Dari: Muklis Gumilang
Henry Ford pernah berkata, “Barangkali ada bagusnya rakyat Amerika pada umumnya tidak mengetahui asal-usul uang, karena jika mereka mengetahuinya, saya yakin esok pagi akan timbul revolusi.”
Rothschild adalah dinasti Yahudi Bavaria (Jerman) yang memiliki arti sebagai “Tameng Merah”. Dalam bahasa Inggris disebut “Red-Shield”. Dinasti Rothschild yang melegenda dan sangat berkuasa hingga kini berawal dari sejarah Eropa di abad ke-18 Masehi dengan kelahiran seorang bayi Yahudi Jerman yang kemudian diberi nama Mayer Amshell Bauer.
Mayer Amshell Bauer lahir di tahun 1743 di sebuah perkampungan Yahudi di Frankfurt, Bavaria. Ayahnya bernama Moses Amschell Bauer yang bekerja sebagai rentenir dan tukang emas yang berpindah-pindah dari suatu tempat ke tempat lain, dari kota yang satu ke kota lainnya. Bakat Moses sebagai rentenir kelak akan diteruskan dan dikembangkan oleh anak-cucunya. Kelahiran Mayer membuat Moses menghentikan bisnis ‘nomaden’nya dan menetap di sebuah rumah agak besar dipersimpangan Judenstrasse (Jalan Yahudi) kota Frankfurt. Di rumah itu, Moses membuka usaha simpan-pinjam uangnya. Di pintu masuk kedai renten-nya, Moses menggantungkan sebuah Tameng Merah sebagai merk dagangnya: Rothschild.
Sedari kecil Mayer Amshell dikenal sebagai anak yang cerdas. Dengan tekun sang ayah mengajari Mayer segala pengetahuan tentang bisnis rentennya. Moses juga sering menceritakan pengalaman dan pengetahuan yang diperolehnya dari berbagai sumber. Moses sebenarnya ingin menjadikan Mayer sebagai pendeta Yahudi. Namun ajal keburu menjemputnya sebelum sang anak tumbuh dewasa. Sepeninggal ayahnya, Mayer sempat meneruskan usaha ayahnya di rumah. Namun tidak lama kemudian Mayer ingin belajar lebih mendalam tentang bisnis uang. Akhirnya ia bekerja di sebuah bank milik keluarga Oppenheimer di Hanover.
Di bank ini, Mayer dengan cepat menyerap semua aspek bisnis perbankan modern. Kariernya pun melesat, bahkan sang pemilik bank yang terkesan dengan Mayer menjadikannya sebagai mitra muda dalam kepemilikian bank tersebut.
Setelah merasa cukup banyak menimba ilmu tentang bisnis perbankan, Mayer kembali ke Frankfurt, meneruskan usaha ayahnya yang sempat dilepaskannya untuk beberapa waktu. Mayer telah berketetapan hati, bisnis uang akan dijadikan sebagai bisnis inti keluarga ini. Ia akan mendidik anak-anaknya kelak dengan segala pengetahuan tentang bisnis penting tersebut dan menjadikannya keluarga besar penguasa bisnis perbankan Eropa dan juga dunia.
Salah satu langkah yang diambil Mayer adalah dengan mengganti nama keluarga ‘Bauer’ yang dalam bahasa Jerman berarti ‘Petani’ dengan merk dagang usahanya, yakni ‘Tameng Merah’ (Rothschild). Mayer sendiri memakai gelar Baron Rothschild I.
Masuk Kalangan Istana
Berkat kepiawaiannya, usaha rumahan ini berkembang pesat. Rotshchild I mulai melobi kalangan istana. Orang yang pertama ia dekati adalah Jenderal von Estorff, bekas salah satu pimpinannya ketika masih bekerja di Oppenheimer Bank di Hanover. Rothschild I mengetahui benar, sang jenderal memiliki hobi mengumpulkan koin-koin kuno dan langka. Dengan jeli Rothschild memanfaatkan celah ini untuk bisa dekat dengan sang jenderal.
Untuk menambah perbendaharaan koin-koin kuno dan langka, Rotshchild menghubungi sesama rekannya dalam jaringan orang Yahudi yang dalam waktu singkat berhasil mengumpulkan benda-benda tersebut. Sambil membawa barang yang sangat diminati Jenderal von Estorff, Rothschild I menemui sang jenderal di rumahnya dan menawarkan semua koin itu dengan harga sangat murah.
Jelas, kedatangan Rotshchild disambut gembira sang jenderal. Bukan itu saja, rekan-rekan dan teman bisnis sang jenderal pun tertarik dengan Rothschild dan kemudian jadilah Rotshchild diterima sepenuh hati dalam lingkaran pertemanan dengan Jenderal von Estorff.
Suatu hari, tanpa disangka-sangka, Rothschild I dipertemukan oleh Jenderal von Estorff kepada Pangeran Wilhelm secara pribadi. Pangeran ternyata memiliki hobi yang sama dengan jenderal. Wilhelm membeli banyak medali dan koin langka dari Rotshchild dengan harga yang juga dibuat miring. Inilah kali pertamanya seorang Rotshchild bertransaksi dengan seorang kepala negara.
Dari perkenalannya dengan Wilhelm, terbukalah akses Rothschild untuk membuat jaringan dengan para pangeran lainnya. Untuk membuat pertemanan bisnis menjadi pertemanan pribadi, Rotshchild menulis banyak surat kepada para pangeran yang berisi puji-pujian dan penghormatan yang begitu tinggi atas kebangsawanan mereka. Rothschild juga memohon agar mereka memberi perlindungan kepadanya.
Pada tanggal 21 September 1769, upayanya membuahkan hasil. Pangeran Wilhelm dengan senang hati memberikan restu atas kedainya. Rothschild pun memasang lambang principalitas Hess-Hanau di depan kedainya sebagai lambang restu dan perlindungan Sang Pangeran. Lambang itu bertuliskan huruf emas dengan kalimat, “M.A.Rothschild. Dengan limpahan karunia ditunjuk sebagai abdi istana dari Yang Mulia Pangeran Wilhelm von Hanau.”
Keluarga Talmudian
Tahun 1770, saat berusia 27 tahun, Rothschild menikahi Guetele Schnaper yang masih berusia tujuhbelas tahun. Dari perkawinannya, mereka dikarunia sepuluh orang anak. Putera-puteranya bernama Amshell III, Salomon, Nathan, Karlmann (Karl) dan Jacob (James). Kepada anak-anaknya, selain mendidik mereka dengan keras soal pengetahuan bisnis perbankan dan aneka pengalamannya, Rothschild I juga menanamkan kepada mereka keyakinan-keyakinan Talmudian (bukan Taurat) dengan intensif.
Frederich Morton, penulis biografi Dinasti Rothschild menulis, “Setiap Sabtu malam, usai kebaktian di sinagoga, Amshell mengundang seorang rabi ke rumahnya. Sambil duduk membungkuk di kursi hijau, mencicipi anggur, mereka berbincang-bincang sampai larut malam. Bahkan pada hari kerja pun Amshell sering terlihat mendaras Talmud …dan seluruh keluarga harus duduk dan mendengarkan dengan tertib.”
Keluarga Rotschild merupakan keluarga Yahudi yang berpandangan Talmudian. Mereka sangat percaya bahwa Tuhan, sesuai keyakinan dalam ayat-ayat Talmud, telah memilih bangsa Yahudi sebagai manusia super, satu-satunya ras manusia, sedangkan orang lain yang bukan Yahudi merupakan ras yang derajatnya sama dan setara dengan hewan. Mereka sama sekali tidak perduli dengan orang lain, dan hanya perduli dengan kepentingan sesama Yahudi Talmudian
Wilhelm von Hanau merupakan seorang kepala negara yang kaya raya dan berpengaruh. Bisa jadi, bisnis utama Wilhelm yang memiliki sepasukan tentara sewaan (bisnis ini juga berasal dari bisnis para Templar!) membuatnya disegani tidak saja di Jerman tetapi juga di wilayah-wilayah sekitarnya. Wilhelm juga memiliki kekerabatan dengan sejumlah keluarga kerajaan Eropa lainnya. Inggris merupakan salah satu langganan setia dalam bisnis tentara sewaannya. Harap maklum, daerah koloni Inggris di seberang lautan sangat luas dan banyak.
Dalam bisnis ini, Rothschild bertindak sebagai dealernya. Karena kerja Rothschild begitu memuaskan, maka Wilhelm pernah memberinya hibah uang sebanyak 600.000 pound atau senilai tiga juta dollar AS dalam bentuk deposito. Dari usahanya ini, Wilhelm memiliki banyak uang. Ketika meninggal, Wilhelm meninggalkan warisan terbesar dalam rekor warisan raja Eropa yakni setara dengan 200 juta dollar AS! (Maulani; 2002)
Sumber lainnya mengatakan bahwa uang sebesar tiga juta dollar AS itu sebenarnya berasal dari pembayaran sewa tentara kerajaan Inggris kepada Wilhelm, namun digelapkan oleh Rothschild (Jewish Encyclopedia, Vol. 10, h.494).
Dengan bermodalkan uang haram inilah Rothschild membangun kerajaan bisnis perbankannya yang pertama dan menjadi bankir internasional yang pertama. Sebenarnya, Rothschild I ini tidak membangun kerajaannya sendiri. Beberapa tahun sebelumnya ia telah mengirim anak bungsunya, Nathan Rothschild yang dianggap paling berbakat ke Inggris untuk memimpin bisnis keluarga di wilayah tersebut. Di London Nathan mendirikan sebuah bank dagang dan modalnya diberikan oleh Rothschild I sebesar tiga juta dollar AS yang berasal dari uang haram itu.
Di London, Nathan Rothschild menginventasikan uang itu dalam bentuk emas-emas batangan dari East India Company. Berasal dari uang haram, diputar dengan cara yang penuh dengan tipu daya, memakai sistem ribawi yang juga haram, kian berkembanglah bisnis keuangan keluarga Rothschild ke seluruh Eropa. Berdirilah cabang-cabang perusahaan Rothschild di Berlin, Paris, Napoli, dan Vienna. Rothschild I menempatkan setiap anaknya menjadi pemimpin usaha di cabang-cabangnya itu. Karl di Napoli, Jacob di Paris, Salomon di Vienna, dan Amshell III di Berlin. Kantor pusatnya tetap di London.
Rothschild I meninggal dunia pada 19 September 1812. Beberapa hari sebelum mangkat, ia menulis sebuah surat wasiat yang antara lain berbunyi:
Hanya keturunan laki-laki yang diperbolehkan berbisnis. Semua posisi kunci harus dipegang oleh keluarga. Anggota keluarga hanya boleh mengawini saudara sepupu sekali (satu kakek) atau paling jauh sepupu dua kali (satu paman). Dengan demikian harta kekayaan keluarga tidak jatuh ke tangan orang lain. Awalnya aturan ini dipegang ketat, tapi ketika banyak pengusaha Yahudi lainnya bermunculan sebagai pengusaha dunia, aturan ini dikendurkan, walau demikian hanya boleh mengawini anggota-anggota terpilih.
Dinasti Rothschild tidak punya sahabat atau sekutu sejati. Baginya, sahabat adalah mereka yang menguntungkan kantongnya. Jika tidak lagi menguntungkan maka ia sudah menjadi bagian masa lalu dan dimasukkan ke dalam tong sampah. Pangeran Wilhelm sendiri akhirnya dilupakan oleh Rothschild setelah ia berhasil menilep uangnya. Ketika Inggris dan Perancis berperang dengan memblokade pantai lawan masing-masing, hanya armada Rothschild yang bebas keluar masuk pelabuhan karena Rothschild telah membiayai kedua pihak yang berperang tersebut.
Bank Sentral Inggris dan Utang Sebagai Alat Penjajahan
Beberapa orang menyangka jika pendirian Bank of England, bank sentral pertama di dunia, juga akibat campur tangan dari Dinasti Rothschild. Anggapan ini sebenarnya tidak tepat karena Rothschild I sendiri baru lahir di Bavaria pada tahun 1743, sedangkan Bank of England berdiri pada 27 Juli 1694.
Sebelum Dinasti Tameng Merah lahir, jaringan Luciferian yang terdiri dari tokoh-tokoh Yahudi berpengaruh dunia yang dikenal dengan istilah “Para Konspirator”, para pewaris Templar Knight, Ordo Militeris yang kaya raya, telah mencanangkan untuk menguasai England yang menjadi Inggris sekarang dengan strategi lidah ular: Pertama, merekayasa pernikahan keluarga raja Inggris sehingga nantinya para Raja Inggris berdarah Yahudi, dan yang kedua lewat provokasi perang melawan Perancis agar Inggris memerlukan uang yang banyak di mana pihak Konspirasi akan memberi utang kepada Raja Inggris. Dengan utang, diharapkan kerajaan besar itu akan takluk.
Inilah fakta sejarah jika jaringan Yahudi Dunia sejak dulu telah menggunakan utang sebagai alat penakluk suatu negeri. Sekarang, Indonesia yang kaya raya, juga telah ditaklukkan dan dijajah oleh utang. Para tokoh Neo-Liberal di negeri ini yang gemar mengundang utang imperialis masuk ke negeri ini merupakan pelayan-pelayan kepentingan Luciferian. Banyak orang yang mengaku Islam menjadi pendukung kelompok Luciferian ini disebabkan mereka malas berpikir sehingga mudah ditipu mentah-mentah.
Perjalanan para Konspirator dalam menaklukan Keraaan Inggris diawali dari suatu pertemuan sejumlah petinggi Ordo Kabbalah di Belanda. Mereka menggelar pertemuan dan sepakat untuk menguasai Tahta Kerajan Inggris sepenuhnya dengan cara menurunkan Dinasti Stuart dan menggantikannya dengan seseorang yang mereka bina dari Dinasti Hanover dari Istana Nassau, Bavaria.
Kala itu, Tahta Kerajaan Inggris tengah diduduki King Charles II (1660-1685). Raja Inggris ini masih kerabat dekat Duke of York. Mary adalah anak sulung dari Duke of York. Diam-diam, kelompok Konspirator mengatur strategi agar Mary yang masih gadis itu bertemu dengan ‘Sang Pangeran’ bernama William II, salah seorang pangeran kerajaan Belanda dan pemimpin pasukan kerajaan. Mary dan William II pun bertemu dan saling tertarik. Pada tahun 1674 mereka menikah. Tahun 1685 King Charles II meninggal dan digantikan oleh James II yang memerintah sampai tahun 1688.
Dari hasil perkawinan antara William II dan Mary, lahir seorang putera yang kemudian dikenal sebagai William III, yang kemudian menikah dengan seorang puteri dari King James II bernama Mary II. William III yang berdarah campuran antara Dinasti Stuart dengan Dinasti Hanover ternyata menurut kelaziman tidak bisa menjadi Raja Inggris disebabkan ia bukan berasal dari garis keturunan laki-laki Inggris, melainkan dari garis perempuan. Mary II, isterinyalah, yang lebih berhak menyandang gelar Queen.
Di sinilah para petinggi Yahudi melancarkan konspirasi dengan mengobarkan ‘Glorious Revolution’ dan akhirnya berkat Partai Whig yang melakukan kerjasama diam-diam dengan tokoh-tokoh Yahudi dan Partai Tory yang bersikap pragmatis, revolusi tanpa darah ini berhasil menaikkan William III sebagai Raja Inggris. Beberapa tahun sebelumnya, lewat tangan Oliver Cromwell, kekuatan Yahudi juga telah ‘menyikat’ King Charles I dan menguasai lembaga-lembaga keuangan di kerajaan itu. Dengan berkuasanya William III maka Inilah awal hegemoni Dinasti Hanover bertahta di Kerajaan Inggris sampai sekarang. Apalagi Dinasti Windsor yang berkuasa di Kerajaan Inggris sekarang merupakan keturunan langsung dari King Edward III (Prince of Wales) yang merupakan keturunan Hanover
Pada tahun 1689, Raja Inggris, King William III mendirikan Loyal Orange Order yang begitu fanatik mendukung gerakan pembaruan Gereja yang dipimpin Martin Luther. Ordo ini menyatakan dengan tegas akan menjadikan Inggris sebagai basis bagi gerakan Protestan. Pernyataan ini memiliki pesan yang jelas terhadap Gereja Katolik: “Kami akan melawanmu!”
Sejarah memang telah mencatat jika Gereja Katholik merupakan musuh bebuyutan para Templar. Para Templar, dan juga para pewarisnya seperti kaum Mason dan Rosikrusian, masih sangat ingat bagaimana Paus Clement IV berkomplot dengan King Philip V dari Perancis pada Jumat, 13 Oktober 1307 menumpas dan membantai Templar dari seluruh Eropa. Perlawanan dan penghancuran Gereja (Katolik Roma) merupakan salah satu tujuan utama kelompok Luciferian ini yang berasal dari dendam sejarah yang kesumat.
Loyal Orange Order sampai hari ini masih bertahan di Irlandia Utara dengan jumlah anggota tak kurang dari angka 100 ribuan. Kelompok inilah yang senantiasa mengobarkan api permusuhan terhadap kaum Katolik sehingga sampai sekarang kehidupan masyarakat di sana tidak pernah sepi dari konflik Protestan-Katolik.
King William III sendiri menceburkan diri dalam peperangan melawan Perancis yang mayoritas Katolik. Inggris menderita kerugian yang banyak. Utang pun menumpuk. Inilah awal berdirinya Bank of England sebagai bank sentral swasta pertama di dunia, seperti yang telah disinggung di muka.
William G. Carr dalam bukunya “Yahudi Menggenggam Dunia” (Pustaka Alkautsar, 1991) mencatat kronologi perjalanan petualangan Oliver Cromwell sebagai kaki tangan tokoh Yahudi-Inggris setelah kematian King Charles I pada 30 Januari 1649. Inilah kronologinya singkatnya:
1649, Cromwell menyerbu Irlandia dengan dukungan dana dari lobi Yahudi internasional sehingga terjadi peperangan antara Inggris Protestan melawan Irlandia Katolik.
1651, Charles II, putera King Charles I, memerangi Cromwell tapi gagal. Ia dibuang ke Perancis.
1652, Inggris melibatkan diri berperang melawan Belanda.
1653, Cromwell mengangkat dirinya sebagai The Lord Defender of Great Britain.
1654, Inggris terlibat perang Eropa lagi.
1656, Amerika yang masih menjadi jajahan Inggris bergolak dan akhirnya menjadi negara merdeka.
1657, Cromwell meninggal dunia. Puteranya, Richard, menjadi penguasa Inggris.
1659, Richard mengakhiri persekongkolan dengan Yahudi Internasional, ia mengundurkan diri dari kekuasaan.
1660, Jenderal monk dari angkatan bersenjata Inggris menduduki London. Charles II diangkat menjadi raja Inggris.
1661, Skandal persekongkolan antara Cromwell dengan kubu Yahudi Internasional terungkap. Warga London geger dan marah. Makam Cromwell dibongkar paksa.
1662, Gereja resmi Inggris, Anglikan, menindas umat Protestan.
1664, Inggris kembali berperang melawan Belanda.
1665, Krisis ekonomi melanda Inggris. Pengangguran dan kelaparan merebak. Di tahun itu juga terjadi kebakaran besar yang menghanguskan sebagian kota London, disusul wabah penyakit lepra.
1666, Inggris terlibat perang dengan Belanda dan Perancis.
1667, Ordo Kabbalah yang secara rahasia masih eksis di Inggris melancarkan gerakan sabotase ke kalangan elit pemerintahan. Sejarah Inggris mengenalnya sebagai gerakan Kabal. Akibatnya muncul gelombang baru penindasan agama dan politik di Inggris.
1674, Setelah menggelar pertemuan internal di Belanda, Kelompok Yahudi Internasional sepakat menguasai Kerajaan Inggris sepenuhnya dengan melengserkan King Charles II dan menaikkan seseorang yang bisa dikendalikan. Pada tulisan di muka hal ini telah disinggung, yakni penobatan King William III yang masih berdarah Dinasti Hanover.
1683, Konspirasi berupaya membunuh King Charles II dan Duke of York tapi gagal.
1685, King Charles II meninggal dunia. Duke of York yang beragama Katolik naik tahta dengan gelar King James II. Konspirasi menyebarkan desas-desus untuk menentang raja baru itu. Rakyat banyak yang termakan isu ini. Akibatnya banyak rakyat yang ditangkap pihak kerajaan. Nama King James II menjadi tidak popular di mata rakyat.
1688, setelah King James II sudah tidak lagi mendapat dukungan rakyatnya, Konspirasi Yahudi Internasional memprovokasi pangeran William of Orange dari Belanda untuk menyerbu Inggris, dengan dukungan kapal-kapal perangnya menuju pantai Inggris. King James II akhirnya turun tahta dan kabur ke Perancis.
1689, William of Orange atau William III dan Queen of Mary –keduanya Protestan—mengukuhkan diri sebagai Raja dan Ratu Inggris. Sementara itu James II kabur lagi ke Irlandia, sebuah wilayah Katolik. Pasukan Inggris sendiri terpecah antara yang Protestan dengan yang Katolik. Yang Protestan mendukung William III sedang yang Katolik berupaya mengembalikan James II ke tahtanya. Perang saudara pun tak terelakkan pada 12 Juli 1689.
Sampai sekarang, rakyat Inggris masih mengenang peristiwa tersebut tanpa banyak yang menyadari bahwa perang saudara itu sesungguhnya sengaja dibuat oleh Konspirasi Yahudi Internasional, untuk menguasai perekonomian negara besar Eropa itu. Hasilnya, berdirilah Bank of England, bank sentral swasta pertama di dunia (1694), yang dimiliki Konspirasi Yahudi tersebut.
Inggris terus dibuat untuk berperang, sehingga kas kerajaan terkuras dan hutang bertambah banyak. Jerat yang dipasang para pemilik modal Yahudi kini telah mengikat mangsanya. Kian lama kian kuat, mencekik. Inggris pun jatuh ke dalam kekuasaan mereka hanya dengan modal awal £1.250.000!
Dari Inggris Mendirikan AS
Setelah menaklukkan kerajaan Inggris, pihak Konspirasi Yahudi Internasional kini mengarahkan wajahnya ke sebuah benua baru yang masih menjadi koloni Inggris di seberang Samudera Atlantik: Amerika. Jauh-jauh hari sebenarnya mereka telah mempersiapkan hal ini lewat salah seorang agennya bernama Christopher Colombus. Orang ini merupakan anggota Knights of Christ, pelarian Templar yang mukim di Italia, Portugis, dan Spanyol. Semasa remajanya, Colombus malah menjadi orang kepercayaan Rene de Anjou, Grand Master Persaudaraan Freemason di Italia.
Demikianlah, Amerika Serikat memang dipersiapkan jauh-jauh hari sebagai The Second Promise Land, selain Yerusalem, bagi bangsa Yahudi. Nama lain kota New York saja adalah The New Jerusalem. Pada 4 Juli 1776, tokoh-tokoh Mason Amerika menandatangani Declaration of Independence. Berdirilah satu negara Masonik yang dipersiapkan sebagai The Headquarter, markas besar, gerakan Ordo Kabbalah dalam menaklukkan dunia kelak, menuju tatanan dunia baru yang sepenuhnya sekular. Suatu cita-cita Masonik yang ditorehkan pada lambang negara AS: Novus Ordo Seclorum.
Tidak seperti sekarang, Eropa waktu itu merupakan sebuah benua yang terbagi dalam banyak kerajaan besar kecil, serta sejumlah wilayah kecil otonom (Principalis), semacam kabupaten yang merdeka, seperti Monaco dan Lechtenstein. Saat itu Inggris dan Perancis merupakan dua negara kerajaan yang paling berpengaruh. Setelah Inggris berhasil dikuasai dan para tokoh Mason Amerika berhasil memproklamirkan kemerdekaan negara itu, maka Konspirasi Yahudi Internasional berusaha untuk menaklukkan Perancis. Baron Rothschild merupakan salah satu tokoh sentral dalam Konspirasi Yahudi Internasional untuk menaklukkan Perancis.
Tahun 1773, Baron Rothschild dan 12 tokoh Yahudi lainnya berkumpul di kediamannya di Bavaria. Mereka membahas berbagai perkembangan Eropa terakhir, termasuk mengevaluasi hasil-hasil upaya Konspirasi di Inggris. Dalam pertemuan inilah, nama Adam Weishaupt disebut oleh Rothschild sebagai seseorang yang bisa dipercaya untuk menjalankan tugas dari Konspirasi.
Dalam pertemuan itu, Baron Mayer juga membacakan 25 butir strategi penguasaan dunia yang kelak dalam Kongres Zionis Internasional I di Basel-Swiss tahun 1897 disahkan dengan nama Protocolat Zionis.
Baron Mayer atau Rothschild I juga mengatakan jika Konspirasi dianggap terlalu lamban dalam melakukan program yang direncanakan untuk Inggris, akibatnya penguasaan Inggris secara total terhambat oleh hal-hal kecil. Namun hal-hal kecil ini bisa dianggap tidak berpengaruh besar bagi upaya penguasaan oleh Konspirasi. Walau demikian, hal-hal kecil ini dianggap tidak boleh dibiarkan. Beberapa kelompok berpengaruh di Inggris ada yang masih mampu bertahan menghadapi Konspirasi.
Rothschild segera memerintahkan agar pelaksanaan program dipercepat dan menyingkirkan oposisi secepatnya dengan segala cara yang bisa diambil. Jika perlu, segenap lapisan masyarakat Inggris harus dikuasai dengan jalan teror atau kekerasan.
Dalam pertemuan itu, Rothschild juga menekankan kepada para undangan bahwa apa-apa yang telah dihasilkan di Inggris sesungguhnya bukanlah apa-apa jika dibandingkan dengan apa yang akan mereka perbuat atas Perancis. Skema besar untuk meletupkan Revolusi Perancis pun di bahas dengan serius.
Ini merupakan satu mata rantai dari sejumlah pertemuan para Konspiran untuk menggodok Revolusi Perancis. Dalam pertemuan di Frankfurt ini, agenda yang telah dirancang dipermatang dan upaya penggalangan dana pun di mulai dari ‘markas’ Rothschild tersebut. Menurut penilaian sosiologis dan psikologi massa yang dilakukan Konspirasi, situasi yang tengah dihadapi Perancis saat itu memang menggambarkan dengan baik apa yang sebenarnya tengah terjadi di Eropa: perekonomian tengah lesu, utang menumpuk, pengangguran di mana-mana, lapangan pekerjaan nyaris tidak bergerak, sektor industri macet, dan bencana kelaparan di ambang pintu.
Jurang kesenjangan ekonomi yang terjadi antara buruh dan rakyat kebanyakan dengan para bangsawan, pemilik modal, dan raja-raja demikian besar dan dalam. Menurut teori revolusi, dalam kondisi demikian buruk, massa rakyat telah siap untuk menyambut siapa pun yang tampil secara meyakinkan untuk menciptakan kehidupan yang lebih baik. Massa rakyat telah menjadi semacam tumpukan jerami kering yang hanya dengan percikan api sedikit saja akan bisa terbakar dan meluas dengan sangat cepat. Kondisi di Perancis merupakan yang terparah.
Di tengah kondisi demikian, lewat corong media yang dikuasainya, Konspirasi meniupkan aneka slogan yang muluk-muluk dan melemparkan semua kesalahan kepada penguasa dan orang-orang kaya, sehingga rakyat Perancis kian membenci mereka. Kehancuran dan kerusuhan tinggal menunggu hitungan hari. Sebuah rencana besar siap digelindingkan oleh Konspirasi.
Salah satu rumus baku dalam gerakan massa adalah: menjelek-jelekkan masa sekarang, di saat bersamaan mengingatkan massa rakyat akan kegemilangan masa lampau dan meyakinkan massa rakyat bahwa masa depan akan bisa menjadi lebih gemilang, mengulangi masa-masa keemasan di zaman silam, jika massa rakyat mau dan siap bergerak menumbangkan status-quo. Ini berlaku di mana saja.
Untuk menyatukan langkah gerakan massa, Konspirasi menciptakan tiga slogan gerakan: Liberté, Egalité, dan Fraternité (Kemerdekaan, Persamaan, dan Persaudaraan). Sebuah slogan yang mampu membius massa rakyat Perancis sehingga rela mengorbankan apa saja demi memenuhinya. Slogan ini secara terus-menerus diperdengarkan ke telinga rakyat Perancis sehingga setiap orang Perancis saat itu sangat hapal dengan tiga istilah di atas saat itu, bahkan kemudian dunia juga hafal.
Walau terdengar sangat indah, namun tiga istilah di atas bagi Konspirasi Yahudi Internasional memiliki arti yang sama sekali beda. Bagi kelompok ini, Liberté sesungguhnya berarti Kemerdekaan bagi mereka, kebebasan bagi mereka, bagi para pemilik modal, untuk berbuat apa saja terhadap Perancis.
Egalité yang sesungguhnya bermakna Persamaan, bagi Konspirasi diartikan sebagai persamaan di kalangan mereka untuk bisa bersama-sama, gotong royong, di dalam usahanya menguasai perekonomian Perancis.
Sedangkan Fraternité memiliki arti sebagai Persaudaraan antara kelompok mereka sendiri, di mana di dalam setiap usahanya, mereka harus saling tolong-menolong, bantu-membantu, agar kepentingan kelompok mereka bisa dicapai. Inilah hakikat tiga slogan Revolusi Perancis. Jadi Persaudaraan hanya terbatas pada kelompoknya saja.
Pada 14 Juli 1789, massa rakyat berbondong-bondong menuju penjara Bastille, perancis. Penjara yang bagaikan benteng itu dibakar. Para narapidana melarikan diri dan menimbulkan kerusuhan dan perampokan di mana-mana. Penyerbuan ke penjara benteng Bastille ini menandai di mulainya Revolusi Perancis. Hari demi hari berjalan dengan perkembangan yang tidak bisa diduga. King Louis XVI dan Marie Antoinette ditangkap dan dijebloskan kedalam penjara. Tidak lama kemudian keduanya dihukum mati, di pancung di atas pisau Guilotin.
Mirabeau yang awalnya didukung Konspirasi, kini malah diburu. Dia sebenarnya seorang yang cerdas, dan menjadi curiga dan dengan cepat ia menyadari akan bahaya yang mengancam dirinya. Namun Mirabeau terlambat, mesin propaganda Konspirasi telah bekerja begitu cepat dan efektif melancarkan fitnah terhadapnya. Gagal menyeret Mirabeau ke pengadilan, akhirnya pihak Konspirasi meracuni Mirabeau hingga tokoh ini menemui ajal. Jenazah Mirabeau diatur sedemikian rupa untuk mengesankan dia bunuh diri. Sejumlah selebaran dan berita-berita yang mendukung ‘bunuh diri’ Mirabeau ini dicetak dan disebarluaskan ke Eropa.
Kematian Mirabeau kemudian diikuti dengan berkuasanya pemerintahan teror di Perancis. Pada masa ini, tiap hari rakyat Perancis menyaksikan ribuan orang tiap hari digiring menuju pisau Guilotin. Roberspierre dan Danton ditugaskan Konspirasi untuk menjadi algojonya. Setelah dianggap menyelesaikan tugasnya, kedua orang ini, Roberspierre dan Danton pun dibunuh dengan keji. Pemerintahan teror mencapai puncaknya antara tanggal 27 April hingga 27 Juli 1794.
Satu hari sebelum Roberspierre diseret ke tempat hukuman mati, di depan Majelis Nasional, Roberspierre sempat menyampaikan orasi yang menyerang Konspirasi dan membuka tirai mereka dengan mengatakan ada sebuah organisasi rahasia yang bekerja dan menjadi dalang Revolusi Perancis. Roberspierre dengan tegas mengatakan, “Aku tidak berani menyebut nama mereka di tempat ini dan disaat ini pula. Aku juga tidak bisa membuka tirai yang menutupi kelompok ini sejak awal terjadinya peristiwa revolusi. Akan tetapi, aku bisa meyakinkan anda sekalian, dan aku percaya sepenuhnya, bahwa di antara penggerak revolusi ini ada kaki tangan yang diperalat dan melakukan kegiatan amoral dan penyuapan besar-besaran. Kedua sarana itu merupakan taktik yang paling efektif untuk menghancurkan negeri kita yang kita cintai ini…”
Roberspierre, seorang Mason yang diberi kesempatan lebih untuk mengetahui lebih banyak dari yang seharusnya, ternyata dinilai 13 petinggi Konspirasi Yahudi Internasional telah bertindak melampaui batas. Mereka menetapkan jika Roberspierre harus mati. Maka dalam waktu dekat, Roberspierre pun diseret ke tempat hukuman mati dengan tuduhan yang dibuat-buat.
Sejarah mencatat bahwa di tengah kondisi Perancis yang porak-poranda dan berkecamuknya kerusuhan serta situasi yang tidak menentu, muncullah Napoleon Bonaparte yang penuh kharismatik lewat sebuah kudeta. Sebagai seorang pemimpin militer, Napoleon meyakini kerusuhan di dalam negeri harus diakhiri. Caranya adalah dengan menciptakan satu musuh dari luar yang mampu menjadi musuh bersama bagi rakyat Perancis (The Common Enemy). Ide besar Napoleon ini didukung oleh Konspirasi
Naiknya Napoleon dalam peta politik Perancis didukung speenuhnya oleh Konspirasi. Demikian pula dengan tumbangnya Napoleon yang juga dimanfaatkan oleh Konspirasi. Bagi Konspirasi Yahudi Internasional, kesetiaan pada kepentingan adalah yang utama, bukan kepada personal.
Salah satu peristiwa yang sangat penting dalam perjalanan Eropa, terutama bagi Inggris dan Perancis adalah Pertempuran Palagan Waterloo, yang yang terjadi pada tanggal 18 Juni 1815 di sebuah wilayah yang kini berada di Belgia, antar pasukan Napoleon Bonaparte melawan pasukan Eropa yang dipimpin Panglima Perang Kerajaan Inggris, Wellington.
Hasil dari pertempuran besar ini akan sangat berpengaruh pada Eropa di masa depan. Jika Napoleon keluar sebagai pemenang, maka Perancis akan menjadi tuan atas seluruh daratan Eropa. Namun jika Napoleon bisa dikalahkan maka Inggris akan menjadi penguasa keuangan Eropa yang tak kan tergoyahkan.
Ketika dua kekuatan saling berhadapan di medan perang, pasar bursa saham di London benar-benar seperti orang yang sedang demam, panas dingin dengan keringat yang terus keluar, menantikan hasil akhirnya. Betapa tidak, jika Grande Armee de France Napoleon Bonaparte menang maka bisa dipastikan perekonomian Inggris akan hancur. Namun jika Wellington menang, perekonomian negara itu akan melonjak drastis, meroket ke puncak kejayaan dengan menguasai Perancis.
Hal ini diketahui Nathan Rothschild dan segera mengumpulkan agen-agen terbaiknya dan mengirim mereka ke Waterloo untuk mengumpulkan informasi seakurat mungkin. Agen-agen tambahan ditempatkan di beberapa pos komando yang mampu bergerak cepat kapan saja untuk memberi bantuan, dukungan, maupun segi-segi teknis lainnya.
Tanggal 15 Juni 1815, tiga hari sebelum D-Day, seorang agen kepercayaan Rothschild dengan langkah tergesa menaiki sebuah perahu cepat melalui Selat Channel menuju Pantai Dover di Inggris. Orang itu membawa laporan intelijen dari agen-agen Rothschild di lapangan terkait perkembangan terakhir di lapangan. Agen khusus itu tiba di Folkstone dini hari dan dijemput oleh Rothschild pribadi. Dengan cepat dan seksama Rothschild membaca seluruh isi laporan tersebut dan langsung bergegas ke pasar bursa London. Di pasar bursa itu Rothschild sudah menaruh banyak agennya yang telah siap diperintah kapan pun.
Dengan wajah dingin dan kaku seperti biasanya, Nathan Rothschild memasuki gerbang pasar bursa. Seperti biasa, ia berdiri di dekat ‘Pilar Rothschild’ kesukaannya. Agen-agen Rothschild yang sudah berada di pasar bursa sejak beberapa hari lalu, dengan wajah yang juga dingin menunggu isyarat dari bosnya. Entah isyarat apa yang diberikan Rothschild, tiba-tiba saja orang-orang Rothschild ini mulai menumpahkan surat-surat berharga senilai ratusan ribu dollar ke pasar. Begitu kertas-kertas berharga ini dilempar ke pasar dalam jumlah besar, nilainya dengan cepat merosot tajam.
Nathan tetap diam di pilarnya. Ia terus menjual, dan menjual. Nilai kertas-kertas berharga ambruk tidak tertolong. Pialang-pialang lain mulai gelisah melihat sikap Rothschild yang begitu berani melepas semua saham-sahamnya tanpa ampun bagai membuang kertas-kertas yang tidak ada harganya sama sekali. Mereka mulai berspekulasi, bisik-bisik mulai menyebar di antara mereka. Pasar bursa London berdengung bagai suara lebah, “Rothschild sudah tahu! Rothschild sudah tahu! Wellington kalah di Waterloo! Napoleon menang!”
Kepanikan meletus di lantai bursa. Semua pialang mengikuti ulah Rothschild, menumpahkan kertas-kertas berharganya ke pasar tanpa peduli menjadi berapa pun harganya. Tak hanya uang, logam mulia seperti emas dan perak pun dilepas dengan harga obral besar. Hanya satu harapan mereka: berupaya sekuat tenaga mempertahankan kekayaan yang masih tersisa di tangannya. Semuanya terus menukik tajam. Kertas-kertas berharga berserakan di lantai bursa bagaikan gunungan sampah.
Setelah semua harga saham jatuh, dengan wajah tetap dingin, Nathan memberi isyarat lain kepada para agennya. Bandul mulai bergerak berlawanan. Dengan sangat cepat, para agen Rothschild yang tadinya melepas sahamnya, sekarang melesat ke tiap meja yang ada dan memborong seluruh kertas berharga yang teronggok di atas meja dan bertebaran di lantai. Kepanikan telah menyebabkan banyak pialang dan pengusaha tidak lagi bisa berpikir jernih. Mereka tidak lagi melihat perubahan sikap dari Rothschild. Dalam hitungan menit, semua saham, kertas berharga, emas, perak, dan sebagainya kini telah jatuh ke tangan satu orang: Rothschild. Dia menjadi penguasa tunggal dengan modal yang tidak seberapa.
Beberapa hari kemudian berita yang sesungguhnya tentang Palagan Waterloo tiba di London. Wellington menang! Wellington menang! Harga saham, kertas berharga, dan sebagainya yang tadinya begitu murah, dengan cepat melesat meninggi. Kekayaan Rothschild dalam waktu hanya semalam menjadi berlipat-lipat jumlahnya. Tak kurang dari duapuluh kali lipat! Rakyat kebanyakan meloncat-loncat kegirangan di jalanan. Sedang para pengusaha banyak yang merasakan mati sebelum waktunya. Mereka kini telah menjadi budak dari Tuan Rothschild, sang penguasa Inggris dan Eropa yang sesungguhnya. Perekonomian Inggris jatuh ke bawah sepatu Nathan Rothschild pada tahun 1815. Tiga tahun kemudian Perancis menyusul Inggris dan jatuh ke bawah sepatu yang sama.
Frederich Morton, penulis Biografi Dinasti Rothschild menulis, jika dahulu mereka sangat terbuka dalam berbisnis dan menjadi pusat pemberitaan selebritis dunia, maka kini hal itu tidak lagi menjadi kebiasaan keluarga kaya raya tersebut. “Setelah itu mereka menyelimuti kehadirannya dengan kesenyapan, tak terdengar dan tak terlihat…” Menurut Morton, hal ini dilakukan sebagai strategi baru keluarga ini untuk tetap eksis dalam tujuan utamanya memonopoli dunia, menciptakan The New World Order.
Rothschild dan Pendirian Federal Reserve
Ketika Amerika masih terbagi dalam 13 koloni Inggris, Benjamin Franklin mengunjungi London dan menemui sejumlah pemodal Yahudi berpengaruh di sana. Dalam pertemuan yang dicatat dalam Dokumen Senat Amerika halaman 98 butir 33, yang ditulis Robert L. Owen, mantan kepala komisi bank dan keuangan Kongres AS, dilaporkan bahwa wakil-wakil perusahaan Rothschild di London menanyakan kepada Benjamin Franklin hal-hal apa saja yang bisa membuat perekonomian koloni Inggris di seberang lautan itu bisa maju.
Franklin yang masih tercatat sebagai anggota Freemasonry Inggris menjawab, “Masalah itu tidak sulit. Kita akan mencetak mata uang kita sendiri, sesuai dengan kebutuhan yang diperlukan oleh industri yang kita miliki.”
Insting bisnis Rothschild segera bekerja. Ini merupakan satu kesempatan besar untuk menangguk untung di koloni Inggris ini. Namun sebagai langkah awal, hak untuk mencetak uang sendiri bagi koloni di seberang lautan tersebut masih dilarang oleh Inggris sampai waktu yang ditentukan. Namun persiapan ke arah itu sudah dijalankan. Inggris saat itu memang sudah jatuh dalam pelukan Konspirasi.
Amschell Mayer Rothschild sendiri saat itu masih sibuk di Jerman mengurus bisnisnya, yang salah satu cabang usahanya adalah mengorganisir tentara bayaran (The Mercenaries) Jerman bagi Inggris untuk menjaga koloni-koloni Inggris yang sangat luas. Usulan mencetak mata uang sendiri bagi Amerika, lepas dari sistem mata uang Inggris, akhirnya tiba di hadapan Rothschild. Setelah memperhitungkan segala laba yang akan bisa diperoleh, demikian pula dengan penguasaan politisnya, maka Rothschild akhirnya menganggukkan kepalanya. Dengan cepat lahirlah sebuah undang-undang yang memberi hak kepada pemerintah Inggris di koloni Amerika untuk mencetak mata uangnya sendiri bagi kepentingan koloninya tersebut. Seluruh asset koloni Amerika pun dikeluarkan dari Bank Sentral Inggris, sebagai pengembalian deposito sekaligus dengan bunganya yang dibayar dengan mata uang yang baru. Hal ini menimbulkan harapan baru di koloni Amerika. Tapi benarkah demikian?
Dalam jangka waktu setahun ternyata Bank Sentral Inggris—lewat pengaruh pemodal Yahudi—menolak menerima pembayaran lebih dari 50% dari nilai mata uang Amerika, padahal ini dijamin oleh undang-undang yang baru. Dengan sendirinya, nilai tukar mata uang Amerika pun anjlok hingga setengahnya. “…Masa-masa makmur telah berakhir, dan berubah menjadi krisis ekonomi yang parah. Jalan-jalan di seluruh koloni tersebut kini tidak lagi aman,” demikian paparan Benjamin Franklin yang tercatat dalam Dokumen Kongres AS nomor 23.
Belum cukup dengan itu, pemerintah pusat Inggris memberlakukan pajak tambahan kepada koloninya tersebut yakni yang dikenal sebagai Pajak Teh. Keadaan di koloni Amerika bertambah buruk. Kelaparan dan kekacauan terjadi di mana-mana. Ketidakpuasan rakyat berbaur dengan ambisi sejumlah politikus. Situasi makin genting. Dan tangan-tangan yang tak terlihat semakin memanaskan situasi ini untuk mengobarkan apa yang telah terjadi sebelumnya di Inggris dan Perancis: Revolusi.
Dalam sejarah dunia, revolusi merupakan hal yang dibutuhkan tokoh-tokoh dalam bayangan gelap untuk menguasai suatu negara atau suatu wilayah dengan cepat. Tak perduli berapa juta rakyat menjadi korbannya.
Sejarah mencatat, bentrokkan bersenjata antara pasukan Inggris melawan pejuang kemerdekaan Amerika Serikat terjadi pada 19 April 1775. Jenderal George Washington diangkat menjadi pimpinan kaum revolusioner. Selama revolusi berlangsung, Konspirasi Yahudi Internasional seperti biasa bermain di kedua belah pihak. Yang satu mendukung Inggris, memberikan utang dan senjata untuk memadamkan ‘pemberontakan kaum revolusioner’, sedang yang lain mendukung kaum revolusioner dengan uang dan juga senjata. Tangan-tangan Konspirasi menyebabkan Inggris kalah dan pada 4 Juli 1776, sejumlah tokoh Amerika Serikat mendeklarasikan kemerdekaannya.
Merdeka secara politis ternyata tidak menjamin kemerdekaan penuh secara ekonomis. Kaum pemodal Yahudi dari Inggris masih saja merecoki pemerintahan yang baru saja terbentuk. Rothschild dan seluruh jaringannya tanpa lelah terus menyusupkan agen-agennya ke dalam tubuh Kongres. Dua orang agen mereka, Alexander Hamilton dan Robert Morris pada tahun 1783 berhasil mendirikan Bank Amerika (bukan bank sentral), sebagai ‘wakil’ dari Bank Sentral Inggris.
Melihat gelagat yang kurang baik, Kongres membatalkan wewenang Bank Amerika untuk mencetak uang. Pertarungan secara diam-diam ini berlangsung amat panas. Antara kelompok pemodal Yahudi dengan sejumlah tokoh Amerika, yang herannya banyak pula yang merupakan anggota Freemasonry, untuk menguasai perekonomian negara yang baru ini.
Thomas Jefferson menulis surat kepada John Quincy Adams, “Saya yakin sepenuhnya bahwa lembaga-lembaga keuangan ini lebih berbahaya bagi kemerdekaan kita daripada serbuan pasukan musuh. Lembaga keuangan itu juga telah melahirkan sekelompok aristokrat kaya yang kekuasaannya mengancam pemerintah. Menurut hemat saya, kita wajib meninjau hak mencetak mata uang bagi lembaga keuangan ini dan mengembalikan wewenang itu kepada rakyat Amerika sebagai pihak yang paling berhak.”
Mengetahui surat ini, para pemodal Yahudi amat marah. Nathan Rothschild secara pribadi mengancam Presiden Andrew Jackson akan menciptakan kondisi Amerika yang lebih parah dan krisis berkepanjangan. Tapi Presiden Jackson tidak gentar. “Anda sekalian tidak lain adalah kawanan perampok dan ular. Kami akan menghancurkan kalian, dan bersumpah akan menghancurkan kalian semua!”
Pemodal Yahudi benar-benar marah sehingga mendesak Inggris agar menyerbu Amerika dan terjadilah perang lagi pada tahun 1816.
William Guy Carr telah merinci kejadian demi kejadian ini dengan sangat bagus. Presiden Abraham Lincoln sendiri pada malam tanggal 14 April 1865 dibunuh oleh seorang Yahudi bernama John Dickles Booth. Konspirasi memerintahkan pembunuhan ini karena mengetahui bahwa Presiden Lincoln akan segera mengeluarkan sebuah undang-undang yang akan menyingkirkan hegemoni Konspirasi terhadap Amerika. Si pembunuh Lincoln, Dickles Booth, berhubungan dengan Yahuda B. Benjamin, seorang agen Rothschild di Amerika. Booth sendiri tertangkap dan dihukum, sedangkan pihak Konspirasi tetap aman.
Bagi yang tertarik mendalami masa-masa awal berdirinya negara Amerika Serikat, pertarungan antara pihak Kongres-Nasionalis dengan para pemodal Yahudi Internasional dalam menguasai perekonomian AS hingga The Federal Reserve atau Bank Sentral Amerika berdiri, yang lucunya dimiliki oleh swasta bukan pemerintah, bisa membaca buku William Guy Carr yang telah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia oleh penerbit Pustaka Alkautsar berjudul “Yahudi Menggenggam Dunia”, sebuah buku lagi yang juga saya rekomendasikan adalah The Creature From Jekyll Island: A Second Look at the Federal Reserve (American Opinion Publishing, Inc; 1994) karya Edward Griffin, yang edisi Indonesianya telah diterbitkan oleh Esok Press dengan judul “Serial The Fed 1: Monster dari Jekyll Island, Sebuah Studi Mendalam Tentang The Federal Reserve” yang didistribusikan oleh LSM PaRaM. Dalam kedua buku tersebut, kita akan bisa memahami bahwa sesungguhnya bangsa Amerika sekarang ini telah menjadi kuda tunggangan, sedang dijajah, oleh satu kekuatan bayangan yang disebut Konspirasi Yahudi Internasional. Bahkan kita akan mendapat kesimpulan yang kuat dan mengagetkan: Negara Amerika Serikat serta seluruh warganegara dan asset-asetnya sebenarnya milik dari The Federal Reserve.
Dalam salah satu kertas presentasinya, seorang profesor Amerika dengan nama samaran “Aristoteles”, menguraikan sebab-sebab kebangkrutan pemerintah Amerika Serikat berjudul “U.S Government Bankruptcy Proceedings”. Walau hanya berisi pokok-pokok peristiwa, namun makalah tersebut sangat penting untuk diketahui. Inilah salinannya:
Sebelum tahun 1913, pemerintah Amerika memperoleh dana dari tarif impor. Pada saat itu belum ada pajak dikenakan pada warganegara. Mata uang Amerika dibuat dari logam asli atau yang bisa dihargai/dikembalikan sebagai logam—dikenal sebagai “uang asli”.
Pada tahun 1913 para bankers memutuskan bahwa telah terjadi kekurangan mata uang di Amerika dan pemerintah Amerika tidak bisa menerbitkan mata uang lagi karena semua emas cadangannya telah terpakai.
Agar ada sirkulasi tambahan uang, kelompok orang mendirikan satu bank yang dinamakan “The Federal Reserve Bank of New York”. Kemudian Federal Reserve Bank di New York menjual stock yang dimiliki dan dibeli oleh mereka sendiri senilai US$ 450.000.000 melalui bank-bank sebagai berikut: Rothschild Bank of London, Rothschild Bank of Berlin, Warburg Bank of Hamburg, Warburg Bank of Amsterdam (Keluarga Warburg mengontrol German Reichsbank bersama Keluarga Rothschild), Israel Moses Seif Bank of Italy, Lazard Brothers of Paris, Citibank, Goldman & Sach of New York, Lehman & Brothers of New York, Chase Manhattan Bank of New York, dan Kuhn & Loeb Bank of New York.
Karena bank-bank tersebut mempunyai cadangan emas yang besar, maka bank tersebut dapat mengeluarkan mata uang yang dengan jaminan emas tersebut dan mata uang tersebut disebut “Federal Reserve Notes”. Bentuknya sama dengan mata uang Amerika dan masing-masing dapat saling tukar.
Untuk membayar bunga, pemerintah Amerika menciptakan pajak. Jadi sebenarnya warganegara Amerika membayar bunga kepada Federal Reserve. Pajak ini dimulai tahun 1913, pada tahun yang sama Federal Reserve Bank didirikan. Seluruh pajak yang terkumpul dibayarkan ke Federal Reserve sebagai bunga atas pinjaman.
Awal tahun 1929, Federal Reserve berhenti menerima uang emas sebagai bayaran. Yang berlaku hanya ‘uang resmi’. Federal Reserve mulai menarik uang kertas yang dijamin emas dari sirkulasi dan menggantinya dengan ‘uang resmi’.
Sebelum tahun 1929 berakhir, ekonomi Amerika mengalami malapetaka (dikenal dengan masa ‘Great Depression’).Tahun 1931, Presiden Amerika Hoover mengumumkan kekuarangan budjet sebesar US$ 902.000.000.
Tahun 1932 Amerika menjual emas senilai US$ 750.000.000 yang digunakan untuk menjamin mata uang Amerika. Ini sama dengan ‘penjualan likuidasi’ sebuah perusahaan bermasalah. Emas yang dijual ini dibeli dengan potongan (discount rates) oleh bank internasional/bank asing (persis keadaannya seperti di Indonesia sekarang ini), dan pembelinya adalah pemilik Federal Reserve di New York.
Presiden Roosevelt mengalahkan Presiden Hoover di tahun 1932. Dalam sambutannya ia mengatakan, “Satu-satunya hal yang harus kita takutkan adalah ketakutan itu sendiri.” Roosevelt melakukan serangkaian keputusan untuk melakukan reorganisasi pemerintahan Amerika sebagai suatu perusahaan. Perusahaan ini kemudian mengalami kebangkrutan. Amerika bangkrut karena tidak bisa membayar bunganya akibat berhutang kepada Federal Reserve. Akibat bangkrutnya Amerika, maka bank-bank yang merupakan pemilik Federal Reserve sekarang memiliki SELURUH Amerika, termasuk warganegaranya dan asset-assetnya. Negara Amerika bentuknya adalah anak perusahaan Federal Reserve
Federal Reserve telah membangkrutkan seluruh asset Amerika Serikat. Seminggu kemudian, di Parlemen, dilakukan tuntutan impeachment terhadap anggota-anggota dari Dewan Federal Reserve, kebanyakan agen-agen Federal Reserve dan para manajer dari Departemen Keuangan Amerika dengan tuduhan “kejahatan luar biasa dan penyalahgunaan wewenang”, termasuk pencurian lebih dari US$ 80.000.000.000 pertahun selama lima tahun (total US$ 400.000.000.000!)
Tahun 1934 Roosevelt memerintahkan seluruh bank di Amerika untuk tutup selama satu minggu dan menarik dari masyarakat emas dan mata uang yang diback-up emas dan menggantinya dengan “seolah-olah uang” yang dicetak Federal Reserve. Tahun itu dikenang sebagai ‘Liburan Bank Nasional’.
Rakyat mulai menahan emasnya karena mereka tidak mau menggunakan kertas tak bernilai “seolah-olah uang”. Karena itu Roosevelt pada tahun 1934 mengeluarkan perintah bahwa setiap warganegara dilarang memiliki emas, karena illegal. Para hamba hukum mulai melakukan penyelisikan pada orang-orang yang memiliki emas, dan segera menyitanya jika ditemukan. (Catatan: Pada saat itu rakyat yang ketakutan berbondong-bondong menukar emasnya dengan sertifikat/bond bertuliskan I.O.U yang ditandatangani oleh Morgenthau, Menteri Keuangan Amerika). Hal ini merupakan perampokan emas besar-besaran yang terjadi dalam sejarah umat manusia. Tahun 1976 Presiden Carter mencabut aturan ini.
Tahun 1963 Presiden Kennedy memerintahkan Departemen Keuangan Amerika untuk mencetak uang logam perak. Langkah ini mengakhiri kekuasaan Federal Reserve karena dengan memiliki uang sendiri, maka rakyat Amerika tidak perlu membayar bunga atas uangnya sendiri. Lima bulan setelah perintah itu dikeluarkan, Presiden Kennedy mati dibunuh.
Langkah pertama Presiden Johnson adalah membatalkan keputusan Presiden Kennedy dan memerintahkan Departemen Keuangan Amerika untuk menghentikan pencetakan mata uang perak sekaligus menarik mata uang perak dari peredaran untuk dimusnahkan.
Pada hari yang sama Kennedy dimakamkan, Federal Reserve Bank mengeluarkan uang ‘no promise’ yang pertama. Uang ini tidak menjanjikan bahwa mereka akan membayar dalam mata uang yang sah secara hukum, tetapi mata uang ini merupakan alat pembayaran yang berlaku.
Presiden Ronald Reagan merencanakan memperbaiki pemerintahan Amerika sesuai dengan aturan konstitusi. Ia ditembak beberapa bulan kemudian oleh anak dari teman dekatnya, Wakil Presiden George Bush. Reagan bisa diselamatkan, dan dia tidak mengeluarkan perintah baru dan pada tahun 1987 untuk melaksanakannya namun perintah tersebut tidak ditanggapi oleh pemerintah Amerika.
Tahun 1993, James Traficant dalam pidatonya yang terkenal di Parlemen mengutuk sistem Federal Reserve sebagai suatu penipuan besar-besaran. Tak lama setelah itu ia menjadi korban penyelidikan korupsi sekali pun tidak ada tuntutan kepadanya selama bertahun-tahun.
Uang dollar yang dicetak sebelum tahun 2000 tertera kata-kata Federal Reserve Bank cabang mana yang mengeluarkan dan menjamin uang tersebut. Pada cetakan tahun 2000 dalam desain mata uang yang baru hanya tertera Federal Reserve System.
Pada tahun 2002, Traficant akhirnya terbukti korupsi. Ia mengatakan bahwa saksi-saksi yang melawan dia semuanya dipaksa untuk berbohong. Ia juga mengeluh karena tidak diperkenankan menghubungi semua orang yang menyelidikinya, sebagai saksi.
Henry Ford pernah berkata, “Barangkali ada bagusnya rakyat Amerika pada umumnya tidak mengetahui asal-usul uang, karena jika mereka mengetahuinya, saya yakin esok pagi akan timbul revolusi.”
Ford Country: Membangun Agen Elite untuk IndonesiaMenurut David Ransom
Ada pula informasi penting yang menarik dari Steve Weissman, ed, anggota dari Pusat Studi Pasifik dan Amerika Utara pada Kongres Amerika Latin, The Trojan Horse: tentang Sebuah Kajian Radikal tentang Bantuan Asing (Palo Alto CA: Ramparts Press, 1975 edisi revisi)., Hlm 93 – 116. Sumber: cia-on-campus (tentang strategi neoimperialime-neokolonialisme melalui hutang bantuan dana asing terhadap Republik Indonesia).
Catatan David Ransom: Sebagian besar bahan dalam artikel ini dikumpulkan dari berbagai wawancara pribadi yang dilakukan antara Mei 1968 dan Juni 1970. Wawancara dengan berbagai anggota Departemen Luar Negeri dan Ford Foundation dari masa lalu dan sekarang, anggota fakultas di Harvard, Berkeley, Cornell, Syracuse, dan University of Kentucky, dan orang Indonesia, baik yang mendukung dan menentang pemerintah Soeharto. Bila memungkinkan, nama mereka muncul dalam teks. Informasi lain dalam artikel ini berasal dari pembacaan berbagai macam literatur yang tersedia tentang sejarah dan politik Indonesia. Akibatnya, hanya item-item yang catatan kaki yang secara langsung berupa kutipan atau parafrase dari sumber tercetak.
Pada awal tahun enam puluhan, kata “Indonesia” adalah merupakan kata-kata kotor bagi perkembangan dunia kapitalisme. Pengambil-alihan perusahaan swasta oleh Negara Indonesia, penyitaan dan nasionalisme merajalela, menyebabkan para ekonom liberal dan para pengusaha sama-sama takut bahwa dongeng semua kekayaan di Hindia – sawit, karet dan timah – akan hilang diambil Soekarno yang berapi-api dan dua puluh juta pengikut Partai Komunis Indonesia (PKI) yang berorientasi ke Peking.
Kemudian, pada bulan Oktober 1965, para jenderal militer Indonesia masuk mengarahkan pembalasan mereka terhadap “kudeta kolonel” yang gagal, menjadi program anti-komunis, dan membuka kesempatan eksploitasi sumber daya alam negara Indonesia yang luas secara penuh oleh perusahaan-perusahaan Amerika. Setelah itu, pada 1967, Presiden Amerika Richard Nixon menggambarkan Indonesia sebagai satu “hadiah terbesar di kawasan Asia Tenggara.”1 Jika Vietnam telah menjadi lahan kekalahan utama pasca perang bagi sebuah perluasan imperialism Amerika, maka pembalikan haluan (politik) di Indonesia yang merupakan tetangga dekat Vietnam, adalah kemenangan tunggal terbesar.
Tak perlu dikatakan, para jenderal rezim militer Indonesia-lah yang memberikan sebagian besar sahamnya untuk kesuksesan Amerika itu. Tapi yang berdiri di sisi mereka, dan yang memberikan saham jangka panjang yang sangat besar dan luar biasa adalah tim ekonom Indonesia, mereka semuanya dididik di Amerika Serikat sebagai bagian dari strategi 20 tahun disponsori oleh lembaga bantuan beasiswa swasta yang paling kuat dunia, yang disokong dana miliaran dolar dari Ford Foundation .
Namun strategi terhadap Indonesia sudah dimulai jauh sebelum Ford Foundation mengalihkan perhatiannya ke kancah internasional.
Setelah kekalahan Jepang dalam Perang Dunia II, gerakan revolusioner menyapu Asia, dari India ke Korea, dari Cina ke Filipina, banyak yang menimbulkan ancaman bagi Pax Pacifica Amerika yang sudah terencana dengan baik. Tapi kaum nasionalis Indonesia, meski bertahan dalam kesulitan dalam melawan invasi Belanda sesudah perang yang ingin melanjutkan pemerintahan Hindia Belanda, tidak pernah membawa perjuangan mereka menjadi perang rakyat besar-besaran. Sebaliknya, pemimpinnya yang dekat dengan Negara Barat memenangkan kemerdekaan mereka di ruang tamu kantor Washington dan New York. Pada 1949 Amerika berhasil membujuk Belanda untuk mengambil tindakan sebelum revolusi Indonesia berjalan terlalu jauh, dan kemudian belajar untuk hidup berdamai dengan nasionalisme dan yang seperti itu. Para diplomat Amerika membantu rancangan perjanjian yang memberikan Indonesia kemerdekaan politik mereka, yang melestarikan kehadiran kekuatan ekonomi Belanda, dan terbuka lebarnya pintu untuk masuknya pengaruh budaya dan ekonomi baru Amerika Serikat.
Di antara mereka yang menangani manuver diplomatik di AS adalah dua aristokrat muda Indonesia: Soedjatmoko dan Sumitro Djojohadikusumo, seorang ekonom dengan gelar Ph.D. lulusan dari Belanda. Keduanya adalah anggota elite yang secara nominal anggota gerakan sosialis PSI (partai Sosialis Indonesia), salah satu partai politik Indonesia yang lebih kecil dan lebih berorientasi Barat.
Tertekan oleh momok Sukarno dan oleh sayap kiri yang kuat dari pasukan revolusi kemerdekaan Indonesia, pembentukan pengaruh politik Amerika akhirnya menemukan nasionalisme hambar yang ditawarkan oleh Soedjatmoko dan Sumitro, sebagai alternatif yang paling nyaman bagi Amerika. “Strategi The Marshall Plan untuk Eropa tergantung pada ketersediaan sumber daya di Asia,” kata Soedjatmoko kepada para pendengarnya di New York, dan dia menawari mereka, Indonesia yang terbuka untuk “kerja sama yang bermanfaat dengan Barat.”2 Di Sekolah Studi Internasional Lanjutan di Washington yang didanai Ford Foundation pada awal tahun 1949, Sumitro menjelaskan bahwa sosialisme jenisnya menjamin “akses bebas” ke sumber daya alam Indonesia dan “insentif yang cukup” untuk investasi perusahaan asing.3
Ketika kemerdekaan (formal internasional/ de jure) datang kemudian pada tahun itu, Sumitro kembali ke Jakarta untuk menjadi menteri perdagangan dan industri (dan kemudian menjadi menteri keuangan dan dekan fakultas ekonomi di Universitas Indonesia di Jakarta). Dia membela sebuah konsep”stabilitas” ekonomi yang menyukai investasi Belanda dan, dengan hati-hati menghindari radikalisme, dan menjadikan Hjalmar Schacht sebagai penasehat dan arsitek ekonomi dari Dunia Ketiga.
Sumitro mendapatkan dukungan PSI dan sekutu “modernis” mereka yang secara numerik kuat, yaitu Partai Masyumi, sebuah kendaraan para pedagang komersial dan santri Islam pemilik tanah di Indonesia. Tapi jelas ia berenang melawan arus. Karena Kaum Komunis PKI, kaum Nasionalis PNI pro Sukarno, Angkatan Darat, kaum Islam ortodoks NU – semua orang, pada kenyataannya mengendarai gelombang nasionalisme pasca perang, kecuali PSI dan Masyumi. Dalam pemilu nasional 1955 – untuk Indonesia pertama dan terakhir – PSI disurvei tempat kelima terkecil. Hal itu lebih buruk dalam pemungutan suara lokal 1957, di mana PKI Komunis muncul sebagai partai terkuat.
Namun demikian, ketika Presiden Soekarno mulai menasionalisasi kepemilikan Perusahan Belanda pada tahun 1957, Sumitro bergabung dengan para pemimpin Masjumi dan komandan Angkatan Darat pembangkang dalam Pemberontakan Kepulauan Luar Jawa, yang didukung sebentar oleh CIA. Pemberontakan Itu secara spektakuler tidak berhasil. Dari kegagalan di Sumatera dan Sulawesi, Sumitro melarikan diri ke pengasingan dan berkarir sebagai konsultan pemerintah dan bisnis di Singapura. PSI dan Masyumi dilarang oleh Sukarno..
Orang Indonesia yang menjadi sekutu Amerika telah berkolusi dengan kekuatan imperialis untuk menggulingkan pemerintahan nasionalis populer terpilih, yang dipimpin oleh seorang pria (Soekarno) yang dianggap sama seperti George Washington bagi negaranya – dan mereka telah kehilangan. Jadi kehancuran mereka telah didiskreditkan sehingga tidak ada suatu keajaiban yang bisa mengembalikan mereka ke kursi kekuasaan.
Keajaiban tersebut yang mengambil waktu satu dekade untuk melakukannya, dan itu datang dari luar manuver diplomasi, permainan politik partai, bahkan invasi pasukan tentara Amerika. Metode-metode tersebut, di Indonesia dan di tempat lain, telah gagal. Justru mukjizat (bagi Amerika) datang malahan melalui “lorong-lorong suci” akademisi, yang dipandu oleh tangan “mulia” filantropi.
