Oleh: Azhari Akmal Tarigan
Dalam perspektif sosial, ‘Idul Fitri merupakan puncak keberagamaan umat Islam Indonesia. Dikatakan secara spesifik Indonesia, karena memang apa yang terjadi di negeri ini tidak terlihat di negara Islam lainnya. Bahkan beberapa referensi yang pernah penulis baca menunjukkan, ‘idul fitri bagi orang Arab adalah momentum untuk berlibur. Mereka umumnya pergi keberbagai tempat rekreasi, bahkan sampai ke luar negeri. Sedangkan silaturrahim yang lazim kita isi dengan saling berkunjung, telah mereka tuntaskan sewaktu bulan Ramadhan. Artinya pada bulan Ramadhanlah mereka merajut tali silaturrahim antar keluarga dan tetangga. Pendek kata bagi masyarakat Arab, Syawal bukan bulan untuk saling berkunjung dan bersilaturrahim. Syawal bagi mereka adalah waktu untuk berlibur.
Dengan demikian tidak berlebihan jika disebut ‘idul fitri di Indonesia sangat unik. Bagaimana tidak, hampir tidak ada peristiwa keagamaan yang menimbulkan hiruk pikuk luar biasa kecuali pada saat ‘idul fitri. Di banding pelaksanaan ibadah haji sekalipun, ‘idul fitri jauh lebih heboh dan merepotkan. Hal ini tampak dengan keterlibatan pemerintah dalam berbagai bidang untuk mensukseskan ‘idul fitri yang sebenarnya hanya setengah hari itu. Pemerintah harus menjamin ketersediaan makanan pokok, keamanan pada malam takbiran dan sewaktu shalat ‘id, sampai pada kesiapan angkutan (darat, laut dan udara) untuk mudik. Demikian pula dengan umat Islam yang bergelut dengan berbagai macam kesibukan menjelang fajar 1 Syawal. Mulai dari mempersiapkan makanan di hari ‘Idul Fitri, mempersiapkan pakaian yang akan dikenakan, sampai masalah mengecat rumah dan persiapan mudik.
Kesibukan akan semakin terasa ketika kita berkunjung ke Mall, Plaza dan pusat-pusat perbelanjaan tradisional. Tanpa disadari fokus kegiatan bergeser menjelang ‘idul fitri dari masjid bergerak ke Mall. Hal ini berbalik dengan tradisi profetik yang dilakukan Nabi. Bukankah Nabi Muhammad menjelang akhir Ramadhan meningkatkan intensitas kegiatannya di masjid terutama i’tikaf. Sampai disini hemat saya kita punya persoalan serius dalam memahami puasa dan ‘idul fitri. Dengan kata lain, sikap kita atau lebih tepatnya budaya ‘idul fitri kita belum sepenuhnya sesuai dengan tuntutan sunnah Rasul. Dimensi budaya dan tradisi dalam puasa lebih dominan daripada dimensi ibadahnya. Tidaklah mengherankan jika pada bulan Syawal paling tidak ada tiga tipe manusia dalam mengisi hari-hari di bulan syawal.
Pertama adalah orang yang ber’idul fitri. ‘idul fitri secara bahasa bermakna kembali kepada fitrah (suci, bersih dan cenderung kepada kebenaran). Bagi orang yang ber’idul fitri, Ramadhan adalah momentum untuk membakar seluruh dosa-dosa yang telah dilakukan pada masa lalu. Wajarlah jika menjelang fajar syawal ia merasa dirinya telah suci kembali. Orang yang ber’idul fitri lebih fokus untuk menjaga kesucian jiwa. Mereka yang ber-’idul fitri bisa jadi tidak tampak dari pakaian yang mereka kenakan. Juga tidak terlihat dari makanan yang terhidang di rumahnya. Kalaupun ada semuanya dilakukan dengan penuh kesederhanaan dan terhindar dari kesan israf (berlebih-lebihan). Di atas segala-galanya, idul fitri hanya milik orang yang berpuasa. Bukan milik semua orang Islam. Orang yang tidak berpuasa, tidak akan pernah merasakan nikmatnya idul fitri.
Kedua, orang yang berhari raya. Tidak ada yang salah jika idul fitri dipahami sebagai hari raya. Hampir semua agama memiliki hari raya. Biasanya hari raya identik dengan pesta, kemeriahan dan kegembiraan. Hari raya milik semua pemeluk agama. Dalam konteks 1 Syawal, hari raya merupakan milik semua orang Islam tanpa memandang strata. Tua-muda, miskin–kaya, yang puasa atau yang tidak, beriman atau ingkar, semuanya berhari raya. Ekspresi hari raya tanpak pada kegembiraan umat Islam yang luar biasa. Lihatlah acara-acara Televisi semuanya menunjukkan kegembiraan bahkan cenderung berlebih-lebihan. Berbagai mata acara ditayangkan, seperi lawak, musik, sampai dengan sinetron. semuanya membawa pesan yang satu, mari bergembira.
Ironisnya, dimensi keagamaannya tenggelam dalam derai tawa yang sangat-sangat tidak Islami. Kesan hari raya juga tampak pada sikap pemerintah daerah dan institusi lainnya yang menyelenggarakan event-event yang bernuansa menjadikan idul fitri sebagai hari raya. Lihatlah fenomena baru di kota Medan yang disebut dengan Lebaran Fair. Sederatan artis berjejer di baliho yang dipasang di sudut-sudut kota. Pesannya tetap saja, mari bergembira, bersenang-senang, bukankah sebulan lamanya kita telah “susah” di buat puasa. Pada sisi lain, hari raya juga terlihat pada penampilan-penampilan simbolik (fisik), seperti baju yang serba baru, makanan yang bervariasi dengan segala cita rasanya serta aksesoris lainnya yang semuanya baru. Pokoknya wah. Tanpa disadari terjadilah pameran kemewahan dan kemegahan. Jurang pemisah yang seharusnya tidak tampak pada hari raya idul fitri, ternyata semakin menganga. Orang kayalah yang paling mampu merayakan hari rayanya. Yang jelas tidak ada pesan relegius pada hari raya. Pesannya hanya satu mari kita bergembira dan bersenang-senang.
Ketiga, orang yang berlebaran. Sejak kapan istilah lebaran digunakan untuk menyebut peristiwa idul fitri, adalah sebuah pertanyaan yang sulit untuk dijawab. Namun yang jelas kata ini agaknya sangat akrab terdengar di telinga kita. Apa sesungguhnya makna lebaran. Jika dilihat dari asal kata, lebaran berasal dari kata lebar, dengan pengucapan huruf “e” yang keras. Pengucapan kata “lebaran” sama dengan menyebut “Tebet” sebuah daerah di Jakarta. Sedangkan kata “lebar” pengucapannya sama dengan “Menteng” yang orang Medan sulit membedakan keduanya; Tebet dan Menteng. Almarhum Cak Nur memang terkesan positif memahami kata lebaran. Menurutnya, setelah berpuasa, mudahmu-dahan Tuhan mengampuni seluruh dosa kita, sehingga semuanya habis tandas (lebar) dan kitapun berlebaran. Namun bagi saya kata lebaran seperti yang ekspresinya ditampakkan para artis dan selebriti di Televisi, lebaran cenderung bermakna keluar dari kungkungan. Tegasnya puasa adalah penjara dan lebaran merupakan momentum untuk membebaskan diri dari kungkungan puasa.
Tidak sedikit orang orang yang merasakan puasa di bulan Ramadhan adalah sebuah siksaan. Ruang geraknya merasa terbatas dan begitu sangat sempit. Semuanya menjadi tidak boleh. Ramadhan baginya adalah lembaga penyiksaan dan hukuman. Oleh sebab itu, begitu fajar 1 Syawal terbit, ia merasa terbebaskan. Dunia ini menjadi lebar kembali. Semuanya menjadi bebas kembali. Demikianlah, lebaran identik dengan pembebasan dari kungkungan Ramadhan. Ekspresi yang ditampakkan pada orang yang berlebaran, semuanya mengacu pada kebebasan. Seolah apa yang dilarang pada bulan Ramadhan menjadi boleh kembali. Semunya bebas. Tidak ada ada lagi batasan antara yang halal dengan yang haram. Demikian pula dengan yang syubhat, semuanya menjadi boleh.
Penutup:
Demikian 1 Syawal tidak semua orang beridul fitri. Idul fitri hanya bisa dirasakan dan dinikmati oleh orang-orang yang berpuasa dengan iman dan ihtisab (ketulusan dan perhitungan-komitmen). Orang-orang seperti inilah yang layak beridul fitri, kembali kepada fitrah. Orang beridul fitri, adalah orang yang memiliki komitmen untuk berubah menjadi lebih baik. Sedangkan hari raya dan lebaran, menjadi milik semua orang, tidak perduli apakah ia puasa atau tidak. Yang penting bergembira dan bersenang-senang. Merekalah orang-orang yang minus komitmen berubah untuk menjadi lebih baik pada masa mendatang.
Wallahu a’lam.
Post a Comment
mohon gunakan email