Sekolah Kartini Batavia, 1925. (Foto: KITLV)
Orang-orang Belanda yang berpandangan maju mewujudkan perjuangan RA Kartini untuk mendirikan sekolah-sekolah untuk wanita.
DALAM surat-suratnya, RA Kartini meratapi buta huruf di kalangan perempuan karena tidak tersedianya peluang pendidikan bagi mereka. “Kami, gadis-gadis Jawa, tidak boleh memiliki cita-cita, karena kami hanya boleh mempunyai satu impian, dan itu adalah dipaksa menikah hari ini atau esok dengan pria yang dianggap patut oleh orangtua kami,” tulis Kartini dengan getir kepada Rosa Manuela Abendanon-Mandri, 8/9 Agustus 1901.
Setelah Kartini meninggal pada 1904, perjuangannya untuk menyediakan pendidikan bagi perempuan dilanjutkan teman-teman Belandanya.
Surat-surat Kartini antara 1899-1904 kepada teman-teman Belandanya, terutama Rosa Manuela Abendanon-Mandri, istri mantan direktur pendidikan, agama, dan industri Hindia Belanda Mr Jacques Henry Abendanon, disunting secara selektif dan diterbitkan pada 1911 di Belanda dengan judul Door duisternis tot licht (Habis Gelap Terbitlah Terang). Buku tersebut meraih sukses besar di kalangan publik Belanda, kemudian diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris, Indonesia, Melayu, Sunda, dan Jawa.
Usaha menerbitkan surat-surat Kartini tersebut, menurut Soekesi Soemoatmaja, untuk mencari dana guna mendirikan sekolah-sekolah perempuan di Jawa.
“Ternyata usaha tersebut berhasil,” tulis Soekesi dalam makalahnya tentang Sekolah Kartini yang disampaikan pada Seminar Sejarah Nasional III, 10-15 November 1981. “Banyak tanggapan positif datang dari kalangan orang Belanda yang berpandangan maju. Dari kalangan pendukung tersebut maka pada akhir tahun 1911 dibentuklah sebuah Komite Sementara sebagai perwujudan dari usaha tersebut.”
Komite Sementara diketuai Baronesse van Hogendorps Jacob. Anggotanya antara lain pasangan JH Abendanon. Komite ini lalu menunjuk van Deventer –waktu itu menjadi anggota de Eerste Kamer (Majelis Tinggi) Parlemen Belanda– untuk pergi ke Hindia Belanda untuk menyampaikan maksud dan tujuan Komite.
Setelah bertamu kepada Gubernur Jenderal Idenburg, van Deventer melakukan perjalanan keliling Jawa untuk bertemu berbagai kalangan dan membicarakan tujuannya. Beberapa bulan kemudian, dia mengirimkan hasil perjalanannya ke Komite di Den Haag bahwa kota Semarang tepat untuk mendirikan sekolah siang bagi gadis-gadis Jawa sesuai cita-cita Kartini. Akhir Agustus 1912, persetujuan dari Komite tiba. Pada waktu yang sama, van Deventer mengajukan permohonan kepada gubernur jenderal untuk mendapatkan subsidi dari pemerintah guna sekolah yang akan didirikannya.
Pada 26 Februari 1913, Komite Sementara mengadakan pertemuan dan menghasilkan Vereeniging Kartinifonds (Perkumpulan Dana Kartini). “Perkumpulan ini merupakan badan definitif menggantikan Komite Sementara dan bertugas mencari dana kemudian meyalurkan berupa subsidi kepada sekolah-sekolah wanita di Indonesia,” tulis Soekesi.
Kampanye dan penggalangan dana Perkumpulan Dana Kartini di Belanda dilakukan oleh Hilda de Booy-Bolssevain, istri ajudan Gubernur Jenderal Rooseboom di Bogor ketika suaminya berdinas di sana. Hampir selama satu tahun Hilda berkampanye ke seluruh pelosok Belanda.
Perkumpulan Dana Kartini kemudian mendirikan cabang di Semarang dengan nama Kartini Vereeniging (Perkumpulan Kartini) pada 1913. “Moto resmi Yayasan (Perkumpulan) Kartini menegaskan kesetiaannya terhadap warisan dan kemasyhuran cita-cita Kartini: Yayasan ini bertujuan untuk mengentaskan (verheffing) perempuan Jawa sebagaimana dianjurkan oleh Raden Adjeng Kartini,” tulis Frances Gouda dalam Dutch Culture Overseas.
Perkumpulan Kartini bertugas menerima dan menyalurkan bantuan dari Perkumpulan Dana Kartini dan membuat laporan sekolah-sekolah yang menerima dana tersebut. Dana pertama yang disalurkan berasal dari hasil penjualan buku Door duisternis tot licht, yang lumayan besar. Dari tahun 1913 penjualan edisi Belanda di Belanda mencapai f. 5.809.75 dan edisi bahasa Inggris di Amerika Serikat selama tahun 1920 menghasilkan f. 903.55.
“Royalti buku tersebut, bersama dengan sumbangan pribadi dan subsidi pemerintah, mendanai pendirian Yayasan Kartini pada 1913, yang pada 1916 telah membuka tujuh sekolah swasta yang khusus memberi pendidikan dasar kepada anak-anak perempuan bangsawan pribumi,” tulis Frances Gouda.
Perkumpulan Kartini mendirikan Sekolah Kartini di Semarang (1913, berasrama), Batavia (1914), Bogor (1914, berasrama), Madiun (1914), Malang (1915), Cirebon (1916), dan Pekalongan (1916). Setiap sekolah mendapat subsidi dari Perkumpulan Dana Kartini rerata f. 500 per tahun. Selain Sekolah Kartini, sekolah perempuan lain yang mendapat subsidi dari Perkumpulan Dana Kartini adalah Pamulangan Istrischool di Bogor dan Kemajuan Istrischool di Jatinegara.
Pelajaran di Sekolah Kartini sama dengan yang diajarkan di sekolah dasar (HIS), dengan tambahan pelajaran keterampilan rumahtangga: menjahit, menyulam, memasak, menyetrika, pengetahuan kesehatan, berkebun, dan sebagainya.
Sayangnya, meski mendapat subsidi, kebanyakan murid Sekolah Kartini adalah kelas menengah karena biaya sekolah per bulan rerata f. 2. Karena itu, Sekolah Kartini Semarang menyelenggarakan kursus keterampilan rumahtangga untuk gadis-gadis desa berusia 12-15 tahun tanpa dipungut biaya.
(Historia/Berbagai-Sumber-Sejarah/ABNS)
Post a Comment
mohon gunakan email