Pendidikan telah lama menjadi lengan kekuasaan negara, dan karena itulah mengapa Dekan Rusk yang menjabarkan fungsinya di Pasifik pada tahun 1952, hanya beberapa bulan sebelum ia mengundurkan diri sebagai Asisten Sekretaris Negara untuk Urusan Timur Jauh, untuk mengepalai Yayasan Rockefeller. “Agresi Komunis” di Asia memerlukan tidak hanya orang Amerika yang dilatih untuk berperang di sana, tetapi “kita harus membuka fasilitas pelatihan kita untuk meningkatkan jumlah teman kita dari seluruh Pasifik.” 4
Ford Foundation, di bawah pimpinan Paul Hoffman (dan yang bekerja sama dengan Rockefeller Foundation), bergerak cepat untuk menerapkan saran Rusk bagi Indonesia. Sebagai kepala dari Marshall Plan di Eropa, Hoffman telah membantu mengatur “legalisasi kemerdekaan Indonesia” dengan memotong dana bantuan ke Belanda yang kontra dan mengancam pemotongan total bantuan kepada Belanda. Karena Amerika Serikat menggantikan posisi Belanda, Hoffman dan Ford akan bekerja melalui universitas-universitas Amerika terbaik – MIT, Cornell, Berkeley, dan akhirnya Harvard – untuk mencetak jenjang hirarki orang Indonesia yang lama menjadi administrator modern, yang dilatih untuk bekerja di bawah pemerintahan tidak langsung baru Amerika. Dalam jargon Ford sendiri, mereka akan menciptakan sebuah “elit modernisasi.”
“Anda tidak dapat memiliki sebuah negara modern tanpa elit modernisasi,” jelas wakil presiden wakil divisi internasional Ford, Frank Sutton. “Itu salah satu alasan kenapa kami telah memberikan banyak perhatian pada pendidikan universitas.” Sutton menambahkan bahwa tidak ada tempat yang lebih baik untuk menemukan elite seperti itu daripada di antara “mereka yang berdiri di suatu tempat dalam struktur sosial di mana prestise, kepemimpinan, dan peduli kepentingan pribadi, sebagaimana selalu yang mereka lakukan.”
Ford meluncurkan usahanya untuk membuat Indonesia sebuah “negara modern” pada tahun 1954 dengan proyek-proyek lapangan dari MIT dan Cornell. Para sarjana yang dihasilkan oleh kedua proyek – satu di bidang ekonomi, yang lain dalam pembangunan politik – telah secara efektif mendominasi bidang studi Indonesia di Amerika Serikat sejak itu. Dibandingkan dengan apa yang mereka akhirnya produksi di Indonesia, bagaimanapun, ini merupakan prestasi yang cukup sederhana. Bekerja melalui Pusat Studi Internasional (Center for International Studies, gagasan Max Millikan dan Walt W Rostow yang disponsori CIA.), Ford mengirimkan tim dari MIT untuk menemukan “penyebab stagnasi ekonomi di Indonesia.” Sebuah contoh menarik dari upaya itu adalah studi Guy Pauker tentang “kendala politik” terhadap pembangunan ekonomi, kendala seperti pemberontakan bersenjata. “
Dalam perjalanan pekerjaan lapangan, Pauker harus tahu dengan cukup baik perwira-perwira tinggi Angkatan Darat Indonesia. Ia menemukan bahwa mereka “jauh lebih mengesankan” daripada para politisi. “Aku adalah orang pertama yang tertarik pada peran militer dalam pembangunan ekonomi,” kata Pauker. Dia juga harus tahu sebagian besar tokoh kunci warga sipil: “Dengan pengecualian dari sebuah kelompok yang sangat kecil,” mereka “hampir benar-benar dilupakan” dari apa yang Pauker sebut pembangunan modern. Tidak mengherankan, “kelompok yang sangat kecil” itu terdiri dari bangsawan-intelektual PSI, khususnya Sumitro dan murid-muridnya.
Sumitro, pada kenyataannya, telah berpartisipasi dalam briefing tim MIT sebelum mereka meninggalkan Cambridge. Beberapa murid-muridnya juga dikenal oleh tim MIT, telah menghadiri sebuah seminar musim panas yang didanai CIA yang dijalankan di Harvard setiap tahun oleh Henry Kissinger. Salah satu mahasiswa adalah Muhammad Sadli, anak santri pedagang teman baik Pauker. Di Jakarta, Pauker menjalin persahabatan dengan klan PSI dan membentuk sebuah kelompok studi politik yang anggotanya di antaranya adalah kepala Biro Perencanaan Nasional Indonesia (Bappenas) Ali Budiardjo, dan istrinya Miriam Budiarjo, saudara perempuan Soedjatmoko.
Pauker, kelahiran Rumania, telah membantu menemukan sebuah kelompok yang disebut ”Sahabat Amerika Serikat” di Bucharest persis setelah Perang Dunia Kedua. Dia kemudian datang ke Harvard, di mana ia mendapat gelar kesarjanaannya. Sementara banyak orang Indonesia yang telah menuduh sang profesor tersebut memiliki koneksi CIA, Pauker membantah bahwa ia intim dengan CIA sampai 1958, setelah ia bergabung dengan RAND Corporation. Sejak itu, bukan rahasia lagi bahwa ia dilatih dan diarahkan oleh CIA, Pentagon, dan Departemen Luar Negeri Amerika. Nara Sumber yang sangat tinggi tempatnya di Washington mengatakan bahwa dia “terlibat langsung dalam pengambilan keputusan.”
Pada tahun 1954 – setelah tim MIT terjun di lapangan – Ford menelurkan Proyek Indonesia Modern di Cornell University. Dengan modal awal $ 224.000 dan dipenuhi setiap periodik, Ketua Programnya George Kahin telah membangun sayap studi ilmu sosial Indonesia yang didirikan di Amerika Serikat. Bahkan perguruan tinggi di Indonesia harus menggunakan orientasi studi elit Cornell untuk mengajarkan ilmu politik dan sejarah Indonesia pasca-proklamasi kemerdekaan.
Di antara beberapa orang Indonesia yang dibawa ke Cornell dengan dana hibah (grant) Yayasan Ford dan Rockefeller mungkin yang paling berpengaruh adalah sosiolog-politikus Selo Soemardjan. Sebagai tangan kanannya Sultan Yogyakarta, Selo Soemardjan adalah salah satu orang kuat rezim Indonesia saat itu.
Kelompok ilmiah politik milik Kahin bekerja sama dengan Fakultas Ekonomi milik Sumitro di UI Jakarta.”Sebagian besar orang di Universitas Indonesia pada dasarnya berasal dari keluarga borjuis atau birokrasi,” kenang Kahin. “Mereka hanya sedikit tahu tentang masyarakat mereka. Dalam sebuah “kemenangan” yang berbicara dengan tajam tentang ilusi liberal bermakna baik, Kahin berhasil mendorong mereka untuk “membiarkan kaki mereka kotor” selama tiga bulan di sebuah desa. Banyak orang akan menghabiskan empat tahun di Amerika Serikat.
Bersama dengan Widjojo Nitisastro, anak didik Sumitro yang terkemuka, Kahin mendirikan institut untuk mempublikasikan penelitian pedesaan. Ini tidak pernah berjumlah banyak, kecuali bahwa penasihat Amerika membantu Ford mempertahankan kontak dalam hari-hari yang paling sulit dari Presiden Sukarno.
Kahin masih memikirkan urusan Cornell dengan Ford di Indonesia “sebagai sebuah pernikahan yang cukup bahagia” – dengan dana yang lebih sedikit daripada yang diberikan kepada cover politik. “dana US AID relatif mudah untuk didapatkan”, ia menjelaskan. “Namun yang pasti di Indonesia, orang bekerja pada masalah politik dengan uang pemerintah [AS] selama periode ini akan menemukan masalah mereka jauh lebih sulit.
Sebagai salah satu akademisi merpati Vietnam terkemuka, Kahin telah kesal kepada Departemen Luar Negeri Amerika pada berbagai kesempatan, dan banyak dari murid-muridnya yang jauh lebih radikal daripada dia. Namun bagi kebanyakan orang Indonesia, pekerjaan Kahin itu benar-benar tidak jauh berbeda dari pekerjaan Pauker itu. Seorang pria yang pergi untuk mengajar, yang lain bekerja untuk RAND dan CIA. Tetapi konsekuensi dari upaya pembangunan bangsa mereka di Indonesia adalah sama.
MIT dan Cornell membuat kontak, mengumpulkan data, membangun keahlian. Hal itu kemudian diwariskan ke Berkeley University untuk benar-benar melatih sebagian besar tokoh kunci Indonesia yang akan merebut kekuasaan pemerintah dan menempatkan pelajaran pro-Amerika mereka ke dalam praktek. Dekan Fakultas Ekonomi UI Sumitro telah menyediakan academic boot camp yang sempurna untuk pasukan penguncang ekonomi ini.
Untuk mengawasi proyek ini, Presiden Ford Foundation, Paul Hoffman telah menyadap Michael Harris, penyelenggara CIO satu kali yang telah memimpin program Marshall Plan di bawah Hoffman di Perancis, Swedia, dan Jerman. Harris yang telah melakukan survei Marshall Plan di Indonesia pada tahun 1951, mengenal Sumitro, dan sebelum pergi keluar diarahkan secara ekstensif oleh promotor Sumitro di New York, Robert Delson, seorang pengacara Park Avenue yang telah menjadi penasihat hukum Indonesia di Amerika Serikat sejak 1949. Harris mencapai Jakarta pada tahun 1955 dan ditetapkan untuk membangun program pascasarjana di bidang ekonomi baru yang luas dari Dekan Sumitro yang didanai Ford.
Kali ini sentuhan profesional dan kehormatan akademis itu harus disediakan oleh Berkeley. Tugas pertama tim Berkeley adalah untuk menggantikan profesor Belanda, yang pengaruh kolonial dan ekonomi kapitalisnya ingin dihentikan oleh Sukarno.Tim Berkeley juga akan meringankan rekan junior Indonesia Sumitro di fakultas ekonomi UI, sehingga Ford dapat mengirim mereka kembali ke Berkeley untuk kredensial yang lebih maju. Sadli sudah ada di sana, berbagi dupleks dengan Pauker, yang datang untuk mengepalai Pusat Studi baru untuk Asia Tenggara dan Asia Selatan. Anak didik Sumitro, Widjojo Nitisastro memimpin kru pertama yang keluar ke Berkeley.
Sementara rekan junior Indonesia belajar di fakultas ekonomi Amerika di ruang kelas Berkeley, profesor Berkeley mengubah Fakultas Ekonomi di Jakarta menjadi sekolah ekonomi, statistik, dan administrasi bisnis bergaya Amerika. Soekarno keberatan. Pada kuliah tahunan Fakultas, anggota tim Bruce Glassburner ingat, Soekarno mengeluh bahwa “semua orang-orang dapat berkata kepada saya mengenai ‘Schumpeter dan Keynes.” Ketika saya masih muda saya membaca Marx. “Soekarno bisa mengeluh dan mengeluh, tetapi jika ia sama sekali ingin pendidikan Indonesia harus mengambil apa yang ia dapatkan. “Ketika Sukarno mengancam ia akan mengakhiri pendidikan ekonomi Barat,” kata John Howard, direktur lama dari Ford International Training dan Program Penelitian, “Ford mengancam untuk memotong semua program, dan ini membuat Sukarno berubah arah.”
Staf Berkeley juga bergabung dalam upaya untuk menjaga sosialisme Sukarno dan kebijakan nasional Indonesia di teluk. “Kami mendapat banyak tekanan melalui 1958-1959 untuk ‘retooling‘ kurikulum,” kenang Glassburner. “Kami melakukan beberapa dummying-up, Anda tahu – kita pasang ‘sosialisme’ sebagai judul saja kepada banyak mata kuliah yang kami bisa. Tapi benar-benar mencoba untuk menjaga integritas akademik dari tempatnya.”
Proyek, yang dibiayai Ford sebesar $ 2,5 juta, sudah jelas, dan beberapa kali menyatakan, tujuan.”Ford merasa inilah pelatihan orang-orang yang akan memimpin negeri ini ketika Sukarno keluar (diberhentikan),” jelas John Howard.
Ada sedikit kesempatan, tentu saja, bahwa PSI Sumitro sangat kecil kemungkinannya akan mendahului Soekarno di jajak pendapat (pemilu). Tapi “Sumitro merasa kelompok PSI bisa memiliki pengaruh yang jauh dari proporsi kekuatan suara mereka dengan menempatkan orang di posisi kunci dalam pemerintahan,” kenang ketua proyek pertama, seorang profesor bisnis Irlandia yang penuh semangat bernama Len Doyle.
Ketika Sumitro pergi ke pengasingan, Fakultasnya peduli kepadanya. Murid-muridnya mengunjunginya diam-diam dalam perjalanan mereka ke dan dari Amerika Serikat. Orang Amerika yang kuat seperti Harry Goldberg, seorang letnan bos pekerja Jay Lovestone (ketua program internasional CIA), telah menyimpan kontak jarak dekat dan melihat bahwa pesan-pesan Sumitro mengalir melalui teman Indonesia-nya. Tidak ada dekan yang ditunjuk untuk menggantikannya, ia adalah “Ketua in absentia.”
Semua intrik yang tidak akademis nyaris tidak menyebabkan adanya riak kegelisahan di antara para profesor yang teliti. Sebuah pengecualian yang tercatat adalah Doyle. “Saya merasa bahwa ada banyak masalah yang saya punyai mungkin telah berasal dari kenyataan bahwa aku tidak yakin posisi Sumitro sebagai perwakilan Ford Foundation adalah dan dalam retrospeksi, mungkin CIA,” kenang Doyle.
Harris mencoba mempengaruhi Doyle untuk menyewa “dua atau tiga orang Amerika yang dekat dengan Sumitro.” Salah satunya adalah seorang teman lama Sumitro dari tim MIT, William Hollinger. Doyle menolak. “Sudah jelas bahwa Sumitro akan terus menjalankan kegiatan Fakultas dari Singapura,” katanya. Tapi itu adalah permainan ia tidak akan mainkan. “Saya merasa bahwa Universitas tidak boleh terlibat dalam apa yang pada dasarnya telah menjadi pemberontakan melawan pemerintah,” jelas Doyle, “apa pun simpati yang mungkin Anda miliki dengan penyebab pemberontakan dan tujuan pemberontak.”
Kembali ke rumah, pertahanan integritas akademis Doyle kesepian tidak dihargai melawan tekanan-tekanan politik yang diberikan melalui Ford. Meskipun ia telah diutus di sana selama dua tahun, Berkeley baru ingat dia setelah satu tahun. “Dia mencoba untuk menjalankan hal-hal,” kata pejabat Universitas sopan berbasa-basi. “Kami tidak punya pilihan selain mengapalkan ia pulang.” Bahkan, Harris dia melambung. “Dalam penilaian saya,” kenang Harris, “ada masalah nyata antara Doyle dan Fakultas.”
Salah satu pria muda yang tinggal di setelah Doyle pergi adalah Ralph Anspach, anggota tim Berkeley sekarang mengajar kuliah di San Francisco. Anspach begitu muak dengan apa yang dilihatnya di Jakarta sehingga dia tidak akan lagi bekerja di bidang ekonomi terapan. “Saya merasa bahwa dalam analisis terakhir aku seharusnya menjadi bagian dari kebijakan imperium Amerika,” katanya, “membawa sains Amerika, dan sikap, dan budaya … menang atas negara-negara – melakukan hal ini dengan banyak sekali koktail dan pembayaran yang tinggi. Aku baru saja keluar dari semuanya.”
Doyle dan Anspach adalah pengecualian. Sebagian besar profesional akademik menemukan bahwa proyek ini – seperti Ford maksudkan untuk menjadi – awal sebuah karier “Ini adalah istirahat yang luar biasa bagi saya,” jelas Bruce Glassburner, ketua proyek dari 1958-1961. “Tiga tahun di sana memberi saya kesempatan untuk menjadi semacam ekonom tertentu. Aku punya sebuah kategori – saya menjadi seorang ekonom pembangunan -. Dan saya harus mengenal Indonesia, ini membuat perbedaan besar dalam karir saya..”
Berkeley secara bertahap mengeluarkan orang dari Jakarta pada 1961-1962. Konflik terus-menerus antara perwakilan Ford dan ketua Berkeley tentang siapa yang akan menjalankan proyek itu, dalam beberapa bagian mempercepat berakhirnya. Tapi yang lebih penting, para profesor tidak lagi diperlukan, dan mungkin suatu kewajiban politik akan meningkat. Angkatan pertama murid Sumitro telah kembali dengan derajat mereka dan kembali dapat mengontrol sekolah-sekolah.
Tim Berkeley telah melakukan tugasnya. “Jagalah sesuatu tetap hidup,” kenang Glassburner bangga. “Kami telah memasang sebuah lubang… dan dengan uang Ford Foundation, kami melatih empat puluh atau lebih ekonom mereka.” Apa yang universitas dapatkan keluar dari itu? “Nah, uang biaya overhead (dana operasional), kau tahu.” Dan kepuasan pekerjaan dilakukan dengan baik.
Pada tahun 1959 Pauker menyusun kajian tentang isolasi elektoral PSI dan Pemberontakan Sumitro yang gagal di Kepulauan Luar Jawa dalam makalah yang banyak dibaca berjudul: “Asia Tenggara sebagai Daerah Bermasalah dalam Dekade Berikutnya. “Partai seperti PSI yang “tidak layak untuk kompetisi yang kuat” dengan komunisme, ia menulis.”Komunisme terikat untuk menang di Asia Tenggara… kecuali ada kekuatan pengimbang yang efektif ditemukan. “Yang terbaik dilengkapi” kekuatan pengimbang, tulisnya, adalah “anggota korps perwira nasional sebagai individu tentara nasional dan sebagai struktur yang yang terorganisasi.5 Dari pengasingannya di Singapura, Sumitro setuju, dengan alasan bahwa PSI dan partai Masyumi, yang telah diserang Angkatan Darat, adalah benar-benar “sekutu alami” Angkatan Darat. Tanpa mereka, Angkatan Darat akan menemukan dirinya sendiri secara politis akan terisolasi, katanya. Tetapi untuk terjadinya aliansi sempurna mereka, “rezim Sukarno harus digulingkan dulu. “Sampai saat itu, Sumitro memperingatkan para jenderal agar harus tetap terus “mengawasi” pertumbuhan organisasi petani Komunis yang semakin kuat. Sementara itu para sarjana anak didiknya Ford-Sumitro di Jakarta telah memulai langkah-langkah penting menuju perbaikan hubungan militer.
Untungnya bagi Ford dan citra akademik itu ada sekolah lain di tangan, yaitu: SESKOAD, Sekolah Komando dan Staf Angkatan Darat. Terletak tujuh puluh mil sebelah tenggara dari Jakarta di kosmopolitan Bandung, SESKOAD adalah saraf pusat otak Angkatan Darat. Ada jenderal yang memutuskan masalah organisasi dan politik, ada, perwira senior pada rotasi reguler “yang di-upgread” dengan beberapa manual dan metode yang dijemput selama pelatihan di Fort Leavenworth, Kansas.
Ketika tim Berkeley mengeluarkan dirinya pada tahun 1962, Sadli, Widjojo dan lain-lain dari anggota Fakultas (Ekonomi UI) mulai melakukan perjalanan rutin ke Bandung untuk mengajar di SESKOAD. Mereka mengajarkan “aspek ekonomi pertahanan,” kata Frank Miller dari Ford Foundation, yang menggantikan Harris di Jakarta. Pauker mengisahkan cerita yang berbeda. Sejak pertengahan ’50-an-, ia telah datang untuk mengetahui staf Jenderal Angkatan Darat dengan cukup baik, ia menjelaskan, pertama pada tim MIT, kemudian pada perjalanan untuk RAND. Salah seorang teman yang baik adalah Kolonel Suwarto (bukan Jenderal Soeharto), wakil komandan SESKOAD dan lulusan pascasarjana Fort Leavenworth1959. Pada tahun 1962, Pauker membawa Suwarto ke RAND.
Selain belajar “segala macam hal tentang urusan internasional” sementara di RAND, Pauker mengatakan, Suwarto juga melihat bagaimana RAND “mengatur sumber daya akademik negara sebagai konsultan.” Menurut Pauker, Suwarto memiliki “ide baru” ketika ia kembali ke Bandung. “Para empat atau lima ekonom top menjadi ‘di-brain wash’ dalam kuliah ilmuwan sosial dan mempelajari masalah-masalah politik masa depan Indonesia di SESKOAD.”
Akibatnya, kelompok ini menjadi penasehat sipil tingkat tinggi Angkatan Darat. Mereka bergabung di SESKOAD dengan alumni program universitas lainnya dari PSI dan Masyumi – Miriam Budiardjo dari kelompok studi MIT Pauker, dan Selo Soemardjan dari program Kahin di Cornell, serta dosen senior dari Institut Teknologi Bandung di dekatnya, di mana Universitas Kentucky telah menjadi mitra “pembangunan kelembagaan” untuk AID sejak tahun 1957.
Para ekonom dengan cepat terjebak dalam konspirasi anti-komunis yang diarahkan pada menumbangkan rezim Sukarno dan didorong oleh Sumitro dari pengasingannya di Singapura. Letnan Jenderal Achmad Yani, komandan Angkatan Darat-in-chief, telah menarik orang dari sekitar dia sebuah “pemikir kepercayaan” dari para jenderal. Itu adalah “rahasia umum,” kata Pauker, bahwa Yani dan otak kepercayaannya sedang membicarakan “rencana darurat” yang untuk “mencegah kekacauan, karena Sukarno harus meninggal tiba-tiba.” Kontribusi Suwarto mini-RAND, menurut Kolonel Willis Ethel G, atase pertahanan AS di Jakarta dan teman dekat Panglima-in-Chief Yani dan lain-lain dari perintah Angkatan Darat tinggi, adalah bahwa para profesor “akan menjalankan program di perencanaan darurat ini.”
Tentu saja, para perencana Angkatan Darat khawatir tentang “upaya mencegah kekacauan.” Mereka khawatir tentang PKI. “Mereka tidak akan membiarkan Komunis akan mengambil alih negara ini,” kata Ethel. Mereka juga tahu bahwa ada dukungan besar dari rakyat bagi Sukarno dan PKI dan bahwa banyak darah akan mengalir bila showdown (aksi penggulingan/kudeta) datang.
Ada lembaga lain yang bergabung dengan ekonom Ford dalam mempersiapkan militer. Perwira tingkat Tinggi Indonesia telah memulai program pelatihan di AS di pertengahan ’50-an. Pada tahun 1965 empat ribu perwira telah belajar komando militer skala besar di Fort Leavenworth dan kontra pemberontakan di Fort Bragg. Dimulai pada tahun 1962, ratusan petugas tamu di Harvard dan Syracuse memperoleh keterampilan untuk menjaga ekonomi, maupun militer yang besar, pembentukan, dengan pelatihan dalam segala hal dari administrasi bisnis dan manajemen personil sampai fotografi udara dan pelayaran/perkapalan6. “Program Bantuan Keselamatan Publik” yang di Filipina dan Malaya dilatih dan dilengkapi dengan Brigade Mobile di keempat angkatan militer Indonesia dan polisi.
Sementara Angkatan Darat mengembangkan keahlian dan perspektif – milik program bantuan dermawan Amerika – ini juga meningkatkan pengaruh politik dan ekonomi. Di bawah darurat militer bela negara yang dinyatakan oleh Sukarno pada saat Pemberontakan Kepulauan Luar, Angkatan Darat telah menjadi kekuatan dominan di Indonesia. Komandan daerah mengambil alih pemerintah provinsi – merampas kemenangan pluralitas PKI Komunis dalam pemilihan lokal 1957. Takut disapu PKI dalam pemilu nasional yang direncanakan 1959, para jenderal mendesak Soekarno untuk membatalkan pemilihan umum selama enam tahun. Kemudian mereka bergerak cepat ke gagasan baru Sukarno “demokrasi terpimpin,” meningkatkan jumlah kementerian di bawah kendali mereka sampai ke waktu kudeta militer itu. Bingung oleh keengganan Angkatan Darat untuk mengambil kekuasaan penuh, wartawan menyebutnya sebagai “kudeta merangkak.” 7
Tentara juga bergerak ke dalam perekonomian, pertama dengan mengambil “kontrol pengawasan,” kemudian menguasai kunci dewan direktur dari property milik Belanda yang PKI telah rebut atas nama “untuk kepentingan rakyat” selama konfrontasi atas Irian Barat pada akhir tahun 1957. Akibatnya, perkebunan dikendalikan jenderal, industri kecil, BUMN minyak dan timah, dan perusahaan negara yang menjalankan ekspor-impor, yang pada tahun 1965 pemerintah memonopoli pembelian dan telah bercabang ke penggilingan, pengiriman, dan distribusi gula.
Perwira tinggi tersebut tidak lahir dalam aristokrasi Indonesia yang segera bergabung, dan di pedesaan mereka menyemen aliansi – sering dengan melalui ikatan keluarga – dengan Muslim santri pemilik tanah yang merupakan tulang punggung dari Partai Masyumi. “Tentara dan polisi sipil,” tulis Robert Shaplen dari New York Times, “hampir menguasai seluruh aparatus negara.” Willard Hanna dari American University menyebutnya “bentuk baru dari pemerintah: perusahaan Militer-swasta” 8. Akibatnya, “aspek ekonomi pertahanan” menjadi subjek (mata kuliah) yang luas di SESKOAD. Tapi ekonom Ford Indonesia membuatnya lebih luas dengan melakukan untuk mempersiapkan kebijakan ekonomi untuk periode pasca-Sukarno di sana juga.
Selama periode ini, kaum Komunis terjepit di antaranya. Kehilangan kemenangan mereka di jajak pendapat (pemilu) dan tidak mau berpisah dengan Sukarno, mereka mencoba untuk membuat yang terbaik dari “demokrasi terpimpin”-nya, berpartisipasi dengan Angkatan Darat dalam koalisi kabinet. Pauker menggambarkan strategi PKI sebagai “berusaha untuk menjaga jalan parlementer terbuka,” sambil berusaha untuk datang ke kekuasaan dengan “aklamasi (suara terbanyak).” Itu berarti membangun prestise/gengsi PKI sebagai “yang paling solid, sangat berguna, disiplin, terorganisir dengan baik, mempunyai kemampuan politik yang kuat di negara ini”, yang akan mengubah Indonesia 9 “ketika semua kemungkinan solusi yang lain telah gagal.”
Setidaknya dalam angka, kebijakan PKI sukses. Kebanyakan Federasi buruh utama adalah komunis, seperti organisasi petani terbesar dan terkemuka, dan kelompok perempuan dan pemuda. Pada 1963, tiga juta orang Indonesia, kebanyakan dari mereka ada di Jawa yang sangat padat penduduknya, adalah anggota PKI, dan diperkirakan tujuh belas juta anggota organisasi yang terkait – sehingga merupakan Partai Komunis terbesar di dunia di luar Rusia dan Cina. Pada saat Kemerdekaan partai itu hanya telah berjumlah delapan ribu.
Pada bulan Desember 1963, Ketua PKI DN Aidit memberikan sanksi resmi untuk “tindakan sepihak” yang telah dilakukan oleh petani untuk diberlakukannya hukum reformasi tanah (Land Reform) dan berbagi panen-tanaman, yang sudah ada di buku. Meskipun kepemilikan tuan tanah itu tidak besar, kurang dari separuh petani Indonesia memiliki tanah yang mereka kerjakan, dan ini yang paling memiliki kurang dari satu hektar. Sebagai “tindakan sepihak” para petani mengumpulkan momentum, Soekarno, melihat koalisinya terancam, mencoba untuk memeriksa kekuasaannya dengan mendirikan “pengadilan land-reform” yang memasukkan wakil-wakil petani. Tapi di pedesaan, polisi terus berbenturan dengan petani dan melakukan penangkapan massal. Di beberapa daerah, kelompok pemuda santri mulai serangan mematikan terhadap para petani. Karena Angkatan Darat memegang kekuasaan negara di sebagian besar wilayah, “tindakan sepihak” para petani dianggap diarahkan untuk melawan kewenangannya.
Pauker menyebutnya “perjuangan kelas di pedesaan” dan menunjukkan bahwa PKI telah menempatkan dirinya “di posisi bertabrakan dengan Angkatan Darat.” 10 Tetapi tidak seperti Komunis Mao di pra-revolusioner Cina, PKI tidak punya Tentara Merah. Setelah memilih jalan parlementer, PKI terjebak dengan itu. Pada awal 1965, para pemimpin PKI menuntut agar pemerintah Sukarno (di mana mereka menjadi menteri kabinet) membentuk sebuah milisi rakyat – lima juta pekerja/buruh bersenjata, sepuluh juta petani bersenjata. Tetapi kekuasaan Sukarno bolong. Angkatan Darat telah menjadi negara dalam negara. Adalah mereka – dan bukan Sukarno atau PKI – yang memegang persenjataan.11
Buktinya datang pada bulan September 1965. Pada malam tanggal 30, pasukan pembangkang di bawah komando perwira tingkat rendah Angkatan Darat, dalam aliansi dengan para perwira dari sebagian kecil Angkatan Udara Indonesia, membunuh Jenderal Ahmad Yani dan lima anggota “otak kepercayaan-SESKOAD-nya “. Dengan dipimpin oleh Letnan Kolonel Untung, para pemberontak merebut stasiun radio Jakarta dan pagi berikutnya menyiarkan sebuah pernyataan bahwa Gerakan 30 September mereka diarahkan terhadap “Dewan Jenderal”, yang mereka umumkan “Dewan Jendral” itu disponsori CIA dan memiliki sendiri rencana kudeta pada Hari Angkatan Bersenjata, empat hari kemudian.
Aksi “pencegahan kudeta militer” oleh Letkol. Untung cepat runtuh. Soekarno, yang berharap untuk mengembalikan keseimbangan kekuatan pra-kudeta, tidak memberinya dukungan. PKI tidak menyiapkan demonstrasi jalanan, tidak ada pemogokan, tidak ada pemberontakan terkoordinasi di pedesaan. Para pembangkang sendiri telah salah dalam membunuh Jenderal Nasution dan tampaknya meninggalkan/meluputkan Jenderal Suharto dari daftar mereka. Soeharto menggerakkan pasukan elit paracommandos (Kopasus) dan unit-unit Divisi Siliwangi Jawa Barat untuk melawan kolonel Untung. Pasukan Untung, tidak percaya diri, misi mereka, dan kesetiaan mereka, tidak punya pijakan berdiri. Semuanya sudah berakhir dalam sehari.
Komando tertinggi Angkatan Darat dengan cepat menyalahkan Komunis untuk kudeta, sejak itu barisan pers Barat telah mengikutinya. Namun kurangnya ekspresi aktivitas demonstrasi di jalan-jalan dan pedesaan membuat tuduhan keterlibatan PKI tidak mungkin, dan banyak spesialis Indonesianis percaya dengan pendapat sarjana Belanda WF Wertheim, bahwa “kudeta yang dipimpin Untung … sebagaimana yang diklaim begitu – adalah sebuah urusan intern Angkatan Darat yang mencerminkan ketegangan serius antara perwira dari Divisi Diponegoro Jawa Tengah, dengan Komando Tertinggi Angkatan Darat di Jakarta ….” 12
Sayap Kiri, di sisi lain, kemudian mengasumsikan bahwa CIA telah memiliki campur tangan berat dalam urusan ini. Para staf resmi kedutaan Amerika sudah lama minum anggur dan makan malam apparatchiks bersama para mahasiswa yang bangkit untuk memimpin demonstrasi yang menjatuhkan Soekarno. CIA itu dekat dengan Angkatan Darat, terutama dengan Kepala Intelijen Achmed Sukendro, yang telah menahan agen-agennya dengan bantuan AS setelah 1958, dan kemudian membiayainya untuk belajar di University of Pittsburgh di awal tahun enam puluhan. Tapi Sukendro dan sebagian besar anggota lain dari Komando Tertinggi Indonesia sama-sama dekat dengan atase militer kedutaan AS, yang tampaknya telah membuat kontak Pemimpin Washington dengan TNI Angkatan Darat, baik sebelum dan sesudah percobaan kudeta. Semuanya, mengingat make-up dan sejarah para jenderal dan sekutu “modernis” mereka dan para penasehat, jelas bahwa pada titik ini baik CIA maupun Pentagon butuh untuk memainkan peran yang lebih dari peran bawahan.
Para profesor Indonesia mungkin telah membantu menyusun layout rencana “kontingensi”/kedaruratan Angkatan Darat, tapi tidak ada yang akan meminta mereka untuk turun ke jalan dan membuat “revolusi”. Bahwa mereka bisa meninggalkan mahasiswa mereka. Karena kurangnya organisasi massa, Angkatan Darat bergantung pada mahasiswa untuk memberikan kesan orisinalitas dan “popularitas” kepemimpinan dalam peristiwa yang diikuti. Adalah mahasiswa yang menuntut pemenggalan kepala Sukarno, dan itu adalah mahasiswa – sebagai propagandis – yang membawa seruan jihad (perang agama) ke desa-desa.
Pada akhir Oktober, Brigadir Jenderal Sjarif Thajeb – menteri pendidikan tinggi lulusan Harvard (dan sekarang duta besar untuk Amerika Serikat) – membawa para pemimpin mahasiswa bersama di ruang tamunya untuk menciptakan gerakan Komando Aksi Mahasiswa Indonesia (KAMI) .13 Banyak pemimpin KAMI adalah mahasiswa apparatchiks tua yang telah didekati oleh kedutaan AS. Beberapa di antaranya telah melakukan perjalanan ke Amerika Serikat sebagai pertukaran siswa American Field Service (AFS), atau pada tamasya panjang tahun dalam “Proyek Kepemimpinan Mahasiswa Asing/Foreign Students Leaderships Project” yang disponsori oleh US National Student Association di tahun-tahun makan salad CIA-nya.
Hanya beberapa bulan sebelum kudeta, Duta Besar AS Marshall Green tiba di Jakarta, dengan membawa reputasi memiliki pengalaman mendalangi mahasiswa dalam penggulingan Syngman Rhee di Korea dan memicu rumor bahwa tujuannya di Jakarta adalah untuk melakukan hal yang sama di sana. Manual lama tentang organisasi mahasiswa baik di Korea maupun Inggris adalah disuplai oleh kedutaan Amerika untuk pimpinan puncak KAMI 9Kesatuan Aksi Mahasiswa Indonesia) segera setelah kudeta.
Namun, kepemimpinan KAMI paling militan datang dari Bandung, di mana Universitas Kentucky telah sepuluh tahun memasang Program “pembangunan kelembagaan” di Institut Teknologi Bandung (ITB), yang telah mengirim hampir lima ratus mahasiswa mereka ke Amerika Serikat untuk pelatihan. Mahasiswa di seluruh universitas elit di Indonesia telah diberikan pelatihan paramiliter oleh Angkatan Darat dalam sebuah program untuk waktu yang disarankan oleh seorang kolonel ROTC yang cuti dari Berkeley. Pelatihan mereka adalah “dalam mengantisipasi upaya Komunis merebut pemerintahan,” tulis Harsja Bachtiar, seorang sosiolog Indonesia dan alumnus Cornell dan Harvard.14
Di Bandung, markas besar aristokrat Siliwangi, pelatihan paramiliter mahasiswa ditingkatkan pada bulan-bulan sebelum kudeta, dan pemimpin santri mahasiswa yang membual kepada teman-teman Amerika mereka, bahwa mereka mengembangkan kontak organisasi dengan kelompok pemuda muslim ekstremis di desa-desa. Ini adalah kelompok-kelompok yang mempelopori pembantaian pengikut PKI dan para petani.
Pada saat pemakaman putri Jenderal Nasution, yang keliru dibunuh dalam kudeta Kolonel Untung, Kepala Angkatan Laut Eddy Martadinata mengatakan kepada para pemimpin mahasiswa dan santri untuk “menyapu” (orang yang diduga anggota PKI). Pesannya adalah “bahwa mereka bisa pergi keluar dan membersihkan Komunis tanpa halangan dari militer”, tulis Koresponden Asia Christian Science Monitor, John Hughes. Dengan senang hati mereka berseru kepada pengikut mereka: Selipkan pisau dan pistol di ikat pinggang mereka, ayunkan klub mereka atas bahu mereka, dan memulai tugas yang mereka telah lama harapkan.”15 Langkah pertama mereka adalah membakar markas PKI. Kemudian, ribuan pendukung PKI dan Soekarno ditangkap dan dipenjarakan di Jakarta; Anggota kabinet dan anggota parlemen secara permanen “ditangguhkan”, dan pembersihan kementerian dimulai.
Bulan berikutnya, pada 17 Oktober 1965, Kolonel Sarwo Edhy membawa pasukan terjun payung elit-nya (“Baret Merah”) ke kubu PKI Jawa Tengah di segitiga Boyolali-Klaten-Solo. Tugasnya, menurut Hughes, adalah “pemusnahan, dengan cara apapun yang mungkin diperlukan, dari inti Partai Komunis di sana.” Ia menemukan ia hanya punya terlalu sedikit pasukan. “Kami memutuskan untuk mendorong kaum sipil anti-komunis untuk membantu pekerjaan”, kata Kolonel Hughes. “Di Solo kami berkumpul bersama-sama dengan para pemuda, kelompok-kelompok nasionalis, organisasi-organisasi keagamaan Muslim. Kami memberi mereka pelatihan dua atau tiga hari’, kemudian mengirim mereka keluar untuk membunuh Komunis..” 16
Para mahasiswa teknik Bandung, yang telah belajar dari tim AID Kentucky bagaimana membangun dan mengoperasikan pemancar radio, yang disadap oleh korps elit Kolonel Edhy untuk mendirikan banyak unit penyiaran kecil di seluruh daerah PKI yang kuat di Jawa Timur dan Jawa Tengah, beberapa di antaranya mendesak kaum fanatik lokal untuk bangkit melawan kaum Komunis dalam jihad. Kedutaan AS menyediakan suku cadang yang diperlukan untuk radio ini.
Majalah Time menggambarkan apa yang diikuti:
Kaum Komunis, simpatisan Merah dan keluarga mereka sedang dibantai oleh ribuan orang. Unit tentara infanteri dilaporkan telah mengeksekusi ribuan komunis setelah interogasi di penjara terpencil…. Berbekal pisau-pisau lebar yang disebut parang, kelompok Muslim merayap di malam hari ke dalam rumah Komunis, membunuh seluruh keluarga dan mengubur mayat-mayat di kuburan dangkal …. Kampanye pembunuhan menjadi begitu berani di bagian pedesaan Jawa Timur di mana kelompok “Muslim” menempatkan kepala korban di ujung bambu dan diarak mereka melalui desa-desa. Pembunuhan telah sampai pada skala tertentu sehingga pembuangan banyak mayat telah menciptakan masalah sanitasi yang serius di Jawa Timur dan Sumatera Utara, di mana udara lembab menyerbarkan bau daging yang membusuk.Wisatawan dari daerah-daerah menceritakan tentang sungai-sungai kecil yang telah benar-benar tersumbat dengan tubuh mayat; transportasi sungai di tempat telah macet secara serius.17
Mahasiswa pascasarjana dari Bandung dan Jakarta, didukung Angkatan Darat, meneliti jumlah korban yang mati. Laporan mereka, yang tidak pernah dipublikasikan, tapi bocor kepada koresponden Frank Palmos, diperkirakan berjumlah satu juta korban mati. Dalam “segitiga kubu” PKI Boyolali, Klaten, dan Solo, Palmos mengatakan mereka melaporkan, “hampir sepertiga dari penduduknya tewas atau hilang.” 18 Sebagian besar pengamat berpikir perkiraan mereka yang terlalu tinggi, memperkirakan jumlah korban tewas sedikitnya tiga sampai lima ratus ribu orang.
Para mahasiswa KAMI juga memainkan bagian perannya – menyebabkan kehidupan di Jakarta macet total dengan demonstrasi anti-komunis, Demo anti-Sukarno bila diperlukan. Pada Januari, Kolonel Sarwo Edhy kembali ke Jakarta dalam mengarahkan demonstrasi KAMI, korps elite-nya menyediakan bagi KAMI dengan truk, pengeras suara, dan perlindungan. Para demonstran KAMI bisa mengikat kota itu sekehendaknya.
“Gagasan bahwa Komunisme adalah musuh masyarakat nomor satu, bahwa Komunis Cina tidak lagi merupakan seorang teman dekat tetapi ancaman bagi keamanan negara, dan bahwa ada korupsi dan inefisiensi di tingkat atas pemerintah nasional diperkenalkan di jalanan dari Jakarta, “tulis Bachtiar.19
Para pemimpin tua PSI dan Masyumi dipelihara oleh Ford Foundation dan para profesor yang berada di rumah pada akhirnya. Mereka memberi saran dan uang kepada para mahasiswa, sementara profesor berorientasi PSI mempertahankan “hubungan dekat penasehat ” dengan para mahasiswa, kemudian membentuk Komando Aksi Sarjana Indonesia (KASI) mereka sendiri. Salah satu ekonom, Emil Salim, yang baru saja kembali dengan gelar Ph.D. dari Berkeley, itu terhitung di antara pimpinan KAMI. Ayah Salim telah membersihkan sayap komunis dari organisasi nasionalis utama sebelum perang, dan kemudian bertugas di Kabinet Masyumi pra-Kemerdekaan.
Pada bulan Januari para ekonom menjadi berita utama di Jakarta dengan seminar ekonomi dan keuangan selama seminggu di Fakultas Ekonomi UI. Ini “terutama …adalah demonstrasi solidaritas antara anggota KAMI, intelektual anti-Komunis, dan pimpinan Angkatan Darat,” kata Bachtiar. Seminar mendengarkan makalah dari Jenderal Nasution, Adam Malik, dan lainnya yang “menampilkan diri mereka sebagai counter-elit yang menantang kompetensi dan legitimasi elit yang dipimpin oleh Presiden Sukarno.” 20
Itu adalah pengenalan pasca kudeta Jakarta untuk kebijakan ekonomi Ford.
Pada bulan Maret (1966) Suharto melucuti kekuasaan formal Sukarno, dan ia sendiri telah mengangkat dirinya sebagai penjabat presiden, mengajak kuda perang politik tua Adam Malik dan Sultan Yogyakarta untuk bergabung dengannya dalam sebuah tiga serangkai yang berkuasa. Para jenderal yang ekonom paling kenali di SESKOAD – Jendral Achmad Yani dan “otak kepercayaan-nya “- semuanya telah terbunuh. Tetapi dengan bantuan anak didik Kahin, Selo Soemardjan, mereka pertama kali menangkap telinga Sultan dan kemudian Soeharto, meyakinkan mereka bahwa Amerika akan mendesak serangan yang kuat terhadap inflasi dan cepat kembali ke sebuah “ekonomi pasar.” Pada tanggal 12 April 1966, Sultan mengeluarkan pernyataan kebijakan utama menguraikan program ekonomi rezim baru – dengan efek mengumumkan Indonesia kembali ke halaman para imperialis. Ini ditulis oleh Widjojo dan Sadli.
Dalam bekerja mengeluar rincian program Sultan berikutnya, para ekonom mendapatkan bantuan dari sumber diharapkan – Amerika Serikat. Ketika Widjojo terjebak dalam menyusun rencana stabilisasi, US AID membawa ekonom Harvard Dave Cole, yang segar dari menulis peraturan perbankan Korea Selatan, yang memberi dia dengan konsep. Sadli, juga, memerlukan beberapa bimbingan pasca-doktoral. Menurut seorang pejabat Amerika, Sadli “benar-benar tidak tahu bagaimana menulis sebuah undang-undang investasi Ia harus mendapatkan banyak bantuan dari kedutaan (Amerika).” Ini adalah usaha tim. “Kami semua bekerja bersama-sama pada saat itu – ‘ekonom,’ para ekonom Amerika, AID,” kenang Calvin Cowles, orang AID pertama di tempat kejadian.
Pada awal bulan September ekonom telah menyusun rencana mereka dan para jenderal meyakini manfaatnya. Setelah serangkaian seminar dadakan di SESKOAD, Soeharto menunjuk lima orang tertinggi di Fakultas Ekonomi UI sebagai Tim Ahli Bidang Ekonomi dan Keuangan, ide di mana orangnya Ford Fondation: Frank Miller akui punya saham di dalamnya.
Pada bulan Agustus Stanford Research Institute – sebuah sempalan dari kompleks universitas-militer-industri, membawa 170 “eksekutif senior-nya” ke Jakarta untuk perundingan tiga hari dan melihat-lihat. “Orang Indonesia telah memotong kanker yang menghancurkan ekonomi mereka,” laporan seorang eksekutif SRI yang kemudian setuju. Kemudian, mendesak bahwa bisnis besar berinvestasi dalam masa depan Soeharto, ia memperingatkan bahwa “solusi militer jauh lebih mahal biayanya.” 21
Pada bulan November, Adam Malik, Sadli, Salim, Selo Soemardjan, dan Sultan bertemu di Jenewa dengan daftar pengusaha terpilih Amerika dan Eropa yang diterbangkan oleh Time-Life. Dikelilingi oleh penasihat ekonominya, Sultan menandai poin-poin jual Indonesia Baru”. Stabilitas politik … banyaknya tenaga kerja murah … potensi pasar besar … gudang yang kaya sumber daya alam.”. Universitas-universitas, ia menambahkan, telah menghasilkan “sejumlah besar individu terlatih yang akan dengan senang hati melayani dalam perusahaan ekonomi baru.”
David Rockefeller, ketua Chase Manhattan Bank, mengucapkan terima kasih kepada Time-Life untuk kesempatan untuk berkenalan dengan “tim utama ekonomi Indonesia.” Dia mengatakan:” ia sangat terkesan, dengan “kualitas tinggi pendidikan mereka.”
“Untuk batas tertentu, kita menyaksikan kembalinya pandangan pragmatis yang merupakan karakteristik dari koalisi PSI-Masyumi tahun lima puluhan awal ketika Sumitro … mendominasi peran adegan,”22 dengan mengamati orang dalam yang ditempatkan dengan baik pada tahun 1966. Sumitro diam-diam ke Jakarta, membuka konsultasi bisnis, dan mempersiapkan diri untuk jabatan tinggi. Pada Juni 1968 Soeharto mengadakan sebuah reuni dadakan untuk kelas Ford – “Sebuah Kabinet pembangunan”. Sebagai menteri perdagangan dan ia menunjuk Dekan Sumitro (Ph.D., Rotterdam); sebagai ketua Dewan Perencanaan Nasional ia menunjuk Widjojo Nitisastro (Ph.D., Berkeley, 1961); sebagai wakil-ketua, Emil Salim (Ph D., Berkeley, 1964); sebagai sekretaris jenderal Pemasaran dan Penelitian Perdagangan, Subroto (Harvard, 1964); sebagai menteri keuangan, Ali Wardhana (Ph.D., Berkeley, 1962); sebagai ketua Tim Teknis Luar Investasi, Mohamed Sadli (MS, MIT, 1956); sebagai sekretaris jenderal Industri, Barli Halim (MBA, Berkeley, 1959). Soedjatmoko, yang telah berfungsi sebagai penasihat Malik, menjadi duta besar di Washington. “Kami menganggap bahwa kami melatih diri untuk ini,” kata Sadli kepada wartawan dari Fortune – “kesempatan bersejarah untuk memperbaiki jalannya peristiwa.” 23
Sejak tahun 1954, Harvard Development Advisory Service (DAS), korps elit modernisasi internasional yang didanai Ford, telah membawa pengaruh Ford kepada badan-badan perencanaan nasional Pakistan, Yunani, Argentina, Liberia, Kolombia, Malaysia, dan Ghana. Pada tahun 1963, ketika para ekonom Indonesia yang khawatir bahwa Sukarno mungkin mencoba untuk mengusir mereka dari Fakultas mereka, Ford meminta Harvard untuk melangkah ke pelanggaran. Dana Ford akan menghembuskan napas kehidupan baru ke dalam sebuah lembaga penelitian tua, di mana kehadiran Harvard akan memberikan perlindungan aura akademis untuk para sarjana kadernya Sumitro.
DAS skeptis pada awalnya, kata direktur Gus Papanek. Tapi prospek imbalan masa depannya sangat besar. Harvard akan dapat berkenalan dekat dengan para ekonom, dan dalam hal kejatuhan Sukarno, DAS akan membentuk “dasar yang sangat baik” untuk merencanakan masa depan Indonesia.
“Kami tidak bisa menyusun skenario yang lebih ideal daripada apa yang terjadi,” kata Papanek. “Semua orang hanya pindah ke pemerintahan dan mengambil alih pengelolaan urusan ekonomi, dan kemudian mereka meminta kami untuk terus bekerja dengan mereka.”
Proyek resmi Harvard DAS-Indonesia dilanjutkan pada tanggal 1 Juli 1968, namun Papanek telah punya orang di lapangan yang baik sebelum bergabung dengan Cal Cowles milik AID dalam membawa kembali tangan Indonesia lama di tahun lima puluhan dan enam puluhan. Setelah membantu rancangan program stabilisasi untuk AID, Dave Cole kembali bekerja dengan Widjojo dengan gaji dari Ford Foundation / Harvard University. Leon Mears, seorang ekonom pertanian yang telah mempelajari pemasaran padi Indonesia – dalam proyek Berkeley, datang untuk bekerja pada USAID dan tinggal di Harvard. Teman lama Sumitro dari MIT, Bill Hollinger, dipindahkan dari proyek DAS-Liberia dan sekarang berbagi kantor dengan Sumitro di Departemen Perdagangan.
Orang-orang Harvard adalah “penasihat,” jelas Deputi Direktur DAS Lester Gordon – “penasihat asing yang tidak harus berurusan dengan semua dokumen dan punya waktu untuk datang dengan ide-ide baru.” Mereka bekerja “seolah sebagai pegawai pemerintah,” katanya, “tetapi bekerja sedemikian rupa sehingga tidak mendapatkan kesan bahwa orang asing yang melakukannya.” Indiscretions telah mereka dapatkan memantul dari Pakistan. Di Indonesia, “kita bermain di latar belakang/ di balik layar.”
Harvard tetap berperan di balik layar saat mengembangkan rencana lima-tahun (Repelita). Pada musim dingin 1967-68, hasil panenan yang baik dan infus kritis dari program Makanan AS untuk Perdamaian, harga beras terus turun, terjadi pendinginan situasi politik untuk sementara waktu. Hollinger, orang pertama DAS yang bekerja penuh-waktu di tempat kejadian, tiba pada bulan Maret dan membantu para ekonom strategis untuk me-layout rencana itu. Sebagaimana teknokrat DAS lainnya tiba, mereka pergi untuk bekerja pada papan nama tersebut. “Apakah kami yang menyebabkan itu, apakah Ford Foundation yang menyebabkan, apakah orang Indonesia yang menyebabkan itu?” tanya Cal Cowles dari AID secara retoris, “Saya tidak tahu.”
Rencana tersebut masuk kepada pusat kekuasaan tanpa gembar-gembor pada Januari 1969, kuncinya adalah elemen investasi asing dan swasembada pertanian. Ini adalah rencana “pembangunan” Amerika akhir abad kedua puluh yang terdengar seperti strategi pertengahan abad kesembilan belas dari kolonial Belanda. Kemudian, tenaga kerja Indonesia – sering kerja rodi – menggantikan modal Belanda dalam membangun jalan dan menggali saluran irigasi yang diperlukan untuk menciptakan ekonomi perkebunan untuk kapitalis Belanda, sementara teknologi pertanian “modern” meningkatkan output dari sawah Jawa untuk mengikuti penduduk yang berkembang. Rencana tersebut membawa sebuah kebangkitan industri bagi Belanda, namun hanya memperluas kesengsaraan bagi Indonesia.
Seperti dalam strategi Belanda, rencana lima tahun para sarjana Ford memperkenalkan teknologi pertanian “modern” – yang disebut “revolusi hijau” padi hibrida -hasil panenan tinggi – untuk mengimbangi pertumbuhan penduduk pedesaan Indonesia dan untuk menghindari”ledakan” perubahan hubungan dalam kelas orang Indonesia.
Mungkin ia akan melakukan keduanya – meskipun AID saat ini mendukung sebuah proyek di Pusat Studi Berkeley untuk Asia Selatan dan Asia Tenggara untuk memberikan perguruan tinggi tua untuk mencoba. Dinegosiasikan dengan Harsja Bachtiar, sosiolog lulusan Harvard yang sekarang mengepalai lembaga penelitian Fakultas yang didanai Ford, proyek ini adalah untuk melatih sosiolog Indonesia untuk “memodernisasi” hubungan antara kaum tani dan kekuasaan negara oleh Tentara Angkatan Darat.
Rencana pertanian sedang dilaksanakan oleh penyuluh pertanian pemerintah pusat, yang tokoh puncaknya dilatih oleh program Universitas Kentucky di Institut Pertanian Bogor. Yang didanai AID. Akibatnya, para agen pertanian telah diberikan hak monopoli dalam penjualan benih dan pembelian beras, yang menempatkan mereka dalam aliansi alami dengan komandan militer setempat – yang sering mengendalikan bisnis transportasi beras – dan dengan tuan tanah santri lokal, yang penghasilannya yang lebih tinggi digunakan untuk cepat memperluas kepemilikan mereka. Para petani menemukan diri mereka di ujung tanduk. Jika mereka menaikkan keributan mereka dituduh “menyabotase program nasional,” pastilah agen PKI, dan dipanggil tentara masuk.”
Kelas penguasa Indonesia, berdasarkan pengamatan Wertheim, sekarang “secara terbuka melancarkan perjuangan kelas dari mereka sendiri.”24 Ini adalah perjuangan para teknokrat Harvard yang harus melakukan “modernisasi.” Secara ekonomi masalah pengangguran yang luas di Indonesia; secara politik itu diperlukan Suharto untuk melegitimasi kekuasaannya melalui pemilu. “Pemerintah… akan harus melakukan yang lebih baik daripada hanya menghindari kekacauan jika Soeharto akan menjadi terpilih secara populer,” Direktur DAS Papanek melaporkan pada bulan Oktober 1968. “Sebuah program kerja masyarakat yang benar-benar luas, dibiayai oleh peningkatan impor komoditas PL 480 yang dijual dengan harga yang lebih rendah, bisa memberikan manfaat ekonomi dan politik yang cepat di pedesaan.” 25
Indonesia New Deal versi Harvard adalah program “pembangunan pedesaan” yang akan lebih memperkuat tangan komandan Angkatan Darat setempat. Penyediaan dana yang diperlukan untuk tenaga kerja-intensif pekerjaan umum, program ini seharusnya untuk meningkatkan otonomi daerah dengan bekerja melalui otoritas lokal. Uang hanya akan memenuhi kantong-kantong militer atau memberikan suap di mana mereka akan mengamankan retainees sipil mereka. Direktur DAS Papanek mengakui bahwa program “sipil ini hanya dalam arti yang sangat luas, karena banyak dari administrator lokal adalah orang-orang militer.” Dan militer memiliki dua angkatan kerja sangat besar, dan agak murah, yang sudah bekerja di “pembangunan pedesaan.”
Salah satunya adalah tiga ratus ribu orang Angkatan Darat itu sendiri. Yang lainnya adalah terdiri dari seratus dua puluh ribu tahanan politik yang masih ditahan setelah peristiwa penyapuan Angkatan Darat anti-komunis tahun 1965-66. Beberapa pengamat memperkirakan ada dua kali lebih banyak tahanan, yang sebagian besar diakui Angkatan Darat sebagai bukan anggota PKI, meskipun mereka takut mereka mungkin telah menjadi Komunis di kamp-kamp konsentrasi.
Meskipun kelimpahan “Makanan untuk Perdamaian” beras untuk keperluan lain, tidak ada bagi tahanan, yang belanja makanan sehari-hari dari pemerintah adalah lebih sedikit dari satu sen. Setidaknya dua wartawan telah melaporkan tahanan yang bermarkas di tengah perkebunan karet Goodyear di Sumatera, tempat mereka bekerja sebelum pembantaian itu dituduh sebagai anggota serikat PKI. Sekarang, para wartawan mengatakan, mereka biarkan keluar setiap hari untuk mengerjakan pohonnya dengan upah di bawah starndar, yang dibayar untuk para pengawal26 mereka.
Di Jawa tentara menggunakan tahanan dalam pekerjaan umum. Profesor Australia Herbert Feith telah menunjukkan sekitar satu kota di Jawa pada tahun 1968 di mana para tahanan/narapidana telah membangun rumah para jaksa, sekolah tinggi, masjid, dan (dalam proses) gereja Katolik. “Ini benar-benar tidak sulit untuk mendapatkan pekerjaan keluar dari mereka jika Anda memaksa mereka,” kata dia.27
Sama seperti yang mereka takutkan dan tidak mau membebaskan para tahanan, sehingga para jenderal takut untuk demobilisasi pasukan. “Anda tidak dapat menambah pengangguran,” jelas seorang pria di Desk Indonesia di Departemen Luar Negeri Amerika, “terutama dengan orang yang tahu cara menembak dengan pistol.” Akibatnya pasukan sedang dipekerjakan lebih dan lebih ke dalam angkatan kerja untuk membangun infrastruktur – di mana Pentagon menyediakan peralatan pembangun jalan dan penasehat.
Tapi itu adalah rencana investasi asing yang merupakan hasil dari strategi dua puluh tahun Ford di Indonesia dan panci emas di mana pelaku modernisasi ala Ford – baik orang Amerika dan Indonesia – dibayar untuk melindungi investasi itu. Strategi abad kesembilan belas Kolonial Belanda membangun ekonomi pertanian ekspor. Amerika tertarik terutama dalam penguasaan sumber daya, terutama mineral.
Freeport Sulphur (1975) akan menambang tembaga di Irian Barat. Nikel Internasional telah mendapat nikel Sulawesi. Alcoa sedang negosiasi untuk sebagian bauksit Indonesia.Weyerhaeuser, International Paper, Boise Cascade, dan Jepang, Korea, dan perusahaan kayu Filipina akan mengurangi hutan tropis besar Sumatera, Irian Barat, dan Kalimantan (Borneo). Sebuah konsorsium pertambangan raksasa AS-Eropa, dipimpin oleh US Steel, akan menambang nikel Irian Barat itu. Dua lainnya, AS-Inggris dan AS-Australia, akan menambang timah. Sebuah perusahaan keempat AS-Selandia Baru, sedang mempertimbangkan pemuatan batu bara Indonesia. Orang Jepang akan membawa pulang udang dan tuna kepulauan dan menyelam untuk mendapatkan mutiara.
Sumber lain yang tidak ditambang adalah 120.000.000 penduduk Indonesia yang merupakan – setengah orang di Asia Tenggara. “Indonesia saat ini,” sebuah produsen elektronik California yang sekarang menawarkan mengoperasikan lini perakitannya di Jakarta, “memiliki kolam renang terbesar yang belum dimanfaatkan di dunia kerja perakitan mampu dengan biaya sederhana.” Biaya kerja buruh adalah sepuluh sen per jam.
Tapi hadiah nyata adalah minyak. Selama satu minggu pada tahun 1969, dua puluh tiga perusahaan, sembilan belas di antara milik orang Amerika, tawaran hak untuk mengeksplorasi dan membawa ke pasar minyak di bawah Laut Jawa dan perairan lainnya di pantai Indonesia. Dalam satu konsesi 21.000 mil persegi dari pantai timur laut Jawa, Natomas dan Atlantic Richfield-sudah membawa minyak dari dalamnya. Perusahaan lain dengan kontrak yang ditandatangani telah menyaksikan saham mereka melambung dalam pesta pora spekulasi yang menyaingi mereka mengikuti penemuan Slope Utara Alaska. Akibatnya, Ford mensponsori sebuah proyek baru di Berkeley University of California di sekolah hukum dalam “pengembangan sumber daya manusia untuk penanganan negosiasi dengan investor asing di Indonesia.”
Melihat ke belakang, visi tiga puluh tahun untuk Pasifik tampaknya aman di Indonesia – berkat fleksibilitas dan ketekunan Ford. Sebuah “Inter-Governmental Group untuk Indonesia,” sepuluh negara termasuk Jepang, mengelola utang Indonesia dan koordinasi bantuan Indonesia. Sebuah korps teknokrat pribumi “berkualitas” yang secara resmi membuat keputusan ekonomi, tetap di tangani oleh penasihat Amerika terbaik yang jutaan uang Ford Foundation dapat membelinya. Dan, seperti telah kita lihat, perusahaan-perusahaan Amerika memperluas mendominasi eksploitasi minyak Indonesia, bijih timah dan tembaga, dan kayu.
Namun sejarah memiliki bahkan cara merobohkan rencana yang dibangun terbaik-.ahkan di Indonesia, “kekacauan” yang selamanya Ford dan kaum modernis berusaha mencegahnya tampaknya ada tepat di bawah permukaan. Akhir tahun 1969, pasukan tentara Jawa Barat membuat retak Divisi Siliwangi, sekitar lima ribu penduduk desa terkejut dan cemberut dalam latihan militer yang aneh sehingga Suharto berbicara lebih dari ketakutan daripada “stabilitas” politik Indonesia. Ditagih sebagai tes dalam “pengelolaan kawasan,” kata petugas kepada wartawan bahwa itu adalah sebuah latihan dalam mencegah “kolom potensial kelima ” di daerah yang banyak sekali-PKI daripada menghubungkannya dengan para penyerbu imajiner. Tetapi tentara tidak mendapat sambutan saat melewati desa-desa, wartawan Australia menulis. “Untuk mata yang tidak bersalah dari planet lain itu akan tampak bahwa Pasukan tentara Divisi Siliwangi merupakan pasukan pendudukan.” 28
Tidak ada pembicaraan lebih lanjut tentang reformasi tanah (land reform) atau mempersenjatai orang-orang di Indonesia sekarang. Tetapi keheningan itu fasih. Di desa-desa Jawa di mana PKI sangat kuat sebelum pogrom, tuan tanah dan para pejabat akan ketakutan bila keluar setelah gelap. Mereka yang melakukannya kadang-kadang ditemukan dengan leher tergorok, dan jenderal bergumam tentang “PKI malam.”
Catatan Kaki
1. Richard M. Nixon, “Asia After Vietnam,” Foreign Affairs, October 1967, p. 111.
2. Soedjatmoko, “Indonesia on the Threshold of Freedom,” address to Cooper Union, New York, 13 March 1949, p. 9.
3. Sumitro Djojohadikusumo, untitled address to School of Advanced International Studies, Washington, D.C., 1949, p. 7.
4. Dean Rusk, “Foreign Policy Problems in the Pacific,” Department of State Bulletin, 19 November 1951, p. 824 ff.
5. Guy J. Pauker, “The Rise and Fall of the Communist Party of Indonesia,” Rand Corporation Memorandum RM-5753-PR, February 1969, p. 46.
6. Michael Max Ehrmann, The Indonesian Military in the Politics of Guided Democracy, 1957-1965, unpublished Masters thesis (Cornell University, Ithaca, New York, September 1967), p. 296, citing Col. 7. 7. George Benson (U.S. Army), U.S. military attaché in Indonesia 1956-1960.
8. Daniel S. Lev, The Transition to Guided Democracy: Indonesian Politics, 1957-1959Ithaca NY: Modern Indonesia Project, Cornell University, 1966), p. 70.
9. Robert Shaplen, “Indonesia II: The Rise and Fall of Guided Democracy,” New Yorker, 24 May 1969, p. 48; Willard Hanna, Bung Karno’s Indonesia(New York: American Universities Field Staff, 25 September 1959), quoted in J.A.C. Mackie, “Indonesia’s Government Estates and Their Masters,” Pacific Affairs, Fall 1961, p. 352.
10. Guy J. Pauker, “The Rise and Fall of the Communist Party of Indonesia,” pp. 6, 10.
Ibid., p. 43.
11. W.F. Wertheim, “Indonesia Before and After the Untung Coup,” Pacific Affairs, Spring/Summer 1966, p. 117.
12. Ibid., p. 115.
13. Harsja W. Bachtiar, “Indonesia,” in Donald K. Emmerson, ed., Students and Politics in Developing Nations(New York: Praeger, 1968), p. 192.
14. Ibid., p. 55.
15. John Hughes, Indonesian Upheaval(New York: McKay, 1967), p. 132.
16. Ibid., p. 151.
17. “Silent Settlement,” Time, 17 December 1965, p. 29 ff.
18. Frank Palmos, untitled news report dated “early August 1966” (unpublished). Marginal note states that portions of the report were published in the Melbourne Heraldat an unspecified date.
19. Harsja W. Bachtiar, op. cit., p. 193.
20. Ibid., p. 195.
21.E. Robison, “An International Report,” speech delivered at Stanford Research Institute, 14 December 1967.
22. J. Panglaykim and K.D. Thomas, “The New Order and the Economy,” Indonesia, April 1967, p. 73.
23. “Indonesia’s Potholed Road Back,” Fortune, 1 June 1968, p. 130.
24. W.F. Wertheim, “From Aliran Towards Class Struggle in the Countryside of Java,” paper prepared for the International Conference on Asian History, Kuala Lumpur, August 1968, p. 18. Published under the same title in Pacific Research10, no. 2.
25. Gustav F. Papanek, “Indonesia,” Harvard Development Advisory Service memorandum (unpublished), 22 October 1968.
26. Jean Contenay, “Political Prisoners,” Far Eastern Economic Review, 2 November 1967, p. 225; NBC documentary, 19 February 1967.
27. Herbert Feith, “Blot on the New Order,” New Republic, 13 April 1968, p. 19.
28. “Indonesia — Army of Occupation,” The Bulletin, 22 November 1969.
(Ahmad-samantho/Sumber-Lain/ABNS)
Post a Comment
mohon gunakan email