Pesan Rahbar

Home » » Perjuangan Peranakan Tionghoa

Perjuangan Peranakan Tionghoa

Written By Unknown on Wednesday, 23 March 2016 | 18:46:00


Pandangan pada etnis Tionghoa peranakan terhadap kebangsaan Indonesia secara faktual dapat dibagi menjadi dua kelompok. Pertama, Orang Tionghoa peranakan yang merupakan bagian integral dari bangsa Indonesia karena lahir, dewasa, mendapat pendidikan hingga hidup dan mencari nafkah di Indonesia. Kedua, Orang Tionghoa peranakan yang walaupun lahir dan dibesarkan di Indonesia serta menjadi warga negara Indonesia, tapi merasa sebagai bukan bagian dari bangsa Indonesia.

Kelompok kedua itu biasanya hidup secara eksklusif dan mengidentifikasikan dirinya dengan perantau Tionghoa yang beroperasi di berbagai belahan dunia. Mereka mewarisi pandangan dimana derajat peranakan Tionghoa lebih tinggi “kastanya” daripada suku pribumi Indonesia. Ketika bangsa Indonesia dijajah Belanda, sikap dan perilaku seperti itu marak terjadi. Ketika itu, orang Tionghoa peranakan oleh pemerintah Belanda diposisikan sebagai minoritas perantara (middlemen minority), dimana banyak di antara mereka menjadi pedagang perantara, penjaga pelabuhan, pengelola rumah gadai, penjual candu dan sebagainya.


Tiga Kelompok
Sampai abad 20, pandangan negatif masyarakat pribumi terhadap orang-orang Tionghoa sangat kuat terkait dengan penguasaan sumberdaya ekonomi dan gaya hidup eksklusif. Stereotip orang Tionghoa peranakan itu licik, culas, dan menghalalkan segala cara saat mencari uang. Padahal sifat yang sama juga dilakukan komunitas etnis manapun di Indonesia. Stigma itu tidak datang begitu saja dalam benak masyarakat pribumi. Perlakuan diskriminatif yang dilakukan pemerintah Belanda terhadap warga peranakan Tionghoa dengan cara memisahkan mereka untuk tinggal di kampung pecinan secara eksklusif merupakan salah satu penyebabnya.

Tonggak awal munculnya nasionalisme Cina di Indonesia awalnya terpengaruh gerakan nasionalisme Sun Yat Sen di Tiongkok yang ditandai dengan berdirinya Tiong Hoa Hwee Koan (THHK), yaitu Perkumpulan Tionghoa peranakan di Jakarta dan berpendidikan Barat. Perlakuan hukum yang diskriminatif oleh pemerintah Belanda tersebut ikut membangkitkan kesadaran nasionalime di kalangan peranakan Cina di Indonesia. Menurut Onghokham (1992), sifat gerakan itu eksklusif, dan hanya untuk golongan mereka sendiri, tidak ada hubungannya dengan kolonialisme, meski gerakan mereka tetap anti pemerintah Belanda.

Sementara nasionalisme masyarakat peranakan Tionghoa yang berorientasi kepada Belanda diwakili organisasi politik Chung Hwa Hui (CHH) yang didirikan tahun 1928. Gerakan ini mendapat dukungan dari kalangan intelektual Cina perantauan. Tapi gerakan mereka bukan untuk kemerdekaan bagi Hindia Belanda. Dan nasionalisme mereka adalah rasa cinta kepada Hindia Belanda dengan menjadi warganegara Indonesia secara baik, tapi a-politis.

Sejalan dengan semangat nasionalisme di kalangan pribumi sejumlah warga peranakan Cina terpanggil ambil bagian bersama tokoh pergerakan nasional Indonesia pra-kemerdekaan. Mereka ikut gerakan kebangsaan untuk kemerdekaan Indonesia. Mereka sudah mulai ikut terlibat dalam proses Sumpah Pemuda 1928 yang ingin meletakkan dasar-dasar bagi lahirnya kebangsaan Indonesia. Para tokohnya, antara lain, Kwee Thiam Hong, Oey Kay Siang, John Lauw Tjoan Hok, dan Tjio Djien Kwie (Fahmi Idris, 2012).

Sementara saat persiapan kemerdekaan Indonesia ada empat orang saudagar Cina yang duduk dalam Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI), yakni; Oei Tjong Hauw, Oei Tiang Tjoei, Mr. Tan Eng Hua, dan Liem Koen Hian. Sedangkan saudagar Cina yang turut menyusun UUD 1945 hingga menjadi anggota Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) adalah Jap Tjwan Bing.

Di antara warga peranakan Tionghoa itu banyak yang terlibat dalam pengembangan seni budaya bangsa, kesusastraan, media massa, dan karya kemanusiaan. Untuk sekedar contoh, surat kabar Sin Po yang pada era penjajahan Belanda dianggap berorientasi ke Cina Nasionalis Sun Yat Sen, ternyata merupakan surat kabar Cina pertama yang berani menggunakan sebutan Indonesia untuk menggantikan istilah inlanders. Adalah Ang Jan Goan yang mengaku tindakan itu bukan tanpa resiko. Sebab koran Sin Po harus menanggung rugi ribuan Gulden akibat pencabutan iklan pemerintah Belanda di dalam koran itu.

(Sejarah-Kita/Berbagai-Sumber-Sejarah/ABNS)
Share this post :

Post a Comment

mohon gunakan email

Terkait Berita: