Pesan Rahbar

Home » » Memahami Pemikiran Islam Soekarno Sang Prokamator

Memahami Pemikiran Islam Soekarno Sang Prokamator

Written By Unknown on Tuesday 22 September 2015 | 07:27:00


Islam yang kita catut dari Kalam Ilahi dan sunnah bukan apinya, bukan nyalanya, bukan! Tapi abunya, debunya, ach, ya asapnya, abunya yang berupa celak mata dan surban……..abunya yang bisanya cuma baca Fatihah dan tahlil, bukan apinya yang menyala-nyala dari ujung zaman  satu ke zaman yang lain.



(Ir. Soekarno, 1940).

Dalam diskursus politik Islam Indonesia, Sukarno selalu diposisikan sebagai penentang gerakan Isam paling wahid yang harus berhadapan dengan pemikir-pemikir Islam taat seperti M. Natsir. Bahkan, H. Agus Salim pernah menuduhnya telah keluar dari Islam. Tidak hanya itu, tidak jarang namanya diidentikkan dengan Kemal at-Taturk yang menghapus lembaga khilafat dan melakukan sekularisasi menyeluruh di Turki. Sangat gampang mencari pembenaran atas sekularisme Sukarno. Dia-lah penentang gigih visi Islam sebagai asas negara. Dia pula yang telah membubarkan partai Islam terbesar, Masyumi.

Parahnya, dia sempat diposisikan sebagai musuh Islam karena hubungan dekatnya dengan Partai Komunis Indonesia (PKI). Begitulah aktivis Islam Politik pada waktu itu merayakan kebenciannya pada Sukarno dengan mendukung Suharto naik tahta. Tentu, sangat tidak adil kalau hanya menuduh tanpa menelaah pemikiran dan dasar-dasar keyakinannya. Risalah pendek ini berambisi membuka (kembali) lembaran pemkirian keIslaman dan relijiusitas Sukarno.

Menggunakan pernyataan Robert N. Bellah, sebagai analogi, bahwa ajaran (nabi) Muhammad sangat modern dan justeru karena terlalu modern sehingga masyarakan Arab belum siap menerimanya. Maka banyak ajarannya yang kemudian diselewengkan. Dalam tingkatan yang berbeda, juga bisa dikatakan bahwa pemikiran keIslaman Sukarno terlalu maju, sehingga masyarakatnya belum siap menerimanya. Maka dia harus rela ditentang oleh umat yang justeru mau dibela. Sukarno sadar akan kondisi ini, menurutnya hal itu terjadi karena jiwa umat Islam sudah begitu lama dikerangkeng oleh doktrin kolot. Mereka sudah menjadi umat Islam sontoloyo yang enggan melangkah. Padahal Islam itu sendiri sangat progress, Islam adalah kemajuan (Benhard Dahm, Sukarno dan Perjuangan Kemerdekaan, LP3ES, 1987).

Sebelum terlalu jauh memasuki alam fikir Islam Sukarno, risalah ini akan memulai pengembaraannya dengan mencatat biografi singkat dan proses sosialisasi politik Sukarno dengan harapan bisa melacak jejak pengaruh dalam proses pematangan pemikirannya. Setelah itu, risalah ini akan  berusaha masuk ke dalam dunia fikir Islam Sukarno yang pada masanya selalu mengandung daya kejut atau dalam bahasa Nurcholis Madjid Psycological Striking Force.

Biografi dan Sosialisasi Politik Sukarno.
Sukarno lahir pada tanggal 06 Juni 1901, tapat pada saat fajar bersiap menyinari bumi manusia. Karena itu, ibunya selalu memenggil Sukarno sebagai putra fajar yang pada suatu saat akan membawa cahaya penerang bagi tanah airnya. Lahir dari hasil perkawinan silang budaya memeliki pengaruh kuat terhadap Sukarno. Ayahnya, Raden Sukemi, bangsawan rendahan Jawa sedangkan ibunya, Ayu Nyoman Rai Sarimben, putri Bali kasta Brahmana. Perkawinan Sukemi dan Ayu Nyoman ini adalah bentuk pemberontakan terhadap tradisi. Sebab pada waktu, kasta Brahmana tidak boleh kawin dengan orang Jawa. Kawin dengan orang Jawa berarti menjadi Islam, itu tidak diinginkan oleh kasta Brahmana yang memiliki strata terhormat di Bali.

Nama Sukarno kecil adalah Koesnososro, tapi karena sering sakit, kemudian namanya diganti Sukarno.  “Nama kelahiranku adalah Kusno. Aku memulai hidup ini sebagai anak yang penyakitan. Aku mendapat malaria desenti, semua penyakit dan setiap penyakit. Bapak menerangkan, namanya tidak cocok dan harus diganti supaya tidak sakit lagi. Aku belum mencapai masa pemuda ketika bapak menyampaikan penggantian nama padaku. Dia bilang “Kus engkau akan kami beri nama Karno”. Karno adalah pahlawan terbesar dalam cerita Mahabarata”. Begitulah Sukarno menceritakan kisah hidupnya. (Cindy Adam, Bung Karno Penyambung Lidah Rakyat Indonesia, Gunung Agung, 1966).

Sukarno melewati masa kecilnya di Tulungagung (Kediri) bersama kakeknya yang kesohor, Raden Hardjodikromo. Di Tulungagung Sukarno selalu menikmati malam dengan menonton pertunjukan wayang. Dia menghayati cerita-cerita wayang yang diambil dari tokoh-tokoh sejarah dan legenda Jawa. Salah satu cerita kesukaannya adalah perang Bharata Yudha yang mengisahkan perjuangan kaum Pandawa melawan kaum Kurawa dalam memperebutkan kerajaan Ngastina yang merupakan hak kaum Pandawan tapi sudah dikuasai oleh kaum Kurawa.
Sekolah formalnya dia tempuh di Sekolah Dasar Bumi Putra Mojokerto, kemudian melanjutkan ke Sekolah Dasar Belanda (Eoropees Logere School, ELS). Setelah lulus dia melanjutkan ke sekolah lanjutan, Hogere Burger School (HBS) di Surabaya. Di sana dia tinggal bersama Tjokroaminoto, pimpinan Sarekat Islam (SI). Setelah itu, Sukarno melanjutkan ke sekolah tinggi teknik, Tesnische Hogere School (THS) di Bandung.

Surabaya adalah kota persentuhan Sukarno dengan dunia pemikiran. Tjokroaminito sering mengajak Sukarno menghadiri acara SI dan ikut nimbrung dalam pertemuan-pertemuan tokoh-tokoh SI di rumah Tjokroaminoto. Salah satu tokoh yang saering diikuti obrolan dan ceramahya oleh Sukarno adalah kyai Haji Ahmad Dahlan, pendiri dan pimpinan Muhammadiyah.

Namun, pematangan pemikiran Sukarno terjadi ketika berada di penjara Sukamiskin. Di tempat inilah Sukarno mengkaji al-Quran dalam terjemahan Inggrisnya dan juga banyak belajar dari buku-buku Lathrop Stoddard tentang sejarah Islam dan Syed Ameer Ali tentang semangat Islam. Pematangan yang ke dua terjadi di Endeh, tempat pembuangannya di Flores. Di tempat ini, Sukarno menunjukan minat yang tinggi terhadap Islam, dia selalau mengirim surat ke A. Hasan, Pimimpin Persatuan Islam (PERSIS) di Bandung, meminta buku-buku keIslaman dan bertukar pendapat. Di tempat ini juga dia menunjukkan minatnya mempelajari Hadits dan Fiqh, bahkan dia bebeapa kali mendesak A. Hasan dalam suratnya agar cepat dikirimi kumpulan Hadits Bukhori Muslim walaupun pada akhirnya A. Hasan tidak menemukan kitab itu dalam bahasa yang Sukarno mengerti (Sukarno tidak bisa bahasa Arab).

Namun justeru persentuhannya dengan Hadits dan Fiqh inilah, Sukarno menemukan penyebab kemunduran Islam, yakni banyaknya hadits dhaif  yang terlanjur diterapkan dan kerangkeng fiqh terhadap jiwa Islam. Dalam suaratnya yang ketiga kepda A. Hasan, Sukarno mengatakan bahwa hadits dhaif dan palsu inilah penyebab Islam diliputi kabut kekolotan, ditambah lagi dengan fiqh yang hampir memadamkan api Islam. Padahal menurutnya, tidak ada agama yang sangat rasional dan maju seperti Islam. Dan dalam suratnya yang keempat Sukarno mengatakan bahwa tugas utama pemimpin Islam saat ini adalah perjuangan melawan kekolotan, perjuangan melawan Islam sontoloyo agar Islam kembali pada jiwanya sebagai Islam kemajuan. (Sukarno, Surat-Surat Islam dari Endeh, dimuat kemabil dalam Dibawah Bendera Revolusi, 1964).

Menuju Islam Kemajuan.
Dalam tulisannya berjudul Masyarakat Onta dan Masyarakat Kapal Udara, Sukarno terusik dengan perkataan Prof. Tor Andrea bahwa Islam saat ini sedang manjalani “ujian apinya sejarah. Kalau ia menang, ia akan menjadi teladan bagi seluruh dunia; kalau ia kalah, ia akan merosot ketinggalan selaman-lamanya”. Perkataan ini sangat menggelisahkan Sukarno, maka pemikiran keIslamannya ia maksudkan agar Islam menang dalam ujian apinya sejarah itu. Untuk menang, yang harus dilakukan Sukarno adalah mencari hukum-hukum sejarah, termasuk sebab-sebab kemunduran dan kemajuan umat Islam. Tema ini sebenarnya merupakan tema sentral dalam pergulatan pembaharuan Islam yang dimulai oleh Jamaluddin al-Afghani dan Muhammad Abduh.

Mula-mula mereka terusik oleh kemajuan Barat, lalu bertanya kenapa Islam mundur. Kemudian, Afghani mengeluarkan diktum terkenal: Barat maju karena meninggalkan agamanya dan Islam mundur juga karena meninggalkan agamanya. Maka untuk maju umat Islam harus memperkuat tali agamanya dengan kempali pada Islam otentik (quran-hadits). Dengan pergulatan yang sama, Sukarno mengatakan bahwa penyebab kemunduran Islam adalah kesenjangan yang lebar antara perkembangan masyarakat yang tunduk pada hukum-hukum sejarah dengan pemahaman dan doktrin Islam. Masyarakat sudah hidup di zaman kapal udara sementara pemahaman dan doktrin Islam masih hidup di zaman onta. Kembali ke quran dan hadits saja tidak cukup jika cara berfikir dan pemahamannya masih pemahaman zaman onta.

Yang dibutuhkan oleh umat Islam adalah lompatan historis dan berani memandang zamannya sesuai dengan pemahaman dan cara fikir zamannya dengan dilandasi kalam ilahi. Dalam suratnya yang terahir kepada A. Hasan, Sukarno mengatakan bahwa quran dan hadits bisa menjadi pembawa kemajuan, suatu api yang menyala, kalau kita baca quran dan hadits itu berdasar pengetahuan umum dan science. (Sukarno, Surat-surat Islam dari Endeh, dimuat kembali dalam DBR, 1964)

Sukarno menyaksikan peristiwa aneh karena di zaman kapal udara masih ada orang yang mau kembali pada zaman onta, dan bahkan ada pula yang tidak mau maju tapi juga tidak mau mundur. Mereka duduk termangu menyaksikan lalu lalang perubahan dan kemajuan yang suatu saat akan melindasnya.

Dengan mengutip Heraclitos, Sukarno mengatkan bahwa seumuanya akan berubah, berubah ke arah kemajuan. Tidak mau berubah berarti menentang hukum sejarah, menentang berarti siap dipinggirkan oleh sejarah. Itulah tanda-tanda kekalahan Islam dalam ujian apinya sejarah, karena mereka lamban atau tidak mau menerima perubahan. Mereka statis dan telah terbiasa dengan Islam sontoloyo. Menurut Sukarno, penyebab statisme ini adalah pensakralan fiqh dan berbagai ijma’ ulama’ yang kemudian berujung pada penutupan pintu ijtihad. Fiqh telah menjadi algojo roh-semangat Islam. (Sukarno, Islam Sontojo dalam DBR, 1964).

Dalam tulisannya berjudul Me “muda” kan Pengertian Islam, Sukarno menguti Prof. Farid Wajdi yang mengatakan bahwa Islam bisa maju jika dilandaskan pada kemerdekaan roh, kemerdekaan akal, dan kemerdekaan pengetahuan. Maka, roh yang selama ini dirantai oleh fiqh haruslah dilepas rantainya, akal yang selama ini dipasung oleh ijma’ ulama’ haruslah dibuka pasungannya, dan pengetahuan yang selama ini ditutup oleh bab el-Ijtihad haruslah dibuka tutupnya. Dengan mengutip Sajid Amir Ali, Sukarno mengatakan bahwa Islam itu sperti karet, karena itu tidak ada yang bisa membatasi kemerdekaan roh, akal,dan pengetahuan dalam Islam.

Islam menghargai kemerdeaan roh, akal, dan pengetahuan karena Islam agama rasional. Dengan rasio kita melakukan rethinking of Islam untuk membuang abu Islam dan menangkap apinya. Dan dengan rasio juga kita menangkap makna atau roh dibalik huruf-huruf dalam kalam ilahi. Hanya dengan menangkap roh atau apinya, Islam bisa kembali menjadi Islam Kemajuan seperti yang pernah dialami oleh Islam generasi pertama.

Rahbar Menyebut Nama Soekarno Dua Kali.


The republican revolt: a study of the Acehnese rebellion – Hasil Google Books
books.google.co.id/books?isbn=997198816X…Nazaruddin Sjamsuddin, Institute of Southeast Asian Studies - 1985 – History – 359 halaman
Co-operating with the local left-wing-oriented people, the BKR supporters … of four famous ulomas, Hasan Krueng Kalee, Habib Muda Wali of South Aceh, …

Tahun 1953 Presiden Soekarno memberantas pemberontakan DI TII Teungku Daud Beureueh
Operasi militer didukung oleh Partai Komunis Indonesia (PKI) dan PNI.

Pada 21 September 1953, Teungku Muhammad Daud Beureueh memproklamasikan Aceh Negara bagian dari Negara Islam Indonesia. Beragam reaksi pun muncul dan untuk menghadapi pemberontakan dan memulihkan perdamaian di Aceh, berbagai konsepsi ditawarkan. Pemerintah dalam konsepsinya, mengambil tindakan kekerasan dengan menggunakan senjata dan seluruh wilayah Aceh dinyatakan sebagai daerah militaire bijstand melalui Keppres Nomor 175 tahun 1953. Setelah Keppres itu keluar, empat batalion tentara dan 13 batalion Mobil Brigade (Mobrig) dikirim ke Aceh untuk melakukan pembersihan.

Dalam masa pembersihan, sekitar 2.000 sipil ditangkap atas instruksi Jaksa Agung. Menurut Staf Keamanan di Kutaraja kala itu, umumnya mereka merupakan tahanan saat melakukan pembersihan, sangat sedikit dari tawanan tersebut yang terlibat langsung dengan pemberontak DI/TII.

Pemerintah membentuk Staf Keamanan Sipil di Kutaraja pada 27 Oktober 1953 yang diketuai Bupati Aceh Besar, Abdul Wahab. Untuk menampung tahanan sipil ini, diadakan screening commisie, yang diadakan sampai ke daerah kewedanan, yang terdiri dari wakil-wakil pamong praja, kepolisian, kejaksaan, ketentaraan , dan Mobrig di Medan, yang dipimpin oleh Kepala Polisi, Darwin Karim. Sedangkan di Kutaraja dipimpin oleh Pembantu Inspektur Polisi, T. Hasan.

Disamping dengan patroli dan operasi militer. Soekarno juga berusaha merangkul kalangan ulama yang tidak terlibat dalam pemberontakan DI TII yakni Teungku Muda Wali, Teungku Abdussalam Meuraxa, Teungku Makam, Teungku Hasan Krueng Kale dan Teungku Saleh Meusejid Raya.

Ulama ulama ini diminta untuk membujuk kalangan DI TII agar menyerahkan diri.
Teungku Muda Wali sendiri membentuk BADAN KEiNSYAFAN RAKYAT (BKR) yang bekerjasama dengan PERTi (sebuah organisasi ulama tradisional yang dibentuk Muda Wali dan berpusat di Labuhan Haji, tidak terlibat dalam pemberontakan ).

BKR dan Perti membagi wilayah yaitu:
- Perti Aceh Barat, Perti Aceh Selatan.
- BKR Aceh Besar, Pidie dan Aceh Utara.

Mereka menuntut disingkirkannya pembesar yang tidak sejalan dengan siasat dan tujuan mereka. Orang yang dinilai bermain mata dengan pemberontak langsung disingkirkan, antara lain A. Wahab (Bupati), Mayor Priyatna (Komandan Resimen), Sutikno (Hakim), dan Nyak Umar (Kepala Polisi/Koordinator). Mereka digantikan oleh T. Muhammad Bireun (Bupati), Teungku Abdussalam Meuraxa (Urusan Agama), T. Ali Keureukon (Urusan Adat), T. M. Ali Panglima Polem (Urusan Umum).

Operasi militer ini juga didukung oleh anggota Partai Komunis Indonesia (PKI) yang melakukan demonstrasi ke Kantor Gubernur Sumatera Utara di Medan. Mereka menuntut agar dibentuk gerakan Anti Teror Aceh (ATA) untuk menumpas pemberontakan DI/TII. Langkah ini diikuti Partai Nasional Indonesia (PNI) yang telah membentuk gabungan partai-partai dan organisasi-organisasi yang di namai Front Nasional (kemudian diubah menjadi Gabungan Partai dan Organisasi, GPO).Banyaknya pejabat yang mengikuti Daud Beureueh, membuat sebagian besar jabatan pemerintahan kosong. Keadaan seperti itu dimanfaatkan PKI dan PNI untuk menyingkirkan orang-orang yang tidak disenangi dan menggantikan dengan orang mereka.

Sementara Masyumi menginginkan penyelesaian DI/TII dilakukan secara politis melalui musyawarah (dialog). Konsep ini didukung sebagian besar masyarakat Aceh, antara lain Taman Pelajar Aceh Yogyakarta, Ikatan Pemuda Seulawah Bandung, Ikatan Pemuda Aceh Surakarta, dan Kongres Mahasiswa, Pemuda, Pelajar, dan Masyarakat Aceh se-Indonesia.

Mereka mendesak pemerintah supaya menyelesaikan pertumpahan darah di Aceh dengan musyawarah. Reuni eks perwira Divisi Gajah I, mengirim surat kepada pemerintah agar berunding dengan pemberontak. Berdasarkan UU Nomor 24 Tahun 1956, lahirlah Provinsi Aceh.Pergolakan itu diakhiri dengan Ikrar Lamteh pada 1957, kemudian dilanjutkan dengan perundingan yang dipimpin Mr. Hardi pada Mei 1959. Hasilnya yang terkenal dengan Misi Hardi, Aceh diberi hak sebagai daerah istimewa di bidang agama dan menjalankan syariat Islam, pendidikan, serta adat-istiadat dengan Keputusan WKPM Missi Hardi Nomor 1/1959.

Provinsi Daerah Istimewa Aceh.
Setelah semua perundingan selesai, Provinsi Daerah Istimewa Aceh resmi terbentuk. Pada kenyataannya, tiga keistimewaan Aceh tersebut tidak bisa dilaksanakan dengan leluasa, karena otonomi daerah di Indonesia mensyarakatkan kesamaan wilayah di seluruh Indonesia.

Pada 1 September 1954, Hasan Tiro mengirim ultimatum kepada Perdana Menteri (PM) Indonesia, Ali Sastroamidjojo. Surat terbuka Hasan Tiro disiarkan beberapa surat kabar Amerika dan Indonesia terbitan Jakarta, seperti Abadi, Indonesia Raya, dan Keng Po. Dalam surat itu, Hasan Tiro mengatakan bahwa kabinet Ali Sastroamidjojo, telah menyeret bangsa Indonesia ke dalam lembah reruntuhan ekonomi, politik, perpecahan, dan perang saudara.

Perdana Menteri Ali Sastroamidjojo meminta Hasan Tiro kembali ke Indonesia paling lambat 22 September 1954. Bila permintaan itu diabaikan, maka passport Hasan Tiro akan ditarik. Namun Hasan Tiro mengambil jalan lain dan tidak menghiraukan permintaan itu. Akhirnya paspornya pun dicabut dan ia ditahan pihak imigrasi Amerika di Ellis Island. Namun setelah membayar denda sebanyak US$ 500, Hasan Tiro dibebaskan.

Pada 1967, di Lhokseumawe ditemukan gas alam yang kemudian dikelola PT. Arun sejak 1971. Pada 4 Desember 1976, Hasan Tiro pulang ke Aceh memproklamasikan berdirinya Negara Aceh Merdeka (AM) di Gunung Halimun, Pidie. Untuk mengantisipasi pergolakan, Pemerintah memberlakukan operasi militer di tiga Kabupaten (Pidie, Aceh Utara, dan Aceh Timur), pada 1989-1998. Operasi militer ini menimbulkan ekses yang luar biasa yang terungkap oleh beberapa pencari fakta, antara lain Komnas HAM dan DPR RI. Akhirnya, operasi militer resmi dicabut oleh Menhankam/Pangab Jenderal Wiranto pada 7 Agustus 1998.

Lambannya penanganan ekses tersebut, melahirkan gejolak yang lebih besar dan luas. Kenyataan ini tergambar lewat perjuangan rakyat Aceh yang melakukan tuntutan referendum di halaman Mesjid Raya Baiturrahman, pada 8 November 1999 yang dimotori oleh Sentral Informasi Referendum Aceh (SIRA).

Supaya tidak meluas tuntutan referendum tersebut, kembali didatangkan pasukan ke Aceh. Namun semua strategi yang diterapkan di Aceh belum berhasil memadamkan pergolakan, termasuk dengan memberlakukan daerah otonomi khusus di Aceh.

Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam.
Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam disetujui melalui Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2001. Taufik Almubarak [jumpung.blogspot.com] menyebutkan penyebutan nama Aceh dalam Nanggroe Aceh Daerussalam (NAD) seolah telah menjadi pengkaburan ke-Aceh-annya Aceh. Kata Aceh terjepit didalamnya. Dengan menyebut NAD, lama-lama orang bisa lupa akan nama Aceh.

Namun, otonomi khusus tersebut, ternyata tidak memadamkan pergolakan yang sudah berlangsung hampir 30 tahun waktu itu. Atas dasar itulah, Pemerintah menerapkan Darurat Militer melalui Keppres Nomor 28/2003, tanggal 18 Mei 2003. Dilanjutkan dengan Darurat Sipil melalui Keppres Nomor 43/2004, tanggal 18 Mei 2004. Tanggal 18 November 2004, Presiden Soesilo Bambang Yudhoyono memperpanjang status darurat sipil selama enam bulan, melalui Perpres Nomor 2/2004.

Pemerintah dan GAM melakukan lima tahapan perundingan di Helsinki (Finlandia), pada Januari-Juli 2005. Pada 15 Agustus 2005, Pemerintah dan GAM menandatangani Perjanjian Perdamaian di Helsinki (Finlandia). Salah latar belakang penting lahirnya perjanjian ini adalah bencana gempa berkekuatan 8,9 pada Skala Richter yang disusul gelombang tsunami pada Ahad, 26 Desember 2004.

Sebagai tindak lanjut dari perjanjian ini, Pemerintah menarik pasukan nonorganik dan GAM menyerahkan senjata untuk dihancurkan. Prosesi itu berlangsung dalam tiga tahap, yang berakhir 15 Desember 2005.

Pemerintahan Aceh.
Agenda penting pascaperjanjian antara GAM dengan Pemerintah Indonesia melahirkan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan. Begitu Undang-undang Pemerintah Aceh (UU PA) disahkan, secara de jure penyebutan Aceh dikembalikan kepada Provinsi Aceh. Sementara pemerintahnya, disebut dengan Pemerintah Aceh.

UU PA, meski masih banyak kekurangan di sana-sini, tapi itulah produk hukum yang sah untuk Aceh sekarang sebagai provinsi yang memiliki kekhasan di banding provinsi lain di Indonesia. UU PA juga merupakan produk politik yang diperjuangkan bersama-sama. Karena itu, sudah sepatutnya UU tersebut digunakan, lebih-lebih pada penyebutan Aceh.


Almarhum Abuya Muhibuddin Wali.



Abuya Muhibuddin Wali ketua MUNA (majelis ulama nanggroe aceh), lembaga ulama pembela Partai Aceh

“Inna Lillahi wa inna ilaihi Rajiun. Telah berpulang ke Rahmatullah Abuya Prof Dr H Muhibbuddin Waly malam ini jam 21.30 di rumah sakit Fakinah Banda Aceh “ menurut berbagai sumber Abuya telah lama menderita penyakit diabetes.
Beliau juga sebagai ketua Pusat MUNA Aceh Abuya juga merupakan salah satu penasehat Komite Peralihan Aceh (KPA)
Maka setiap tetes darah Bangsa Aceh dan Bangsa Jawa yang ditembak mati oleh kader kader PA ikut menjadi tanggung jawab anda wahai Teungku !!


Berita KTT XVI GNB Teheran 2012: Rahbar Menyebut Nama Soekarno Dua Kali.
“Ayatullah Ali Khamenei mengaku mendengar pidato Bung Karno ketika muda, dan amat terkesan pada sosok beliau,” kata Boediono, saat memberikan keterangan pers di Wisma Duta –kediaman resmi Duta Besar Indonesia untuk Iran--, Jumat 31 Agustus 2012 sore. “Penghargaan beliau terhadap sosok Bung Karno tentu sangat kita apresiasi,” kata Boediono.

Menurut Kantor Berita ABNA, Pemimpin Besar Revolusi Islam Iran, Ayatullah Ali Khamenei sempat dua kali menyebut nama Presiden Republik Indonesia pertama, Soekarno. Ketika berpidato dalam pembukaan Konferensi Tingkat Tinggi Gerakan Non-Blok di Organization of Islamic Conference (OIC) Main Hall, Kamis 30 Agustus 2012, Ayatullah Khamanei mengutip pidato Soekarno pada Konferensi Asia Afrika di Bandung, pada 1955 silam. Kali kedua, nama Soekarno kembali disebut Ayatullah saat menerima kunjungan Wakil Presiden Boediono di kediamannya, di Teheran, Jumat 31 Agustus 2012.

“Ayatullah Ali Khamenei mengaku mendengar pidato Bung Karno ketika muda, dan amat terkesan pada sosok beliau,” kata Boediono, saat memberikan keterangan pers di Wisma Duta –kediaman resmi Duta Besar Indonesia untuk Iran--, Jumat 31 Agustus 2012 sore. “Penghargaan beliau terhadap sosok Bung Karno tentu sangat kita apresiasi,” kata Boediono.

Ketika mengutip pidato Soekarno, Ayatullah IAli Khamanei selalu menyebut nama proklamator Indonesia itu dengan nama ‘Ahmad Soekarno’. Wakil Presiden Boediono sendiri mendapat kesempatan sekitar 30 menit untuk bertemu pemimpin tertinggi Revolusi Iran itu. Kunjungan itu dijaga ketat tentara Iran dan dilarang diliput media.
Pidato Soekarno pada pembukaan KTT Asia Afrika di Bandung, Jawa Barat, 1955 silam memang menjadi fondasi dasar Gerakan Non-Blok. Sejak konferensi tingkat tinggi pertama di Beograd, Yugoslavia, 1961 silam, gerakan ini menegaskan posisinya sebagai kekuatan penyeimbang dua blok yang berseteru pada masa itu: Barat dan Uni Soviet. Pidato Soekarno menegaskan perlawanan negara-negara berkembang atas kolonialisme dan dominasi satu negara di atas yang lain.

Kepada Boediono, Ali Khamenei menegaskan bahwa Gerakan Non-Blok memiliki potensi amat besar untuk mempengaruhi konstelasi politik internasional. Boediono sendiri menegaskan bahwa Gerakan Non-Blok juga harus memberikan kontribusi dalam peningkatan intensitas kerjasama ekonomi, sosial budaya, pendidikan dan kesejahteraan rakyat.

Pengaruh Syiah Di Indonesia, Sejarah dan Peninggalan Syiah di Indonesia.
Tradisi Syiah,
Kajian tentang Syi’ah di Indonesia, telah dilakukan oleh sejumlah ahli dan pengamat sejarah, sebagian besar diantaranya berkesimpulan bahwa orang-orang Persia -yang pernah tinggal di Gujarat- yang berpaham Syiahlah yang pertama kali menyebarkan Islam di Indonesia.

Bahkan dikatakan Syi’ah pernah menjadi kekuatan politik yang tangguh di nusantara. M Yunus Jamil dalam bukunya Tawarikh Raja-raja Kerajaan Aceh (1968) menulis kerajaan Islam yang pertama berdiri di Nusantara adalah Kerajaan Peureulak (Perlak) yang didirikan pada 225H/845M. Pendiri kerajaan ini adalah para pelaut-pedagang Muslim asal Persia, Arab dan Gujarat dan mengangkat seorang Sayyid Maulana ‘Abd al-Aziz Syah, keturunan Arab-Quraisy, yang menganut paham politik Syi’ah, sebagai sultan Perlak.

Agus Sunyoto, staf Lembaga Penerangan dan Laboratorium Islam (LPII) Surabaya yang dipimpin Dr Saleh Jufri, seperti dilaporkan Majalah Prospek (10 Nopember 1991), melalui penelitiannya menyimpulkan, bahwa Syaikh ‘Abd al-Ra’uf Al-Sinkli, salah seorang ulama besar nusantara asal Aceh pada abad ke-17, adalah pengikut dan penggubah sastra Syi’ah. Ia pun setelah melakukan penelitian terhadap kuburan-kuburan di Jawa Timur, berkesimpulan bahwa dari segi fisik dan arsitekturnya itu adalah kuburan-kuburan orang Syi’ah.
Bahkan Agus Sunyoto lewat bukti-bukti sejarah, berspekulasi, sebagian besar dari Walisongo adalah ulama Syi’ah. Dengan tegas ia menulis, Syekh Maulana Malik Ibrahim, guru dari semua sunan wali songo adalah Syiah
Mazhab Syafi’i

Dalam masyarakat NU, pengaruh Syi’ah pun cukup kuat di dalammya, Dr Said Agil Siraj, Wakil Katib Syuriah PBNU secara terang mengatakan, “Harus diakui, pengaruh Syi’ah di NU sangat besar dan mendalam. Kebiasaan membaca Barzanji atau Diba’i yang menjadi ciri khas masyarakat NU misalnya, jelas berasal dari tradisi Syi’ah”.
KH Abdurrahman Wahid bahkan pernah mengatakan bahwa Nahdatul Ulama secara kultural adalah Syi’ah. Ada beberapa shalawat khas Syi’ah yang sampai sekarang masih dijalankan di pesantren-pesantren. Ada wirid-wirid tertentu yang jelas menyebutkan lima keturunan Ahlul Bait. Kemudian juga tradisi ziarah kubur, lalu membuat kubah pada kuburan. Itu semua tradisi Syi’ah. Tradisi itu lahir di Indonesia dalam bentuk mazhab Syafi’i padahal sangat berbeda dengan mazhab Syafi’i yang dijalankan di negara-negara lain.

Kiai Abdurrahman Wahid atau Gus Dur pernah menyebut bahwa salah satu pengaruh tradisi Syiah dalam corak keislaman di Indonesia adalah praktik nyanyian (biasa disebut juga pujian) menjelang salat yang biasa dipraktikkan di kalangan warga nahdliyyin (NU). Nyanyian itu berisi pujian untuk “ahl al-bait” atau keluarga Nabi, istilah yang sangat populer di kalangan Syiah.

Bunyi nyanyian itu ialah: Li khamsatun uthfi biha, harra al-waba’ al-hathimah, al-Mushthafa wa al-Murtadla, wa ibnahuma wa al-Fathimah. Terjemahannya: Aku memiliki lima “jimat” untuk memadamkan epidemi yang mengancam; mereka adalah al-Musthafa (yakni Nabi Muhammad), al-Murtadla (yakni Ali ibn Abi Talib, menantu dan sepupu Nabi), kedua putra Ali (yakni Hasan dan Husein), dan Fatimah (isteri Ali). Gus Dur menyebut gejala ini sebagai “Syiah kultural” atau pengaruh Syiah dari segi budaya, bukan dari segi akidah.

Ritus-ritus Tabut di Bengkulu dan Sumatera dan Gerebek Sura di Jogjakarta dan Ponorogo adalah ritus teologi Syiah yang datang dari Gujarat-Persia. Doktor Muhammad Zafar Iqbal dalam bukunya, Kafilah Budaya meruntut berbagai fakta tentang adanya pengaruh-pengaruh tradisi Syiah dan Iran di tanah air terutama bagi masyarakat Minangkabau yang masih terjaga sampai kini.

Perguruan Tinggi pertama di Aceh bernama Universitas Syiah Kuala, menunjukkan fakta lainnya. Universitas yang disingkat Unsyiah yang diresmikan berdirinya oleh Presiden Soekarno tahun 1959 menunjukkan bahwa idiom Syiah telah sangat dikenal masyarakat.

Karena kuatnya unsur-unsur Syiah dalam corak keislaman di Indonesia inilah, hubungan antara Sunni dan Syiah, sejak dahulu, berlangsung dengan cukup bersahabat. Pada saat Gus Dur memimpin ormas Islam terbesar di Indonesia, yakni Nahdlatul Ulama (NU), sejak 1984-1999, hubungan antara kalangan NU dan Syiah juga cukup bersahabat.

Namun yang patut di sesalkan adalah adanya sebagian besar kalangan salafi di Indonesia yang menampakkan antipati yang mendalam terhadap kelompok Syiah. Kelompok ini yang sangat dipengaruhi oleh doktrin Wahabisme dan sekarang juga tumbuh menjamur di beberapa kota, terutama di Jakarta. Bagi mereka, Syiah dianggap sebagai kelompok yang sudah keluar dari Islam. Dan terus menyebarkan fitnah di tengah masyarakat awam dan menciptakan perselisihan antara umat islam.

Perlukah Negara Islam?



Diskusi dan wacana tentang negara Islam sudah lama mengemuka di negeri ini. Di buku “Tokoh-Tokoh Islam yang Berpengaruh Abad 20” terbitan Gema Insani Press yang dieditori oleh Herry Mohammad, disebutkan bahwa pada tahun 1940-an, Mohammad Natsir pernah terlibat polemik dengan Soekarno tentang agama dan negara.

Menurut Soekarno, agama mesti dipisahkan dari negara. Ia berpendapat, dengan mengutip –salah satunya– gagasan yang dilontarkan oleh Ali Abdur Raziq, pengajar di Universitas Al-Azhar, Kairo, bahwa dalam al-Qur’an dan as-Sunnah maupun Ijma’ Ulama, tidak ada keharusan bersatunya negara dengan agama.. Soekarno lalu menengok ke negara Turki yang didirikan oleh Mustafa Kemal Attaturk yang memisahkan agama dan negara. Menurut Soekarno, karena proses sekularisasi tersebut, Turki bisa maju.

Bagi Natsir, pemikiran Soekarno tersebut keliru. Menurutnya, agama, dalam hal ini Islam, tak bisa dipisahkan dari negara. Urusan negara adalah bagian dari menjalankan perintah Allah. Ia lalu mengutip al-Qur’an surah adz-Dzaariyat [51] ayat 56, “Tidaklah Aku jadikan jin dan manusia melainkan untuk mengabdi kepada-Ku.”

Tentang menyatunya agama dengan negara, Natsir menulis, “Bagi kita kaum muslimin, negara bukanlah suatu badan tersendiri yang menjadi tujuan. Dengan persatuan agama dengan negara yang kita maksudkan, bukanlah bahwa agama itu cukup sekedar dimasukkan saja di sana sini kepada negara itu. Bukan begitu! Negara, bagi kita, bukan tujuan, tetapi alat. Urusan kenegaraan pada pokoknya dan pada dasarnya adalah satu bagian yang tak dapat dipisahkan, satu ‘intergreerenddeel’ dari Islam. Yang menjadi tujuan ialah, ‘Kesempurnaan berlakunya undang-undang Ilahi, baik yang berkenaan dengan perikehidupan masyarakat sendiri (sebagai individu), ataupun sebagai anggota dari masyarakat’.”

Bahkan, menurut Dr. Adian Husaini, sejarah nusantara adalah sejarah peradaban Islam, sebelum warna Islam tersebut berusaha dikikis habis oleh penjajah Eropa. Dalam makalah beliau yang berjudul “Meluruskan Sejarah Indonesia”, beliau menulis, “Menyadari arti penting sejarah, kaum penjajah juga secara serius merekayasa sejarah Indonesia. Khususnya yang menyangkut peran Islam dalam sejarah Indonesia. Pakar sejarah Melayu, Prof. Naquib al-Attas sudah lama mengingatkan adanya upaya yang sistematis dari orientalis Belanda untuk memperkecil peran Islam dalam sejarah Kepulauan Nusantara. Dalam bukunya, Islam dalam Sejarah dan Kebudayaan Melayu (1990), Prof. Naquib al-Attas menulis tentang masalah ini, ‘Kecenderungan ke arah memperkecil peranan Islam dalam sejarah Kepulauan ini, sudah nyata pula, misalnya dalam tulisan-tulisan Snouck Hurgronje pada akhir abad yang lalu. Kemudian hampir semua sarjana-sarjana yang menulis selepas Hurgronje telah terpengaruh kesan pemikirannya yang meluas dan mendalam di kalangan mereka, sehingga tidak mengherankan sekiranya pengaruh itu masih berlaku sampai dewasa ini.’

Dalam kasus hukum, misalnya, sudah menjadi kenyataan, hukum Islam merupakan hukum yang hidup di tengah masyarakat. Bahkan, para pejuang Islam di Indonesia, sejak dulu sudah bercita-cita dan sudah menerapkan hukum Islam. Dalam disertasi doktornya di Universitas Indonesia, Dr. Rifyal Ka’bah mencatat, bahwa sebelum kedatangan penjajah Belanda, Islam telah memperkenalkan tradisi hukum baru di Indonesia. Ia menawarkan dasar-dasar tingkah laku sosial baru yang lebih sama rata dibanding dengan yang berlaku sebelumnya. Islam juga menyumbangkan konsepsi baru di bidang hukum untuk Indonesia. Islam telah mengubah ikatan yang bersifat kesukuan dan kedaerahan menjadi ikatan yang bersifat universal. Mengutip Daniel S. Lev, Rifyal mencatat bahwa Islam telah membentuk sebuah konsepsi sosial-politik supralokal sebelum Belanda dapat menyatukan Nusantara dalam sebuah administrasi pemerintahan.”

Dari paparan Dr. Adian Husaini di atas dan kenyataan bahwa sejak pertama kali menginjakkan kaki di bumi Nusantara ini sampai sekarang, Islam –sebagai ideologi dan sistem politik– tak pernah berhenti memberi warna bagi kehidupan masyarakat Indonesia, tentu upaya mengembalikan Islam sebagai ideologi dan sistem politik bagi negeri ini merupakan upaya yang punya dasar sangat kuat. Orang-orang yang menganggap bahwa perjuangan penegakan negara Islam dan formalisasi Syariah sebagai perjuangan usang, sepertinya sudah melupakan sejarah negerinya sendiri. Islam sebagai ideologi nyatanya tak pernah benar-benar hilang dari benak masyarakat, sejak ratusan tahun yang lalu hingga kini.

Dalam sejarah Indonesia, peran Islam sebagai kekuatan ideologi dan politik, hanya pernah coba diberangus oleh kekuatan-kekuatan zalim yang memaksa. Sebelum kemerdekaan, yang berperan memberangus adalah penjajah Eropa dengan senjata dan propaganda kalangan orientalis. Ketika awal kemerdekaan Indonesia, yang berupaya memberangus adalah Orde Lama, setelah itu dilanjutkan oleh tangan besi Orde Baru. Islam sebagai ideologi tak pernah benar-benar ditinggalkan oleh masyarakat Indonesia. Masyarakat Indonesia selama ini ‘dipaksa’ untuk melupakan bahwa Islam, agama yang mereka anut, punya peran besar dalam perjalanan sejarah negeri ini, bukan hanya sebagai nilai moral, tapi sebagai ideologi dan sistem politik.

Dari kenyataan yang saya paparkan di atas saja sudah menunjukkan bahwa perjuangan penegakan negara Islam di negeri ini merupakan sesuatu yang sangat relevan serta punya basis historis dan sosiologis yang sangat kuat. Seharusnya dan senyatanya, jika tak dihalang-halangi oleh kelompok pembenci Islam dan orang-orang yang tertipu oleh mereka, dukungan masyarakat Indonesia terhadap penegakan negara Islam akan cepat diraih. Apalagi, secara ‘aqidah, umat Islam memang dituntut untuk mendirikan institusi yang bertujuan menerapkan hukum-hukum Allah secara menyeluruh.

Lalu, masih pantaskah kita berdebat tentang perlu tidaknya negara Islam?

