Central Intellegence Agency/CIA (Badan Intelijen Amerika Serikat) membuka arsip memo singkat harian untuk presiden (PDB) periode 1961-1965 pada 15 September 2015. Arsip-arsip yang selama ini ditutup-tutupi yaitu arsip mengenai upaya kudeta G30S (Gerakan 30 September) yang selama ini disebut-sebut didalangi oleh Partai Komunis Indonesia (PKI), termasuk jenis laporan rutin disampaikan pada Presiden Amerika Serikat.
Tercatat ada 19.000 halaman memo harian CIA yang dibuka pada publik, karena status rahasia negaranya telah kedaluwarsa merujuk peraturan perundang-undangan yang berlaku di Amerika Serikat.
Suasana salah satu Rapat Politbiro PKI yang dipimpin oleh D.N. Aidit dalam merencanakan Gerakan 30 September seperti yang diatayngkan dalam adegan film "Pengkhianatan G30S/PKI".
Terkait informasi soal G30S pada 30 September 1965, CIA tidak pernah secara terbuka mengaku terlibat. Dalam memo-memo tersebut, intelijen AS melaporkan bahwa aktor utama konflik adalah faksi militer pimpinan Soeharto serta perwira yang loyal pada PKI.
Apabila merujuk dalam salah satu paragraf memo tentang G30S tahun 1965, tertulis jelas bahwa CIA menyatakan "Partai Komunis bersiap bentrok dengan tentara dalam beberapa hari mendatang. Sebaliknya, faksi di militer terus mencari celah melemahkan kekuatan PKI."
CIA memberi rekomendasi Presiden Lyndon B. Johnson agar menunggu pemenang pertarungan politik yang nantinya melapangkan jalan bagi Orde Baru pimpinan Soeharto tersebut.
"Situasi Indonesia sementara ini membingungkan. Tidak ada hasil yang pasti untuk perubahan politik. Belum ada jawaban tentang adakah peran Soekarno di dalamnya. Dua pihak yang bergerak sama-sama mengklaim setia kepada presiden." demikian salah satu pernyataan dalam memo tersebut.
Memo itu, walau kini bisa diakses, sebagian tetap disensor dengan cara kalimat tertentu distabilo putih. CIA menyatakan ada informasi yang tetap sensitif hingga 50 tahun masa kedaluwarsa.
Selain informasi soal Indonesia, ribuan memo CIA banyak memberi laporan soal pergerakan Uni Soviet. Khususnya skandal penempatan rudal balistik di Kuba pada 1962 yang nyaris memicu perang nuklir. Uniknya, memo ini sama sekali tidak menyinggung pembunuhan Presiden John F. Kennedy di Kota Dallas pada 25 November 1963.
Beberapa sejarawan meyakini peristiwa 30 September 1965 adalah manuver politik terkait perang dingin. Sikap Soekarno yang mulai merapat ke Uni Soviet dan mendapatkan persenjataan canggih dari Soviet jelas-jelas membuat CIA khawatir.
Teori keterlibatan Amerika Serikat itu setidaknya diulas oleh sejarawan Petrik Matanasi, penulis buku, 'Tjakrabirawa'. Sasaran penculikan adalah Jenderal yang bertugas di Staf Umum Angkatan Darat (SUAD). Justru, kelompok G30S meyakini Amerika sedang berusaha mengobok-obok Indonesia.
Para jenderal yang diculik sebagian besar tokoh penting menentukan arah perkembangan Angkatan Darat. Kolonel Untung, aktor utama G30S, menganggap jenderal-jenderal seperti Ahmad Yani tidak loyal kepada Bung Karno dan dekat dengan Amerika Serikat.
Diorama yang melukiskan pembunuhan Jenderal Ahmad Yani oleh pasukan G30S
Menurut Petrik, pada 1 Oktober 1965 sekitar pukul 02.00 dini hari, pasukan Pasopati dari Tjakrabirawa, Brigif I Djaja Sakti dan Batalyon 454/Diponegoro berkumpul di Lubang Buaya dibawah pimpinan Letnan Satu Dul Arief yang memberikan arahan kepada anak buahnya.
Dalam arahan itu, Dul Arif menjelaskan adanya skenario Dewan Jenderal yang didukung CIA, untuk melawan Soekarno. Karenanya sangat penting sekali untuk menangkapi para Jenderal itu untuk menyelamatkan Presiden Soekarno.
Presiden Soekarno menitikkan airmata di pusara Jenderal Ahmad Yani pada saat pemakaman para pahlawan revolusi di Taman Makam Pahlawan Kalibata 5 Oktober 1965. Hal ini bisa dipahami karena Jenderal Yani merupakan kesayangan Bung Karno. Pada masa itu kabinet sudah mafhum bahwa Bung Karno menginginkan Yani untuk menggantikannya sebagai Presiden. Hal tersebut pernah diamini oleh almarhum Ny. Yayuk Ruliah Yani (istri Jenderal Ahmad Yani) dan Ny. Amelia Yani (putri Jenderal Ahmad Yani)
Dalam briefing tersebut, semua anggota pasukan percaya dengan penjelasan Dul Arief tersebut. Namun dalam perkembangannya, gerakan pasukan kemudian diserang balik oleh komando militer di bawah pimpinan Mayor Jenderal Soeharto, sebagai pemimpin Kostrad.
Selanjutnya, Soeharto secara de facto menguasai pemerintahan. Tragedi 1965 berakhir menyedihkan karena setidaknya satu juta warga sipil di pelbagai provinsi yang dituding anggota atau bersimpati pada PKI, sehingga dianggap mendukung G30S, dibantai dalam periode 18 bulan saja. Ratusan orang dipenjara tanpa pengadilan. Pelanggaran HAM berat itu sampai sekarang tidak pernah terselesaikan.
(Washington-Post/Merdeka/Memobee/ABNS)
Post a Comment
mohon gunakan email