Pesan Rahbar

Home » » Tanggapan Soal Kontroversi Full Day School

Tanggapan Soal Kontroversi Full Day School

Written By Unknown on Wednesday, 16 August 2017 | 02:26:00

Ilustrasi Full Day School

Oleh: Muhamad Ali

Kontroversi FDS yang sering disebut sebagai “Full Day School” itu, tampaknya menjadi kontroversi Muhammadiyah vs NU, mungkin karena secara umum, basis dan pendekatan pokok Muhammadiyah adalah sekolah, dan basis NU adalah pesantren dan diniyah, maka ketika Mendiknas yang berasal dari Muhammadiyah berencana memanjangkan waktu sekolah maka banyak tokoh dan massa NU merasa itu mengurangi waktu pesantren (atau diniyah secara umum).

Ada empat poin tanggapan (sementara) saya:

1) FDS lebih baik diterjemahkan dengan Five Day School, atau Sekolah Lima Hari, bukan Full Day School, karena Full Day School tidak lazim digunakan. Sulit menemukan model Sekolah (formal) Sehari Penuh. Sekedar perbandingan di Amerika, sekolah ada banyak SD negeri, berlangsung sekitar 6 sampai 8 jam sehari, tergantung negara bagian. Dan secara umum, sekolah dilakukan 5 hari. Anak-anak masih bisa mendapat pendidikan non-formal (agama, seni, budaya, olah raga, atau apa saja) setelah sekolah. Hari Sabtu dan Ahad terbukti baik sekali sebagai Waktu Keluarga.

2) Kalau pun ada kebijakan Five Day School itu, hendaknya bukan bukan kewajiban, hanya pilihan, karena adanya keragaman sistem dan budaya pendidikan di masyarakat dari dulu hingga sekarang, meskipun pemerintah berusaha melakukan standardisasi-standardisasi dalam beberapa aspeknya.

3). Kontroversi FDS ini tidak perlu dibawa kepada pertentangan eksistensial atau ideologis apalagi pertentangan hidup-mati, karena lamanya waktu pendidikan ini masalah furuiyyah, masalah cabang atau metodologis, bukan masalah fundamental falsafah pendidikan.

4) Yang lebih fundamental menurut saya dan berdasarkan pengalaman: kualitas lebih penting daripada kuantitas lamanya waktu; pendidikan anak (didik/siswa) harus melibatkan kedua orang tua; pendidikan anak memperhatikan masa pertumbuhannya; pendidikan harus memperhatikan keinginan dan pikiran anak, pendidikan anak harus cukup seimbang akademis dan non-akademis; dan, ini juga sangat penting: pendidikan harus menyenangkan guru-guru dan siswa-siswanya.

Demikian, singkatnya. Pasti ada pendapat-pendapat lain. Sekarang lanjut menerjemahkan Buku Cak Nur “Indonesia Kita”.

(FB-Muhamad-Ali-74/suaraislam/Berbagai-Sumber-Lain/ABNS)
Share this post :

Post a Comment

mohon gunakan email

Terkait Berita: