Pesan Rahbar

Home » » Asal Usul Tionghoa, Dari Tjoan Hok, Tan Joe Hok, Hingga Ahok

Asal Usul Tionghoa, Dari Tjoan Hok, Tan Joe Hok, Hingga Ahok

Written By Unknown on Wednesday 23 March 2016 | 18:40:00


Para pemuda keturunan Tionghoa seperti Sie Kok Liong, Ong Kay Sing, Liauw Tjoan Hok, dan Tjio Djin Kwie, boleh kecewa ketika pasca proklamasi kemerdekaan Indonesia 1945, status keindonesiaan etnis Tionghoa diragukan. Apalagi setelah mereka membaca salah satu syarat calon presiden harus “orang Indonesia asli.” Sementara tafsir tentang “Indonesia asli” ternyata belum selesai. Masih menjadi wacana perdebatan kalangan elite politik negeri ini. Bahkan ada pandangan narsis bahwa warga keturunan Tionghoa Indonesia tidak termasuk warga negara “Indonesia asli.” Sejak itu tertutuplah peluang mereka untuk ambil bagian dalam berbangsa dan bernegara karena “politik diskriminasi” itu.

Padahal, Sie Kok Liong, Ong Kay Sing, Liauw Tjoan Hok dan Tjio Djin Kwie adalah para pemuda Tionghoa yang dulu mewakili etnis kaumnya dalam Sumpah Pemuda 28 November 1928, cikal bakal nama Indonesia. Bahkan, rumah Sie Kok Liong di Jalan Kramat Raya, Jakarta tempat kongres pemuda diselenggarakan, mereka hibahkan menjadi Museum Sumpah Pemuda. Dengan demikian tidak diragukan lagi komitmen etnis Tionghoa Indonesia itu. Manakala ada etnis Tionghoa melakukan perbuatan melanggar hukum terkait dengan komitmen dan kesetiaan terhadap nasionalisme Indonesia harus dilihat kasus per kasus dan individual, tidak bisa digeneralisir. Artinya, mereka harus mendapat perlakuan sama dengan warga negara Indonesia lainnya.

Harapan orang-orang Tionghoa Indonesia terbuka ketika Bung Karno menjunjung tinggi nasionalisme dan persatuan Indonesia. Baginya, dalam satu nation Indonesia itu tidak dikenal minoritas atau mayoritas, karena semua rakyat adalah warga negara Republik. Pesan itu ditegaskan Bung Karno saat berpidato membuka Kongres Nasional ke-8 Baperki (Badan Permusyawaratan Kewarganegaraan Republik Indonesia) pada 14 Maret 1963. Bung Karno menolak adanya sebutan mayoritas dan minoritas, warga negara asli atau tidak asli.

“Apa Saudara bisa mengatakan dengan jelas, darah apa yang mengalir di dalam tubuh Saudara? Tidak bisa. …saya sendiri tidak tahu asli atau tidak asli itu. Saya sendiri tidak mengadakan perbedaan antara asli dengan tidak asli. Tidak,” kata Bung Karno tegas.

Kendati demikian sentimen negatif terhadap etnis Tionghoa terus berlanjut, meskipun kurun waktu itu orang-orang muda Tionghoa berprestasi bermunculan mengharumkan nama bangsa Indonesia di kancah internasional. Misalnya pebulu tangkis Tan Joe Hok (Hendra Kartanegara) menjadi putra Indonesia pertama yang menjuarai kejuaraan bulu tangkis All England 1960. Sebelumnya, tahun 1958 Tim Bulutangkis Indonesia yang terdiri dari Ferry Sonnevile, Lie Po Djian, Tan King Gwan, Njoo Kim Bie, Eddy Jusuf, dan Olich Solihin baru saja merebut Piala Thomas.

Namun Bung Karno memberi kesan tidak konsisten ketika pada tahun 1954 pemerintah Republik Indonesia merancang satu undang-undang kewarganegaraan yang baru. Isi dari rancangan undang-undang ini antara lain menyatakan bahwa warga keturunan etnis Tionghoa di Indonesia tidak dapat menjadi warga negara Republik Indonesia, kecuali kalau mereka memenuhi syarat-syarat antara lain: (1) Mempunyai bukti bahwa orang tua mereka lahir di Indonesia, telah tinggal di Indonesia selama 10 tahun. (2) Menyatakan secara resmi menolak kewarganegaraan Republik Rakyat Tiongkok (RRT).

Pembuatan peraturan itu untuk mengantisipasi perjanjian dwi kewarganegaraan antara RRT dan Republik Indonesia yang diadakan pada tahun 1957, dan berlaku sejak tahun 1960. Butir (2) di atas, yaitu menyatakan secara resmi menolak kewarganegaraan RRT, diperlukan oleh Indonesia mengingat bahwa mereka itu berpotensi memiliki dwi kewarganegaraan, yaitu warganegara RRT dan Republik Indonesia.

Persoalan kewarganegaraan etnis Tionghoa itu kian berlarut-larut pada era Presiden Soeharto 1966-1998. Bahkan ada kesan menjadi obyek para pemangku kepentingan dan kekuasaan, memanfaatkan pembekuan hubungan diplomatik Indonesia-RRT pasca G30S 1965.

Baru pada masa Presiden Abdurrahman Wahid (1999-2000), pemerintah Republik Indonesia memberi perhatian yang serius terhadap masalah kependudukan etnis Tionghoa ini. Lahirnya UU Nomor 12 Tahun 2006 tentang Kewarganegaraan yang mempertimbangkan kemudahan proses kewarganegaraan bagi etnis Tionghoa. Dengan harapan masalah kewarganegaraan etnis Tionghoa mendapat perlakuan secara lebih baik dan adil.

Jalan panjang dan berliku sejak Liauw Tjoan Hok ikut Sumpah Pemuda 1928, Tan Joe Hok menjadi juara All England 1960, dan Ahok (Basuki Tjahaya Purnama) menjabat Gubernur DKI Jakarta 2014, menjadi tumpuan dan harapan rakyat untuk mengurai kemacetan lalu lintas, membebaskan Jakarta dari banjir, dan mengurai benang ruwet birokrasi pemerintahan ibu kota Jakarta yang syarat dengan makelaran dan korup, yang tidak disentuh para gubernur sebelumnya.

(Sejarah-Kita/Berbagai-Sumber-Sejarah/ABNS)
Share this post :

Post a Comment

mohon gunakan email

Terkait Berita: