Pesan Rahbar

Home » » Sikap Etnis Tionghoa

Sikap Etnis Tionghoa

Written By Unknown on Wednesday, 23 March 2016 | 18:58:00


Pertanyaannya bagaimana sikap etnis peranakan Tionghoa dimasa Revolusi Kemerdekaan? Sekurang-kurangnya ada tiga pandangan. Pertama, sebagian etnis Tionghoa tidak ingin berpihak dalam kancah konflik Indonesia-Belanda, karena mereka bukan Belanda dan bukan Indonesia. Sikap netral ini muncul sebagai produk divide et impera kolonial Belanda.

Kedua, Tionghoa peranakan maupun totok yang bersimpati berjuang untuk pihak Republik, Tokoh yang paling vokal adalah Liem Koen Hian (1896-1952). Ia pernah menegaskan bahwa identitas keindonesiaannya ketika tahun 1932 mendirikan Partai Tionghoa Indonesia (PTI) dan tak henti-hentinya menyerukan agar Tionghoa peranakan memberikan loyalitas politiknya pada Indonesia. Liem adalah salah satu founding fathers NKRI saat aktif partisipasinya dalam BPUPKI.

Ketiga, mayoritas etnis Tionghoa mengharapkan perlindungan Republik Tiongkok, selepas Perang Dunia II ikut menjadi salah satu anggota “The Big Five”, negara pemenang perang PD II. Dengan demikian, mayoritas etnis Tionghoa akhirnya memilih bersikap netral dalam konflik Indonesia-Belanda. Sikap netral ini diakibatkan karena posisi historis mereka sebagai minoritas perantara (middlemen minority).

Dari uraian di atas, bisa digaris bawahi bahwa golongan Tionghoa peranakan menempati posisi minoritas perantara. Kedudukan ini bukan hanya dimulai masa kolonial Belanda, tapi sejak berkembangnya zaman kerajaan Islam di Nusantara, orang Tionghoa peranakan sudah diberi kedudukan yang dekat dengan finansial seperti syahbandar, rumah gadai atau penarik pajak. Pemerintah kolonial Belanda kemudian mengembangkan semua itu dan memperluas bidang cakupan yang dipegang pengusaha Tionghoa seperti pungutan pajak dan bisnis candu.

Posisi sebagai minoritas perantara tadi membuat mereka ingin berada di tengah, menghindari kesulitan yang muncul, meski pilihan itu bukannya menyelesaikan masalah tapi justru banyak menimbulkan persoalan baru. Apabila lingkaran setan sebagai middleman minority tadi tidak diputus, dikhawatirkan dalam tiap zaman kedudukan golongan Tionghoa peranakan selalu dilematis, seperti ditulis Didi Kwartanada (2011), bahwa “Orang Cina ibarat makan buah simalakama saat terlibat kegiatan politik. Jika terlibat sebagai oposisi, mereka dicap subversif. Bila mendukung penguasa Belanda, mereka dicap oportunis. Dan jika menjauh dari politik dicap ekslusif sebab mereka hanya berminat mencari uang belaka”

(Sejarah-Kita/Berbagai-Sumber-Sejarah/ABNS)
Share this post :

Post a Comment

mohon gunakan email

Terkait Berita: