Dalam konteks nasionalisme itu dapat dikemukakan bahwa orang Tionghoa peranakan punya kepedulian dalam memelihara warisan budaya bangsa Indonesia. Di bidang pengembangan seni batik dan kuliner, dapat ditemui di Surakarta, Yogyakarta, Pekalongan, Semarang, Lasem, Surabaya, Betawi dan sebagainya. Seperti saudagar Go Tik Swan punya gelar Kanjeng Raden Tumenggung (KRT) Hardjonagoro yang lahir batin merasa orang Surakarta. Go Tik Swan ini lahir sebagai anak sulung dari keluarga asli Cina yang kakeknya saudagar batik terkemuka di Surakarta tahun 1942-1954. Keluarga ini punya empat usaha pembatikan, yakni dua di Kratonan, satu di Ngapeman, dan sisanya di Kestalan dengan buruh batik sekitar 1.000 orang, suatu jumlah yang cukup besar waktu itu. Para buruh batik umumnya orang Solo-Surakarta dan sekitarnya. Dia bergelar KRT dengan nama Harjonagoro karena kakeknya Tjan Sie Ing adalah seorang Luitenant der Chinezen van Soerakarta. Kakeknya orang Cina pertama yang mendapat hak sewa pasar Harjonegoro, di Surakarta.
Selain Go Tik Swan, tokoh berikut adalah pejuang dan politikus, yakni Siauw Giok Tjhan dari Surabaya. Ia seorang tokoh pergerakan kemerdekaan Indonesia. Ayahnya bernama Siauw Gwan Swie, seorang peranakan Tionghoa dan ibunya Kwan Tjian Nio. Siauw Giok Tjhan memiliki adik bernama Siauw Giok Bie. Pandangan mereka umumnya karena lahir di Indonesia dan dibesarkan di Indonesia, sehingga menjadi Putra-Putri Indonesia adalah semboyan yang pertamakali dikumandangkan Kwee Hing Tjiat melalui koran Matahari di Semarang tahun 1933-1934. Semboyan itu menjadi keyakinan hidup Siauw Giok Tjhan sejak muda dan menjadi putra terbaik Indonesia yang tak ada bedanya dengan putra Indonesia pribumi sekaligus ingin memperjuangkan kemerdekaan bagi tanah air Indonesia. Siauw Giok Tjhan memasuki arus politik nasional melalui proses pembentukan Partai Tionghoa Indonesia (PTI) yang dipelopori Liem Koen Hian tahun 1935. Berusia 18 tahun, Siauw menjadi salah seorang pendiri PTI termuda. Partai ini berkembang sebagai aliran terbaru dalam komunitas Tionghoa peranakan zaman Hindia Belanda. Ia mendorong semua Tionghoa di Hindia Belanda menerima Indonesia sebagai tanah air mereka sendiri.
Orang Tionghoa peranakan umumnya lahir, hidup, dan meninggal di Indonesia. Setelah hidup bergenerasi, kaitan dengan Tiongkok semakin berkurang atau hilang. Hingga PTI mendukung berdirinya Gerakan Rakyat Indonesia (GERINDO) pada 18 Mei 1937 berdasarkan keputusan Kongres di Palembang. Keteguhan jiwa dalam memperjuangkan keadilan tumbuh dalam lingkungan yang harus dihadapi. Terutama setelah kedua orang tuanya meninggal, Siauw Giok Tjhan cari nafkah bersama adiknya, Siauw Giok Bie. Siauw Giok Tjhan sejak kecil sudah punya watak melawan ketidakadilan yang menimpa diri dan kelompoknya.
Saat ia dilantik menjadi Menteri Negara Urusan Minoritas dalam Kabinet Amir Syarifudin, Siauw Giok Tjhan belum mendapatkan mobil menteri, dan hanya naik kereta kuda untuk ke Istana di Yogyakarta. Tapi malang, ternyata kereta kuda dilarang masuk halaman Istana, dan terpaksa ia turun berjalan kaki masuk Keraton. Pada saat itu ia juga terbentur masalah rumah tinggal. Ternyata tidak ada perumahan pemerintah yang bisa diberikan kepadanya sebagai menteri negara. Pada saat itu menteri yang datang dari luar Yogyakarta, boleh tinggal di Hotel Merdeka. Tapi untuk menghemat pengeluaran uang negara, Siauw memilih tinggal di gedung kementerian negara dan tidur di atas meja tulis.
Siauw Giok Tjhan pernah menjadi ketua umum Baperki, Menteri Negara, anggota BP KNIP, anggota parlemen RIS, anggota DPR hasil pemilu 1955 dan anggota Majelis Konstituante, serta anggota DPRGR/MPR-S dan anggota DPA. Dalam menghadapi persoalan Tionghoa di Indonesia, Siauw Giok Tjhan menganut konsep integrasi yakni konsep menjadi warga negara serta menjadi bagian masyarakat Indonesia yang terdiri dari beragam suku dan budaya tanpa menghilangkan identitas budaya, suku, dan adat-istiadat masing masing termasuk masyarakat Tionghoa. Konsep integrasi yang diperjuangkan Siauw Giok Tjhan identik dengan pluralisme. Menurut Siauw Giok Tjhan ras Indonesia tak ada, yang ada “Nation Indonesia.”
