Dr. Asmadji AS Muchtar berpendapat, jika Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) boleh ditamsilkan sebagai Burung Garuda, NU dan Muhammadiyah bagaikan sepasang sayapnya. Keduanya memiliki posisi masing-masing.
“Keduanya bisa bertemu, tapi tak bisa bersatu karena bersatu bagi keduanya justru akan membuat sang burung tidak bisa terbang,” kata Asmadji
Wakil Rektor Universitas Sains Alquran Wonosobo ini menyebut, tamsil di atas layak dipopulerkan, ketika NKRI sedang diwarnai gejolak dari aksi-aksi tertentu, seperti sekarang. Artinya, selama NU dan Muhammadiyah tetap menjadi bagian penting yang mendukung keutuhan dan keselamatan NKRI, selama itu pula NKRI akan tetap kokoh.
“Jika misalnya ada ormas lain dengan jumlah anggota 1 juta jiwa yang hendak menghancurkan NKRI, itu bisa dianggap hanya isapan jempol belaka,” tegasnya.
Sebab, lanjut pria asal Kudus ini, kekuatan ormas tersebut hanya sekitar 0,5% dari jumlah penduduk NKRI atau sekian persen dari kekuatan NU dan Muhammadiyah. Dengan melihat fakta di atas, sulit dibayangkan betapa gaduhnya Jakarta dan semua kota di negeri ini jika misalnya NU atau Muhammadiyah menggelar aksi unjuk rasa dengan mengerahkan semua anggotanya yang berjumlah puluhan juta jiwa.
“Karena itu, tampaknya keduanya tidak akan menggelar aksi unjuk rasa dengan mengerahkan semua anggotanya. Bagi NU dan Muhammadiyah, tidak pantas lagi pamer kekuatan sebagai ormas, dengan menggelar aksi unjuk rasa,” katanya.
Menurut Asmadji, semua orang sudah tahu betapa kekuatan keduanya sangat besar di negeri ini. Hanya orang yang tidak mau dan tidak mampu melihat kenyataan saja yang tidak mengetahui kekuatan keduanya sebagai ormas terbesar di negeri ini.
“Selain itu, hanya orang yang tidak mau dan tidak mampu melihat sejarah saja yang bisa meremehkan kontribusi NU dan Muhammadiyah dalam mendirikan dan membangun NKRI, juga mengembangkan Islam hingga menjadi agama yang dipeluk mayoritas warga negara ini.”
Dalam hal ini, andai NU dan Muhammadiyah sama-sama punya kehendak mendirikan Negara Islam Indonesia misalnya mungkin sudah terlaksana sebelum negara ini merdeka karena pada saat itu dua ormas tersebut memang sudah ada dan sudah besar.
Namun faktanya, lanjut jebolan Universitas Malaya ini, NU dan Muhammadiyah sepakat bersama sejumlah pihak untuk mendirikan NKRI berdasarkan Pancasila dan UUD 1945. Dalam hal ini, keduanya samasama bertanggung jawab terhadap kelahiran NKRI dan menjaganya serta membesarkannya agar tidak hancur dalam waktu yang tidak terbatas.
“Artinya, jajaran pengurus NU dan Muhammadiyah serta seluruh anggotanya bisa saja bergantiganti orang atau mengalami regenerasi, namun faktanya keduanya tetap bertanggung jawab menjaga dan membesarkan NKRI secara utuh. Ada fakta lain yang layak dibeberkan,” tegasnya.
Dalam rangka bertanggung jawab terhadap kelahiran NKRI dan menjaganya agar tetap utuh, NU dan Muhammadiyah memilih ladang garapan untuk mengembangkan Islam di negeri ini dengan serius berlomba-lomba di bidang pendidikan, kesehatan, ekonomi, dan sosial budaya.
“Keduanya sama-sama menolak untuk berubah menjadi partai politik, namun mempersilakan anggotanya yang hendak berpolitik untuk berpolitik sesuai dengan pilihan pribadi masing-masing,” katanya.
Karena itu, Islam yang dikembangkan NU dan Muhammadiyah adalah Islam Nusantara dan Islam yang Berkemajuan. Wajah Islam Nusantara dan Islam yang Berkemajuan sama-sama dianggap moderat oleh banyak pihak atau sama-sama menjunjung tinggi toleransi.
“Faktanya, keduanya sama-sama menolak sikap dan perilaku intoleransi,” katanya.
Bagi NU dan Muhammadiyah, NKRI juga sering ditamsilkan sebagai rumah milik bersama yang tak perlu dibagi-bagi seperti harta warisan.
Karena itu, jika faktanya ada pihak lain yang juga mengaku berhak memiliki Indonesia, pengakuan tersebut akan dihormati, selama tidak dimaksudkan untuk membagibagi NKRI.
“Pada titik ini, NU dan Muhammadiyah pasti akan menolak segala upaya yang bertujuan membagi-bagi NKRI menjadi beberapa bagian alias tidak lagi utuh sebagai rumah milik bersama karena hal itu sama dengan menghancurkan NKRI.”
Dengan kata lain, bagi NU dan Muhammadiyah, NKRI berdasarkan Pancasila dan UUD 1945 adalah final. Hal ini selalu layak untuk diungkapkan lagi walaupun sebetulnya sudah klise alias semua pihak sudah mengerti.
“Dalam hal ini, andai NU dan Muhammadiyah memiliki kehendak untuk mengubah hal yang sudah klise tersebut, dengan menggelar aksi unjuk rasa misalnya, pasti akan sangat gaduh sehingga menimbulkan kepanikan yang luar biasa.”
Sekarang, tidak ada pihak yang bisa meragukan kekuatan NU dan Muhammadiyah sebagai ormas terbesar di Indonesia untuk bisa membangun atau menghancurkan NKRI, kecuali mereka yang tidak mau belajar sejarah dan menerima kenyataan.
“Karena itu, jika NU dan Muhammadiyah sejauh ini tampak diam saja melihat gejolak yang ada (yang dibuat oleh pihak-pihak lain), tentu karena menganggap gejolak tersebut tidak membahayakan NKRI, dan masih bisa diatasi oleh aparat negara,” katanya.
Suatu saat nanti, jika misalnya ada pihak lain yang kembali membuat gejolak yang dianggap bisa membahayakan NKRI, mungkin NU dan Muhammadiyah yang akan menghadapinya. Pada titik ini, konflik horizontal mungkin tidak akan terhindarkan, tapi yang pasti kekuatan besar tentu dengan mudah akan menang melawan kekuatan yang jauh lebih kecil.
“Karena itu, untuk mencegah terjadi konflik horizontal, NU dan Muhammadiyah perlu segera duduk bersama dengan pemerintah untuk menolak setiap gejolak yang jika dibiarkan saja berpotensi merusak kedamaian dan kenyamanan suasana dalam rumah milik bersama yang disebut sebagai NKRI.”
(Harian-Sindo/Islam-Indonesia/Berbagai-Sumber-Lain/ABNS)
Post a Comment
mohon gunakan email