Pesan Rahbar

Home » » Kisah Perlawanan Para Petani Banten dalam Geger Cilegon 1888

Kisah Perlawanan Para Petani Banten dalam Geger Cilegon 1888

Written By Unknown on Wednesday, 9 March 2016 | 13:32:00

ilustrasi (Foto: mushafirdunia.wordpress.com)

Parade perlawanan pada masa kolonial dipandang sebagai perjuangan pembebasan di bawah kepemimpinan tokoh-tokoh pahlawan nasional. Perhatian terhadap dinamika dan gejolak sosial di pedesaan selama ini tidak menelusuri lebih jauh terhadap peran kaum tani sebagai pelaku utama gerakan perlawanan. Meskipun pada dasarnya beberapa pemberontakan kaum tani terhadap kekuasaan kolonial secara nyata menunjukkan pengaruh yang signifikan terhadap tonggak perubahan sosial politik yang lebih luas dalam panggung sejarah nasional.

Adalah Sartono Kartodirdjo, Tokoh sejarawan nasional yang telah merintis studi terhadap peran kaum petani dalam perubahan sosial dan konstalasi politik nasional. Dalam bukunya ia mengungkapkan keprihatinannya terhadap rendahnya minat sejarawan maupun peneliti sosial yang tertarik untuk mengangkat kembali peran gerakan petani pedesaan dalam dinamika perubahan sosial.


Banten Melawan

Banten memiliki sejarah perlawanan yang panjang. Semenjak Kesultanan Banten sebagai pemegang otoritas politik dihapuskan oleh Willems Daendels, tercatat ada empat kali pemberontakan terhadap kolonialisme Belanda. Pertama, pada 1850 dipimpin oleh H. Wakhia. Kedua, pada 1888 yang dilakukan oleh (mayoritas) para petani di bawah komando H. Wasid dan Jaro Kajuruan─unsur jawara─. Ketiga, pada 13 November 1926 di Menes, Kabupaten Pandeglang. Pemberontakan itu terjadi pukul satu malam, sekitar empat ratus orang bersenjata bedil dan kelewang, sebagian besar mengenakan pakaian putih menyerbu kediaman Wedana Raden Partadiningrat. Keempat, terjadi pada 1945. Pemberontakan ini lebih merupakan pertanda kebebasan dari cengkraman kolonialisme.

Kedudukan petani atau rakyat biasa pada masa kesultanan banyak yang menyerahkan tenaganya untuk bekerja pada tanah-tanah pusaka, menjadi pelayan rumah dengan status abdi. Bahkan para abdi ini banyak pula yang mengerjakan fasilitas-fasilitas umum, seperti pembuatan jalan dan lain-lain. Setelah kesultanan dihapuskan pada tahun 1810, hak-hak dan kewajiban para petani tidak berubah. Bahkan para petani ini banyak yang dipekerjakan secara paksa pada tanah-tanah yang dimiliki oleh para Aristokrat. Keadaan seperti ini menjadi beban penderitaan bagi petani.

Sudah sejak tahun 1884 gagasan mengenai pemberontakan muncul. Dalam satu pertemuan di rumah Haji Wasid di Beji diputuskan untuk mencari pengikut dari kalangan santri. 26 Pertemuan diadakan di berbagai tempat yang dihadiri oleh sebagian besar pemimpin pemberontak setempat. Guru-guru tarekat ditugaskan untuk menyebarkan gagasan itu dan mencari pengikut.

Persiapan selama berbulan-bulan dilakukan untuk melancarkan pemberontakan. Dalam empat bulan terakhir, tahun1887, kegiatan anggota-anggota gerakan sangat meningkat, mereka adakan pertemuan-pertemuan, melakukan perjalanan dan mempropagandakan perjuangan serta melatih para santri untuk bertempur. Saat itu, semangat pemberontakan sudah mencekam anggota-anggota tarekat. Mereka menyadari bahwa gerakan mereka sudah mencapai banyak kemajuan, dan mereka memutuskan untuk memperluas persiapan-persiapan pemberontakan dan mengikutsertakan orang-orang di luar tarekat.

Pada tanggal 12 bulan Ruwah atau 22 april 1888 pertemuan diadakan di rumah Haji Wasid di Beji. Pada akhir pertemuan, ketiga ratus orang tamu berkumpul di mesjid dimana para kyai dan murid-murid mereka bersumpah ; pertama, bahwa mereka akan ambil bagian dalam Perang Sabil, kedua bahwa mereka yang melanggar janji akan dianggap sebagai kafir, ketiga bahwa mereka tidak akan membocorkan rencana mereka kepada pihak luar.

Perlawanan besar pun dilakukan. Perlawanan ini dipimpin oleh Ki Tubagus Ismail dan melibatkan sejumlah ulama dan jawara dalam Geger Cilegon membuat rakyat bangkit melawan Belanda. Insiden ini dilakukan untuk menyerang orang-orang Belanda yang tinggal di Cilegon. Sayangnya, insiden ini dapat dipadamkan Belanda karena serdadu Belanda yang dipimpin Letnan I Bartlemy sudah terlatih. Meski api perlawanan dapat dipadamkan, namun sebelumnya terjadi pertempuran hebat.

Ki Wasyid yang dianggap pemimpin pemberontakan dihukum gantung, sedangkan yang lain dihukum buang. Haji Abdurahman dan Haji Akib dibuang ke Banda, Haji Haris dibuang ke Bukittinggi, Haji Arsyad Thawil dibuang ke Manado/Minahasa, Haji Arsyad Qashir dibuang ke Buton, Haji Ismail dibuang ke Flores, dan banyak lagi yang dibuang ke Tondano, Ternate, Kupang, Manado, Ambon, dan Saparua. Semua pimpinan pemberontakan yang dibuang sebanyak 94 orang.

(Empat-Pilar-MPR/ABNS)
Share this post :

Post a Comment

mohon gunakan email

Terkait Berita:

Index »

KULINER

Index »

LIFESTYLE

Index »

KELUARGA

Index »

AL QURAN

Index »

SENI

Index »

SAINS - FILSAFAT DAN TEKNOLOGI

Index »

SEPUTAR AGAMA

Index »

OPINI

Index »

OPINI

Index »

MAKAM SUCI

Index »

PANDUAN BLOG

Index »

SENI