Daftar Isi Nusantara Angkasa News Global

Advertising

Lyngsat Network Intelsat Asia Sat Satbeams

Meluruskan Doa Berbuka Puasa ‘Paling Sahih’

Doa buka puasa apa yang biasanya Anda baca? Jika jawabannya Allâhumma laka shumtu, maka itu sama seperti yang kebanyakan masyarakat baca...

Pesan Rahbar

Showing posts with label Shalat Idul Fitri. Show all posts
Showing posts with label Shalat Idul Fitri. Show all posts

Idul Fitri; Antara Hari Raya dan Pesta Pora


Oleh: Azhari Akmal Tarigan

Dalam perspektif sosial, ‘Idul Fitri merupakan puncak keberagamaan umat Islam Indonesia. Dikatakan secara spesifik Indonesia, karena memang apa yang terjadi di negeri ini tidak terlihat di negara Islam lainnya. Bahkan beberapa referensi yang pernah penulis baca menunjukkan, ‘idul fitri bagi orang Arab adalah momentum untuk berlibur. Mereka umumnya pergi keberbagai tempat rekreasi, bahkan sampai ke luar negeri. Sedangkan silaturrahim yang lazim kita isi dengan saling berkunjung, telah mereka tuntaskan sewaktu bulan Ramadhan. Artinya pada bulan Ramadhanlah mereka merajut tali silaturrahim antar keluarga dan tetangga. Pendek kata bagi masyarakat Arab, Syawal bukan bulan untuk saling berkunjung dan bersilaturrahim. Syawal bagi mereka adalah waktu untuk berlibur.


Dengan demikian tidak berlebihan jika disebut ‘idul fitri di Indonesia sangat unik. Bagaimana tidak, hampir tidak ada peristiwa keagamaan yang menimbulkan hiruk pikuk luar biasa kecuali pada saat ‘idul fitri. Di banding pelaksanaan ibadah haji sekalipun, ‘idul fitri jauh lebih heboh dan merepotkan. Hal ini tampak dengan keterlibatan pemerintah dalam berbagai bidang untuk mensukseskan ‘idul fitri yang sebenarnya hanya setengah hari itu. Pemerintah harus menjamin ketersediaan makanan pokok, keamanan pada malam takbiran dan sewaktu shalat ‘id, sampai pada kesiapan angkutan (darat, laut dan udara) untuk mudik. Demikian pula dengan umat Islam yang bergelut dengan berbagai macam kesibukan menjelang fajar 1 Syawal. Mulai dari mempersiapkan makanan di hari ‘Idul Fitri, mempersiapkan pakaian yang akan dikenakan, sampai masalah mengecat rumah dan persiapan mudik.

Kesibukan akan semakin terasa ketika kita berkunjung ke Mall, Plaza dan pusat-pusat perbelanjaan tradisional. Tanpa disadari fokus kegiatan bergeser menjelang ‘idul fitri dari masjid bergerak ke Mall. Hal ini berbalik dengan tradisi profetik yang dilakukan Nabi. Bukankah Nabi Muhammad menjelang akhir Ramadhan meningkatkan intensitas kegiatannya di masjid terutama i’tikaf. Sampai disini hemat saya kita punya persoalan serius dalam memahami puasa dan ‘idul fitri. Dengan kata lain, sikap kita atau lebih tepatnya budaya ‘idul fitri kita belum sepenuhnya sesuai dengan tuntutan sunnah Rasul. Dimensi budaya dan tradisi dalam puasa lebih dominan daripada dimensi ibadahnya. Tidaklah mengherankan jika pada bulan Syawal paling tidak ada tiga tipe manusia dalam mengisi hari-hari di bulan syawal.

Pertama adalah orang yang ber’idul fitri. ‘idul fitri secara bahasa bermakna kembali kepada fitrah (suci, bersih dan cenderung kepada kebenaran). Bagi orang yang ber’idul fitri, Ramadhan adalah momentum untuk membakar seluruh dosa-dosa yang telah dilakukan pada masa lalu. Wajarlah jika menjelang fajar syawal ia merasa dirinya telah suci kembali. Orang yang ber’idul fitri lebih fokus untuk menjaga kesucian jiwa. Mereka yang ber-’idul fitri bisa jadi tidak tampak dari pakaian yang mereka kenakan. Juga tidak terlihat dari makanan yang terhidang di rumahnya. Kalaupun ada semuanya dilakukan dengan penuh kesederhanaan dan terhindar dari kesan israf (berlebih-lebihan). Di atas segala-galanya, idul fitri hanya milik orang yang berpuasa. Bukan milik semua orang Islam. Orang yang tidak berpuasa, tidak akan pernah merasakan nikmatnya idul fitri.

Kedua, orang yang berhari raya. Tidak ada yang salah jika idul fitri dipahami sebagai hari raya. Hampir semua agama memiliki hari raya. Biasanya hari raya identik dengan pesta, kemeriahan dan kegembiraan. Hari raya milik semua pemeluk agama. Dalam konteks 1 Syawal, hari raya merupakan milik semua orang Islam tanpa memandang strata. Tua-muda, miskin–kaya, yang puasa atau yang tidak, beriman atau ingkar, semuanya berhari raya. Ekspresi hari raya tanpak pada kegembiraan umat Islam yang luar biasa. Lihatlah acara-acara Televisi semuanya menunjukkan kegembiraan bahkan cenderung berlebih-lebihan. Berbagai mata acara ditayangkan, seperi lawak, musik, sampai dengan sinetron. semuanya membawa pesan yang satu, mari bergembira.

Ironisnya, dimensi keagamaannya tenggelam dalam derai tawa yang sangat-sangat tidak Islami. Kesan hari raya juga tampak pada sikap pemerintah daerah dan institusi lainnya yang menyelenggarakan event-event yang bernuansa menjadikan idul fitri sebagai hari raya. Lihatlah fenomena baru di kota Medan yang disebut dengan Lebaran Fair. Sederatan artis berjejer di baliho yang dipasang di sudut-sudut kota. Pesannya tetap saja, mari bergembira, bersenang-senang, bukankah sebulan lamanya kita telah “susah” di buat puasa. Pada sisi lain, hari raya juga terlihat pada penampilan-penampilan simbolik (fisik), seperti baju yang serba baru, makanan yang bervariasi dengan segala cita rasanya serta aksesoris lainnya yang semuanya baru. Pokoknya wah. Tanpa disadari terjadilah pameran kemewahan dan kemegahan. Jurang pemisah yang seharusnya tidak tampak pada hari raya idul fitri, ternyata semakin menganga. Orang kayalah yang paling mampu merayakan hari rayanya. Yang jelas tidak ada pesan relegius pada hari raya. Pesannya hanya satu mari kita bergembira dan bersenang-senang.

Ketiga, orang yang berlebaran. Sejak kapan istilah lebaran digunakan untuk menyebut peristiwa idul fitri, adalah sebuah pertanyaan yang sulit untuk dijawab. Namun yang jelas kata ini agaknya sangat akrab terdengar di telinga kita. Apa sesungguhnya makna lebaran. Jika dilihat dari asal kata, lebaran berasal dari kata lebar, dengan pengucapan huruf “e” yang keras. Pengucapan kata “lebaran” sama dengan menyebut “Tebet” sebuah daerah di Jakarta. Sedangkan kata “lebar” pengucapannya sama dengan “Menteng” yang orang Medan sulit membedakan keduanya; Tebet dan Menteng. Almarhum Cak Nur memang terkesan positif memahami kata lebaran. Menurutnya, setelah berpuasa, mudahmu-dahan Tuhan mengampuni seluruh dosa kita, sehingga semuanya habis tandas (lebar) dan kitapun berlebaran. Namun bagi saya kata lebaran seperti yang ekspresinya ditampakkan para artis dan selebriti di Televisi, lebaran cenderung bermakna keluar dari kungkungan. Tegasnya puasa adalah penjara dan lebaran merupakan momentum untuk membebaskan diri dari kungkungan puasa.

Tidak sedikit orang orang yang merasakan puasa di bulan Ramadhan adalah sebuah siksaan. Ruang geraknya merasa terbatas dan begitu sangat sempit. Semuanya menjadi tidak boleh. Ramadhan baginya adalah lembaga penyiksaan dan hukuman. Oleh sebab itu, begitu fajar 1 Syawal terbit, ia merasa terbebaskan. Dunia ini menjadi lebar kembali. Semuanya menjadi bebas kembali. Demikianlah, lebaran identik dengan pembebasan dari kungkungan Ramadhan. Ekspresi yang ditampakkan pada orang yang berlebaran, semuanya mengacu pada kebebasan. Seolah apa yang dilarang pada bulan Ramadhan menjadi boleh kembali. Semunya bebas. Tidak ada ada lagi batasan antara yang halal dengan yang haram. Demikian pula dengan yang syubhat, semuanya menjadi boleh.

Penutup:
Demikian 1 Syawal tidak semua orang beridul fitri. Idul fitri hanya bisa dirasakan dan dinikmati oleh orang-orang yang berpuasa dengan iman dan ihtisab (ketulusan dan perhitungan-komitmen). Orang-orang seperti inilah yang layak beridul fitri, kembali kepada fitrah. Orang beridul fitri, adalah orang yang memiliki komitmen untuk berubah menjadi lebih baik. Sedangkan hari raya dan lebaran, menjadi milik semua orang, tidak perduli apakah ia puasa atau tidak. Yang penting bergembira dan bersenang-senang. Merekalah orang-orang yang minus komitmen berubah untuk menjadi lebih baik pada masa mendatang.  

Wallahu a’lam.

Asal-usul Lebaran (Perayaan Hari Besar)


Dalam bahasa Indonesia yang baku (EYD), huruf L dalam kata “Lebaran” harus menggunakan huruf kapital (huruf besar). Secara baku, kata “Lebaran” memang harus diawali dengan huruf kapital, seperti pada kata “Natal” atau “Paskah”.

Mengapa kita memakai kata “Lebaran? Dari mana asal-usul kata ini pertama kali digunakan di Indonesia? Ini menyangkut etimologi. Kata “kantor” berasal dari bahasa Belanda, “kantoor”. Kata “kelar” berasal dari bahasa Belanda pula, yaitu “klaar”. Hal ini wajar saja, karena kita dulu pernah dijajah Belanda. Lalu bagaimana dengan kata “Lebaran”?


Yang jelas, “Lebaran” tidak berasal dari bahasa asing. Ada yang bilang bahwa “Lebaran” berasal dari “lebar + an” bahasa Jawa. Ada yang bilang pula kata “Lebaran” berasal dari bahasa Sunda. Ada yang bilang juga bahwa kata “Lebaran” pertama kali dituturkan dalam bentuk bahasa Indonesia, bukan dalam bentuk bahasa daerah Jawa ataupun Sunda. Lalu mana yang benar? Memang belum ada ahli linguistik yang memastikan asal-asul kata ini melalui penelitian. Lebih baik kita serahkan saja urusan ini kepada kantor Pusat Bahasa Indonesia, karena merekalah yang memegang kendali atas semua ini. Barangkali di masa mendatang mereka bisa menemukan data yang akurat mengenai asal-usul kata “Lebaran”.

Saat ini, Pusat Bahasa hanya bisa memastikan bahwa kata “Lebaran” merupakan sebuah kata dasar yang terdiri dari tiga suku kata, yaitu Le + ba + ran. Dengan kata lain, kata “Lebaran” bukanlah kata jadian dari Le + bar + an. Kiranya, mungkin saja kata ini memang berasal dari kata jadian, lalu diserap oleh bahasa Indonesia menjadi kata dasar.

Fitnah Media Ikhwanul Muslimin terhadap Syekh Al Azhar


Kalau petinggi Ikhwanul Muslimin yang dijelek2i, pasti disuruh: Tabayyun… Tabayyun… Tabayyun… Meski berbagai Media memberitakannya.
Tapi terhadap para Ulama yang berlawanan pendapat dgn IM, meski Ulama Al Azhar pun Fitnah segera disebar tanpa perlu Tabayyun meski sumbernya hanya dari seorang fasiq.

Adilkah itu? Sesuaikah itu dgn Surat Al Hujuraat ayat 6?
Di sini Media Jaringan Ikhwanul Muslimin, Dakwatuna memfitnah Syeikh Al Azhar, Dr Ahmad Thayyib sebagai tidak pernah mengimami sholat tanpa tabayyun kepada pihak yang difitnah. Padahal ternyata pernah:



بالصور.. شيخ الأزهر يؤم السلفيين والصوفيين فى صلاة الظهر


http://www.youm7.com/News.asp?NewsID=683182


Dibilang tidak pernah Khutbah juga rasanya banyak orang sering mendengar Syekh Dr. Ahmad Thayyeb berkhutbah. Apa itu bukan fitnah?



أمّ الإمام الأكبر الدكتور أحمد الطيب، شيخ الأزهر، علماء السلفيين والصوفيين والأشراف والأزهر، لصلاة الظهر، عقب انتهاء الاجتماع العلمى بشأن الحسينيات بمصر، وحرص الحضور على أن يؤمهم الإمام الأكبر الدكتور أحمد الطيب، شيخ الأزهر، حيث اجتمع فى الصلاة الصوفى والسلفى بإمامة الأزهرى الذى أجمع الجميع على أنه المرجعية الوحيدة للإسلام بمصر.

http://www.youm7.com/News.asp?NewsID=683182

Memang foto2 Syekh Dr. Ahmad Thayyeb memimpin sholat dan khutbah mungkin tidak sebanyak “ulama” Ikhwanul Muslimin. Tapi bisa jadi itu tanda ke-wara’an / kerendahan hati beliau. Tidak ingin riya’/pamer.

Ini beda dengan sikap beberapa tokoh IM / Tarbiyyah / PKS yang mendominasi Imam / Khotib sehingga dikabarkan menyerobot posisi Imam sholat meski dibantah.

Syeikh Made in Perancis

dakwatuna.com – Kairo. Mesir adalah negara yang agamis. Ketika melakukan kudeta, As-Sisi tidak lupa dengan hal ini. Dia melibatkan para pemuka keagamaan dalam memuluskan agendanya.

Setelah tertekan dengan demonstrasi besar-besaran di Rab’ah, Nahdha, dan tempat-tempat yang lain, As-Sisi menggunakan kekuatan fatwa untuk membubarkannya. Mulai dari fatwa larangan mendemo pemerintah yang sah, hingga fatwa membolehkan membunuh para demonstran.
Mungkin banyak orang bertanya-tanya, mengapa ulama sekaliber Syeikhul Azhar dan mantan mufti bisa diperalat mereka? Shabir Masyhur dalam situs elsyaab.org Ahad 25 Agustus kemarin menulis sebuah artikel berjudul “Paus Al-Azhar, Seorang Sekular Bikinan Perancis”

Di awal artikelnya, Shabir mempertanyakan keanehan nama imam dan syeikh bagi Dr. Ahmad Thayyib, “Beliau digelari imam akbar, tapi tidak pernah mengimami shalat. Beliau juga digelari syeikh akbar, tapi tidak pernah khutbah. Oleh karena itu, sebenarnya beliau adalah seorang sekular yang diimpor dari Perancis lalu diberi pakaian Al-Azhar dan disebut sebagai seorang Syeikhul Azhar.”

Sumber: http://www.dakwatuna.com/2013/08/26/38528/syeikh-made-in-perancis

Berita Tifatul Sembiring menyerobot posisi Imam Sholat:

Tifatul Sembiring Serobot Imam Shalat Idul Fitri.

Gardo Kabar Washliyah PB Al Washliyah.
MEDAN – Ikatan Persaudaraan Qari-qariah dan Hafizh dan hafizah (IPQAH) Kota Medan, Sumatera Utara, mengecam sikap Menteri Komunikasi dan Informatika (Menkominfo) Tifatul Sembiring, yang menyerobot Imam Shalat Idul Fitri 1434 Hijriah di Lapangan Benteng, Medan, Kamis (8/8/2013) pagi lalu. Pemko Medan telah menetapkan Drs. H. Darwin Hasibuan yang bertindak sebagai Imam Shalat dan Tifatul sebai Khatib, namun pada praktiknya, Imam Shalat dan Khatib diborong oleh Tifatul Sembiring.

Sebagaimana lazimnya Shalat Ied, Imam Shalat Drs. H. Darwin Hasibuan telah duduk di sajadah Imam dan telah pula membelakangi makmum, namun lebih kurang 30 menit sebelum waktu shalat, Drs. H. Darwin Hasibuan diminta mundur di barisan makmum. Saat itu Plt. Walikota Medan, T. Dzulmi Eldin S seakan tidak kuasa untuk menolak keinginan Tifatul Sembiring.

“Ini keterlaluan. Tidak biasanya seperti itu. Seperti biasa-biasanya, tidak pernah ada penggantian secara mendadak. Mengapa seorang Menteri begitu cerobohnya mengambil alih posisi Imam Shalat,” kata Ketua Bidang Kesenian IPQAH Medan, Drs. Gamal Abdul Naser Lubis kepada kabarwashliyah.com, Senin (12/8/2013).

http://kabarwashliyah.com/2013/08/12/tifatul-sembiring-melecehkan-imam-shalat-idul-fitri-1434

IPQAH Kecam Tifatul Sembiring Karena Serobot Imam Shalat Idul Fitri.

http://www.muslimedianews.com/2013/08/ipqah-kecam-tifatul-sembiring-karena.html
Bantahan Tifaful Sembiring / PKS:

Difitnah Serobot Imam Sholat ‘Ied, ini Jawaban Tifatul.

KabarPKS.com – Jakarta – “Shalat Ied adalah ibadah, mohon tidak dicampuradukkan dengan politik, dan sebagainya. Semoga kita terhindar dari fitnah dan perpecahan. Amien.”
Begitu bagian akhir dari kultwit Menteri Komunikasi dan Informatika Tifatul Sembiring dalam menjawab kabar mengenai dirinya menyerobot posisi imam dan khatib shalat Idul Fitri di Lapangan Banteng, Medan (Kamis, 8/8).

Tifatul menegaskan tidak ada penyerobotan seperti informasi yang beredar belakangan ini. Seharusnya pihak-pihak yang menuduh dia menyerobot lebih dahulu mengajaknya untuk bicara dan meminta penjelasan sebelum melemparkan tuduhan.
“Posisi imam itu di satu pondok dengan khatib. Tidak benar sudah ada imam duduk disitu,” katanya.

http://www.kabarpks.com/2013/08/difitnah-serobot-imam-sholat-ied-ini.html

Klarifikasi Tifatul Sembiring : Tidak ada Penyerobotan Imam dan khatib shalat Idul Fitri.

http://www.islamedia.web.id/2013/08/klarifikasi-tifatul-sembiring-tidak-ada.html

Terkait Berita: