(Foto: KataKita)
Oleh: Jilal Mardhani
Apakah ada di dunia ini yang memberi hutang tanpa berharap kembali (return)?
Tidak ada yang ‘gratis’, bung!
Pernahkah keuangan Anda demikian sulit sehingga tak mampu membayar tunai produk atau jasa tertentu yang sedang dibutuhkan?
Bayangkan jika Anda sedang tak punya uang bahkan sekedar untuk membayar ongkos angkot dan busway. Maka Anda akan ‘sujud syukur’ ketika memiliki akses pada layanan angkutan berbasis aplikasi yang pembayarannya menggunakan kartu kredit. Paling tidak masih ada waktu beberapa minggu untuk melunasi jika kelak tagihan kartu kredit tersebut menyambangi alamat kontak Anda.
Meski bokek, layanan credit card yang dimiliki mungkin tetap aktif karena aebelumnya Anda belum pernah absen membayar tagihan.
Selama Anda tertib melunasi jumlah minimum yang harus dibayarkan sebelum tanggal jatuh tempo yang ditetapkan, penyedia jasa kartu kredit tak akan mempemasalahkannya. Artinya status Anda lancar jaya. Baru menjadi perhatian jika Anda menunggak atau bahkan tak mampu menunaikan kewajiban minimal yang dipersyaratkan.
Bagaimana jika Anda selalu melunasi seluruh tagihan sebelum jatuh tempo?
Lembaga penerbit kartu kredit akan merayu Anda untuk mem-‘bisnis’-kan piutangnya. Petugas mereka dengan sangat ramah menawarkan ‘kemudahan’ agar Anda berkenan mencicilnya secara tetap dengan iming-iming bunga yang seolah ‘lebih’ menguntungkan.
Sebab — jika Anda terus-menerus melunasi seluruh tagihan — artinya mereka hanya memperoleh ongkos jasa yang dipungutnya dari merchant tempat Anda melakukan transaksi. Sementara persaingan ketat antar sesama penerbit kartu kredit kadang mengharuskan mereka menawarkan kerjasama kepada pihak merchant. Bila perlu dengan memberi potongan bahkan menghapus biaya transaksi yang mereka pungut. Bayangkan ‘rumit’-nya para penyedia layanan kartu kredit itu mengais rezeki. Maka setiap kesempatan ‘mencatut’ uang Anda akan mereka manfaatkan sebaik-baiknya. Semakin banyak jumlah piutang yang belum Anda lunasi — selama cicilan minimum dibayar tepat waktu — maka mereka pun semakin gembira.
Jika mungkin, rerata kemampuan per bulan Anda melunasi seluruh tagihan bisa diarahkan sebagai jumlah pembayaran minimum. Artinya — jika memungkinkan — batas kredit yang berhak Anda gunakan akan mereka tingkatkan. Maksudnya agar Anda lebih royal menggunakan layanannya sehingga tak mampu membayar penuh dan menyisakan sejumlah piutang yang dapat mereka bungakan.
Jadi intinya, pemberi pinjaman akan terus menawarkan fasilitas tersebut selama Anda mampu bertanggung jawab dan membayar cicilan dan bunga yang disepakati. Tentang jaminan harta (asset) untuk berjaga-jaga seandainya Anda gagal adalah soal lain. Pada dasarnya mereka pun tak berharap hal demikian terjadi. Sebab bisnis mereka sesungguhnya adalah bergerak di bidang keuangan. Bukan pada sektor real seperti usaha-usaha yang pembiayaannya mereka fasilitasi.
Jika hutang Indonesia selama pemerintahan Jokowi kali ini meningkat tajam, semestinya kita bersyukur. Semua itu mengisyaratkan para kreditur yakin dan percaya bahwa kita mampu mempertanggung-jawabkannya.
Tak usahlah mengada-ada menudingnya dengan berbagai sangkaan. Para kreditur itu bukan sekumpulan manusia naif yang menyerahkan pinjaman kepada pihak yang tak mampu mengembalikannya.
Tapi bukankah perekonomian kita sedang lesu akibat krisis yang melanda seluruh dunia, pemilik dana menahan diri untuk belanja sehingga jumlah tabungan pihak ketiga di perbankan naik significant, serta tingkat konsumsi masyarakat menengah ke bawah terus melorot?
Bukankah akibat bermacam kelesuan itu penerimaan pajak negara cenderung tak memenuhi target sehingga Produk Domestik Bruto terancam menurun?
Semua itu kenyataannya tak mempengaruhi mereka menyalurkan pinjaman, bukan?
Sederhananya, peluang keuntungan ‘masa depan’ bagi para kreditur itu jauh lebih menjanjikan dibanding resikonya. Titik!
Pertama, karena Jokowi — entah cerdik ataupun kebetulan — tak menggunakan pinjaman untuk membiayai subsidi yang tak produktif.
Tapi dimanfaatkan pada belanja modal dalam bentuk infrastruktur.
Rasio belanja infrastruktur Indonesia terhadap peningkatan jumlah hutang tahun 2013 adalah 70 persen. Angka tersebut menurun jadi 60% pada tahun 2014.
Pada tahun 2015 maupun 2016 — setelah Jokowi menjadi Presiden RI terpilih — rasio tersebut kembali meningkat ke level 67 persen. Bahkan, sesuai anggaran yang telah dicanangkan pada tahun 2017 ini, rasio belanja imfrastutur kita terhadap penambahan hutang mencapai 101 persen!
Hal lain yang menarik, rasio besaran subsidi terhadap defisit anggaran pada periode akhir pemerintahan SBY (2014) adalah 181 persen. Sementara selama periode Jokowi-JK, mulai 2015 hingga 2017, rasionya hanya 64, 57, dan 46 persen!
Dengan kata lain, para kreditur tentu bersuka cita karena pinjaman yang diberikan telah dimanfaatkan semaksimal mungkin untuk menyiapkan sambutan bagi kebangkitan ekonomi global yang hari ini lesu. Kelak, setelah situasi normal kembali, tentu mereka memiliki peluang meningkatkan portofolio pinjaman yang dapat disalurkan kepada sektor real yang bangkit dan membutuhkannya. Bukan hanya yang berorientasi ekspor tapi juga yang bersifat memenuhi pasar domestik kita.
Sebagaimana dimaklumi, Indonesia menempati urutan populasi keempat terbesar di dunia. Peningkatan kesejahteraan penduduknya tentu akan diikuti oleh tingkat konsumsi yang menjadi peluang bagi berbagai industri. Kebijakan Jolowi yang sangat berpihak pada pembangunan infrastruktur tentu nantinya akan sangat bermanfaat, termasuk bagi lembaga-lembaga keuangan yang akan menopang fasilitas pembiayaan pembangunannya.
Mohon maaf jika kenyinyiran mereka yang mempertanyakan peningkatan hutang RI dibawah kepemimpinan Jokowi-JK hari ini sesungguhnya lebih mencerminkan sikap pengecut.
Pertama karena bertolak belakang dengan pandangan kreditur yang mestinya jauh lebih khawatir.
Kedua karena fakta-fakta kebijakan maupun langkah pemerintah Jokowi-JK yang jelas lebih efektiif menggunakan pinjaman. Baik ditinjau dari rasio terhadap belanja modal (infrastruktur) maupun nominal subsidi yang dikeluarkan.
Sesungguhnya hal yang jauh lebih penting dicermati adalah upaya transformasi tata kelola serta pengembangan dan optimasi sumber pendapatan negara. Hal tersebut agar kelak kita tak tersandera oleh kepentingan ‘sempit’ para kreditur dan tetap berpihak pada pemerataan kesejahteraan masyarakat dan geografi seluruh Indonesia.
Mungkin karena harus menjaga ‘sopan-santun politik’ dalam hal menyikapi sikap pengecut berbagai pihak yang mempertanyakan tambahan hutang dan pemanfaatannya, pemerintahan Jokowi beserta seluruh jajaran kabinetnya — hingga hari ini — belum terlihat sempat merencanakan terobosan-terobosan kreatif dan inovatif yang perlu dilakukan untuk mentransformasi Indonesia yang sebelumnya sempat salah urus. Sayangnya, sebagian besar sosok yang menghembus-hembuskan sikap pengecut itu justru adalah para wakil rakyat yang duduk di gedung DPR.
Alih-alih bahu-membahu mengatasi masalah bangsa, tontonan yang kita saksikan justru begitu konyol dan hanya berpihak pada kepentingan-kepentingan ‘sempit’, bahkan ‘sesat’,
Apakah belum perlu memikir ulang sistem serah-terima mandat antara kita dan mereka yang seyogyanya melakoni?
Tentu saja termasuk pertanggung-jawaban yang lebih mengikat dan terukur.
Mari hentikan budaya asal bicara dan tak tahu malu mereka terhadap kinerja yang mestinya dipenuhi.
(catatan menjelang peringatan hari kemerdekaan ‘kita’ yang ke 72)
(Kata-Kita/suaraislam/Berbagai-Sumber-Lain/ABNS)
Post a Comment
mohon gunakan email