Allah SWT berfirman;
يَا أَيُّهَا النَّاسُ إِنَّا خَلَقْنَاكُم مِّن ذَكَر وَأُنثَى وَجَعَلْنَاكُمْ شُعُوباً وَقَبَائِلَ لِتَعَارَفُوا إِنَّ أَكْرَمَكُمْ عِندَ اللَّهِ أَتْقَاكُمْ إِنَّ اللَّهَ عَلِيمٌ خَبِيرٌ.
“Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa – bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu disisi Allah ialah orang yang paling takwa diantara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal.”[1]
وَمَا تَفْعَلُوا مِنْ خَيْر يَعْلَمْهُ اللّهُ وَتَزَوَّدُوا فَإِنَّ خَيْرَ الزَّادِ التَّقْوَى وَاتَّقُونِ يَا أُوْلِي الأَلْبَابِ.
“Dan apa yang kamu kerjakan berupa kebaikan, niscaya Allah mengetahuinya. Berbekallah, dan sesungguhnya sebaik-baik bekal adalah takwa, dan bertakwalah kepada-Ku hai orang-orang yang berakal.”[2]
يَا بَنِي آدَمَ قَدْ أَنزَلْنَا عَلَيْكُمْ لِبَاساً يُوَارِي سَوْءَاتِكُمْ وَرِيشاً وَلِبَاسُ التَّقْوَى ذَلِكَ خَيْرٌ ذَلِكَ مِنْ آيَاتِ اللّهِ لَعَلَّهُمْ يَذَّكَّرُونَ.
“Hai anak Adam, sesungguhnya Kami telah menurunkan kepadamu pakaian untuk menutup auratmu dan pakaian indah untuk perhiasan. Dan pakaian takwa itulah yang paling baik. Yang demikian itu adalah sebagian dari tanda-tanda kekuasaan Allah, mudah-mudahan mereka selalu ingat.”[3]
Dalam artikel mengenai zuhud telah dikutip riwayat bahwa Imam Jakfar al-Shadiq ketika ditanya mengenai arti zuhud berkata;
الزهد عشرة أشياء، وأعلى درجات الزهد أدنى درجات الورع، وأعلى درجات الورع أدنى درجات اليقين، وأعلى درجات اليقين أدنى درجات الرضا، ألا وإنّ الزهد في آية من كتاب الله عزّ وجلّ: … لِكَيْلاَ تَأْسَوْا عَلَى مَا فَاتَكُمْ وَلاَ تَفْرَحُوا بِمَا آتَاكُمْ …
Ada pula riwayat dari Jabir bahwa Imam Jakfar al-Shadiq as berkata;
يا جابر أيكتفي من ينتحل التشيّع أن يقول بحبّنا أهل البيت ! فوالله ما شيعتنا إلاّ من اتّقى الله وأطاعه، وما كانوا يُعرفون يا جابر إلاّ بالتواضع، والتخشّع، والأمانة، وكثرة ذكر الله، والصوم، والصلاة، والبر بالوالدين، والتعاهد للجيران من الفقراء وأهل المسكنة والغارمين والأيتام، وصدق الحديث، وتلاوة القرآن، وكف الألسن عن الناس إلاّ من خير، وكانوا أمناء عشائرهم في الأشياء.
“Wahai Jabir, cukupkah orang yang terkait dengan tasyayyu’ berkata, ‘Kami menyintai Ahlul Bait? Demi Allah, bukanlah Syiah kami kecuali orang yang bertakwa kepada Allah dan taat kepadaNya. Wahai Jabir, mereka tidak dikenal kecuali dengan kerendahan hati, khusyuk, menjaga amanat, banyak berzikir kepada Allah, berpuasa, mendirikan shalat, berbakti kepada kedua orang tua, bersimpati kepada para tetangga dari kalangan fakir miskin, orang yang terbelit utang, dan anak-anak yatim, serta jujur dalam bertutur kata, rajin membaca al-Quran, menjaga lisan dari berbicara tentang orang lain kecuali didasari iktikad baik, dan dipercaya oleh kalangannya dalam berbagai hal.”
Jabir lantas bertanya, “Wahai putera Rasulullah, kami sekarang tidak mengenal ada orang memiliki sifat demikian.”
Imam berkata;
يا جابرلا تذهبنّ بك المذاهب ، حَسْب الرجل أن يقول : أحبّ عليّاً وأتولاّه، ثمّ لا يكون مع ذلك فعّالاً; فلو قال : إنّي اُحبّ رسول الله ثمّ لا يتبع سيرته، ولا يعمل بسنّته ما نفعه حبّه إيّاه شيئاً، فاتقوا الله، واعملوا لما عند الله، ليس بين الله وبين أحد قرابة، أحبّ العباد إلى الله عزّوجلّ [وأكرمهم عليه ]أتقاهم، وأعملهم بطاعته. يا جابر والله ما يتقرّب إلى الله تبارك وتعالى إلاّ بالطاعة، وما معنا براءة من النار، ولا على الله لأحد من حجّة. مَنْ كان لله مطيعاً فهو لنا وليّ، ومَنْ كان لله عاصياً فهو لنا عدوّ. وما تنال ولايتنا إلاّ بالعمل والورع.
“Wahai Jabir, janganlah kamu terombang ombang-ambing oleh aneka mazhab berdasarkan perkataan orang; ‘Aku menyintai Ali dan berwilayat kepadanya’, tapi ternyata tidak aktif. Andai saja dia berkata, ‘Sungguh aku menyintai Rasulullah (yang lebih mulia dari Ali as) tapi kemudian tidak mengikuti sirahnya, dan tidak mengamalkan sunnahnya maka kecintaannya kepada beliau sama sekali tidak ada manfaatnya. Maka bertakwalah kepada Allah, dan ketahuilah apa yang ada di sisi Allah. Tak ada kekerabatan antara Allah dan siapapun. Hamba yang paling dicintai Allah Azza wa Jallah (dan yang paling mulia di sisiNya) adalah orang yang paling bertakwa dan patuh kepadaNya.
“Wahai Jabir, demi Allah, tak ada sesuatu untuk mendekatkan diri kepada Allah SWT selain ketaatan. Keterbebasan dari api neraka bukan di tangan kami dan kalian tidak memiliki hujjah di depan Allah. Barang siapa taat kepada Allah maka dia bersama kami dan aku, dan barangsiapa bermaksiat kepada Allah maka dia adalah musuh bagi kami. Dan kamu tak dapat berwilayat kepada kami kecuali dengan amal dan wara’.”[5]
Referensi:
[1] QS. AL-Hujurat [49]: 13.
[2] QS. Al-Baqarah [2]: 197.
[3] QS. Al-A’raf [7]: 27.
[4] Bihar al-Anwar, jilid 70, hal. 310, Hadis 5.
[5] Ushul Kafi, jilid 2, hal. 74 – 75, Bab al-Tha’at wa al-Taqwa, Hadis 3.
Tampak bahwa apa yang dimaksud dari kalimat “… derajat zuhud yang tertinggi adalah derajat wara’ yang terendah,” pada hadis pertama di bagian pertama artikel ini ialah zuhud dalam arti meninggalkan perbuatan haram dan syubhat sehingga menjadi derajat wara’ yang terendah dan wara’ ini akan meningkat jenjang jika didukung dengan keberhasil meninggalkan hal-hal yang makruh dan syubhat yang boleh dilakukan atau hal-hal mubah yang mengalihkan perhatian dari mengingat dan zikir kepada Allah SWT.
Semakin tinggi manusia dapat mendaki tangga wara’ semakin dekat pula ketenangan dan ketentraman batinnya kepada Allah SWT. Kerena itu hadis tadi melanjutkan, “Derajat wara’ yang tertinggi adalah derajat yaqin yang terendah.”
Ada tafsiran lain untuk kalimat “derajat zuhud yang tertinggi adalah derajat wara’ yang terendah, yaitu bahwa zuhud di sini ialah keterhindaran dari haram dan syubhat harta, sementara wara’ artinya ialah keterhindaran dari semua haram dan syubhat dan bukan hanya berkenaan dengan harta. Tidak ada kontradiksi antara dua tafsiran tersebut.
Hadis ini sekaligus juga sebagai pesan bagi para peniti mahzab Ahlul Bait as yang hidup di tengah mayoritas umat Islam lainnya agar mengharumkan citra Ahlul Bait as dan mazhab ini. Karena jika seorang Syi’i tidak mengamalkan ajaran Ahlul Bait as maka dampaknya juga akan berimbas pada citra Ahlul Bait as dan mazhab ini.
Arti Yaqin
“Yaqin” bisa berarti keyakinan dengan tingkat kesaksian yang berada di atas apa yang disebut dengan “al-qath’” (kepastian). Al-qath’ sendiri ialah ketersingkapan sedemikian rupa sehingga menghasilkan argumen dan menghilangkan keraguan. Sedangkan yaqin adalah ilmu berupa cahaya yang dipancarkan Allah SWT pada kalbu hamba yang dikehendakiNya sehingga tidak bisa diperoleh kecuali dengan bekal wara’ dan takwa yang menyebabkan terbukanya bashirah, yaitu kesaksian yang bukan dihasilkan dengan mata biasa.
Disebutkan bahwa yaqin memiliki tiga tingkatan; yaitu ilm al-yaqin, ain al-yaqin, dan haqq al-yaqin. Ilmu yaqin digambarkan dengan keyakinan seseorang akan adanya api ketika dengan pandangan matanya dia melihat cahaya api yang menimpa benda-benda sekitar yang terterangi oleh cahaya api itu. Ainul yaqin digambarkan dengan keadaan orang yang melihat langsung api itu. Sedangkan haqq al-yaqin diilustrasikan dengan keadaan ketika orang terjilat api dan merasakan panasnya sehingga keyakinan menjadi klimak. [1]
Takwa dan wara’ adalah sesuatu yang sama. Beberapa riwayat lain juga telah menjelaskan jenjang-jenjangnya, antara lain riwayat bahwa Imam Ali al-Ridha as berkata;
الإيمان فوق الإسلام بدرجة، والتقوى فوق الإيمان بدرجة، واليقين فوق التقوى بدرجة. ولم يقسّم بين العباد شيء أقلُّ من اليقين.
“Iman berada di atas Islam satu derajat, takwa di atas iman satu derajat, dan yaqin di atas takwa satu derajat. Tak ada sesuatu yang dibagi-bagikan di antara hamba-hamba lebih sedikit daripada yaqin.”[2]
Dalam riwayat lain terdapat teks tambahan di mana perawinya, Yunus, bertanya, “Apakah yaqin itu?” Imam menjawab;
« فأيّ شيء اليقين؟ قال : … التوكّل على الله، والتسليم لله، والرضا بقضاء الله، والتفويض إلى الله.
“Tawakkal kepada Allah, berpasrah kepada Allah, rela kepada ketentuan Allah, dan penyerahan kepada Allah.” [3]
Tafsiran untuk kata takwa ini mengacu pada konsekuensi dan pengaruhnya. Takwa sendiri berasal dari kata “wiqayah” yang berarti “penjauhan atau perlindungan” bagi diri, sedangkan dalam terminologi syariat artinya ialah keterjauhan dari azab akhirat, atau dari kemurkaan Sang Maha Penyayang, atau keterlindungan dari keterjauhan dari Allah SWT, dan seterusnya.
Syekh al-Majlisi membagi takwa dalam tiga jenjang sebagai berikut;
Pertama, keterjauhan diri dari siksa abadi dengan cara mendapatkan akidah yang benar.
Kedua, kerhindaran dari dosa, baik yang berupa perbuatan atau bukan, dan inilah yang masyhur di kalangan ahli syariat.
Ketiga, keterhindaran dari segala sesuatu yang menjauhkan kalbu dari al-Haq SWT, dan ini merupakan jenjang kalangan khusus atau bahkan lebih khusus lagi.
Beliau berpendapat bahwa takwa yang dimaksud dalam beberapa riwayat yang menempatkan takwa di atas iman dan menempatkan yaqin di atas takwa ialah makna takwa dalam jenjang kedua. Sebab jika maksudnya ialah jenjeng yang pertama maka tidak bisa ditempatkan di atas iman. Sedangkan jika maksudnya ialah jenjang yang ketiga maka akan menimbulkan masalah pada perbedaannya dengan yaqin dan kedudukan yaqin di atasnya.
Beliau kemudian menyebutkan bahwa pada jenjang ketiga juga terdapat banyak jenjang lagi sehingga yaqin dapat ditempatkan pada jenjang tertinggi, dan pada gilirannya juga akan sesuai dengan takwa dalam pengertiannya yang ketiga.[4]
Referensi:
[1] Lihat Bihar al-Anwar, jilid 70, hal. 142.
[2] Ushul al-Kafi, jilid 2, hal. 52, kitab al-Iman wa al-Kufr, Bab Fadhl al-Iman ala al-Islam wa al-Yaqin ala al-Iman, Hadis 6.
[3] Ibid, Hadis 5.
[4] Lihat Bihar al-Anwar, jilid 70, hal. 136 – 137.
Mengenai ibadah haji, dalam surat al-Baqarah [3] ayat 197 Allah SWT berfirman;
الْحَجُّ أَشْهُرٌ مَّعْلُومَاتٌ فَمَن فَرَضَ فِيهِنَّ الْحَجَّ فَلَا رَفَثَ وَلَا فُسُوقَ وَلَا جِدَالَ فِي الْحَجِّ وَمَا تَفْعَلُوا مِنْ خَيْرٍ يَعْلَمْهُ اللَّهُ وَتَزَوَّدُوا فَإِنَّ خَيْرَ الزَّادِ التَّقْوَىٰ وَاتَّقُونِ يَا أُولِي الْأَلْبَابِ.
“(Musim) haji adalah beberapa bulan yang dimaklumi, barangsiapa yang menetapkan niatnya dalam bulan itu akan mengerjakan haji, maka tidak boleh rafats, berbuat fasik dan berbantah-bantahan di dalam masa mengerjakan haji. Dan apa yang kamu kerjakan berupa kebaikan, niscaya Allah mengetahuinya. Berbekallah, dan sesungguhnya sebaik-baik bekal adalah takwa dan bertakwalah kepada-Ku hai orang-orang yang berakal.”
Lantas apa yang dimaksud dalam kalimat: “Berbekallah, dan sesungguhnya sebaik-baik bekal adalah takwa?” Pemahaman yang umum menjawabnya bahwa orang yang berhaji ke Baitullah selain tidak boleh berbuat “rafats” (perkataan kotor), fasik, dan berbantah-batahan, juga harus membekali diri dengan ketakwaan.
Namun demikian, ada tafsiran yang membawakan riwayat bahwa sekelompok orang dari Yaman pada masa proses turunnya al-Quran melakukan perjalanan haji tanpa membawa bekal. Mereka berbuat demikian dengan asumsi; “Kami bepergian untuk berkunjung ke Baitullah, maka apa mungkin Allah SWT tidak akan menjamu kami?” Mereka lupa bahwa Allah SWT telah menjamu mereka justru melalui perantara materi yang sejak awal sudah ada di tangan mereka.
Ayat tersebut lantas turun untuk memerintahkan kepada mereka agar membawa bekal, namun disusul pula dengan perintah bekal spiritual dan pesan bahwa ketakwaan yang merupakan sebaik-baik bekal merupakan keharusan yang mutlak.[1]
Dengan demikian, jika bepergian di alam dunia saja manusia diperintahkan membawa bekal maka perjalanan menuju alam akhirat tentu juga lebih membutuhkan bekal karena jika tidak maka nasibnya akan benar-benar celaka.
Imam Ali as berkata;
إنّ المرء إذا هلك قال الناس : ما ترك ؟ وقالت الملائكة : ما قدّم ؟ لله آباؤكم فقدّموا بعضاً يكن لكم، ولا تُخلِفُوا كلاًّ فيكون عليكم.
“Sesungguhnya manusia ketika telah binasa maka orang-orang akan berkata, ‘Apa (warisan) yang dia tinggalkan?’ Sedang para melaikat berkata, ‘Apa (amal baik) yang dia ajukan?’ Bagi Allah-lah orang-orang tua kalian, maka ajukanlah sebagian (harta kalian) agar menjadi (simpanan) milik kalian, dan jangan kamu tinggalkan semuanya lalu menjadi (hutang) yang membebani kalian.”[2]
Dalam surat Ali Imran [3] ayat 102 Allah SWT berfirman;
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ حَقَّ تُقَاتِهِ وَلَا تَمُوتُنَّ إِلَّا وَأَنتُم مُّسْلِمُونَ.
“Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah sebenar-benar takwa kepada-Nya; dan janganlah sekali-kali kamu mati melainkan dalam keadaan beragama Islam.”
Diriwayatkan bahwa dalam menafsirkan kalimat “sebenar-benar takwa” Imam Jakfar al-Shadiq as berkata;
يطاع ولا يعصى، ويُذكر فلا يُنسى، ويُشكر فلا يكفر.
“(Allah SWT) ditaati dan tidak didurhakai, diingat dan tidak dilupakan, serta disyukuri dan tidak diingkari.”[3]
Allah SWT juga berfirman:
يَا بَنِي آدَمَ قَدْ أَنزَلْنَا عَلَيْكُمْ لِبَاساً يُوَارِي سَوْءَاتِكُمْ وَرِيشاً وَلِبَاسُ التَّقْوَى ذَلِكَ خَيْرٌ ذَلِكَ مِنْ آيَاتِ اللّهِ لَعَلَّهُمْ يَذَّكَّرُونَ.
“Hai anak Adam, sesungguhnya Kami telah menurunkan kepadamu pakaian untuk menutup auratmu dan pakaian indah untuk perhiasan. Dan pakaian takwa itulah yang paling baik. Yang demikian itu adalah sebagian dari tanda-tanda kekuasaan Allah, mudah-mudahan mereka selalu ingat.”[4]
Penjelasannya ialah bahwa mula-mula Allah SWT memberikan karunia kepada hamba-hambaNya dengan memberi mereka pakaian secara materi dan fisik untuk menutupi aurat mereka, dan ini tentu merupakan suatu kemuliaan sekaligus hiasan bagi mereka.
Pakaian inilah yang tercampakkan dari Adam dan hawa setelah mereka berbuat kesalahan akibat godaan syaitan. Dalilnya ialah bahwa pakaian itu memang terlepas dari dari mereka, seperti diisyaratkan dalam firman Allah;
إِنَّ لَكَ أَلاَّ تَجُوعَ فِيهَا وَلاَ تَعْرَى.
“Sesungguhnya kamu tidak akan kelaparan di dalamnya dan tidak akan telanjang.”[5]
Referensi:
[1] Tafsir Namuneh, jilid 2, hal. 30.
[2] Nahjul Balaghah, Khutbah 203.
[3] Tafsir al-Burhan, jilid 1, hal. 304.
[4] QS. Al-A’raf [7]: 26.
[5] QS. Thaha [20]; 118.
Karunia dan kemuliaan berupa pakaian dan ketertutupan tubuh itu terlucut dari Nabi Adam as dan Hawa as ketika keduanya memetik dan memakan buah terlarang lalu tersingkap aurat keduanya sehingga keduanya terpaksa bersusah payah untuk menutupinya, sebagaimana disebutkan dalam firman Allah SWT;
فَلَمَّا ذَاقَا الشَّجَرَةَ بَدَتْ لَهُمَا سَوْآتُهُمَا وَطَفِقَا يَخْصِفَانِ عَلَيْهِمَا مِن وَرَقِ الْجَنَّةِ.
“Maka syaitan membujuk keduanya (untuk memakan buah itu) dengan tipu daya. Tatkala keduanya telah merasai buah kayu itu, nampaklah bagi keduanya aurat-auratnya, dan mulailah keduanya menutupinya dengan daun-daun surga.”[1]
Allah SWT kemudian berfirman dengan menegaskan bahwa pakaian yang terbaik adalah ketakwaan kepadaNya, dan mengingatkan kepada manusia agar jangan sampai terpedaya oleh godaan syaitan.
Sejauh ini karunia dan kemuliaan berupa pakaian fisik tidak tercabut dari kita. Namun kemuliaan yang sejati dengan kedudukan yang jauh di atas pakaian fisik adalah pakaian takwa, dan pakaian inilah yang diincar oleh iblis agar tercampak dari anak keturunan Adam as dengan cara membujuk mereka agar bermaksiat kepada Allah SWT.
Tentang ini terdapat sebuah riwayat menarik bahwa Imam Muhammad al-Baqir as berkata;
لمّا دعا نوح ربّه ـ عزّوجلّ ـ على قومه أتاه إبليس لعنه الله فقال : يا نوح إنّ لك عندي يداً ! أُريد أن أُكافيك عليها. فقال نوح : إنّه ليبغض إليّ أن يكون لك عندي يد فما هي ؟ قال : بلى دعوت الله على قومك فأغرقتهم، فلم يبقَ أحد أُغويه، فأنا مستريح حتّى ينسق قرن آخر وأُغويهم. فقال له نوح : ما الذي تريد أن تكافيني به ؟ قال : اذكرني في ثلاث مواطن فإنّي أقرب ما أكون إلى العبد إذا كان في إحداهنّ : اذكرني إذا غضبت. واذكرني إذا حكمت بين اثنين. واذكرني إذا كنت مع امرأة خالياً ليس معكما أحد .
“Ketika Nuh as berdoa kepada Allah Azza wa Jalla atas kaumnya, tiba-tiba Iblis – semoga Allah melaknatnya- berseru, ‘Wahai Nuh, kamu memiliki hak atasku dan aku akan menunaikannya.’ Nuh as berkata, ‘Sungguh paling tidak aku suka jika aku memiliki hak atasmu, tapi hak apakah itu? Iblis menjawab, ‘Ya, kamu telah berdoa kepada Allah atas kaummu sehingga kamu telah menenggelamkan mereka hingga tak tersisa seorangpun untuk aku sesatkan, maka aku santai sampai datang abad lain dan akan aku sesatkan mereka.’
“Nuh (yang telah berusaha maksimal memberi petunjuk kepada umatnya namun kecewa kepada hasilnya) kepada Iblis berkata, ‘Lantas apa yang hendak kamu tunaikan untukku?’ Iblis menjawab, ‘Ingatlah aku dalam tiga keadaan karena aku paling dekat dengan hamba-hamba Allah pada tiga keadaan ini. Pertama, ingatlah aku ketika kamu sedang marah. Kedua, ingatlah aku ketika hendak menghakimi dua orang (yang berperkara). Ketiga, ketika kamu sedang berdua dengan seorang perempuan tanpa ada orang lain lagi.”[2]
Demikianlah keutamaan takwa sehingga menjadi satu tolok ukur keutamaan seperti yang terungkap dalam ayat suci yang mengawali artikel ini, yaitu firman Allah SWT ;
يَا أَيُّهَا النَّاسُ إِنَّا خَلَقْنَاكُم مِّن ذَكَر وَأُنثَى وَجَعَلْنَاكُمْ شُعُوباً وَقَبَائِلَ لِتَعَارَفُوا إِنَّ أَكْرَمَكُمْ عِندَ اللَّهِ أَتْقَاكُمْ إِنَّ اللَّهَ عَلِيمٌ خَبِيرٌ.
“Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa – bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu disisi Allah ialah orang yang paling takwa diantara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal.”[3]
Ayat ini menjadikan takwa sebagai satu-satunya tolok ukur keutamaan sehingga menegasikan segala tolok ukur lain berbasis materi yang tak ada kaitannya dengan fondasi akhlak seperti yang dianut oleh berbagai umat manusia yang terdidik bukan dengan didikan agama samawi. Tolok ukur berbasis materi terlihat dalam bentangan sejarah antara lain berupa keturunan, kabilah, suku, dan bangsa.
Akal sehat menolak validitas nilai dan tolok ukur demikian karena keterhubungan seseorang dengan suatu suku, misalnya, tak lain hanyalah keterhubungannya dengan cairan hina yang bernama sperma semata. Logika tidak bisa menerima keterhubungan ini sebagai pangkal kemuliaan seseorang, sementara semua nasab dan keturunan terhubung dengan Adam as, dan beliau hanyalah makhluk yang diciptakan dari tanah.
Referensi:
[1] QS. Al-A’raf [7]: 22.
[2] Bihar al-Anwar, jilid 11, hal. 318.
[3] QS. AL-Hujurat [49]: 13.
(Safinah-Online/Berbagai-Sumber-Lain/ABNS)
Post a Comment
mohon gunakan email