Peristiwa penculikan dan pembunuhan para jenderal TNI Angkatan Darat oleh gerombolan Gerakan 30 September 1965 (G30S) yang ditenggarai oleh Partai Komunis Indonesia (PKI) ternyata masih banyak menyisakan cerita pilu sekaligus mengharukan yang belum pernah terungkap, khususnya mengenai seputar gugurnya Mayjen Siswondo Parman, Asisten I Menpangad bidang Intelijen. Beliau merupakan salah satu jenderal yang dibawa dalam keadaan hidup sebelum dihabisi di Lubang Buaya.
Sang jenderal hanya sempat menjalani indahnya bahtera pernikahan selama 14 tahun bersama sang istri tercinta, Sumirahayu. Dan hingga nyawanya direnggut dengan keji, ia masih belum dikaruniai keturunan. Dan yang lebih memilukan adalah kesaksian sang istri, bahwa hanya beberapa hari sebelum peristiwa yang menjadi sejarah kelam bangsa ini, Jenderal Parman mengutarakan keinginannya agar dimakamkan di Taman Makam Pahlawan (TMP) Kalibata, bersama kolega dan atasannya, Menpangad Jenderal Ahmad Yani.
Ya, Jenderal kelahiran Wonosobo 4 Agustus 1918 ini sudah berpesan pada sang istri, Sumirahayu, jika nanti dirinya gugur, ingin dikebumikan di TMP Kalibata.
“Wah, Ini Taman Makam Pahlawan! Tempat bahagia bagiku, jeng. Jangan lupa ya, kalau aku gugur supaya bisa dimakamkan di sini. Jangan lupa pula supaya pada kijingku (batu nisan), nanti ditulis ‘Pejuang Sejati’,” ucap Jenderal Parman kepada istri ketika berada di depan TMP Kalibata.
Ny. Sumirahayu S. Parman (foto diambil 11 tahun setelah peristiwa G30S/PKI)
Isyarat aneh lain yang dirasakan Sumirahayu adalah ketika suaminya tiba-tiba menyuruhnya untuk jalan-jalan ke luar kota, seperti ke Cibubur atau ke Cisalak. Begitu juga ketika Jenderal Parman sempat mengajak istrinya pelesiran ke Bogor. Suatu perilaku ganjil lantaran selama ini Jenderal Parman bukan sosok yang gemar bertamasya. Seolah itu merupakan suatu pertanda bahwa ia ingin menghabiskan waktunya bersama istri tercinta untuk terakhir kalinya.
Hal lain yang tak kalah aneh adalah ketika pada 30 September 1965, tepat jam 12 malam, Jenderal Parman dan istri keheranan dengan kedatangan kawanan Burung Gereja dan Burung Sriti di kamar tamu rumah mereka, Jalan Serang Nomor 32, Menteng, Jakarta Pusat.
“Lho kok banyak sekali burung gereja di kamar tamu itu?” tanya Jenderal Parman yang segera dijawab singkat istri, “Ah, sudahlah. Tidur saja”.
“Lho, sekarang banyak Burung Sriti?,” Jenderal Parman bertambah heran. Keganjilan itu seolah jadi pertanda. 1 Oktober 1965 subuh sekira pukul 04.00, sang jenderal dan istri yang kala itu sudah terbangun dari tidurnya dikagetkan dengan kedatangan sekitar 20-an tentara berseragam Tjakrabirawa.
Para Tjakrabirawa mengatakan bahwa Jenderal Parman diminta menghadap Presiden Soekarno dan ketika berganti pakaian di kamar, gerombolan Tjakra itu mengikuti ke dalam kamar. Pesawat telefon di rumahnya pun turut diambil dan seketika itu juga, Jenderal Parman mulai sadar bahwa nyawanya terancam.
“Lho kok telefon saya diambil? Lho, saya ini difitnah?” cetus Jenderal Parman. “Oh, tidak Pak,” jawab seorang dari mereka.
Diorama penyiksaan Jenderal S. Parman di Kompleks Monumen Pancasila Sakti, Lubang Buaya, Jakarta Timur
Jenderal Parman pun dibawa dan sang istri sama sekali tak tahu ke mana suaminya dibawa pergi. Tak lama kemudian, istri Mayjen MT Harjono datang dengan menangis sembari bertanya tentang keberadaan Jenderal Parman.
Istri Jenderal Parman pun menjelaskan bahwa suaminya telah dibawa gerombolan Tjakra yang ternyata, kejadiannya sama dengan yang dialami keluarga MT Harjono.
“Jeng, jangan menangis. Kuatkan imanmu. Sebagai istri perwira, kita harus tabah dan kuat,” Sumirahayu kepada istri MT Harjono.
Yang lebih ironis, salah satu orang yang ditenggarai mendalangi penculikan tersebut adalah kakak Jenderal Parman yang menjadi salah satu pengurus teras PKI, yaitu Ir Sakirman. Dalam politik, memang tidak pernah ada persaudaraan.
(Berbagai-Sumber/Memobee/ABNS)
Post a Comment
mohon gunakan email