Allah SWT berfirman;
مَا أَصَابَ مِن مُّصِيبَة فِي الاْرْضِ وَلاَ فِي أَنفُسِكُمْ إِلاَّ فِي كِتَاب مِّن قَبْلِ أَن نَّبْرَأَهَا إِنَّ ذَلِكَ عَلَى اللَّهِ يَسِيرٌ * لِكَيْلاَ تَأْسَوْا عَلَى مَا فَاتَكُمْ وَلاَ تَفْرَحُوا بِمَا آتَاكُمْ وَاللَّهُ لاَ يُحِبُّ كُلَّ مُخْتَال فَخُور * الَّذِينَ يَبْخَلُونَ وَيَأْمُرُونَ النَّاسَ بِالْبُخْلِ وَمَن يَتَوَلَّ فَإِنَّ اللَّهَ هُوَ الْغَنِيُّ الْحَمِيدُ.
“Tiada suatu bencanapun yang menimpa di bumi dan (tidak pula) pada dirimu sendiri melainkan telah tertulis dalam kitab (Lauhul Mahfuzh) sebelum Kami menciptakannya. Sesungguhnya yang demikian itu adalah mudah bagi Allah. (Kami jelaskan yang demikian itu) supaya kamu jangan berduka cita terhadap apa yang luput dari kamu, dan supaya kamu jangan terlalu gembira terhadap apa yang diberikanNya kepadamu. Dan Allah tidak menyukai setiap orang yang sombong lagi membanggakan diri. (Yaitu) orang-orang yang kikir dan menyuruh manusia berbuat kikir. Dan barangsiapa yang berpaling (dari perintah-perintah Allah) maka sesungguhnya Allah Dialah Yang Maha Kaya lagi Maha Terpuji.”[1]
Diriwayatkan bahwa Imam Ali bin Abi Thalib as berkata;
الزهد كلّه بين كلمتين من القرآن قال الله سبحانه: ﴿لِكَيْلاَ تَأْسَوْا عَلَى مَا فَاتَكُمْ وَلاَ تَفْرَحُوا بِمَا آتَاكُمْ …﴾ ومن لم يأس على الماضي ولم يفرح بالآتي فقد أخذ الزهد بطرفيه.
“Zuhud seluruhnya ada di antara dua kalimat al-Quran di mana Allah SWT berfirman; ‘Supaya kamu jangan berduka cita terhadap apa yang luput dari kamu, dan supaya kamu jangan terlalu gembira terhadap apa yang diberikan-Nya kepadamu.’ Dan barangsiapa yang tidak berduka cita atas apa yang telah tiada dan tidak terlalu bergembira atas apa yang datang (didapat) maka dia telah meraih zuhud dengan dua sisinya (zuhud yang sempurna).”[2]
Tampak bahwa ayat suci ini menjelaskan salah satu hikmah adanya musibah dalam kehidupan manusia di dunia.Yakni bahwa musibah merupakan penempaan dan penggemblengan jiwa dari Allah SWT terhadap para kekasihnya agar hidup zuhud di dunia. Dan juga berarti bahwa manusia boleh memiliki dunia tapi jangan sampai dimiliki oleh dunia, karena ditegaskan bahwa manusia jangan sampai berduka cita atas apa yang telah luput dan hilang darinya, dan tidak pula terlalu bersuka cita atas apa yang telah dianugerahkan kepadanya. Musibah dapat menundukkan kepala yang terlalu mendongak sombong, mengempiskan dada yang terlalu membusung berbangga diri, dan dapat menyembuhkan penyakit kikir.
Beberapa ayat al-Quran lain mengenai musibah dan cobaan menyebutkan hikmah berupa hukuman atau teguran, antara lain firman-firman Allah SWT sebagai berikut;
وَمَا أَصَابَكُم مِّن مُّصِيبَة فَبِمَا كَسَبَتْ أَيْدِيكُمْ وَيَعْفُو عَن كَثِير.
“Dan apa saja musibah yang menimpa kamu maka adalah disebabkan oleh perbuatan tanganmu sendiri, dan Allah memaafkan sebagian besar (dari kesalahan-kesalahanmu).”[3]
ظَهَرَ الْفَسَادُ فِي الْبَرِّ وَالْبَحْرِ بِمَا كَسَبَتْ أَيْدِي النَّاسِ لِيُذِيقَهُم بَعْضَ الَّذِي عَمِلُوا لَعَلَّهُمْ يَرْجِعُونَ.
“Telah nampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan karena perbuatan tangan manusia, supaya Allah merasakan kepada mereka sebagian dari (akibat) perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang benar).”[4]
وَلَنُذِيقَنَّهُم مِنَ الْعَذَابِ الاْدْنَى دُونَ الْعَذَابِ الاْكْبَرِ لَعَلَّهُمْ يَرْجِعُونَ.
“Dan Sesungguhnya Kami merasakan kepada mereka sebagian azab yang dekat (di dunia) sebelum azab yang lebih besar (di akhirat), mudah-mudahan mereka kembali (ke jalan yang benar).”[5]
Pada ayat di awal artikel ini disebutkan kalimat; “Tiada suatu bencanapun yang menimpa di bumi dan (tidak pula) pada dirimu sendiri melainkan telah tertulis dalam kitab (Lauhul Mahfuzh) sebelum Kami menciptakannya.” Kata ganti “nya” bisa kembali kepada diri dan bisa pula kembali kepada bumi atau maksudnya ialah keduanya. Jika kembali kepada keduanya maka musibah yang dimaksud mencakup segala musibah yang menampak pada kita, baik musibah yang ditujukan untuk tarbiyah zuhud semata yang sangat berguna bagi para kekasih Allah, maupun musibah yang ditujukan sebagai hukuman atau teguran. Semua ini sudah termaktub dalam ilmu Allah SWT sebelum Dia menciptakan bumi dan jiwa atau diri manusia.
Bagian akhir ayat pertama itu bisa jadi dimaksudkan sebagai pelajaran atau tarbiyah kezuhudan bagi semua orang dalam arti bahwa Allah SWT menyediakan sarana tarbiyah bagi semua manusia tanpa terkecuali.
Referensi:
[1] QS. Al-Hadid [57]: 22- 24.
[2] Nahjul Balaghah, Hikmah 439.
[3] QS. Al-Syura [42]: 30.
[4] QS. Al-Rum [30]: 41.
[5] QS. Al-Sajdah [32]: 21.
Sebagian manusia berhasil memanfaatkan hikmah dan tarbiyah ilahiah yang terkandung di balik musibah dan ujian berkat kehidupan dan perilaku zuhud seperti yang diterapkan oleh para wali dan kekasih Allah. Tapi ada pula yang mengabaikan hikmah dan tarbiyah itu sehingga harapan “mudah-mudahan mereka kembali (ke jalan yang benar)” menjadi sia-sia bagi mereka, sebagaimana juga ada pelaku maksiat yang akhirnya insaf dan kembali ke jalan yang benar setelah berhasil memetik hikmah tersebut.
Menarik sekali apa yang dikatakan oleh Imam Ali as;
إنّ البلاء للظالم أدب، وللمؤمن امتحان، وللأنبياء درجة، وللأولياء كرامة.
“Cobaan bagi orang zalim adalah pelajaran, bagi mukmin adalah ujian, bagi nabi adalah derajat (yang tingg), dan bagi para wali adalah kemuliaan.”[1]
Imam Jakfar al-Shadiq as berkata;
إنّ الله تبارك وتعالى ليتعاهد المؤمن بالبلاء، إمّا بمرض في جسده، أو بمصيبة في أهله أو مال، أو مصيبة من مصائب الدنيا; ليأجره عليها.
“Sesungguhnya Allah SWT telah menjanjikan cobaan kepada seorang mukmin, baik dengan sakit pada raganya, atau dengan musibah pada keluarganya, atau harta, dan musibah di antara musibah-musibah dunia, supaya Dia memberinya pahala atas cobaan itu.”[2]
ما من مؤمن إلاّ وهو يُذكّر في كلّ أربعين يوماً ببلاء، إمّا في ماله، أو في ولده، أو في نفسه فيؤجر عليه، أو همّ لا يدري من أين هو.
Imam Jakfar al-Shadiq as juga berkata;
ما من مؤمن إلاّ وهو يُذكّر في كلّ أربعين يوماً ببلاء، إمّا في ماله، أو في ولده، أو في نفسه فيؤجر عليه، أو همّ لا يدري من أين هو.
“Tak ada mukmin kecuali dia diingatkan dengan cobaan dalam setiap 40 hari sekali berkenaan dengan hartanya, atau anaknya, atau dirinya, lalu dia diberi pahala atasnya, atau kegundahan yang dia tidak mengetahui dari mana asalnya.”[3]
Imam Muhammad al-Baqir as meriwayat dari ayah dan leluhurnya bahwa Rasulullah saw bersabda;
إنّ المؤمن إذا قارف الذنوب ابتلي بها بالفقر، فإن كان في ذلك كفّارة لذنوبه وإلاّ ابتلي بالمرض، فإن كان ذلك كفّارة لذنوبه وإلاّ ابتلي بالخوف من السلطان يطلبه، فإن كان ذلك كفّارة لذنوبه وإلاّ ضيّق عليه عند خروج نفسه حتّى يلقى الله حين يلقاه وماله من ذنب يدّعيه عليه، فيأمر به إلى الجنّة، وإنّ الكافر والمنافق ليهون عليهما خروج أنفسهما حتّى يلقيان الله حين يلقيانه ومالهما عنده من حسنة يدّعيانها عليه، فيأمر بهما إلى النار.
“Seorang mukmin apabila meninggalkan dosa maka karenanya dia akan diuji dengan kefakiran apabila hal ini menjadi tebusan bagi dosa-dosanya, atau jika tidak demikian maka dia akan diuji dengan sakit jika hal ini menjadi tebusan bagi dosa-dosanya, atau jika tidak demikian maka dia diuji dengan ketakutan kepada para penguasa yang mencarinya jika hal ini menjadi tebusan bagi dosa-dosanya, atau jika tidak demikian maka dia disempitkan ketika nyawanya akan keluar sampai dia berjumpa dengan Allah ketika berjumpa denganNya dalam keadaan tidak ada tuntutan atas dosanya, lalu dengannya Dia menyuruhnya masuk ke surga.
“Dan sesungguhnya orang kafir dan munafik akan diringankan saat keluar nyawanya sampai berjumpa dengan Alalh saat menjumpainya dalam keadaan tidak memiliki kebaikan apapun yang dapat dia klaim kepadaNya, lalu Allah menyuruh keduanya masuk ke dalam neraka.”[4]
Sebagaimana ayat-ayat tersebut, hadis-hadis ini menunjukkan bahwa musibah terjadi karena sebab dan faktor yang variatif. Dan jelas bahwa seandainya faktornya terbatas hanya pada hukuman saja, atau teguran saja, atau tebusan atas dosa saja maka aib para pelaku maksiat akan terungkap. Karena itu, merupakan nikmat bagi hamba-hamba Allah adanya sebab-sebab lain semisal demi peningkatan derajat keruhanian, sehingga aibpun tertutup hingga hari penyingkapan segala aib pada hari kiamat kelak. Demikian pula, seandainya menangis, taubat, ratapan, dan keguncangan hanya patut untuk para pelaku maksiat saja niscaya aib mereka akan terungkap. Namun semua itu ternyata juga patut bahkan bagi sosok semulia Imam Ali Zainal Abidin al-Sajjad as, sehingga aib setiap hamba juga tetap tertutup.
Menarik pula riwayat dari Ali bin Ri’ab bahwa dia berkata; “Aku bertanya kepada Abu Abdillah (Imam Jakfar al-Shadiq as) mengenai firman Allah;
وَمَا أَصَابَكُم مِّن مُّصِيبَة فَبِمَا كَسَبَتْ أَيْدِيكُمْ …
‘Dan apa saja musibah yang menimpa kamu maka adalah disebabkan oleh perbuatan tanganmu sendiri…’[5]
“Apakah musibah yang menimpa Ali dan keluarganya adalah akibat perbuatan tangan mereka sendiri, sedangkan mereka adalah manusia suci dan maksum?”
Imam menjawab;
قال: إنّ رسول الله كان يتوب إلى الله، ويستغفره في كلّ يوم وليلة مئة مرّة من غير ذنب، إنّ الله يخصّ أولياءه بالمصائب; ليأجرهم عليها من غير ذنب.
“Sesungguhnya Rasulullah saw setiap hari beristighfar 100 x tanpa dosa. Sesungguhnya Allah mengkhususkan musibah kepada para kekasihNya untuk memberi mereka pahala atasnya tanpa dosa.”[6]
Referensi:
[1] Bihar al-Anwar, jilid 81, hal. 198.
[2] Ibid.
[3] Ibid, hal. 198-199.
[4] Ibid, hal. 199 – 200.
[5] QS. Al-Syura [42]: 30.
[6] Tafsir Ali Bin Ibrahim, jilid 2, hal. 277.
Tafsiran Keliru Makna Zuhud
Sebagian orang menyederhanakan zuhud dengan menafsirkannya sebagai perilaku menjauhi kenikmatan yang sejatinya justru merupakan anugerah Allah SWT bagi hamba-hambaNya. Karena itu mereka berusaha menjauhkan umat dari kepedulian kepada urusan duniawi. Dampaknya sangat fatal, antara lain membuka peluang bagi kaum kafir dan imperialis untuk menguasai kekayaan dan sumber daya alam mereka yang melimpah ruah. Dampak ini dialami oleh banyak negara Muslim, sementara negara-negara non-Muslim sedikit yang mengalaminya.
Parahnya lagi, orang yang menganut paradigma demikian dalam memaknai zuhud terkadang acuh, dingin, atau bersikap netral ketika menyaksikan imperialis melakukan penjajahan ekonomi karena mereka memandang aktivitas perekonomian sebagai keterkungkungan dalam kenikmatan duniawi.
Dampak berikutnya dari tafsiran demikian dalam memaknai zuhud ialah distorsi agama sehingga banyak orang cenderung menjauh dari agama karena merasa tak nyaman dalam menjalani kehidupan yang agamis.
Untuk mengatasi kesalah kaprahan dalam memaknai zuhud ini perlu dijelaskan beberapa hal sebagai berikut;
Pertama, kecenderungan menjauhi kenikmatan duniawi pada tingkat yang menerjang batas keseimbangan sehingga kenikmatan yang ada dipandang dengan sebelah mata, tidak dinikmati, atau bahkan dibenci dan dihindari bukanlah sesuatu yang dianjurkan oleh agama. Sebaliknya, agama justru melarangnya, sebagaimana disebutkan dalam beberapa ayat suci al-Qurdan dan hadis. Misalnya, firman Allah SWT;
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا تُحَرِّمُوا طَيِّبَاتِ مَا أَحَلَّ اللَّهُ لَكُمْ وَلَا تَعْتَدُوا إِنَّ اللَّهَ لَا يُحِبُّ الْمُعْتَدِينَ.
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu haramkan apa-apa yang baik yang telah Allah halalkan bagi kamu, dan janganlah kamu melampaui batas. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang melampaui batas.”[1]
Menjauhi kenikmatan duniawi dianjurkan namun pada batas yang rasional, tidak berlebihan, sehingga tidak meniscayakan pembiaran anugerah sumber daya alam jatuh ke tangan kaum kafir, imperialis, atau penguasa yang fasik. Pada batas ini, seorang Muslim justru akan berusaha dan berjuang melawan imperialisme, keserakahan dan kesewenang-wenangan agar anugerah alam dapat tersalurkan secara adil kepada seluruh umat Islam dan agar kekayaan yang ada dapat digunakan untuk perjuangan menegakkan agama Allah.
Di sinilah kemudian spirit pengorbanan (itsar) berperan. Spirit ini tidak cukup dengan hanya meninggalkan anugerah nikmat, melainkan justru harus meraih anugerah ini untuk kemudian dipersembahkan kepada msyarakat dan umat. Dia harus berjuang membuka pintu-pintu anugerah nikmat, tapi bukan untuk atau kesejahteraan dan kesenangan dirinya saja, melainkan lebih demi kesejahteraan orang banyak.
Menjadi pejabatpun juga merupakan sesuatu yang mulia selama dibarengi dengan spirit pengabdian kepada rakyat, bukan dengan semangat bersenang-senang dengan kedudukan dan kehormatan, apalagi di atas penderitaan rakyat.
Kedua, zuhud adalah perilaku menjauhkan diri dari hal-hal yang haram dan syubhat, sedangkan berkenaan dengan hal-hal yang mubah zuhud adalah keterbebasan dari keterpasungan dan ketermilikan oleh dunia. Hal ini terlihat dalam ayat suci yang mengawali tulisan tentang zuhud ini. Ayat itu tidak menjadikan kebencian kepada kenikmatan dunia sebagai tujuan penerapan cobaan dan bencana, melainkan bertujuan;
لِكَيْلاَ تَأْسَوْا عَلَى مَا فَاتَكُمْ وَلاَ تَفْرَحُوا بِمَا آتَاكُمْ.
“Supaya kamu jangan berduka cita terhadap apa yang luput dari kamu, dan supaya kamu jangan terlalu gembira terhadap apa yang diberikan-Nya kepadamu.”[2]
Hadis-Hadis Tentang Zuhud
Berikut ini adalah beberapa riwayat hadis tentang makna zuhud;
Imam Jakfar al-Shadiq as berkata;
الزهد في الدنيا بإضاعة المال ولا بتحريم الحلال، بل الزهد في الدنيا أن لا تكون بما في يدك أوثق منك بما في يد الله عزّ وجلّ.
“Zuhud di dunia ini bukanlah dengan menghilangkan harta dan bukan pula dengan mengharamkan yang halal. Sebaliknya, zuhud di dunia ialah bahwa apa ada yang di tanganmu hendaknya tidak lebih kamu andalkan daripada apa yang ada di tangan Allah Azza wa Jalla.” [3]
Referensi:
[1] QS. Al-Maidah [5]: 87.
[2] QS. Al-Hadid [57]: 22- 24.
[3] Al-Wasa’il, jilid 16, hal. 15, Bab 62 Jihad al-Nafs, Hadis 13.
Diriwayatkan oleh Abu Thufail bahwa Imam Jakfar al-Shadiq as berkata;
سمعت أمير المؤمنين )ع (يقول: الزهد في الدنيا قصر الأمل، وشكر كلّ نعمة، والورع عمّا حرّم الله عليك.
“Aku mendengar Amirul Mukminin as berkata, ‘Zuhud di dunia ialah pemangkasan angan-angan, kebersyukuran atas segala nikmat, dan keterjauhan dari apa yang diharamkan Allah kepadamu.’”[1]
Diriwayat bahwa Imam Ali Zainal Abidin as berkata;
ألا وإنّ الزهد في آية من كتاب الله :لِكَيْلاَ تَأْسَوْا عَلَى مَا فَاتَكُمْ وَلاَ تَفْرَحُوا بِمَا آتَاكُمْ …
“Ketahuilah bahwa zuhud itu tertera dalam ayat kitab suci Allah[2]; ‘Supaya kamu jangan berduka cita terhadap apa yang luput dari kamu, dan supaya kamu jangan terlalu gembira terhadap apa yang diberikan-Nya kepadamu.’”[3]
Diriwayatkan bahwa Imam Jakfar al-Shadiq as berkata;
حبّ الدنيا رأس كلِّ خطيئة.
“Kecintaan kepada dunia adalah biang segala kesalahan.” [4]
قيل لأمير المؤمنين )ع( : ما الزهد في الدنيا؟ قال: تنكّب حرامها.
“Dikatakan kepada Amirul Mukminin as; ‘Gerangan apakah zuhud di dunia itu?’ Dia berkata, ‘Kamu campakkan haramnya.’”[5]
قال رسول الله : مالي وللدنيا، إنّما مَثَلي كراكب رُفِعَت له شجرةٌ في يوم صائف فقال تحتها، ثُمّ راح وتركها.
“Rasulullah saw bersabda; ‘Apa urusanku dengan dunia? Aku adalah ibarat pengendara kuda yang di tengah hari yang panas tersedia sebatang pohon untuk kemudian dia tertidur sejenak di bawahnya, lalu beristirahat kemudian beranjak meninggalkannya.’”[6]
Dikisahkan bahwa seorang pria Arab Baduwi singgah di suatu kaum lalu kaum itu memberinya makanan dan diapun menyantapnya. Setelah itu dia berteduh di bawah bayangan tenda mereka kemudian tertidur. Tak lama kemudian kaum itu membongkar tendanya sehingga pria itu terjaga dari tidurnya karena tertimpa terik cahaya matahari. Dia lantas bangkit sembari melantunkan syair;
ألا إنّما الدنيا كظلّ بنيّة *** ولابدّ يوماً أنّ ظلّك زائل
“Betapa dunia hanyalah laksana bayangan bangunan, dan pada suatu hari nanti bayanganmupun akan sirna.”[7]
Diriwayatkan bahwa malaikat Jibril as berkata kepada Nabi Nuh as;
يا أطول الأنبياء عمراً كيف وجدت الدنيا؟
“Wahai orang yang paling panjang usianya di antara para nabi, bagaimana engkau mendapati dunia?
Nabi Nuh as menjawab;
كدار لها بابان دخلت من أحدهما وخرجت من آخر.
“(Dunia) adalah ibarat sebuah rumah yang memiliki dua pintu yang aku masuk dari salah satunya kemudian keluar dari yang lain.”
Seorang penyair berkata; “Pemburu dunia kalaupun panjang usianya, dan mereguk bahagia dan nikmat darinya, hanyalah laksana pendiri bangunan, yang ketika selesai tiba-tiba runtuh.”[8]
Telah dinukil pula dari Abu Amamah al-Bahili ra bahwa dia berkata; “Ketika Nabi saw diutus tiba-tiba Iblis didatangi oleh pasukannya. Mereka berseru, ‘Seorang nabi telah diutus dan sebuah umat telah ditampilkan!’ Iblis bertanya, ‘Apakah mereka mencintai dunia?’ Mereka menjawab, ‘Ya.’ Dia berkata, ‘Jika mereka mencintainya maka saya tidak peduli mereka tidak menyembah berhala. Aku hanya akan melancarkan serangan fajar terhadap mereka dan menyita waktu mereka dengan tiga hal; mengambil harta yang bukan haknya, menggunakan harta yang bukan haknya, menyimpannya secara di luar haknya, dan semua keburukan bersumber dari ini.” [9]
Referensi:
[1] Al-Wasa’il, jilid 16, Bab 62 Jihad al-Nafs, hal. 12, Hadis 12.
[2] QS. Al-Hadid [57]: 22- 24.
[3] Ibid, hal. 12, Hadis 6.
[4] Ibid, bab 61 Bab Jihad al-Nafs, hal. 9, Hadis 4.
[5] Ibid, hal. 15, Bab 62 Jihad al-Nafs, hal. 15, Hadis 11.
[6] Ibid, Bab 63 Jihad al-Nafs, hal. 17, Hadis 1.
[7] Al-Mahajjah, jilid 6, hal. 9.
[8] Ibid, jilid 5, hal. 369. Teks syair;
أرى طالب الدنيا وإن طال عمره *** ونال من الدنيا سروراً وأنعُما
كـبـان بـنـى بـنـيـانـه فـأتـمه *** فلمّا استوى ما قد بناه تهدّما
[9] Al-Mahajjah, jilid 5, hal. 370.
Diriwayatkan bahwa Rasulullah saw bersabda;
أنا زعيم بثلاث لمن أكبّ على الدنيا: بفقر لا غناء له(2)، وبشغل لا فراغ له، وبهمّ وحزن لا انقطاع له.
“Aku menjamin tiga hal untuk pemuja dunia; kemiskinan (kekurangan) yang tak ada kaya (cukup)-nya, kesibukan yang tak ada luangnya, dan kegelisahan serta kesedihan yang tak ada putusnya.”[1]
Diriwayatkan bahwa Imam Jakfar al-Shadiq as meriwayatkan dari leluhurnya bahwa Imam Ali as berkata;
إنّ علامة الراغب في ثواب الآخرة زهدٌ في عاجل زهرة الدنيا، أمّا إنّ زهد الزاهد في هذه الدنيا لا ينقصه ممّا قسم الله له فيها وإن زهد، وإنّ حرصَ الحريص على عاجل زهرة الحياة الدنيا لا يزيده فيها وإن حرص، فالمغبون من غبن حظّه من الآخرة.
“Sesungguhnya pertanda kerinduan kepada pahala akhirat ialah kezuhudan (ketidak berhasratan) kepada gemerlap dunia nan sementara. Adapun kezuhuhan di dunia ini tidak menguranginya dari apa yang telah dijatah Allah kepadanya di dunia meskipun dia berzuhud. Sedangkan hasrat orang yang sangat berhasrat kepada gemerlap kehidupan dunia nan sementara tidaklah memberikan tambahan baginya dalam kehidupan ini meskipun dia sangat berhasrat. Maka tertipulah orang yang tersisih dari jatah keberuntungannya di akhirat.”[2]
Dalam hadis ini jelas bahwa lawan kezuduhan adalah keberhasratan atau ketergilaan kepada dunia sehingga zuhud tidak berarti menjauhkan diri dari kepemilikan atas kenikmatan-kenikmatan duniawi. Dan sebagaimana kezuhudan tidak membuat seseorang menjauh dari nikmat, hasrat kepada duniapun tidak membuatnya merasa bertambah nikmat.
Ketiga, dalam segala sesuatu haruslah ditempuh metode moderat dan tidak ekstrem, bahkan termasuk dalam kedermawanan, sebagaimana disebutkan dalam firman Allah SWT;
وَلاَ تَجْعَلْ يَدَكَ مَغْلُولَةً إِلَى عُنُقِكَ وَلاَ تَبْسُطْهَا كُلَّ الْبَسْطِ فَتَقْعُدَ مَلُوماً مَّحْسُوراً.
“Dan janganlah kamu jadikan tanganmu terbelenggu pada lehermu dan janganlah kamu terlalu mengulurkannya karena itu kamu menjadi tercela dan menyesal.”[3]
وَابْتَغِ فِيمَا آتَاكَ اللَّهُ الدَّارَ الآخِرَةَ وَلاَ تَنسَ نَصِيبَكَ مِنَ الدُّنْيَا ..
“Dan carilah pada apa yang telah dianugerahkan Allah kepadamu (kebahagiaan) negeri akhirat, dan janganlah kamu melupakan bagianmu dari (kenikmatan) duniawi …”[4]
Bahkan berkeaan dengan penunaian hak fakir miskin yang diambil dari hasil panen dan tentunya merupakan suatu perbuatan terpuji karena merupakan satu bentuk kedermawanan al-Quran ternyata juga melarang pemberian secara ekstrem dan berlebihan. Allah SWT berfirman;
… كُلُوا مِن ثَمَرِهِ إِذَا أَثْمَرَ وَآتُوا حَقَّهُ يَوْمَ حَصَادِهِ وَلاَ تُسْرِفُوا إِنَّهُ لاَ يُحِبُّ الْمُسْرِفِينَ.
“Makanlah dari buahnya (yang bermacam-macam itu) bila dia berbuah, dan tunaikanlah haknya di hari memetik hasilnya (dengan disedekahkan kepada fakir miskin); dan janganlah kamu berlebih-lebihan. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang yang berlebih-lebihan.”[5]
Dalam Tafsir al-Ayyasy termuat riwayat dari Muhammad bin Muslim bahwa Imam Abu Jakfar al-Baqir as mengenai firman Allah SWT, “…dan janganlah kamu berlebih-lebihan. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang yang berlebih-lebihan,” berkata bahwa ada seorang pria petani dari kalangan Ansar ketika memanen hasil pertaniannya segera menyedekahkan hasil panen hingga tak tersisa untuk diri dan keluarganya. Sikap demikian lantas dinyatakan Allah SWT sebagai tindakan berlebih-lebihan. [6]
Sampai di sini dapat disimpulkan bahwa zuhud memiliki dua makna;
Pertama, menjauhi hal-hal yang diharamkan maupun yang bersifat syubhat.
Kedua, tidak terlalu bersedih atas apa yang telah hilang dan tidak terlalu bergembira atas apa yang didapat.
Tak syak lagi bahwa manusia sangatlah sulit untuk bisa demikian, dan bahkan yang demikian jauh lebih berat daripada zuhud dalam artinya yang dangkal, yaitu sekedar meninggalkan hal-hal yang dihalalkan.
Referensi:
[1] Bihar al-Anwar, jilid 73, hal. 81.
[2] Al-Wasa’il, jilid 16, hal. 11-12, bab 62 di antara bab Jihad al-Nafs, hadis 3.
[3] QS. Al-Isra’ [17]: 29.
[4] QS. Al-Qashash [28]: 77.
[5] QS. Al-An’am [6]: 141.
[6] Al-Wasa’il, jilid 9, hal. 203, Bab 16 Zakat al-Ghillat, Hadis 2.
Zuhud dalam artinya yang pertama, yaitu menjauhi hal-hal yang diharamkan maupun yang bersifat syubhat juga disebutkan begitu menarik dalam riwayat bahwa Imam Ali Zainal Abidin al-Sajjad as berkata kepada Hasim bin al-Buraid;
الزهد عشرة أجزاء، أعلى درجة الزهد أدنى درجة الورع، وأعلى درجة الورع أدنى درجة اليقين، وأعلى درجة اليقين أدنى درجة الرضا.
“Zuhud (memiliki) tujuh bagian (derajat). Derajat zuhud yang tertinggi adalah derajat wara’ yang terendah, dan derajat wara’ yang tertinggi adalah derajat yaqin yang terendah, dan derajat yaqin yang tertinggi adalah derajat ridha yang terendah.”[1]
Kalimat “derajat zuhud yang tertinggi adalah derajat wara’ yang terendah,” tampaknya mengacu pada arti pertama zuhud, yakni bahwa derajat wara’ yang terendah ialah kezuhudan manusia terhadap hal-hal yang diharamkan maupun yang bersifat syubhat.
Riwayat serupa juga disampaikan oleh Hasyim bin al-Buraid bahwa seseorang bertanya kepada Imam Abu Jakfar al-Baqir as mengenai arti zuhud. Imam as menjawab;
الزهد عشرة أشياء، وأعلى درجات الزهد أدنى درجات الورع، وأعلى درجات الورع أدنى درجات اليقين، وأعلى درجات اليقين أدنى درجات الرضا، ألا وإنّ الزهد في آية من كتاب الله عزّ وجلّ: ﴿… لِكَيْلاَ تَأْسَوْا عَلَى مَا فَاتَكُمْ وَلاَ تَفْرَحُوا بِمَا آتَاكُمْ …﴾
“Zuhud (memiliki) tujuh bagian (derajat). Derajat zuhud yang tertinggi adalah derajat wara’ yang terendah, dan derajat wara’ yang tertinggi adalah derajat yaqin yang terendah, dan derajat yaqin yang tertinggi adalah derajat ridha yang terendah. Ketahuilah bahwa zuhud terdapat dalam ayat kitab Allah Azza wa Jalla; ‘Supaya kamu jangan berduka cita terhadap apa yang luput dari kamu, dan supaya kamu jangan terlalu gembira terhadap apa yang diberikan-Nya kepadamu.’”[2]
Di kalangan sufi di luar mazhab Ahlul Bait as zuhud juga ditafsirkan memiliki tiga derajat[3]; Pertama, zuhud dari hal-hal haram dan syubhat, dan ini merupakan zuhud kalangan umum (awam). Kedua, zuhud dari hal-hal yang tidak darurat atau bukan kebutuhan pokok. Ketiga, zuhud dalam zuhud, yaitu sama sekali tidak memandang harta benda sebagai sesuatu yang berarti. Kekhusyukan kepada Allah menjauhkan pelakunya dari ketersibukan oleh kecintaan maupun kebencian kepada dunia.
Pandangan Imam Ghazali
Tentang zuhud, Imam Ghazali menggambarkan orang fakir dalam dalam lima kategori[4] sebagai berikut;
Pertama, orang yang tidak suka jika diberi harta. Dia malah terusik dan menjauh dari pemberinya agar terlindung dari keburukan pemberinya. Sikap demikian disebut “zuhud” dan orangnya disebut “zahid” dan memiliki kedudukan tertinggi di antara lima kategori yang ada.
Kedua, orang yang rela, menerima, dan tidak terganggu jika diberi harta tapi juga tidak lantas bergembira karenanya. Orang yang demikian disebut “radhi” (rela).
Ketiga, orang yang lebih suka jika memiliki harta daripada tidak memilikinya. Dia menyukai harta tapi sampai pada batas yang membangkitkannya untuk mencari dan mendapatkannya. Dia hanya sebatas senang jika mendapatkannya, tapi tidak sudi mencarinya jika harus bersusah payah. Orang yang demikian disebut “qani’” (puas/legawa) karena sudah merasa puas dengan apa yang ada sehingga tak sudi mencari sesuatu yang lebih meskipun dia relatif menyukainya.
Keempat, orang yang tidak mau mencari harta karena merasa tidak mampu padahal dia pasti mengejarnya jika terbuka peluang untuk mendapatkannya, meskipun dengan bersusah payah. Orang yang demikian disebut “harish” (berhasrat kuat).
Kelima, orang yang sangat berkebutuhan kepada harta pada tingkat keadaan yang seolah harta adalah makanan bagi orang yang lapar, atau pakaian bagi orang yang telanjang. Orang yang demikian disebut “mudhtar” (terdesak).
Referensi:
[1] Al-Kafi, jilid 2, hal. 62, Kitab al-Iman wa al-Kufr, Bab al-Ridha, Hadis 10.
[2] Bihar al-Anwar, jilid 70, hal. 310, Hadis 5.
[3] Lihat Syarah Manazil al-Sa’irin karya al-Tilmisani, hal. 140 – 143, dan Syarah Manazil al-Sa’irin oleh al-Kasyani, hal. 53 – 54.
[4] Lihat Ihya’ Ulumuddin, jilid 4, hal. 179 -181, dan Ihya’ al-Ihya’ jilid 7, hal 315 – 319.
Mustaghni
Di luar lima kategori keadaan yang disebutkan oleh al-Ghazali terdapat satu lagi keadaan yang lebih tinggi daripada zuhud, yaitu keadaan seseorang di mana baginya sama saja antara memiliki dan tidak memiliki harta. Dia tidak gembira lantaran memiliki, dan tidak pula bersedih lantaran tidak memilikinya. Dia tidak akan celaka seandainya harta benda melimpah ruah di tangannya, karena dia merasa harta benda itu hanyalah titipan dan amanat dari Allah SWT sehingga baginya sama saja antara ada di tangannya dan ada di tangan orang lain.
Orang yang demikian dapat disebut “mustaghni” (tidak butuh), karena baginya tidaklah penting memiliki maupun tidak memiliki harta. Ini berbeda dengan kondisi orang yang kaya harta (ghaniy) karena dia bergembira dengannya sehingga butuh kepada keterpeliharaan harta di tangannya. Dia mungkin saja sudah tidak butuh kepada harta tambahan tapi dia butuh kepada kelanggengan harta itu di tangannya. Karena itu di satu sisi dia dapat disebut “fakir” (berkebutuhan).
Sedangkan seorang mustaghni tidak butuh kepada kedatangan maupun kebertahanan harta di tangannya. Dia sama sekali tidak terusik oleh lepasnya harta dari tangannya. Dia layak disebut “mustaghni”, bukan “ghaniy” (kaya/tidak berkebutuan secara mutlak) karena bagaimanapun juga dia masih berkebutuhan kepada hal-hal yang pokok. Sedangkan kata dan sifat “ghaniy” jika berkenaan dengan Allah SWT maka berarti Maha Kaya, yakni tidak berkebutuhan secara mutlak kepada apapun.
Seorang mustaghni tidak membutuhkan harta, namun membutuhkan pertolongan dan taufik dari Allah agar tetap bisa tetap menyandang predikat mustaghni. Predikat ini merupakan anugerah Allah yang menghiasai kalbunya. Orang yang hatinya terikat harta adalah budak harta, sedangkan yang tak butuh kepadanya adalah orang yang bebas dan merdeka. Namun, karena dia bebas dan merdeka adalah karena pertolongan Allah jua maka dia senantiasa memerlukan kontinyitas pertolongan ini.
Maksum Dan Non-Maksum
Banyak dikisahkan bahwa para zahid selalu menjauh dari harta. Kisah demikian tentunya berkenaan dengan orang yang kuatir tertipu oleh dunia dan takut terjerumus kepada godaan syahwat. Ketakutan ini membuat mereka bahkan membenci harta benda. Sikap demikian mencerminkan kelemahan dirinya namun wajar karena hampir semua orang tidaklah berdaya di depan godaan dunia. Hanya sedikit manusia yang tak terpedaya oleh godaan dunia. Mereka adalah para nabi dan insan maksum.
Pertanyaannya, mengapa para insan maksum yang sudah tangguh dan sempurna itu ternyata juga memperlihatkan sikap menjauh dari dunia sehingga tak ubahnya dengan manusia-manusia lemah lainnya? Jawabannya ialah karena para insan maksum itu sengaja merendah seperti manusia yang lain, karena para insan maksum adalah teladan bagi yang lain. Dalam hal ini insan maksum adalah ibarat seorang pawang ular yang dalam kehidupan sehari-hari di rumahnya tetap saja menjauh dari ular demi keselamatan anak-anaknya atau orang lain. Dia tetap berusaha hidup normal seperti orang pada umumnya agar orang-orang lain selamat.
Kesimpulan
Apa yang dapat dimengerti dari kitab suci, sunnah Nabi saw dan riwayat-riwayat Ahlul Bait as ialah bahwa hal yang terpuji di mata agama bukanlah lari dari kenikmatan duniawi yang dihalalkan atau menjauhinya secara berlebih dari kadarnya yang rawan mencelakakan. Sebaliknya, beberapa hal yang terpuji ialah sebagai berikut;
Pertama, menjauhi hal-hal yang haram dan syubhat.
Kedua, tidak terlalu bergembira atas nikmat yang didapat, dan tidak pula terlalu bersedih atas nikmat yang hilang.
Ketiga, yang bermaslahat bagi kebanyakan manusia adalah terpenuhinya kebutuhan-kebutuhan primer (al-kafaf) karena lebih dari itu akan dapat menjauhkan pikiran dan jiwa dari Allah.
Keempat, pengorbanan, sebagaimana disebutkan dalam firman Allah SWT;
… وَيُؤْثِرُونَ عَلَى أَنفُسِهِمْ وَلَوْ كَانَ بِهِمْ خَصَاصَةٌ.
لَنْ تَنَالُوا الْبِرَّ حَتَّى تُنفِقُوا مِمَّا تُحِبُّونَ.
“Kamu sekali-kali tidak sampai kepada kebajikan (yang sempurna), sebelum kamu menafkahkan sebagian harta yang kamu cintai.”[2]
وَيُطْعِمُونَ الطَّعَامَ عَلَى حُبِّهِ مِسْكِيناً وَيَتِيماً وَأَسِيراً.
“Dan mereka memberikan makanan yang disukainya kepada orang miskin, anak yatim dan orang yang ditawan.”[3]
Kelima, kondisi dan potensi manusia berbeda satu sama lain menyangkut kemaslahatannya. Ada manusia yang lebih berpotensi untuk memperoleh keberuntungan sejati apabila dia miskin, dan ada pula yang lebih berpotensi demikian apabila dia kaya.
Diriwayatkan dari Imam Muhammad al-Baqir as bahwa tentang ini terdapat hadis qudsi dimana Rasulullah saw bersabda bahwa Allah SWT berfirman;
إنّ من عبادي المؤمنين عباداً لا يصلح لهم أمر دينهم إلاّ بالغنى والسعة والصحّة في البدن، فأبلوهم بالغنى والسعة وصحّة البدن، فيصلح عليهم أمر دينهم. وإنّ من عبادي المؤمنين لعباداً لا يصلح لهم أمر دينهم إلاّ بالفاقة والمسكنة والسقم في أبدانهم، فأبلوهم بالفاقة والمسكنة والسقم، فيصلح عليهم أمر دينهم. وأنا أعلم بما يصلح عليه أمر دين عبادي المؤمنين…
Referensi:
[1] QS. Al-Hasyr [59]: 9.
[2] QS. Ali Imran [2]: 92.
[3] QS. Al-Insan [76]: 8.
[4] Ushul al-Kafi, jilid 2, hal. 60 – 61, Kitab al-Iman wa al-Kufr, Bab al-Ridha bi al-Qadha’, Hadis 4.
(Safina-Online/Berbagai-Sumber-Lain/ABNS)
Post a Comment
mohon gunakan email