BAB XIV: Masuk Kurungan
Tepat delapan bulan sampai kepada hari‐harinya aku sudah berada lagi dalam tahanan. Penahanan kembali ini tidak disebabkan oleh satu kedjadian yang khusus. Kesalahanku cuma oleh karena aku tidak menutup mulutku yang besar sebagaimana mereka harapkan setelah aku keluar dari penjara.
Komisaris itu membelebab kepadaku. “Tuan Sukarno, tuan tidak bisa berubah. Tidak ada harapan tingkah laku tuan bisa baik lagi. Menurut catatan kami, tuan hanya beberapa jam saja sebagai orang bebas ketika tuan naik kereta api menuju Surabaya, lalu tuan kembali bikin kacau lagi dan sejak waktu itu tidak berhenti‐henti bikin ribut. Jadi jelas sekarang bagi Pemerintah Sri Ratu bahwa tuan senantiasa menjadi pengacau.”
“Kemana tuan bawa saya ?” tanyaku. “Masuk tahanan.” ,”Di Bandung lagi?”
“Sekarang tidak. Sekarang ini tuan kami tahan di Hopbiro Polisi disini.”
Di kantor Polisi mereka tidak mengurungku. Kepadaku hanya ditunjukkan sebuah bangku panjang dan membiarkanku di sana. Aku bertanya kepada perwira pengawas, “Tuan, apakah bisa saya memanggil isteri saya?” Dia tidak menjawab.
“Dapatkah saya menyampaikan `pesan kepada pembela saya?” Ia masih tidak menjawab.
“Bolehkah saya bertemu dengan salah seorang anggota Volksraad atau salah seorang pemimpin dari partai saya?” Tidak ada jawaban. Dia hanya menarik korsi kemejanya dan menulis, terus menulis suatu dokumen yang berisi tidak kurang dari seribu halaman dakwaan kepadaku. Karena aku seorang jahat yang begitu berbahaya, mereka tidak membiarkanku seorang diri. Polisi yang bersenjata lengkap mengawalku di bangku itu.
Aku nongkrong di sana berjam‐jam lamanya. Dan aku mulai memikir. Selama saat‐saat yang tegang dalam kehidupan orang, seringkali pikiran manusia memusatkan diri kepada soal‐soal yang paling tidak berarti atau macam soal‐soal yang kelihatannya tidak ada sangkut pautnya. Ia seakan‐akan menjadi pintu pengaman daripada tabi’at manusia untuk mengeluarkan tekanan ketakutan yang bercokol dalam airinya.
Disini aku menjadi seorang yang kalah dua kali. Apakah yang akan terjadi terhadap diriku? Apakah aku hanya akan dijebloskan ke dalam penjara? Apakah mereka melemparkanku ke tempat pengasingan? Atau menggantungku? Apakah sesungguhnya? Apa? Dalam usia 32 tahun maka seluruh kehidupanku ini sudah menyelesaikan lingkarannya.
Satu‐satunya yang dapat kulihat dalam pikiranku hanyalah permainan bulutangkis dan bolanya yang terbang kian kemari menurut kemauan dari para pemainnja. Nehru yang telah sebelas kali keluar masuk penjara pada suatu waktu menyamakan dirinya dengan bola bulutangkis. Sambil duduk di sana aku berkata pada diriku sendiri. “Tidak karno, engkau lebih menyerupai sebuah ranting dalam unggun kayu bakar yang sedang menyala.” ,,Kenapa begitu?” Aku bertanya pada diriku sendiri. “Karena,” datang jawabnya, “ranting itu turut mengambil bagian dalam menyalakan api yang berkobar‐kobar, akan tetapi di balik itu iapun dimakan oleh apa yang hebat itu. Keadaan ini sama dengan keadaanmu. Engkau turut mengambil bagian dalam mengobarkan apinya revolusi, akan tetapi ……
“Percakapan dengan diriku sendiri terputus dengan tiba‐tiba. Jelas bahwa aku sesungguhnya dapat disamakan dengan sepotong kayu bakar, karena tiba‐tiba —akhirnya— nampaknya akupun dimakan oleh jilatan api yang menggelora itu dalam mana aku turut mengambil bagian sebagai kayu pembakarnya.
Aku menghilangkan pikiran ini dari ingatanku dan mencoba memikirkan soal yang lain. Tidak lama kemudian aku dikuasai oleh kelelahan, lalu tertidur di atas bangku kayu yang keras itu. Ketika cahaya di luar masih keabu‐abuan, mereka memasukkanku ke dalam kereta api. Tempat selanjutnya adalah Sukamiskin. Tetapi mereka tidak perasa. Aku tidak dimasukkan ke dalam selku yang lama.
Mereka mengurungku dalam sebuah sel khusus, dibuat di tengah‐tengah ruangan besar yang telah dikosongkan. Di situlah aku terkurung di sebuah sel sempit dalam ruangan yang besar. Dan seorang diri. Delapan bulan lamanya aku hidup seperti seorang pertapa yang bisu.
Kemudian mulai lagi pemeriksaan. Cara bekerjanya adalah demikian, mula‐mula orang ditahan, dihujani dengan ribuan pertanyaan. lalu dikirim jauh‐jauh untuk tidak kembali lagi. Sesuai dengan ketentuanketentuan dalam undang‐undang luar biasa, maka tidak perlu lagi diadakan pemeriksaan menurut hukum atau pengesahan hukuman. Dengan hanya membuat keputusan sendiri untuk pembuangan, maka
Gubernur Jendral memerintahkan ribuan manusia untuk dibuang jauh‐jauh untuk hilang begitu saja tak tentu rimbanya. Nampaknya Sukarno akan mengalami nasib yang demikian itu. Dengan tidak diadili terlebih dulu hukuman sudah dijatuhkan kepadaku. Aku akan dibuang ke salah satu pulau yang paling jauh. Berapa lamakah? Hingga semangatku dan jasadku menjadi busuk.
Aku akan menghadapi pembuangan ini. Setelah penjara, maka langkah selanjutnya akan menyusul secara otomatis. Sikapnya seakan‐akan mereka sudah cukup baik hati terhadapku dengan membebaskanku beberapa bulan yang lalu. Dan aku membalas kebaikan mereka dengan berbuat hal‐hal yang tidak baik seperti dahulu. Nampaknya mirip seperti aku tak tahu berterima kasih.
Jam 05.30 di suatu pagi aku dimasukkan cepat‐cepat ke dalam kereta akspres dan dikurung dalam kamar yang kecil dari salah satu gerbong yang sengaja dikosongkan. Dua orang berpakaian seragam mengawalku. Seorang di dalam. Seorang lagi di luar pintu. Sungguhpun aku tidak melihat tanda‐tanda kehadiran orang lain, kepadaku disampaikan bahwa keluargakupun ada dalam kereta api itu. Keluargaku yang baru bertambah terdiri juga dari Ibu Amsi, mertuaku, dan Ratna Djuami, yaitu kemenakan Inggit yang masih kecil dan menjadi anak angkat kami. Menurut kebiasaan kami pengambilan anak angkat tidak memerlukan pengesahan. Ia berarti bahwa seseorang tinggal denganmu dan engkau mencintainya.
Sesampai di Surabaya keluargaku dipisahkan ke hotel sedangkan aku disimpan lagi diantara empat dinding tembok selama dua hari dua malam berada di sana. Disinilah bapak dan ibu bertemu dengan si anak tersayang, untuk mana mereka telah membina harapan‐harapan yang begitu besar. Inilah pertamakali mereka melihatku di belakang jeruji besi dan aku kelihatan tidak banyak menyerupai Karno, prajurit pahlawan besar dari Mahabharata itu. Pengalaman ini sangat menyayat hati mereka, hingga mereka hampir tak sanggup memandangi keadaanku. Kejadian ini sudah lebih dari 30 yang lalu, akan tetapi rasa pedih yang meremukkan dari pertemuan kami itu masih tetap melekat dalam jiwaku sampai sekarang.
“O, Karno …… anakku Karno,” bapakku tersedu‐sedu, mencurahkan seluruh kepiluan hatinya, “Apa yang dapat kulakukan mengenai dirimu? Apa yang dapat kami kerjakan untukmu? Pertama, engkau meringkuk beberapa tahun dalam tahanan, yang menyebabkan kesedihan hati kami yang amat sangat. Dan sekarang lagi engkau dibuang jauh‐jauh keluar Jawa.
“Pipikupun basah dengan airmata, akan tetapi aku berusaha untuk tersenyum sedikit. “Akan kuberikan segala sesuatu, Pak, sekiranya saya mendapat kedudukan yang baik, yang akan memberikan kegembiraan kepada orang tuaku sebagaimana sepantasnya dengan pendidikan yang diberikan kepada saya. Akan tetapi, rupanya Tuhan tidak menghendakinya.”
Sementara air mata mengalir di wajahnya yang manis ibuku yang lembut hati itu membisikkan, “Sudah suratan takdir bahwa Sukarno menyusun pergerakan yang menyebabkan dia dipenjarakan, lalu dibuang dan kemudian dia akan membebaskan kita semua. Sukarno tidak lagi kepunjaan orang tuanya. Karno sudah menjadi kepunyaan rakyat Indonesia. Kami mau tidak mau menyesuaikan diri dengan kenyataan ini.”
Kami hanya diizinkan bertemu selama tiga menit. Aku cukup lama dibawa keluar sel untuk menjabat tangan bapak dan mencium ibu. Kami merasa takut kalau pertemuan ini akan memisahkan kami untuk selama‐lamanya, kami takut kalau perpisahan yang tergesa‐gesa ini adalah detik yang terakhir kami dapat saling memandangi wajah satu sama lain.
Hari berikutnya, dengan roda‐roda yang menciut melalui tikungan, aku dilarikan ke pelabuhan dimana orang telah berjejal‐jejal di pinggiran jalan untuk melambaikan ucapan selamat jalan dengan bendera-bendera Merah‐Putih dari kertas yang mereka buat sendiri. Dengan didampingi dikiri kanan oleh dua orang reserse, aku dibawa naik ke atas kapal barang dan ditahan di kamar kelas dua disebelah kandang ternak.
Delapan hari kemudian kami sampai ke tempat tujuan: Pulau Bunga, pulau yang terpendil.
(Pena-Soekarno/ABNS)
Post a Comment
mohon gunakan email