya Silsilah Al Hadits Al Shahihah no 1761)
Siapakah Ulama yang mendhoifkan hadis Tsaqolain?
Pada bagian kedua, kami sudah sebutkan beberapa ulama yang mensahihkan hadis “TSAQOLAIN” yang berbunyi “Kitabullah wa itrati Ahlul Baiti”, diantara mereka adalah Thahawi, Nasa’i, Ibn Atsir, Zamakhsyari, Ibn Mandzur, Ibn Katsir, dan al-Hakim an-Naisaburi.
Namun amat disayangkan ternyata masih ada sebagian ulama yang mendhaifkan atau menganggap lemah hadis tersebut, sebut saja Syu’aib Arnaut yang konon dia mempunyai banyak karangan, bahkan termasuk muhaqiq kitab yang luas ilmu pengetahuannya, juga termasuk ulama yang dijadikan rujukan dalam ilmu jarh wa ta’dil yaitu salah satu bidang ilmu yang mengkaji tentang keadilan dan kecacatan seorang perawi hadis.
Sebagaimana kita dapati pernyataan syuaib arnaut seputar hadis tsaqalain dengan shighah atau teks “kitabullah wa itrati Ahlul Baiti” yang di dalamnya juga terdapat penggalan kalimat yang berbunyi “sungguh keduanya tidak akan pernah berpisah hingga keduanya menjumpaiku di telaga”, sekalipun hadis tersebut dari sisi sanadnya sahih dan dapat dijadikan sandaran, Syuaib arnaut tetap mengatakan: “ini dhaif dan penggalan hadis ini tidak bisa diterima”.
Untuk lebih jelasnya kita lihat dalam kitab berikut:
1. kitab musnad Imam Ahmad, jilid 17, halaman 170-176, cetakan muassasah ar-risalah, cetakan ke-2, tahun 2008 M/ 1429 H, Muhaqiq Syuaib Arnauth
Telah menyampaikan kepada kami Aswad bin Amir dari Abu Israil yakni Ismail bin Abi Ishak al-Mulaini dari athiyah dari Abi Said.
Rasul saw bersabda: “Sungguh telah aku tinggalkan untuk kalian tsaqalain, salah satu dari keduanya lebih besar dari pada yang lainnya, yaitu Kitabullah tali yang terbentang dari langit ke bumi dan Itrahku Ahlul Baitku, sungguh keduanya tidak akan pernah berpisah hingga keduanya menjumpaiku di telaga”.
Syuaib Arnaut berkata: ”Hadis sahih dengan banyaknya bukti, selain kalimat, ’sungguh keduanya tidak akan pernah berpisah hingga keduanya menjumpaiku di telaga’, ini sanadnya dhaif (lemah), karena dhaifnya athiyah aufi”.
Mengapa arnaut mengatakan hadis ini dhaif, sementara dia sendiri mengakui perawi atau rijalnya tsiqat (terpercaya) bahkan termasuk perawi atau rijal bukhari dan muslim. Apakah Persoalannya hanya karena sosok Athiyah Al-Aufi ? atau sebenarnya Syuab arnaut sangat memahami betapa pentingnya penggalan hadis ”lan yaftariqa- artinya keduanya tidak akan pernah berpisah-”, sehingga dia memaksakan diri untuk mendhaifkanya.
2. Dalam Kitab ilal al mutanahiyah fil ahadisil wahiyah, jilid 1, halaman 268-269, cetakan darul kutub ilmiyah, cetakan ke dua tahun 2003 M/1424 H, karya abi faraj Abdurrahman ibnul jauzi, lahir tahun 508-597 H/ 1114 – 1200 M.
Telah diserahkan oleh syaikh khalilimis, kepala universitas azhar libanon, yang diterbitkan oleh Muhammad ali Baidhun.
Al-Qudusi dari A’masy dari Athiyah dari Abi Said, Rasulullah saw telah bersabda: “Sungguh telah aku tinggalkan untuk kalian tsaqalain yaitu kitabullah dan itrahku, keduanya tidak akan berpisah hingga keduanya menjumpaiku di telaga, maka perhatikanlah oleh kalian, bagaimana kalian melanggarku mengenai keduanya”
Ibnul Jauzi mengatakan: “hadis ini tidak sahih”, karena athiyah [orang] yang telah didaifkan oleh ahmad dan yahya dan selainnya.
Ibn Abdil Qudus dan yahya berkata: “dia tidak bernilai sedikitpun, dan seorang rofidoh yang buruk”.
Sedangkan Abdullah bin Dhahir, Ahmad dan Yahya berkata: “dia tidak bernilai sedikitpun, dan manusia tidak ada yang mencatat kebaikan dari pribadinya”
Bagaimanakah Sosok Athiyah dalam Pandangan Ulama Muslimin?
1. Dalam kitab Tobaqatil Qubra, jilid 5, halaman 47-48, cetakan darul fikr, bairut, cet.pertama, 1994 M/ 1414 H, tentang biografi Athiyah Al-Aufi*
”athiyah bin Saad ibnu junadah al-aufi … adalah seorang yang tsiqah (dapat dipercaya) insya Allah, dia memiliki hadis-hadis yang baik, namun sebagian orang tidak menjadikannya hujjah”.
Mengapa sebagian manusia tidak menjadikannya hujjah ?, nanti kita akan mengatahuinya bersama-sama.
2. Dalam kitab Tarikh asmai tsiqat, halaman 233, cetakan al-faruq, cetakan pertama tahun 2009 M/ 1430 H, karangan al-ma’ruf ibn syahin al-wa’idh, wafat tahun 297-385 H,
Muhaqiq Abu Umar al-azhari : *
” Athiyah al-aufi…… ”laisa bihi ba’sa” ( tidak di tolak hadisnya),
3. Kitab Tauhid, Jilid 2, Halaman 852-853, bab. Dzikrul Akhbar Tsabitati Sanad, cetakan Maktabah Ar rusydi, cetakan ke-7, tahun 2008 M/ 1429 H, karya Muhammad bin Ishak bin Huzaimah, wafat 223-311 H, Muhaqiq Samir bin Amin Azuhairi.
”Telah menyampaikan kepada kami Basyri bin Muadz dari Khalid bin Abdillah al-Wasithi dari Zakariya ibn Abi Zidah dari athiyah dari Said al-Khudri.
Rasulullah bersabda: ”barang siapa yang meninggal dunia dalam keadaan tidak menyekutukan Allah pasti dia masuk surga”.
Imam Ibn huzaimah pengarang kitab tersebut menganggap athiyah adalah sanad yang dapat dipastikan ketsiqahannya.
Apa komentar ibn taimiyah tentang Thobari?
Ibn Taimiyah mengatakan: “Paling sohihnya kitab tafsir diantara Tafsir-Tafsir yang ada dihadapan manusia, adalah Tafsir Muhammad bin Jarir At-Thobari”[1] karena dia menyebutkan pernyataan-pernyataan salaf dengan sanad-sanad yang kuat dan didalamnya tidak terdapat bid’ah”[2]
Namun ketika anda rujuk Kitab tafsir thabari, cetakan darul fikr, tahun 2005\1425-1426, didalamnya Thobari juga meriwayatkan dari jalur athiyah al-aufi, dalam tafsir surat al-fatihah, jilid 1, halaman 78, hadis nomer 120, dalam surat 1:3, jilid 1 halaman 79, hadis nomer 122, surat 2:282 dan masih banyak ayat lain dan masih banyak lagi.
4. Dalam kitab Syarh musykilil atsar, jilid 1, halaman 35, darul balansiyah, cetakan pertama, 1999 M\1420 H :*
abu Ja’far thahawi berkata: sesungguhnya aku melihat dalam riwayat dari rasul saw dengan sanad-sanad yang diterima, yang dinukil orang-orang yang kuat dan amanah, dan yang baik dalam melaksanakannya.
Thahawi juga menukil dari jalur Athiyah Al-Aufi dalam kitabnya, jilid 9, halaman 120 hadis nomer 6420, dan pada jilid 8, halaman 462 hadis nomer 6135, dll.
5. Dalam Tafsir Al-Qur’anil adzim, musnadan dari rasulullah, sahabat dan tabiin, Maktabal Asriyah, Bairut, cetakan ke-2, tahun 1999 M/ 1419 H, karya Abil Hatim, wafat 327 H, Muhaqiq as’ad muhamad athayib,
” sekelompok dari saudara-saudaraku memintaku untuk mengeluarkan tafsir al-qur’an yang ringkas dengan sanad-sanad yang sahih.”
Dan dikitab yang sama pada jilid 1, halaman 121, dan halaman 125, 131, 139 dia juga menukil dari jalur Athiyah Al-Aufi.
6. Dalam kitab tafsir al-qur’anil adzim; jilid 3, halaman 1407, cetakan darul fikr, tahun 2005 M/1425 – 1426 H, dalam surat al qashas ayat 81 – 82, karya Ibn Katsir
Telah mennyampaikan nador bin ismail abul mughirah….dari A’masy dari athiyahdari Abi Said Rasulullah saw bersabda: ”ada diantara orang sebelum kalian …….dst”. dia berkata : hanya ahmad yang meriwayatkan dan sanadnya hasan.
Seperti inilah sosok Athiyah Al-aufi dalam pandangan ulama muslimin, akan tetapi mengapa syuaib Al- arnaut mendhaifkan Athiyah al-aufi ? apa penyebabnya? mari kita lihat kitab berikut ini.
7. Dalam Tarikh al-Islam, jilid 7, halaman 424, hadis nomer 497, karya dzahabi, tentang biografi athiyah bin said bin junadah
Hajjaj telah mencambuknya sebanyak 400x agar dia mau melaknat Ali, akan tetapi dia enggan melakukannya, dia (Athiyah) seorang syiah, semoga Allah merahmatinya dan tidak merahmati Hajjaj.
8. Kitab Taqribu Tahdzib, jilid 1, halaman 403, Darul fikr, cetakan pertama, 1995 M/1415 H, biografi athiyah al-aufi, karya ibn hajar al-asqalan
Dia (athiyah) seorang yang jujur, banyak salah, dan seorang syiah penipu”.
Sebagaimana sudah kita ketahui bahwa diantara prinsip yang dijadikan dasar kelompok bani umayyah atau WAHABI saat ini dalam mendhoifkan seorang perawi hadis dan penyebab kecacatannya adalah sebagaimana dijelaskan oleh Ibn Hajar dalam kitabnya hadyusari muqaddimah fathul bari, halaman 641, Darul fikr, cetakan pertama, tahun 2005 M/1425-1426 H.
Pasal :……….seseorang yang didhoifkan (dianggap lemah hadisnya) karena keyakinannya….. ”dan dia dianggap syiah karena dia mencintai ali dan lebih mengutamakannya diatas sahabat yang lain”.
Apa alasan mereka mendhaoifkan seseorang? Jawabannya ada dua yaitu:
Pertama: disebabkan keyakinannya
Walaupun seseorang itu dinyatakan seorang yang jujur dan tidak ada kecacatannya sedikitpun, dia tetap didhoifkan hadisnya tidak lain persoalannya karena akidahnya.
Kedua: dikarenakan dia mencintai Ali dan mengutamakannya diatas sahabat yang lain.
Kalau demikian maka jika anda ingin dipercaya oleh kelompok bani umayyah dan diterima riwayatnya, maka syaratnya, anda harus membenci Ali bin Abi Thalib, karena jika tidak, maka hadis anda tidak akan dipercaya, sebab itu, nasibi atau orang-orang yang membenci Ali, riwayatnya lebih dipercaya dari pada rofidoh.
Sekarang jelas mengapa Athiyah Al-Aufi di dhaifkan, tidak lain karena Athiyah mencintai Ali bin Abi Thalib serta berpaling dari Muawiyah bin Abi Sofyan, dan juga dikarenakan aqidah yang dianutnya.ini jelas bahwa pendhoifan Athiyyah oleh syuaib Al Arnaut sama sekali tidak pada tempatnya.
Disisi lain WAHABI juga harus memiliki pendirian bahwa jika ada riwayat yang berasal dari perawi syiah, maka mereka harus menolak dan juga mendhoifkannya sebagaimana yang dikatakan oleh ibn hajar diatas.
Sekarang kita lihat apakah dalam Sahih Bukhori terdapat para perawi dari kalangan Syiah?
Contoh perawi syiah dalam shahih bukhari.
1. Kholid bin Makhlad al-Bajali wafat tahun 213 H.
Dalam kitab Al-Mughni Fi dhua’afa, Jilid 1, Halaman 206, karya dzahabi, Darul kutub ilmiyah, cetakan pertama tahun 1418 H/ 1997 M, Biografi Kholid bin Makhlad al-Bajali wafat tahun 213 H
Ibn Sa’ad berkata; Munkarul Hadis, syiahnya berlebihan.
Kitab Tahdzibu Tahdzib, Jilid 2, halaman 533, karya Ibn Hajar Al-Asqalani, Darul Fikri tahun 1415 H/ 1995 M
Ajuri berkata dari Abi daud :” dia jujur akan tetapi syiah
Ibnu Sa’ad berkata : hadisnya munkar, berlebihan dalam kesyiahannya, mereka menukil hadis darinya dalam keadaan darurat.
Al-ijli berkata :” dia terpercaya, akan tetapi ada sedikit kesyiahan dalam dirinya, dan dia meriwayatkan banyak hadis
Kitab Mizanul I’tidal fi naqdir rijal, Jilid 2, Halaman 425, karya Dzahabi, Darul kutub ilmiyah, cetakan ke-2 tahun 1429 H/ 2008 M:
Abu daud berkata : dia jujur akan tetapi syiah
Ibnu Sa’ad berkata : hadisnya munkar, berlebihan dalam kesyiahannya.
Al-Jurzani berkata: Sesungguhnya dia tercela karena keburukan mazhabnya (syiah)
2. Abdurrazaq bin Himam bin Nafi’ Al-Himyari Ashon’ani kunyahnya Abu bakar
Dalam kitab stiqat, jilid 8, Halaman 412,karya ibn hibban, Biografi Abdurrazaq bin Himam bin Nafi’ Al-Himyari Ashon’ani kunyahnya Abu bakar
Sesungguhnya dia termasuk diantara orang yang selalu salah, ketika meriwayatkan hadis didalamnya berbau syiah”
Kitab Jarhu wa ta’dil, jilid 6, halaman 71
“Dia terlalu berlebihan dalam kesyiahannya”
3. Bahzi bin Asad al-Ami Abul Aswad al-Bashri
Hadyu sari muqadimah fathul bari, halaman 556, darul fikri, cetakan pertama tahun 2005 M/ 1425-1426 H :
Sesungguhnya dia berlebihan dalam kesyiahannya (memandang Ali)
4. Ibad bin Ya’qub al-Asadi ar-Rawajni
Tahdzibu tahdzib, jilid 4, halaman 199, Darul fikri cetakan pertama tahun 1415/ 1995 :
Ibn Adi berkata: “Sesungguhnya dia berlebihan dalam kesyiahannya dan banyak meriwayatkan hadis-hadis yang memperdaya tentang keutamaan dan kecatatan
Daruqutni berkata: “Seorang syiah yang jujur”
Ibn Hibban berkata: “seorang pendakwah Rofidhoh seiring dengan itu, dia juga meriwayatkan kemunkaran-kemunkaran”
Silahkan rujuk:
Al-majruhin, jilid 2, Halaman 163, karya Ibn Hibban, Darul Shumai’I, cetakan ke dua tahun 1428 H/ 2007 M:
Al-KAmil fi dhu’afair rijal, karya ibnu adi Al-Jarjani, darul fikri cetakan ke tiga tahun 1988/1409:
Dari semua pendapat para ulama diatas, kita dapat menyimpulkan bahwa orang yang berkeyakinan syiah mereka anggap orang-orang yang selalu meriwayatkan hadis munkar, namun justru dzahabi mengatakan hal yang sebaliknya.
Dalam kitabnya Mizanul I’tidal, jilid 1, halaman 118, Darul Kutub al-Ilmiyah, cetakan ke-2 tahun 2008 M/ 1429 H.
Dzahabi berkata: “Kebanyakan dari para tabi’in dan para pengikut tabi’in (syiah) mempunyai agama , sifat wara, dan kejujuran, jikalau hadis mereka di tolak, maka hilanglah sebagian dari sunah-sunah Nabi, dan ini merupakan kebinasaan yang nyata”.
Demikian juga Ibn Qayyim al-Jauziyah dalam kitab Showaiqul mursalah ‘alal Jahmiyati wal Mu’athalah, jilid 1, halaman 616-617, Darul ‘Ashimah, cetakan ke 3, tahun 1998 M/ 1418 H
Yang telah ditahqiq dan dikeluarkan hadis-hadisnya, dan juga dikomentari dan diajukan oleh DR. Ali bin Muhammad Dakhilullah.
Ibn Qayyim berkata: “dalam kelompok tersebut [ rafidhah], ada ulama-ulama, pakar ilmu dan ijtihad, sekalipun mereka adalah orang yang salah dan pelaku bid’ah dalam persoalan sahabat.
Tentunya tidaklah pantas menghukumi mereka semua sebagai pendusta dan bodoh, sungguh pengarang kitab shahih [ yaitu sahih bukhari, muslim dan yang lainnya ] mereka telah meriwayatkan –hadis -dari kelompok syiah, dan membawakan hadisnya”.
Dengan demikian lalu bagaimana dengan shahih Bukhari yang dikatakan kitab paling sahih setelah al-Quran, sementara di dalamnya banyak menukil riwayat dari kalangan Syiah yang kalau seandainya kaidah diatas “seseorang yang didhoifkan (dianggap lemah hadisnya) karena keyakinannya….. ”dan dia dianggap syiah karena dia mencintai ali dan lebih mengutamakannya diatas sahabat yang lain”tetap digunakan? Komentarnya kami serahkan kepada anda para pembaca!
Kesimpulan: bahwa hadis yang diriwayatkan dengan shighah dibawah ini adalah sahih :
1. “ الثَّقَلَيْن “ - keduanya tsaqalain
2. “أَحَدُهُمَا أكْبَر مِنَ الآخَر - Salah satu dari keduanya lebih besar dari yang lainnya
3. “كِتَابُ الله عز وجل وَعِتْرَتِي أَهْلَ بَيْتِي “ - keduanya adalah Al-quran dan itrah
4. “فَإنَّهُمَا لَنْ يَتَّفَرَّقَاحَتَّى يَرِدَا عَلَيَّ الْحَوْض “- keduanya tidak akan pernah berpisah sampai keduanya menemuiku di telaga
Referensi:
[1] Tafsir Al Kabir, jilid 2, halaman 254, karangan Ibn Taimiyah
[2] Majmu’ul Fatawa, jilid 7, halaman 208, cetakan darul hadis al-qahirah tahun 2006 M/ 1427 H, karangan Ibn Taimiyah
_______________________________________
SHIGHAH PERTAMA“TSAQOLAIN”
Shighah-teks-pertama hadis tersebut adalah “tsaqalain” teks pertama ini telah dishahihkan dan diriwayatkan oleh banyak ulama muslimin, diantaranya adalah thohawi, namun sebelum memasuki kajian itu, terlebih dahulu kita lihat bagaimanakah sosok thohawi dalam pandangan Dzahabi dan Nasa’i yang keduanya dijadikan rujukan oleh kelompok pengikut Ibn Taimiyah atau yang dikenal saat ini dengan sebutan WAHABI.
Dzahabi mengatakan: “Imam Thohawi adalah seorang imam, allamah, penghafal hadis yang terkenal pada masanya (berasal) dari negeri Mesir, beliau seorang faqih (namanya) Abu Ja’far Ahmad bin Muhammad bin Salaamah bin Salamah al-Azdi al-Hajriy al-Misri at-Thohawiy al-Hanafi mahir dalam mengarang kitab (berasal) dari kampung Thoha-mesir, lahir pada tahun 239 H.
Saya (Dzahabi) berkata: “siapa saja yang memperhatikan seluruh (kitab) karangan imam ini, dia akan mengetahui bagaimana posisinya dalam hal keluasan ilmu dan pengetahuan” [1]
Demikian juga ibn Katsir mengatakan: “Ath-thohawiy Ahmad bin Muhammad bin Salaamah bin salamah…, mahir mengarang kitab yang bermanfaat dan berguna, beliau seorang yang diakui dapat dipercaya dan penghafal hadis yang cerdas”.[2]
Dengan demikian dzahabi dan nasai keduanya mengakui kedudukan thohawi dalam keilmuan bahkan mereka juga mempercayainya, sekarang mari kita perhatikan bagaimana komentar dan pernyataan Thohawi seputar hadis tsaqolain.
1. Kitab Syarhu Musykilil Atsar, jilid 9, halaman 180-181, Cetakan Darul Balansiyah, Cetakan pertama tahun 1420 H/ 1999 M, Kerajaan Arab Saudi, Riyadh, karya ath-Thahawi Abu Ja’far, lahir tahun 238-321 H/ 852-933 M.
Ath-Thahawi mengutip riwayat dari Habib bin Abi Tsabit dari Abi Thufail dari Zaid bin Arqam: “Ketika Rasulullah saw pulang dari haji wada’ dan berhenti di Ghadir Khum, beliau SAW memerintahkan para sahabatnya untuk berhenti dan berkumpul.
Beliau SAW bersabda: “sebentar lagi aku akan dipanggil oleh Allah SWT dan akupun siap memenuhi panggilannya, sungguh telah aku tinggalkan untuk kalian tsaqalain (dua yang berat) yang salah satunya lebih besar dari yang lainnya yaitu kitabullah ‘azza wajalla dan Itrahku Ahlul Baitku, maka perhatikanlah oleh kalian bagaimana kalian akan melanggarku tentang keduanya, karena keduanya tidak akan pernah berpisah hingga menjumpaiku di telaga ….”
Beliau SAW bersabda: “Sesungguhnya Allah SWT adalah maulaku dan aku adalah maula seluruh mukmin…dst, kemudian beliau SAW mengangkat tangan Ali ra seraya bersabda: “Barang siapa yang menjadikan aku maulanya maka ini Ali maulanya, ya Allah cintailah orang yang mencintainya, musuhilah orang yang memusuhinya”.
Aku bertanya kepada Zaid bin Arqam: “Apakah anda mendengarnya langsung dari Rasulullah saw?
Zaid menjawab: “Tidak ada satu pun yang hadir di Ghadir Khum melainkan dia telah melihatnya langsung dengan mata kepalanya sendiri dan mendengar dengan kedua telinganya”.
Pengarang kitab-Abu Ja’far ath-Thahawi- berkata: “Hadis ini sanadnya shahih, tidak ada seseorangpun yang dapat mencela salah satu perawinya, karena di dalamnya terdapat sabda Rasulullah untuk Ali di Ghadir Khum pada hajinya yang terakhir menuju pulang ke Madinah, bukan pada saat keluarnya beliau untuk berangkat haji dari Madinah (menuju Makkah)”.
Riwayat diatas juga terdapat dalam kitab berikut:
a. Khashais Amirul Mukminin Ali bin Abi Thalib, halaman 55–56, Bab. Sabda Nabi saw “Man kuntu waliyyuhu fa‘aliyun waliyyuhu”, Maktabatul Qayyimah, Karya an-Nasa’i.
b. Dalam kitab yang sama, halaman 71-72, cetakan berbeda”.
Muhaqiq kitab Az-Zahwi.
Pada catatan kaki muhaqiq berkata: “Sanadnya shahih dengan banyaknya bukti,Hadis tersebut telah diriwayatkan Ahmad, al-Bazzar, al-Hakim, Thabrani, Ibnu Abi ‘Ashim dan Khawarijmi…dst”.
a. Kitab Fadhoilus Sahabat, jilid 1, halaman 15, karya an-Nasai’.
b. Dalam kitab dan jilid yang sama, halaman 53, hadis nomer 45, Cetakan berbeda yang Muhaqiq kitab Muqbil bin Hadi al-Wadi’I”.
Setelah Nasa’i menukil hadis itu secara sempurna, muhaqiq kitab berkata:“Shahih”.
2. Kitab An-nihayah Fi Ghoribil Haditsi wal-atsar, jilid 1, halaman 216, Darul Fikr, Bab. Tsaqalain, karya Ibn Atsir
Ibn Atsir berkata: “sungguh telah aku tinggalkan untuk kalian tsaqalain: yaitu kitabullah dan itrahku, keduanya dinamakan tsaqalain karena mengambil dan mengamalkan keduanya itu sangat berat”.
3. Kitab Al-Faiq Fi Ghoribil Hadis, jilid 1, halaman 170, Darul Fikr tahun 1414 H/ 1993 M , Bab. Tsa dengan Qaf, karya Zamakhsyari (pengarang tafsir Al Kasyaf)
Zamakhsyari berkata: “Berat, Nabi saw telah meninggalkan untuk kalian tsaqalain, yaitu kitabullah dan itrahku”.
4. Lisanul Arabi, jilid 6, halaman 72, Bab. Itrah, Ihyai Turatsil Arabi. Darul Hadis tahun 2003 M/ 1423 H, karya Ibn Mandzur.
Dia mengatakan: “kami itrah rasulullah…….dst”.
Ibnu atsir mengatakan: “sesungguhnya mereka (itrah) dari quraisy, masyarakat mengira bahwa itrah itu khusus anak seseorang, dan itrah Rasulullah adalah putra Fatimah r.a,…dst”.
Azhari rahimahullah telah berkata tentang hadis dari Zaid bin Tsabit: “Rasulullah telah berkata: “sungguh telah aku tinggalkan untuk kalian tsaqalain sepeninggalku “Khalfi” yaitu kitabullah dan itrahku, sungguh keduanya tidak akan pernah berpisah hingga menjumpaiku di telaga”.
Muhammad bin ishaq berkata: “hadis ini shahih”.
5. Kitab Tafsir Qur’an al-Azim, jilid 4, halaman 1669, Darul Fikri tahun 2005 M/1425 H, Karya Ibn Katsir.
Ibn Katsir berkata: “terdapat dalam sahih”, bahwa rasul saw bersabda di Gadir Khum: “sungguh telah aku tinggalkan untuk kalian tsaqalain, yaitu kitabullah dan itrahku, sungguh keduanya tidak akan pernah berpisah hingga menjumpaiku di telaga”.
Dalam pernyataannya diatas Ibnu katsir menggunakan istilah “fi shahih”- artinya terdapat dalam sahih- Karena sebab istilah inilah sebagian orang berusaha menentang hadis-tsaqolain- dengan mengatakan: “setelah kami cek kebenarannya dalam kitab sahih bukhari dan muslim, sama sekali kami tidak menemukan redaksi hadis tersebut”.
Sesungguhnya Ibnu katsir menggunakan istilah“fi shahih” bukan berarti hadis tersebut terdapat dalam Sahih bukhari dan muslim, akan tetapi maksudnya adalah hadis itu sahih sanadnya, dan ini menunjukkan bahwa ibnu katsir telah mensahihkan hadis tsaqalain.
Contohnya seperti Ibn Taimiyah juga menggunakan istilah “fi shahih” dalam kitabnya dengan mengatakan: “fi Shahih - terdapat dalam sahih-,[3] bahwa Nabi bersabda: “tiada seorangpun yangberdoa kepada Allah dengan permohonannya………dst”.
Dalam catatan kaki Muhaqiq kitab Abdul Kadir al-Arna’ut [4]berkata: “pengarang kitab-maksudnya ibn taimiyah- mengatakan hal itu –fi shahih- maksudnya bukan berarti hadis tersebut terdapat dalam salah satu kitab sahihain (yaitu bukhari dan muslim) akan tetapi maksudnya hadis itu sahih”.
6. Kitab Mustadrak ‘ala Shohihain, jilid 3, halaman 323, kitab ma’rifatu shahabat, Bab. Manaqib Amiril Mukminin Ali bin Abi Tholib, Darul fikr tahun 1422 H/ 2002 M, karya al-Hakim an-Naisaburi.
Setelah dia menukil hadis secara sempurna dan panjang lebar
Al-hakim mengatakan: “hadis ini shohih sesuai syarat bukhori dan muslim, meskipun keduanya tidak meriwayatkannya”.
Sebagai catatan dalam kasus ini-hadis tsaqolain yang dinukil oleh al-Hakim dalam mustadraknya- Dzahabi sama sekali tidak berkomentar apa pun, hal itu disebabkan dia meragukan pernyataan al-Hakim an-Naisaburi, oleh karena itu, keluarga zahwi berkomentar dalam kitab Khoshoish Amiril Mukminin berusaha unuk mendaifkan hadis tersebut dengan mengatakan: “adz-dzahabi pun diam”.
Disisi lain Dzahabi seakan-akan tidak pernah mengetahui bahwa muridnya sendiri yaitu ibn katsir dalam kitabnya mengatakan: “guru kami Abu Abdillah adz-Dzahabi berkata bahwa hadis ini shohih,” [5] yang mana Ibnu Katsir menukil hadis tsaqalain tanpa menambah atau mengurangi redaksi hadis tersebut sesuai dengan redaksi hadis aslinya.
Dengan demikian ketika Dzahabi mengatakan bahwa hadis –tsaqolain-“shohih” dan Ibnu Katsir sama sekali tidak membantahnya, ini menunjukkan bahwa keduanya sama-sama telah mensahihkan hadis tersebut.
Pertanyaannya sekarang adalah: “mengapa Dzahabi tidak mengomentari hadis -tsaqolain- yang dinukil oleh al-hakim?”
Dzahabi menjelaskan dalam kitabnya tentang alasannya mengapa meragukan perkataan al-hakim, dia mengatakan: “al-hakim telah mengarang (kitab), lalu meriwayatkan (hadis), membedah, menimbang, kemudian mensahihkan dan menilai cacat tidaknya sebuah hadis, dia termasuk orang yang luas ilmu pengetahuannya, namun tetapi sedikit berbau syiah”. [6]
Kini jelas bahwa bukan berarti ketika Dzahabi tidak mengomentari hadis yang dinukil al-hakim dalam mustadraknya hadis itu dhoif dengan alasan dzahabi tidak menshohihkannya.
Akan tetapi amat disayangkan masih ada sebagian ulama yang mendhaifkan hadis tsaqalain, diantaranya adalah Syu’aib arnaut yang konon dia mempunyai banyak karangan, bahkan termasuk muhaqiq kitab yang luas ilmu pengetahuannya, juga termasuk ulama yang dijadikan rujukan dalam ilmu jarh wa ta’dil’yaitu salah satu ilmu yang mengkaji tentang keadilan dan kecacatan seorang perawi hadis, yang akan kami jelaskan pada kesempatan yang akan datang, insya Allah…
Referensi:
[1] Siyaru a’lamin Nubala, jld 11, hlm 361, Darul Hadis, cet. tahun 1427 H/ 2006 M, karya Dzahabi
[2] Bidayah wan-nihayah, jld 7, hlm 567, Darul fikr, cet. tahun 1426 H/ 2005 M, karya Ibnu Katsir
[3] Kitab qaidah jalilah fi tawassul wal washilah halaman 70, cetakan darul kutub arabi tahun 2006 M/ 1426 H, karya ibn taimiyah
[4] Kitab yang sama, Muhaqiq Abdul Kadir al-Arna’ut, cetakan Darul Qasimi, halaman 108, yang diterbitkan dengan surat keputusan kantor pusat pembahasan ilmiyah dan fatwa kerajaan arab Saudi, cetakan pertama tahun 1421 H/ 2000 M
[5] Kitab Bidayah wan nihayah jilid 4, halaman 168, Darul Fikri, Cetakan pertama tahun 2005 M/ 1426 H,
[6] siyaru a’lamin nubala, jilid 12, halaman 572, tentang biografi al hakim naisaburiy, darul hadits tahun 1427 H/ 2006 M, karya adz-dzar.
(Syiah-Ali/Uthman Hapidzuin/Scondprince/Fatimah/ABNS )
Post a Comment
mohon gunakan email