Konsep ini diterima Bung Karno tahun 1950-an, yang secara tegas dinyatakan bahwa golongan Tionghoa peranakan adalah suku Tionghoa dan tidak perlu ganti nama dan agama, atau kawin campur dengan suku non-Tionghoa dalam berbakti kepada Indonesia. Siauw Giok Tjhan adalah ketua umum Badan Permusjawaratan Kewarganegaraan Indonesia (BAPERKI). Pada tahun 1958 Jajasan Pendidikan dan Kebudajaan Baperki mendirikan perguruan tinggi dan rektornya adalah Ferdinand Lumban Tobing seorang menteri kabinet parlementer.
Selanjutnya Djiaw Kie Siong adalah pemilik rumah di Bojong, Rengasdengklok, Kabupaten Karawang, tempat Bung Karno dan Bung Hatta disembunyikan Adam Malik, Chaerul Saleh, dan Sukarni yang menculik dan meminta agar kemerdekaan Indonesia diproklamasikan. Di rumah Djiaw Kie Siong ini naskah Proklamasi Kemerdekaan Indonesia dipersiapkan. Proklamasi kemerdekaan RI rencananya dibacakan Bung Karno dan Bung Hatta, pada 16 Agustus1945 di Rengasdengklok.
Bendera Merah Putih telah dikibarkan para pejuang Rengasdengklok pada 15 Agustus 1945 karena mereka tahu esok harinya Indonesia merdeka. Ketika naskah Proklamasi dibacakan, tiba-tiba datang Ahmad Subardjo dkk. Ia meminta Bung Karno dan Bung Hatta berangkat ke Jakarta untuk membacakan Proklamasi Kemerdekaan Indonesia di Jalan Pegangsaan Timur 56 Jakarta. Selain ditinggali kedua Bapak Bangsa, rumah Djiaw Kie Siong itu pernah ditinggali Sukarni, Yusuf Kunto, dr. Tjipto Mangoenkoesoemo, Ibu Fatmawati, dan Guntur Soekarnoputra pada 14–16 Agustus1945. Djiaw Kie Siong rela rumahnya ditempati tokoh pergerakan yang kelak menjadi Bapak Bangsa.
Ada lagi Lie Eng Hok lahir di Banten, 7 Februari1893. Ia seorang Perintis Kemerdekaan Indonesia dan sahabat Wage Rudolf Supratman, di surat kabar berbahasa Melayu. Dari W.R.Supratman, ia belajar tentang cita-cita kebangsaan Indonesia. Dan semasa muda Lie Eng Hok aktif sebagai wartawan surat kabar Sin Po. Lie Eng Hok merupakan tokoh di balik pemberontakan 1926 di Banten, peristiwa perusakan kantor milik pemerintah Belanda.
Pemberontakan itu dilakukan sebagai bentuk perlawanan terhadap pemerintah Belanda yang kejam. Lie berperan sebagai kurir kaum pergerakan, ditahan Belanda dan dibuang ke Boven Digoel, Papua, selama lima tahun (1927-1932). Selama di Boven Digoel, Lie Eng Hok menolak bekerja untuk pemerintah Belanda dan membuka kios sepatu untuk biaya hidup. Atas jasanya kepada negara Indonesia, Lie Eng Hok diangkat sebagai Pahlawan Perintis Kemerdekaan RI berdasarkan SK Mensos RI No. Pol. 111 PK tanggal 22 Januari 1959.
Kemudian Yap Tjwan Bing, seorang sarjana Farmasi anggota Dewan Kurator ITB, Bandung. Pada tahun 1945 ia bergabung dengan PNI. Namanya diabadikan menjadi salah satu ruas jalan di Surakarta. Lalu Tan Bun Yin seorang pejuang kemerdekaan peranakan Tionghoa. Ia diperintahkan balas dendam kepada mayor KNIL yang menembak mati dokter Tan Ping Djiang, republiken tulen penentang Belanda saat Clash II tahun 1948. Mayor Belanda yang memerintahkan eksekusi dokter Tan itu, ditembak dari jarak dekat di Tulung Agung. Dan Oei Hok San mantan tentara pelajar di Kediri, Jawa Timur. Ia putra Oei Djing Swan, seorang peranakan Tionghoa yang memerintahkan Tan Bun Yin membunuh komandan Belanda sebagai aksi balas dendam atas ditembaknya Tan Ping Djian.
(Sejarah-Kita/Berbagai-Sumber-Sejarah/ABNS)
Post a Comment
mohon gunakan email