Inna Lillahi wa Inna Ilaihi Rajiun: Abuya Muhibuddin Waly Meninggal



Banda Aceh-KemenagNews (7/3/2012),
Berita yang tersebar melalui sms dan facebook menyebutkan bahwa Abuya Pro.DR. Muhibuddin Waly telah berpulang kehadirat Allah sekira pukul 21.30 WIB Rabu Malam (7/3) di RS Fakinah, Banda Aceh.
Serambinews.com melansir bahwa Abuya meninggal setelah beberapa hari dirwat di RS Fakinah. Saat ini, jenazah Almarhum dibawa pulang ke kediaman di Desa Lamreung, Kecamatan Darul Imarah, Aceh Besar.
Menurut informasi lainnya, kemungkinan almarhum akan dikebumikan di kampung halamannya Desa Darussalam, Labuhan Haji Aceh Selatan.

Berikut sekilas Biografi Abuya Muhibuddin Waly yang diperoleh dari salah satu postingan di FB beberapa waktu yang lalu (https://www.facebook.com/photo.php?fbid=153456604669061&set=a.153419784672743.32854.100000141685474&type=3):
Nama Penuh : Prof. Dr. H. Teungku Muhibbuddin Waly.
Nama Pendek : Muhibbuddin.
Asal : Tanjungan, Sumatera Barat.
Nama Ayah : Teungku Syeikh H. Muhammad Waly Al-Khalidy Al-Syafi’i Darussalam, Labuhanhaji, Aceh Selatan .
Gelaran Tradisi : Teungku dan Abuya.
Gelaran Profesional : Doktor (Ph.D) Penghantar Ilmu Fiqh Islam.
Tarikh Lahir : 17 Desember 1936, (Rabu).
Tempat Lahir : Simpang haru Padang Kota, Sumatera Barat.
Agama : Islam (Sunni).
Status : Kahwin, mempunyai seorang isteri dan tujuh orang Putera ( Taufiq, Hidayat, Wahyu, Rahmat, Amal, Habibie dan Maulana ).

Pendidikan : 1944 – 1953 SD s/d SLA di Darussalam Labuhanhaji Tapaktuan, Aceh Selatan 1954 – 1959 Perguruan Tinggi Islam Bustanul Muhaqqiqin Darussalam Labuhanhaji Aceh Selatan 1964 Persamaan Ijazah Perguruan Tinggi Islam Bustanul Muhaqqiqin Darussalam Labuhanhaji Aceh Selatan dengan Magister Syari’at Islam, Spesialisasi Ushul Fiqh Al-Islami (The Roots Theorical Bases of Islamic Law Section), al-Azhar University, Faculty of Islamic Statute & Law, Cairo, Egypt. 1970 Dokter (Ph.D) Syariah Islam, Bidang Ushul Fiqh Al-Islami (Spesialisasi The Roots-The Orical-of Islamic Law Section), Al-Azhar University. 1978-1979 Lemhannas (Lembaga Pertahanan Indonesia) KRA XI, Jakarta. 1979 Penataran Pemuka Agama seluruh Indonesia Angkatan ke-II, Jakarta. 1980 Penataran Calon Penatar P4 (Manggala P4 Nasional ) Istana Bogor. 1984 Penataran Kewaspadaan Nasional (Khusus Manggala P4 Nasional), Jakarta.

Kegiatan Akademik : 1963-1964 Dosen (status Guru Besar) Perguruan Tinggi Islam Bustanul Muhaqqiqin Perguruan Tinggi Islam Darussalam Labunhanhaji Aceh Selatan. 1970-1976 Dosen IAIN Falkutas Syariah Syarif Hidayatu ‘lLah, Jakarta. 1971-1974 Dosen Perguruan Tinggi Ilmu Al-Quran (PTIQ), Jakarta 1988-1993 Professor Ilmu Hukum Islam, Institut al-Quran (IIQ) Jakarta.

Pengalaman Kerja : 1963-1964 Direktur Perguruan Tinggi Islam Bustanul Muhaqqiqin Darussalam Labuhanhaji Aceh Selatan. 1973-1975 Wakil Dekan Bidang Akedamis, Fakultas Syari’ah IAIN Syarif Hidayatu’lLah, Jakarta. 1979-1982 Pimpinan Majlis Dakwah Islamiyah (MDI) Indonesia, Jakarta 1982-1993 Ketua Umum Rabithahatul Ulamail Muslimin al-Sunniyyin (Ikatan Ulama Islam Ahli al-Sunnah wa al-Jama’ah) Indonesia, Jakarta. 1983-1988 Anggota Dewan Pertimbangan Agung Republik Indonesia (DPA- RI) 1992 Pensyarah, Universiti Islam Antarabangsa, Kuala Lumpur, Malaysia.

Karya Ilmiah : Al-Ijtihad fi al-Fiqh al-Islami (Ijtihad dalam Hukum Islam), tahun 1970. Thesis Ph.D. dari Falkutas Syari’ah dan Qanun, Universitas al-Azhar. Hakikat Hikmah Tauhid dan Tasawwuf (4 jilid), 1972-83. Ulama Menurut Islam (Mahiyat al-Ulama fi al-Islam – Naskah Seminar PB N. U. 1976). Asuransi dalam Pandangan Syari’at Islam (Al-Ta’min fi al-Syari’ati al-Islamiyah-Naskah Seminar PB N. U. 1975). Taraweh dan Witir serta Ibadat-ibadat yang Bertalian dengannya menurut Sunnah Rasul Dan Sunnah Sahabat, dan Pengalaman Para Ulama Islam Ahli al-Sunnah wa al-Jama’ah (1985) Dari Manakah Datangnya Istilah Ahli al-Sunnah wa al-Jama’ah (1985).
Undangan seminar dan lain-lain seperti ke Malaysia (Seminar Guru-guru Asean) tahun 1977, Ke Brunei Darussalam (Seminar Da’wah Islamiah) tahun 1985 dan lain-lain.

Sumber: https://m.facebook.com/notes/supriyadi/memahami-pemikiran-islam-soekarno-sang-prokamator/490309004387103

(Dikutip dari berbagai sumber/ABNS)
Share this post :

Post a Comment

mohon gunakan email

Terkait Berita: