Suatu hari tujuh orang miskin dari kalangan Ansar datang dan memohon kepada Rasulullah saw untuk mendapat fasilitas kendaraan yang memungkinkan mereka terlibat dalam jihad, namun beliau tak dapat memenuhi permohonan mereka karena fasilitas itu memang tidak tersedia. Mereka lantas pulang dalam keadaan bersedih dan berkucur air maka, lalu turunlah firman Allah SWT;
وَلاَ عَلَى الَّذِينَ إِذَا مَا أَتَوْكَ لِتَحْمِلَهُمْ قُلْتَ لاَ أَجِدُ مَا أَحْمِلُكُمْ عَلَيْهِ تَوَلَّوا وَأَعْيُنُهُمْ تَفِيضُ مِنَ الدَّمْعِ حَزَناً أَلاَّ يَجِدُوا مَا يُنفِقُونَ.
“Dan tiada (pula) berdosa atas orang-orang yang apabila mereka datang kepadamu, supaya kamu memberi mereka kendaraan, lalu kamu berkata: ‘Aku tidak memperoleh kendaraan untuk membawamu,’ lalu mereka kembali, sedang mata mereka berkucuran air mata karena kesedihan, lantaran mereka tidak memperoleh apa yang akan mereka nafkahkan.”[1]
Setelah kejadian dan turunnya ayat ini tujuh sahabatNabi saw itu dikenal dengan sebutan “al-bakka’un” (orang-orang yang menangis).[2]
Al-Huzn (kesedihan) di sini dapat berupa rintihan atas kehilangan sesuatu yang masih bisa ditebus dengan qadha’, taubat dan lain-lain, dan dapat pula berarti keprihatinan atas keterhalangan dari sesuatu yang diinginkan sebagaimana terjadi pada peristiwa yang menjadi sebab turunnya ayat tersebut.
Yang jelas, semua kesedihan ini menandakan kerinduan kepada Allah SWT dan kebaikan, kerinduan yang termotivasi oleh hasrat manusia untuk menggapai kesempurnaan. Manfaatnya antara lain mendorong manusia untuk menebus kekurangan dan mengejar ketertinggalan serta melindungi manusia dari motivasi lain yang dapat melemah mental.
Amirul Mukminin Ali bin Abi Thalib as dalam khutbahnya yang terkenal dengan nama Khutbah Humam atau Khutbah al-Muttaqin, yaitu khutbah yang menjelaskan sifat-sifat orang-orang yang bertakwa, bertutur;
قلوبهم محزونة، وشرورهم مأمونة، وأجسادهم نحيفة، وحاجاتهم خفيفة، وأنفسهم عفيفة، صبروا أيّاماً قصيرة أعقبتهم راحة طويلة. تجارة مربحة يسّرها لهم ربّهم. أرادتهم الدنيا فلم يريدوها، وأسرتهم ففدوا أنفسهم منها. أمّا الليل فصافّون أقدامهم، تالين لأجزاء القرآن يرتّلونه ترتيلاً، يحزّنون به أنفسهم، ويستثيرون به دواء دائهم.
“Hati mereka bersedih, keburukan mereka terkendali, raga mereka ringkih (karena banyak berpuasa), kebutuhan mereka ringan, jiwa mereka bersih, bersabar atas derita nan sementara yang akan disusul kebahagiaan nan abadi. Allah memudahkan bagi mereka perniagaan yang menguntungkan. Dunia menghendaki mereka tapi mereka tak menghendakinya. Dunia menawan mereka tapi mereka mengorbankan jiwa untuk lepas darinya. Tengah malam mereka bangkit (mendirikan shalat), membaca bagian-bagian al-Quran secara tartil, dengannya mereka melarutkan jiwa dalam kesedihan, dan dengannya mereka mencari obat bagi penyakit mereka.”[3]
Kesedihan di sini tentu saja bukanlah kegalauan yang membuat seseorang terjauh dari aktivitas sosial dan dari minat bergaul dengan sesama orang yang beriman dan masyarakat secara umum seperti biasa terjadi sufi-sufi gadungan. Kesedihan seorang arif cukuplah terpendam dalam kalbu untuk menjaganya dari keburukan dan pengingkaran nikmat, sehingga wajahnya justru tampak ceria, perilakunya santun dan senang bermasyarakat, mengundang simpati banyak orang, dan terobsesi untuk membantu memenuhi kebutuan orang-orang yang beriman dan masyarakat pada umumnya.
Imam Ali as berkata;
المؤمن بِشره في وجهه، وحزنه في قلبه، أوسع شيء صدراً، وأذلّ شيء نفساً، يكره الرِفعة، ويشنأُ السُمعة، طويل غمّه، بعيد همّه، كثير صمته، مشغول وقته، شكور، صبور، مغمور بفكرته، ضنين بخلّته، سهل الخليقة، ليّن العريكة، نفسه أصلب من الصلد، وهو أذلّ من العبد.
“Seorang mukmin keceriaannya ada di wajahnya, kesedihannya terpendam dalam hatinya, dadanya paling lapang, jiwanya paling merendah, tak suka berbusung dada, membenci gengsi, panjang rasa keprihatinannya, jauh kepeduliannya, banyak diamnya, sibuk waktunya, banyak bersyukur, banyak bersabar, tenggelam dalam keberpikirannya, kikir dalam menunjukkan kebutuhan (tak suka meminta), perangainya toleran, perilakunya lembut, jiwanya paling teguh tapi lebih merendah daripada hamba sahaya.”[4]
Penjelasan mengenai beberapa bagian penting dalam kata mutiara Amirul Mukminin as ini ialah sebagai berikut;
Referensi:
[1] QS. Al-Taubah [9]: 92.
[2] Lihat Tafsir Namuneg, jilid 8, hal. 80.
[3] Nahjul Balaghah, Khutbah 193.
[4] Nahjul Balaghah, Hikmah 333.
“Seorang mukmin keceriaannya ada di wajahnya, kesedihannya terpendam dalam hatinya,” berkenaan dengan dua sifat yang berseberangan satu sama lain namun dapat saling menunjang sehingga dampak buruk masing-masing dapat teratasi. Kesedihan saja cenderung membawa manusia menjauh dari masyarakat dan aktivitas sosial, sebagaimana keceriaan saja juga dapat menimbulkan kevakuman, kesia-siaan dan kesombongan. Sedangkan jika kesedihan karena Allah di dalam kalbu dapat bertemu dengan keceriaan yang diperintahkan kepada seorang mukmin di depan masyarakat maka akan terjadi keseimbangan sehingga masing-masing sifat bisa menjadi suatu kelebihan dan kesempurnaan serta bermanfaat bagi masyarakat, agama, dunia dan akhiratnya.
“Dadanya paling lapang, jiwanya paling merendah” juga berkenaan dengan realitas tentang dua sifat yang dapat saling menunjang. Kelapangan dada saja dapat menyebabkan seseorang terjebak pada kesombongan karena dengan kelapangan ini dia dapat mengatasi banyak persoalan. Karena itu harus dikendalikan oleh sifat lain berupa kerendahan diri. Dengan kerendahan diri ini dia akan peka terhadap berbagai kekurangannya. Jiwanya merendah di depan kalbunya, dan mencela berbagai kesalahan yangada. Dengan demikian dia tidak terjebak pada kecongkakan karena terjadi keseimbangan.
“Kikir dalam menunjukkan kebutuhan (tak suka meminta)”; Kata الخلّة jika dibaca “khallah” berarti kefakiran dan kebutuhan, dengan demikian kalimat ini berarti bahwa seorang mukmin memiliki sifat yang “kikir” dengan arti “tidak gampang” menunjukkan kesusahannya untuk kemudian meminta pertolongan kepada orang lain. Sedangkan jika dibaca “khullah” maka berarti keikhlasan dan ketulusan. Arti inilah yang digunakan oleh Ibnu Abil Hadid tapi kemudian dia menafafsirkannya sebagai sifat seorang mukmin yang banyak menyendiri dan jarang bergaul dengan masyarakat. Tafsiran demikian tampaknya tidak tepat karena justru sejalan dengan tradisi kaum sufi gandungan. Sebaliknya, yang lebih relevan ialah bahwa kalimat ini bermakna menjaga ketulusan kepada orang-orang yang dijadikan sebagai kawan dan saudara di jalan Allah. Dan ketulusan ini ditunjukkan antara lain dengan berbagi nasihat dan nikmat.
“Jiwanya paling teguh tapi lebih merendah daripada hamba sahaya”: Kalimat ini juga berkenaan dengan dua sifat yang harus saling menunjang. Keteguhan dan kesolidan, meskipun berkenaan dengan keberanian di jalan Allah dan perlawanan terhadap kebatilan, namun juga dapat menjebak manusia kepada kesombongan, karena bagaimanapun juga keteguhan itu merupakan sebentuk rasa percaya diri. Karena itu, ketika orang yang teguh itu ternyata juga memiliki sifat yang lebih merendah daripada hamba sahaya maka kedua sifat ini menjadi sangat bermanfaat bagi kesempurnaan jiwa.
Demikianlah para imam Ahlul Bait as mendidik setiap Muslim agar menjadi arif sejati, dan melatihnya agar di malam hari menjadi seorang “pertapa” dan di siang hari menjadi seorang “ksatria”. Kesedihan yang mendalam merupakan salah satu menifestasi tangisan, demikian pula “al-khauf” (rasa takut).
Ada berbagai riwayat yang memuji tangisan yang terdorong oleh rasa takut kepada Allah SWT atau kesedihan yang mendalam karenaNya, antara lain sebagai berikut;
Imam Jakfar al-Shadiq as meriwayat dari ayah dan para leluhurnya bahwa Rasulullah saw bersabda;
ومَنْ ذرفت عيناه من خشية الله كان له بكلّ قطرة قطرت من دموعه قصرٌ في الجنّة، مكلّل بالدرّ والجوهر، فيه ما لا عين رأت، ولا أُذن سمعت، ولا خطر على قلب بشر.
“Dan barangsiapa berlinang air mata karena takut kepada Allah maka untuknya satu istana di surga atas setiap tetes air matanya; istana yang penuh kemilau mutiara dan permata, yang di dalamnya terdapat apa yang tidak pernah terlihat oleh mata, tidak pernah terdengar oleh telinga, dan tidak pula terlintas dalam hati manusia.”[1]
Mungkin terasa aneh, mengapa pahala menangis karena takut kepada Allah SWT sedemikian besar. Tapi rasa penasaran ini dapat terjawab oleh dua poin sebagai berikut;
Pertama, tangisan mencerminkan terjadinya perubahan besar dalam diri dan adanya sebentuk interaksi yang istimewa dengan Allah dan segala perintah dan laranganNya. Kemaha agungan Allah SWT hadir dan bermanifestasi dalam kalbu sehingga khusyuk memacari jiwa. Atas dasar ini, tangisan takut kepada Allah memperlihatkan tingginya tingkat penyelesalan atas segala maksiat sehingga mendatangkan ampunan, sebagaimana disebutkan dalam hadis selanjutnya;
Imam Jakfar al-Shadiq as berkata;
إنّ الرجل ليكون بينه وبين الجنّة أكثر ممّا بين الثرى إلى العرش; لكثرة ذنوبه، فما هو إلاّ أن يبكي من خشية الله ـ عزّ وجلّ ـ ندماً عليها حتّى يصير بينه وبينها أقرب من جفنه إلى مقلته.
“Jarak seseorang dari neraka lebih jauh daripada jarak permukaan bumi dari arasy akibat dosanya, maka dia tak lain harus menangis karena takut kepada Allah Azza wa Jalla sebagai penyesalan atasnya agar jarak dia dengan surga menjadi lebih dekat daripada jarak antara mata dan kelopaknya.”[2]
Hal ini tentu saja tidak menegasikan persyaratan taubat lainnya. Sebab, jika tangisan memang terdorong oleh penyesalan yang sesungguhnya maka ini meniscayakan terpenuhi semua persyaratan.
Referensi:
[1] Al-Wasa’il, jilid 15, hal. 223, Bab 15 Jihad al-Nafs, Hadis 1.
[2] Ibid, hal. 226 – 227,Hadis 10.
Kedua, bersedih dan menangis karena Allah SWT menimbulkan pengaruh mendalam berupa rasa akan kedekatan denganNya dan terkoyaknya sekat-sekat hijab jiwa sehingga seseorang menjadi lebih optimal dalam mengomunikasikan jiwanya dengan Allah SWT. Karena itu, dia hendaknya memanfaatkan dengan baik momentum yang terjadi dalam proses tazkiyah ini, sebab merupakan kesempatan yang tidak muncul setiap saat atau dapat dipaksa-paksakan semaunya.
Penjelasan tentang poin ini telah diisyaratkan dalam berbagai riwayat mengenai keutamaan menangis dan takut karena Allah atau kepekaan terhadap kemaha besaran dan kemaha agunganNya, antara lain sebagai berikut;
Imam Jakfar al-Shadiq as berkata;
ما من شيء إلاّ وله كيل ووزن، إلاّ الدموع; فإنّ القطرة تُطفئ بحاراً من نار، فإذا اغرورقت العين بمائها لم يرهق وجهه قتر ولا ذلّة، فإذا فاضت حرّمها الله على النار، ولو أنّ باكياً بكى في أُمّة لرحموا.
“Tak ada suatu apapun kecuali memiliki neraca dan timbangannya, kecuali air mata, karena setetesnya akan memadamkan lautan api neraka. Karena itu, jika mata yang meneteskan air maka wajahnya kelak tak akan mengalami kesulitan maupun kehinaan, jika mengucurkan air maka Allah mengharamkan wajahnya dari api neraka, dan jika dia menangis karena (kepedulian kepada) umat maka Allah akan mengasihi mereka.”[1]
Imam Ali Ridha as berkata;
كان فيما ناجى الله به موسى أ نّه ما تقرّب إليّ المتقربون بمثل البكاء من خشيتي، وما تعبّد لي المتعبّدون بمثل الورع عن محارمي، ولا تزيّن لي المتزيّنون بمثل الزهد في الدنيا عمّا يهمّ الغنى عنه. فقال موسى: يا أكرم الأكرمين: فما أثبتَهم على ذلك؟ فقال: يا موسى أمّا المتقرّبون لي بالبكاء من خشيتي فهم في الرفيق الأعلى لا يشاركهم فيه أحد، وأمّا المتعبّدون لي بالورع عن محارمي فإنّي أُفتّش الناس عن أعمالهم، ولا أُفتّشهم حياءً منهم، وأمّا المتزيّنون لي بالزهد في الدنيا فإنّي أبيحهم الجنّة بحذافيرها يتبوّؤون منها حيث يشاؤون.
“Di tengah munajat Musa as kepada Allah terdapat firmanNya; ‘Tak ada amalan bagi orang-orang yang mendekatiKu melebihi tangisan, tak ada ibadah bagi orang-orang yang beribadah melebihi keterjauhan dari semua yang Aku haramkan, tak ada hiasan karena Aku bagi orang-orang yang berhias diri melebihi kezuhudan di dunia.’ Lalu Musa berkata, ‘Wahai Zat Yang Maha Mulia, apa yang membuat mereka teguh di jalan ini?
“Allah berfirman; ‘Wahai Musa, adapun orang-orang yang mendekat kepadaKu dengan menangis karena takut kepadaKu adalah orang-orang yang dijenjang al-Rafiq al-A’la (paling dikasihi) tak disekutui oleh siapapun. Adapun orang-orang yang beribadah kepadaku dengan keterjauhan dari semua yang Aku haramkan maka sesungguhNya aku akan memeriksa amal perbuatan manusia namun aku tidak akan memeriksa mereka karena malu kepada mereka. Adapun orang-orang yang berhias diri karena Aku dengan kezuhudan di dunia maka sesungguhnya aku memberi mereka surga dengan semua sisinya untuk mereka tinggal di mana saja mereka menghendakinya.”[2]
Menangis Lantaran Khusyu’
Menangis karena Allah SWT terjadi bukan hanya lantaran sedih atau takut, melainkan juga bisa terdorong oleh berbagai faktor dan keadaan lain, semisal khusyuk, sebagaimana disebutkan dalam firman Allah SWT;
قُلْ آمِنُوا بِهِ أَوْ لاَ تُؤْمِنُوا إِنَّ الَّذِينَ أُوتُوا الْعِلْمَ مِن قَبْلِهِ إِذَا يُتْلَى عَلَيْهِمْ يَخِرُّونَ لِلأَذْقَانِ سُجَّداً * وَيَقُولُونَ سُبْحَانَ رَبِّنَا إِنْ كَانَ وَعْدُ رَبِّنَا لَمَفْعُولاً * وَيَخِرُّونَ لِلأَذْقَانِ يَبْكُونَ وَيَزِيدُهُمْ خُشُوعاً.
“Katakanlah: ‘Berimanlah kamu kepadanya atau tidak usah beriman (sama saja bagi Allah).’ Sesungguhnya orang-orang yang diberi pengetahuan sebelumnya apabila Al-Quran dibacakan kepada mereka, mereka menyungkur atas muka mereka sambil bersujud, dan mereka berkata: ‘Maha Suci Tuhan kami, sesungguhnya janji Tuhan kami pasti dipenuhi.’ Dan mereka menyungkur atas muka mereka sambil menangis dan mereka bertambah khusyu’.”[3]
أُوْلَئِكَ الَّذِينَ أَنْعَمَ اللَّهُ عَلَيْهِم مِّنَ النَّبِيِّينَ مِن ذُرِّيَّةِ آدَمَ وَمِمَّنْ حَمَلْنَا مَعَ نُوح وَمِن ذُرِّيَّةِ إِبْرَاهِيمَ وَإِسْرَائِيلَ وَمِمَّنْ هَدَيْنَا وَاجْتَبَيْنَا إِذَا تُتْلَى عَلَيْهِمْ آيَاتُ الرَّحْمن خَرُّوا سُجَّداً وَبُكِيّاً.
“Mereka itu adalah orang-orang yang telah diberi nikmat oleh Allah, yaitu para nabi dari keturunan Adam, dan dari orang-orang yang Kami angkat bersama Nuh, dan dari keturunan Ibrahim dan Israil, dan dari orang-orang yang telah Kami beri petunjuk dan telah Kami pilih. Apabila dibacakan ayat-ayat Allah Yang Maha Pemurah kepada mereka, maka mereka menyungkur dengan bersujud dan menangis.”[4]
Referensi:
[1]Al-Wasa’il, jilid 15, hal. 227, Bab 15 Jihad al-Nafs, Hadis 11.
[2] Ibid, hal. 226 ,Hadis 9.
[3] QS. Al-Isra’ [17]: 107 – 109.
[4] QS. Maryam [19]: 58.
Telah disinggung sebelumnya bahwa ada dua hikmah yang dapat dipetik dari keadaan menangis karena takut kepada Allah SWT, atau karena sesuatu yang telah hilang, dan berbagai faktor lain yang menyebabkan seseorang menangis karena Allah SWT. Dua hikmah yang sangat penting ini ialah sebagai berikut;
Pertama, keadaan menangis karena Allah SWT merupakan salah satu keadaan yang di mana seseorang secara emosional berada dalam posisi paling dekat dan komunikatif denganNya.
Kedua, kondisi demikian merupakan momentum untuk tarbiyah, tazkiyah dan pengembangan jiwa di mana seseorang dapat menekan dirinya semaksimal mungkin untuk meninggalkan segala perbuatan dan sifat yang tercela, atau berkomitmen pada perbuatan dan sifat yang terpuji. Ini merupakan momen kejernihan dan keterbukaan diri di depan alam keagungan sehingga lebih mudah menerima tekanan demikian, sedangkan di momen-momen lain tak semudah itu diri menyerah kepadanya.
Mewaspadai Jebakan
Betapapun demikian, menangis sedemikian rupa juga berpotensi menyebabkan seseorang terjebak pada hal-hal negatif yang jika terjadi maka sebabnya tak lain adalah lemahnya diri orang tersebut. Sebab, menangis karena Allah SWT pada prinsipnya harus mendorong seseorang kepada kebaikan, bukan sebaliknya. Hal-hal negatif yang patut diantisipasi ini ialah sebagai berikut;
Pertama, “ujub” atau rasa takjub kepada diri, atau merasa hebat. Perasaan demikian bisa muncul pada semua bentuk ibadah dan kepatuhan kepada agama, termasuk menangis karena Allah SWT, padahal ujub tergolong dosa besar. Jiwa yang lemah tentu rawan terkena penyakit ini segera setelah dia beribadah sehingga harus benar-benar diwaspadai.
Cara mewaspadai dan mengendalikan kelemahan ini ialah dengan mengingatkan diri tepat di saat ia sedang menjalani proses kesempurnaan bahwa setinggi apapun jenjang yang sudah dicapainya kekurangan tetap saja membayangi diri. Diri juga harus ingat bahwa apa yang telah dicapai adalah berkat anugerah, rahmat serta daya dan kekuatan Allah SWT, sebagaimana ditegaskan dalam firmanNya;
وَلَوْلاَ فَضْلُ اللَّهِ عَلَيْكُمْ وَرَحْمَتُهُ مَا زَكَى مِنكُم مِّنْ أَحَد أَبَداً…
“Sekiranya tidaklah karena karunia Allah dan rahmat-Nya kepada kamu sekalian, niscaya tidak seorangpun dari kamu bersih selama-lamanya,…”[1]
Imam Abu Jakfar al-Baqir as berkata;
قال رسول الله) : (صقال الله عزّ وجلّ: لا يتّكل العاملون على أعمالهم التي يعملون بها لثوابي فإنّهم لو اجتهدوا وأتعبوا أنفسهم أعمارهم(2) في عبادتي كانوا مقصّرين غير بالغين في عبادتهم كنه عبادتي فيما يطلبون من كرامتي والنعيم في جنّاتي ورفيع الدرجات العلى في جواري ولكن برحمتي فليثقوا وفضلي فليرجوا وإلى حسن الظنّ بي فليطمئنّوا فإن رحمتي عند ذلك تدركهم وبمنّي أُبلّغهم رضواني وألبسهم عفوي فإنّي أنا الله الرحمن الرحيم بذلك تسمّيت
“Rasulullah saw bersabda: Allah Azza wa Jalla berfirman; ‘Orang-orang yang beramal bukanlah mengandalkan amal perbuatan yang mereka lakukan demi pahala (dari)-Ku, karena kalaupun mereka bersusah payah, meletihkan diri dan (menghabiskan) usianya dalam beribadah kepadaKu maka yang terbaik di antara mereka masihlah berkekurangan dalam beribadah yang layak kepadaKu berkenaan dengan apa yang mereka minta berupa kemurahanKu, kenikmatan dalam surgaKu, jenjang-jenjang tertinggi di sisiKu, melainkan mereka hendaklah yakin kepada kasih sayangKu, berharap kepada anugerahKu, dan percaya akan prasangka baik kepadaKu. Ketika itulah kasih sayangKu akan menjangkau mereka, dan dengan anugeraKu Aku akan menyampaikan mereka ke surga Ridhwan-Ku, dan aku kenakan pada mereka gaun maafKu. Sesunggunya dengan itulah Aku Allah menamakan DiriKu Maha Pengasih lagi Maha Penyayang.’”[2]
Al-Fadhl bin Yunus meriwayatkan bahwa Imam Musa bin Jakfar al-Kazhim as berkata;
اللّهمّ لا تجعلني من المعارين ولا تخرجني من التقصير.
“Perbanyaklah berkata:’Ya Allah, janganlah Engkau masukkan aku ke dalam golongan orang-orang yang dipinjami (agama/keimanan), dan jangan Engkau keluarkan aku dari kekurangan.’”
Al-Fadhl berkata, “Saya mengerti mengenai orang-orang yang dipinjami, yakni seseorang dipinjami agama lalu dia keluar darinya. Lantas apa arti ‘Jangan keluarkan aku dari kekurangan.’
Imam al-Kazhim menjawab;
كلّ عمل تريد به الله عزّ وجلّ فكن فيه مقصّراً عند نفسك، فإنّ الناس كلّهم في أعمالهم فيما بينهم وبين الله مقصّرون، إلاّ من عصمه الله عزّ وجلّ.
Referensi:
[1] QS. Al-Nur [24]: 21.
[2] Bihar al-Anwar, jilid 71, hal. 228.
[3] Ibid, hal. 233.
Diriwayatkan bahwa suatu hari Nabi Isa as dalam sebuah perjalanan melintasi sahara berhenti di sebuah tempat peribadatan seorang rahib (pendeta). Ketika beliau sedang berbincang dengan rahib itu tiba-tiba melintas seorang pemuda yang dikenal gemar berbuat maksiat. Pemuda itu melihat keduanya lalu tertegun dan berhenti berjalan.
Dia lantas berkata dalam hati, “Ya Ilahi, apa yang harus aku lakukan seandainya Isa melihatku dalam keadaanku yang memalukan ini? Bagaimana aku dapat memperbaiki keadaanku seandainya dia mencela perbuatanku selama ini?”
Di saat yang sama, si rahib ketika memandang pemuda itu segera menghadapkan wajahnya ke langit dan berucap, “Ya Allah, janganlah Engkau kumpulkan aku dengan orang fasik dan fajir ini pada hari kiamat.”
Allah SWT kemudian berfirman kepada Nabi Isa as:
قل لهذا العابد: إنّنا استجبنا دعاءك، ولا نحشرك معه; فإنّه أصبح من أهل الجنّة بتوبته، وأصبحت من أهل النار بغرورك ونخوتك وعجبك.
“Katakanlah kepada orang yang suka beribadah ini; ‘Sesungguhnya Kami telah mengabulkan doamu, dan tidak akan mengumpulkanmu dengannya kelak, karena sesungguhnya dia telah menjadi penghuni surga berkat taubatnya, sedangkan kamu menjadi penghuni neraka akibat kesombongan, keberbanggaan diri, dan ujubmu.’”[1]
Kedua, lalai terhadap kewajiban sebagai makhluk sosial. Orang yang mampu menghadap Allah SWT dengan menangis dapat terjebak pada perasaan bahwa dia telah menjalankan taklif dan kewajibannya dengan baik sehingga justru abai terhadap kewajibannya di tengah masyarakat dan umat. Secara spiritual dia merasa cukup dengan menyendiri dan menangis saja di hadapan Allah SWT. Resiko demikian juga ada pada berbagai ibadah lain meskipun mungkin tidak sebesar resiko yang ada pada kebiasaan menangis di hadapan Allah SWT.
Resiko demikian tentu berlaku hanya pada orang yang berjiwa lemah, sebab menangis karena Allah SWT maupun ibadah lain tidak seharusnya membuat seseorang justru terjebak pada sikap demikian.
Lantas apakah kebiasaan menangis di hadapan Allah SWT harus ditinggalkan? Jawabannya tentu saja tidak. Karena meninggalkan kebiasaan demikian ataupun ibadah-ibadah tingkat tinggi lainnya juga tak ubahnya dengan menyambut godaan syaitan. Sebaliknya, untuk selamat dari jebakan itu manusia harus menanam dan menyuburkan kesadaran bahwa Islam melarang umatnya mengasingkan diri dari aktivitas sosial dengan dalih demi meningkatkan kualitas ibadah dan tazkiyah. Setiap Muslim harus memelihara kesadaran bahwa agama yang paripurna ini mewajibkan aktivitas sosial yang berguna bagi dirinya maupun bagi agama dan umat.
Ketiga, meredupkan gairah. Menangis merupakan salah satu cara manusia untuk melipur lara dan mendinginkan hati. Karena itu wajar apabila manusia menangis ketika kehilangan anggota keluarga atau orang yang dicintainya, misalnya. Nah, ketika hatinya mendingin praktis dia akan cenderung murung, kehilangan geregetnya untuk berbuat banyak dan pada gilirannya dia akan abai terhadap tugas dan kewajiban sosialnya dan enggan memberikan pengorban dan kepedulian kepada orang lain dan bahkan kepada kesejahteraan dirinya. Jika ini terjadi maka dia justru menjauh dari Allah SWT. Naudzubillah.
Resiko demikian tentu juga harus diantisipasi dengan kewaspadaan, muraqabah dan muhasabah secara terus menerus.
Tak dapat dipungkiri, syaitan dapat sangatlah pintar memilih celah dan momen dalam segala keadaan yang dijalani dan dialami manusia. Syaitan dapat menggoda bukan hanya terhadap orang yang jelas bejat perilakunya seperti pemabuk dan budak syahwat, melainkan juga pada orang yang sejak awal memang ingin beribadah dan menjadi hamba yang patuh kepada Allah SWT.
Syaitan dapat membuat jebakan di semua bagian perjalanan spiritual manusia sehingga ibadah yang semula jernih akhirnya rusak dan tak berguna akibat terjangkit wabah riya’ dan ujub, atau akibat tidak adanya keseimbangan antara ibadah ritual dan ibadah sosial. Karena itu, manusia dituntut untuk selalu berintrospeksi dalam segala keadaan, menimbang diri sendiri sebelum ditimbang kelak di hari kiamat.
Referensi:
[1] Khazinat al-Jawahir, hal. 647.
(Safinah-Online/Berbagai-Sumber-Lain/ABNS)
Post a Comment
mohon gunakan email